Puspa semakin tidak mengerti dengan bertanyaan Andre.
“Kenapa Tuan menanyakan hal privasi seperti itu?” tanya Puspa tidak nyaman.
“Kamu orang asing yang datang dari antah berantah. Aku perlu tahu apakah kamu aktif secara seksual dan membawa penyakit atau tidak.”
“Saya masih perawan,” jawab Puspa dengan ketus. Sesungguhnya pertanyaan itu sangat menyinggung. Namun, ia dibuat seakan tidak punya pilihan selain menjawab.
Andre terdiam sejenak. Ia tidak menyangka jika jawaban seperti itu akan keluar dari mulut Puspa.
“Kalau begitu buktikan,” tantang Andre yang semakin penasaran.
“Apa? Anda gila? Saya di sini untuk mencari pekerjaan bukan untuk menjual keperawanan!”
Andre tersenyum seringai. “Gadis perawan sangat langka dan ucapanmu tidak bisa dipercaya sebelum adanya pembuktian. Terlebih aku masih yakin kamu hendak mencuri di rumah ini dan ‘mencari pekerjaan’ itu hanyalah alibimu semata.”
“Ta-tapi, Tuan saya berkata jujur.”
SRET!
Andre mengambil amplop berisikan uang tunai dari dalam lacinya dan menyerahkannya kepada Puspa. “Ambil uang ini dan kembalilah ke jalan yang benar. Jangan berpikir untuk mencuri di rumahku jika kamu masih ingin tanganmu utuh.”
Puspa mendengus kesal. Ia kesal setengah mati. Rasanya ingin sekali ia mengumpat dan memaki pria sombong yang sudah seenaknya menuduh seperti itu. Beruntunglah Puspa masih sadar posisi. Bahwa dirinya bukan siapa-siapa, hanya gadis miskin yang membutuhkan uang. Sekuat tenaga ia menahan gejolak emosi dalam dirinya.
Ketimbang meledekkan emosinya, ia justru melengkungkan senyuman untuk menunjukkan kedewasaannya dalam bersikap dan tetap menerima uang itu karena memang ia sedang butuh uang.
Andre lalu membungkukkan badannya sedikit dan berbisik tepat di telinga Puspa, “Datanglah lagi, jika kamu berubah pikiran soal membuktikan keperawananmu padaku. Aku bisa menjamin kebutuhan finansialmu akan terpenuhi jika kamu bersedia.”
Puspa tidak menjawab. Entah mengapa kalimat itu terdengar seperti orang yang sedang menyalakan api ke dalam timbunan bensin. Sebelum dirinya meledak marah, buru-buru Puspa lari meninggalkan rumah Andre.
Sementara, Andre hanya menatap gadis itu berlari keluar lalu menghela napas panjang. Ia merasa lelah dengan aktivitasnya hari ini dan memilih merebahkan dirinya ke atas sofa yang ada di ruang kerjanya. Sambil memejamkan mata, Andre berpikir, ‘Apa benar di dunia ini masih ada gadis secantik itu tapi masih perawan? Biasanya gadis berparas cantik bisa dengan mudah melepaskan keperawananya. Apalagi saat butuh uang. Aku punya uang tapi aku tidak pernah merasakan yang namanya keperawanan. Sial! Hhh … gadis itu, sangat menarik untuk dicoba’.
***
Puspa mengedarkan pandangan, mencari tempat duduk yang nyaman untuk dia beristirahat. Ia sangat penasaran dengan isi dari amplop yang diberikan oleh Andre. Sebenarnya Puspa sempat berpikiran negatif jika amplop itu hanya berisikan koran atau kertas bekas, mengingat sikap Andre yang kurang ajar.
Di sebuah taman yang sepi dari pengunjung, Puspa duduk di balik sebuah pagar. Tepatnya di pinggir selokan yang kering dan sulit dijangkau oleh manik mata orang yang melintas.
Bola matanya nyaris keluar saat melihat isi amplop itu, mulutnya bagaikan gua yang menganga lebar melihat dua bendel uang kertas berwarna merah. Gadis itu kembali mengedarkan pandangan. Memastikan keadaan di sekelilingnya benar-benar aman.
Kemudian ia mengeluarkan 2 bendel uang yang masih tersegel kertas dari bank bertuliskan pecahan 100 ribu rupiah sebanyak 100 lembar di masing-masing bandelnya.
“Ini uang asli kan ya?” ucapnya ragu sembari mengamati lembar demi lembar uang itu. Ia khawatir ada tulisan “uang mainan” di kertas itu. Namun, tidak. Uang itu benar-benar asli.
“Wow! Dua puluh juta?” Puspa masih belum percaya dengan penglihatannya.
Berkali-kali dia mengusap kedua matanya. Dia tertegun, seumur hidupnya sama sekali dia belum pernah memegang uang sebanyak ini.
“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah! Ini bisa buat makan setahun. Buat bayar kontrakan dan hutang-hutang di warung. Bisa juga untuk buka warung,” seru Puspa lirih sambil memeluk amplop coklat itu.
“Hari ini aku mau beli makanan yang enak- enak buat Nenek, ah. Biar Nenek senang. Sate ayam, ayam krispi, martabak telur, martabak manis, sop buah. Pokoknya makan makanan yang enak-enak. Kayak orang-orang kaya yang tiap hari bisa keluar masuk mall,” ucapnya girang.
Puspa mengambil dua lembar uang kertas yang berwarna merah. Kemudian sisanya dia simpan ke dalam tas kecil kumalnya yang setiap hari selalu dia bawa.
Selama ini, Puspa bekerja keras untuk hidup. Walau hanya sebagai tukang parkir atau mencuci mobil. Bahkan sebagai kuli pasar yang sesekali membantu ibu-ibu atau bapak-bapak seperti Jon yang sedang kerepotan membawa barang belanjaannya.
Baginya upah yang dia dapat, sangat berharga. Seberapapun jumlah uang itu.
***
Dengan membawa beberapa kantong kresek berisi makanan, Puspa mengayunkan kakinya dengan riang menuju rumah. Ia sudah membayangkan neneknya akan sangat senang dengan makanan yang ia bawa.
“Nek! Nenek! Puspa pulang, Nek. Nenek ada di mana?” seru Puspa sembari celingukkan mencari neneknya ke sekeliling rumah kecilnya. Namun ia tidak menemukan siapa pun.
“Loh ke mana Nenekku? Apa nenek lagi ke warung untuk berhutang beras lagi?” tanya Puspa bermonolog. Buru-buru Puspa keluar dari rumah untuk mencari keberadaan neneknya.
Baru saja sampai di depan rumah, ia dihampiri oleh tetangganya bernama Maria.
“Puspa!” panggil Maria.
“Iya, Bu Maria? Ada apa ya?”
“Kamu itu kemana saja? Nenekmu tadi pingsan. Dan tadi dibawa oleh Pak RT ke rumah sakit.”
“Apa? Nenek pingsan? Di Rumah Sakit? Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?” Puspa seketika syok. Jantungnya serasa melesat keluar dengan cepat. Kakinya bagaikan tak bertulang.
“Pak RT masih di rumah sakit menjaga nenekmu. Lebih baik kamu sekarang ke rumah sakit. Aku antar,” ucap Maria.
“Iya, Bu. Iya. Tolong ya, Bu.”
Puspa langsung menuju ke unit gawat darurat untuk mencari neneknya. Saat ia melihat Pak RT yang bernama Rudi, ia langsung bergegas menghampirinya. Benar saja, di dekat Rudi duduk, terbaring Gendis, nenek Puspa yang sedang terkulai tidak berdaya. “Pak Rudi, nenek saya kenapa ya?” tanya Puspa. “Darah, kadar gula, dan hemoglobin nenekmu sangat rendah. Jadi, ia pingsan tadi saat sedang menyapu di depan rumah,” jelas Rudi. “Lalu bagaimana kondisinya sekarang?” cemas Puspa sembari menggenggam tangan neneknya yang masih terlelap. “Kata dokter, sekarang keadaannya sudah stabil. Nenekmu hanya kekurangan gizi, Puspa. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu tidak memiliki makanan untuk dimakan?” cemas Rudi.“Hutang saya ke warga kampung sudah banyak, Pak. Saya tidak mau merepotkan.”“Apa kamu ada uang untuk membayar rumah sakit? Jika tidak, bapak akan melakukan penggalangan dana ke warga kampung untuk biaya pengobat nenekmu,” usul Rudi.“Tidak, Pak. Tidak perl
Andre membuang muka tidak senang. Menunjukkan dengan jelas ketidaktertarikannya pada wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu sedang merengek meminta agar hubungan mereka yang kandas bisa diperbaiki. “Ini jam makan siang dan aku kehilangan selera makan karena kedatanganmu ke rumah sakit,” ujar Andre pada wanita itu. “Sayang, aku kan ke sini memang untuk mengajakmu makan siang,” bujuk wanita bernama Debbie. Ia adalah mantan pacar Andre. “Bagaimana jika kamu mengajak selingkuhanmu saja? Oh iya, siapa namanya? Nathan kalau tidak salah,” sindir Andre.Pria berusia 29 tahun yang merupakan pemilik rumah sakit ini, memang pernah berpacaran dengan seorang model bernama Debbie Sabrina. Sebelum akhirnya ia memergoki Debbie tidur dengan sahabat dekatnya, Nathan.“Itu kan masa lalu. Lagi pula aku sama Nathan tidak memiliki perasaan apa pun. Terlebih, kita sedang bertengkar saat itu. Itu sebabnya aku menerima ajakan Nathan,” jelas Debbie beralibi mencari pembenaran.
Andre membawa Puspa ke gedung yang berada di samping rumah sakit. Tepatnya gedung Core Farmasi. “Tunggu!” Puspa langsung menghentikan langkahnya begitu tahu Andre membawanya ke gedung tempat ia melakukan wawancara tadi pagi. “Ada apa?” “Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku tahu kamu orang kaya. Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena!” ujar Puspa ketakutan. “Semena-mena bagaimana?” “Kamu ingin mengatakan pada HRD Core Farmasi agar tidak menerimaku sebagai sales di sini, kan? Sebab aku telah menamparmu tadi. Aku mohon jangan lakukan itu. Aku sangat butuh pekerjaan. Maafkan aku,” mohon Puspa memelas. Andre mengangkat satu alisnya. “Kamu melamar jadi sales di sini?” “Oh, jadi kamu belum tahu ya. Hehe. Pokoknya aku minta maaf ya. Plis. Ya?” rengek Puspa. “Memangnya kamu siapa hingga aku harus tahu di mana kamu melamar kerja? Aku menyeretmu ke sini karena kamu menamparku di depan umum! Apa yang kamu lakukan tadi
Puspa telah bekerja di Core Farmasi selama beberapa bulan sejak peristiwa di ruang HRD. Meskipun masih merasa canggung dengan keberadaan Andre sebagai CEO perusahaan, dia telah mengatasi rasa malunya dan menjadi sales yang semakin handal. Suatu hari, "Puspa, dipanggil pak Bos tuh." Beritahu Vani. "Pak Bos? Pak Bos Pak Hendro?" sahut Puspa dengan santai. "Bukan." Vani menggeleng. Kemudian dengan setengah berbisik dia mendekatkan mulutnya ke telinga Puspa. "Pak Andre." Seketika bola mata Puspa seolah ingin keluar, "Pak Andre? Mau apa dia?" Suara Puspa sedikit memekik. Vani menaikkan bahunya. "Cepat sana. Sebelum dia marah besar nunggu kamu kelamaan." Tanpa berbasa-basi lagi, Puspa segera beranjak dari kursinya. Bergegas melangkah menuju ruang CEO Core Farmasi sebelum bom meledak karena harus menunggu Puspa. Seperti yang dikatakan Vani sahabatnya. "Pak Andre panggil saya?" tanya Puspa setelah dia berhasil mengetuk dan membuka pintu ruang Andre. "Duduk." Perintah Andre tanpa memand
Puspa duduk di kursi berderit dengan perasaan cemas dan takut. Pertemuan dengan Nathan, sahabat dekat Andre yang pernah menjadi penyebab kandasnya hubungan Andre dan Debbie, adalah kejutan yang tidak pernah dia duga. Dia mencoba menjaga sikap profesionalnya, tetapi hatinya berkata lain.Nathan, yang juga terkejut melihat Puspa sebagai perwakilan Core Farmasi, mencoba memecah kebekuan dengan tersenyum. "Puspa, saya tahu bahwa Anda bekerja untuk Andre sekaligus kekasihnya," kata Nathan tiba-tiba. "Saya ingin meminta maaf atas apa yang terjadi di antara kami dulu. Itu adalah kesalahan besar yang saya buat."Puspa terdiam sejenak, merasa terkejut dengan permintaan maaf Nathan. Dia tidak pernah mengharapkan permintaan maaf semacam ini. Walaupun begitu, dia merasa ada yang aneh di balik kata-kata Nathan. Namun, Puspa tetap menghargai kejujuran Nathan. "Terima kasih, Pak Nathan," ujar Puspa dengan tulus. "Saya juga ingin meminta maaf jika peristiwa tersebut telah mempengaruhi hubungan Anda d
Malam itu, Puspa dan Nathan terus berdiskusi tentang rencana untuk mengungkap kebenaran di balik perselingkuhan, konspirasi bisnis, dan semua rahasia yang mulai terkuak. Mereka merasa semakin dekat satu sama lain, berbagi informasi, dan menentukan langkah-langkah selanjutnya.Nathan menjelaskan bukti-bukti yang dimiliki Debbie, termasuk pesan teks, email, dan percakapan telepon yang mencurigakan antara Andre dan seseorang yang belum diketahui identitasnya. Selain itu, Debbie juga memiliki bukti transaksi keuangan yang mencurigakan yang mengarah pada kemungkinan manipulasi dalam perusahaan."Saya rasa ini adalah bukti yang cukup kuat, Puspa," kata Nathan. "Kita harus mencoba mengidentifikasi siapa orang yang berusaha merusak hubungan Andre dengan Debbie, dan apa motifnya."Puspa mengangguk setuju. Mereka merencanakan untuk meminta bantuan seorang detektif swasta untuk menyelidiki lebih lanjut identitas orang misterius ini. Namun, mereka tahu bahwa pertempuran bisnis yang seru belum ber
"Mas Jon!" panggil Puspa berlarian memanggil seorang pria berusia 40 tahunan yang sedang menyapu di depan sebuah rumah mewah."Pu-Puspa? Sedang apa kamu di sana?" tanya Jon keheranan. Jon pernah bertemu dengan Puspa saat Jon diperintahkan majikannya untuk berbelanja kebutuhan kebun dan Puspa menjadi kuli angkut barang saat itu. Ya, walaupun tubuh gadis itu begitu mungil, ia sangatlah kuat."Hehe, begini Mas Jon. Aku sedang butuh pekerjaan. Majikannya Mas Jon sedang mencari pekerjaan atau tidak?" tanya Puspa."Tidak. Semua posisi pembantu sudah diisi di rumah ini.""Tapi aku sangat kuat. Aku bisa jadi juru angkat galon atau asisten tuknag kebun. Asistennya Mas Jin," bujuk Puspa."Tidak, tidak, tidak. Lebih baik kamu pulang. Aku tidak mau terlibat ke dalam masalah dan dipecat," tolak Jon.Tentu saja, Puspa tidak akan mendengarkan penolakan Jon. Ia melirik sapu yang tersandar di dekat pos satpam. Ia langsung mengambilnya hendak menyapu halaman. Ia sempat tertegun untuk beberapa saat meli