"Mas Jon!" panggil Puspa berlarian memanggil seorang pria berusia 40 tahunan yang sedang menyapu di depan sebuah rumah mewah.
"Pu-Puspa? Sedang apa kamu di sana?" tanya Jon keheranan. Jon pernah bertemu dengan Puspa saat Jon diperintahkan majikannya untuk berbelanja kebutuhan kebun dan Puspa menjadi kuli angkut barang saat itu. Ya, walaupun tubuh gadis itu begitu mungil, ia sangatlah kuat.
"Hehe, begini Mas Jon. Aku sedang butuh pekerjaan. Majikannya Mas Jon sedang mencari pekerjaan atau tidak?" tanya Puspa.
"Tidak. Semua posisi pembantu sudah diisi di rumah ini."
"Tapi aku sangat kuat. Aku bisa jadi juru angkat galon atau asisten tuknag kebun. Asistennya Mas Jin," bujuk Puspa.
"Tidak, tidak, tidak. Lebih baik kamu pulang. Aku tidak mau terlibat ke dalam masalah dan dipecat," tolak Jon.
Tentu saja, Puspa tidak akan mendengarkan penolakan Jon. Ia melirik sapu yang tersandar di dekat pos satpam. Ia langsung mengambilnya hendak menyapu halaman. Ia sempat tertegun untuk beberapa saat melihat keindahan halaman rumah yang rindang dan rapi. Puspa belum pernah melihat halaman serapi ini.
Namun, karena alasan itulah, keinginannya untuk bisa bekerja di rumah ini semakin meningkat drastis.
Jon bergegas menyusul Puspa untuk memperingatkan gadis itu sekali lagi.
"Apa yang kamu lakukan? Cepat keluar dari rumah ini," pinta Jon setengah berbisik. Ia tidak mau memancing perhatian satpam yang tengah tertidur di pos jaganya.
"Tidak! Aku tidak mau. Aku harus bertemu dengan pemilik rumah ini. Siapa tahu, aku bisa membujuknya untuk mempekerjakanku di rumahnya. Tolonglah, Mas Jon. Beri aku kesempatan," mohon Puspa.
Jon sempat merasa bimbang. Namun, rasa kasihannya pada Puspa membuatnya luluh dan membiarkan Puspa untuk bertemu dengan majikannya.
Tidak berselang lama, sebuah mobil sedan mewah masuk ke halaman rumah. Bunyi bel masuk mengagetkan dan membangunkan satpam yang bernama Khoiri, membuat pria muda itu bergegas membukakan gerbang untuk majikannya itu.
"Siapa manusia itu? Aku tidak ingat jika ada pembantu baru," gumamnya pelan lantas turun dari sedannya.
"Siapa kamu?" Andre melepas kaca mata hitamnya. Melihat kembali gadis yang baru dilihatnya.
Puspa semringah melihat pemilik rumah ini datang. Ia bergegas menghampiri pria tampan yang terlihat seperti majikan. Ia langsung mengulurkan tangannya dan mengatakan, "Saya Puspa, Tuan."
Andre hanya melihat uluran tangan itu dengan tatapan mencibir. Pria dengan alis tegas itu tidak sudi menjabat tangan gadis berpenampilan kumuh di hadapannya.
"Siapa dia? Apa kepentingannya di sini?" Andre malah melemparkan tanya pada Jon yang berada di belakang Puspa.
"Tidak tahu, Tuan." Dengan cepat tukang kebun itu menggelengkan kepalanya.
Mendengar jawaban itu, Puspa sontak saja protes. "Mas Jon! Kok gitu sih?"
Jon yang tidak ingin mendapatkan masalah, tentu saja mengabaikan Puspa. "Katanya, dia ingin mencari kerja di sini, Tuan," jawab Jon. "Padahal tadi saya sudah bilang kalau di sini tidak terima pekerja lagi. Tapi dia memaksa."
Dengan nada sungkan penjaga itu menjelaskan. Wajahnya seketika terlihat pucat. Dia takut majikannya yang terkenal galak itu murka karena ia memberikan orang asing masuk ke wilayah pribadinya.
"Tuhan, semoga Tuan Andre tidak marah. Jika dia marah, habislah aku dipecatnya." Seutas doa melintas dalam hati Jon.
Seragam yang terdapat tulisan Jon tersemat di bagian dada kanannya, seketika basah diguyur keringat yang bercucuran. Akan tetapi, kali ini nasib baik sedang berpihak pada Jon, Andre yang terkenal seenaknya saja dalam mengambil keputusan rupanya kali ini sedang berbaik hati. Dia hanya menepuk bahu Jon, kemudian pergi meninggalkannya. Berjalan memasuki istananya yang besar.
Jon bernapas lega. "Syukurlah."
Baru saja Jon menghela napas lega. Andre berbalik badan."Jon, antarkan dia ke ruang kerjaku."
"Ba-baik, Tuan," Jawab Jon terbata.
Jon lantas menoleh ke arah Puspa. "Kamu sudah dengar apa yang dikatakan, Tuan. Sekarang ikut aku ke ruangannya Tuan Andre."
"Itu artinya aku diterima bekerja?" decak senang Puspa.
"Belum tentu. Lebih baik kamu bicara langsung dengan Tuan Andre saja."
Puspa mengacungkan jempolnya. "Siap!"
Detik kemudian gadis itu mengekor Jon masuk ke istana megah itu. Ketika memasuki rumah, mata gadis itu terbelalak melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Waoa!" serunya.
Mulutnya berdecak kagum. Kelopak matanya membulat lebar. Sorot maniknya berbinar melihat barang-barang mewah yang tertata rapi di setiap sudut ruang.
"Orang kaya. Barang-barangnya pasti mahal-mahal semua harganya ya, Mas Jon?"
Jon tak menjawab pertanyaan gadis itu. wajah Jon malah tampak tegang. Jujur ia kesal jika harus mendapatkan masalah karena kehadiran Puspa.
Gadis itu berjalan sambil mengedarkan pandangan. Tubuhnya berputar-putar. Seakan tak ingin melewati pandangan dari benda-benda yang membuatnya terpaku.
"Kapan ya aku bisa punya rumah seperti ini? Jadi, aku dan Nenek tak harus berpindah-pindah jika kami tak sanggup membayar kontrakan." Mata gadis itu seketika meredup.
"Cih! Membayar kontrkana? Bisa beli makan setiap hari saja kami sudah sangat bersyukur, walau harus tidur di bawah kolong jembatan. Menyedihkan." Dalam hati gadis itu merutuk.
"Kira-kira harganya berapa ya?" Gadis itu mengelus sebuah kristal berbentuk kuda yang diletakkan di atas nakas panjang yang dia lewati.
"Jangan sembarangan menyentuh benda-benda yang ada di rumah ini!" Tiba-tiba Jon menghardik. Bola matanya seakan ingin keluar menatap tajam gadis itu.
"Kenapa?" Gadis itu membalas polos tatapan Jon tanpa sedikit pun merasa bersalah.
"Jika rusak, uangmu tidak akan pernah bisa mengganti benda itu, sekali pun kamu mencicilnya. Tidak akan pernah bisa kamu lunasi. Sampai kapan pun," terang Jon.
Puspa langsung menarik tangannya. Ia tidak bisa mengambil resiko memecahkan barang di rumah ini karena ia masih ingin mendapatkan pekerjaanl
Di depan sebuah ruangan dengan pintu kayu yang besar, Jon berhenti dan mengetuk pintu.
"Permisi, Tuan." ucap Jon sebelum membuka gagang pintu itu lalu masuk. Puspa seketika mengkor di belakang Jon.
"Maaf, Tuan Andre. Saya mengantarkan gadis ini. Masih adakah perintah tugas yang harus saya kerjakan?" Jon bertanya.
"Oh, namanya Andra," ujar Puspa dalam hati.
Andre mamutar pelan kursinya. Pria itu langsung menatap Jon dengan mata elangnya yang sontak membuat Jon menunduk ketakutan. Ia lantas terdiam sesaat, mengamati gadis yang kini berdiri di hadapannya.
"Kamu boleh pergi, Jon," ujar Andre.
Jon pun membungkukkan badannya sebelum pergi dari ruangan itu. di situasi seperti ini, Puspa merasa aura mengintimidasi yang menyeruak dengan sangat pekat dari sorotan pandangan Andre. Namin, ia masih mencoba untuk menegakkan badannya.
"Tuan" Apa aku boleh duduk?" tanya Puspa meminta izin duduk di kursi yang berada di hadapan Andre saat ini.
"Tentu saja tidak. Kamu logka sendiri saja, bagaimana bisa aku menizinkan pantat kotormu itu menyentuh kursi mahalku?" jawab Andre dengan entengnya.
Puspa menarik napas panjang untuk menahan emosinya. Dalam hatinya ia ingin sekali mengeluarkan ratusan sumpah serapah pada pria itu. Memang dirinya orang miskin tapi bukan berarti ia jorok.
"Siapa namamu?"
"Puspa, Tuan."
"Katakan, apa tujuanmu datang di rumah ini?" tanya Andre.
"Saya sedang butuh uang, Tuang. Dan saya ingin mencari pekerjaan," jawab Puspa.
"Pekerjaan? apa kamu bodoh? Aku tidak akan mempekerjakan orang asing. Semua karyawan di sini, sudah terlatih dan aku mendapatkan mereka dari agen tenaga kerja. Katakan tujuanmu yang sebenarnya. Daerah sekitar sini sedang marak dengan maling dan perampikkan. Apa kamu salah satunya? Masuk ke rumah orang tanpa izin untuk menandai denah rumah," tuduh Andre.
"Tidak, Tuan. Tidak. Saya memang butuh uang. Tapi saya masih ingin uang halal. Yang saya inginkan hanyalah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Menyapu, mengepel, dan lainnya. Walaupun badan saya kecil, tapi saya kuat. Saya bisa membuktikan," jelas Puspa meyakinkan.
Andre lantas bangkit dari duduknya, berjalan mengampiri Puspa. Dengan wajah datar dan dingin ia mengangkat dagu Puspa dengan jemarinya yang sudah dilapisi tusu agar tidak langsung dengan kulit wajah Puspa yang berkeringat, untuk mendapatkan visual yang lebih jelas dari wajah Puspa. Dari sudut itu, Andre bisa melihat jelas patahan wajah Puspa yang menawan. Hidung yang lancip, bulu mata yang lentik dan kulitnya yang putih merona tapi dekil dan kotor.
ia menghela napas panjang dan melepaskan jemarinya dari dagu Puspa, tapi masih berdiri tepat di hadapan Puspa. Jantung Puspa nyaris terhenti saat pria muda dan tampan itu menyentuhnya.
"Tidak buruk, hanya dekil dan kotor. Sedikit sentuhan perawatan kulit bisa membuatmu bersinar. Sejujurnya aku tidak butuh karyawan baru di rumah ini. Tapi, aku bisa memberikan selusi jika kamu memang butuh uang," ucap Andre.
"Solusi apa itu, Tuan?" Wajah Puspa kembali semringah saat mendengar tentang uang.
"Apa kamu sudah pernah berhubungan denga pria sebelumnya?"
Puspa mengerutkan keningnya heran. "Maksudnya?"
"Maksud saya berhubungan badan!" tegas Andre.
Puspa semakin tidak mengerti dengan bertanyaan Andre. “Kenapa Tuan menanyakan hal privasi seperti itu?” tanya Puspa tidak nyaman. “Kamu orang asing yang datang dari antah berantah. Aku perlu tahu apakah kamu aktif secara seksual dan membawa penyakit atau tidak.” “Saya masih perawan,” jawab Puspa dengan ketus. Sesungguhnya pertanyaan itu sangat menyinggung. Namun, ia dibuat seakan tidak punya pilihan selain menjawab. Andre terdiam sejenak. Ia tidak menyangka jika jawaban seperti itu akan keluar dari mulut Puspa. “Kalau begitu buktikan,” tantang Andre yang semakin penasaran. “Apa? Anda gila? Saya di sini untuk mencari pekerjaan bukan untuk menjual keperawanan!” Andre tersenyum seringai. “Gadis perawan sangat langka dan ucapanmu tidak bisa dipercaya sebelum adanya pembuktian. Terlebih aku masih yakin kamu hendak mencuri di rumah ini dan ‘mencari pekerjaan’ itu hanyalah alibimu semata.” “Ta-tapi, Tuan saya berkata jujur.” SRET! Andre mengambil amplop berisikan uang tunai dari da
Puspa langsung menuju ke unit gawat darurat untuk mencari neneknya. Saat ia melihat Pak RT yang bernama Rudi, ia langsung bergegas menghampirinya. Benar saja, di dekat Rudi duduk, terbaring Gendis, nenek Puspa yang sedang terkulai tidak berdaya. “Pak Rudi, nenek saya kenapa ya?” tanya Puspa. “Darah, kadar gula, dan hemoglobin nenekmu sangat rendah. Jadi, ia pingsan tadi saat sedang menyapu di depan rumah,” jelas Rudi. “Lalu bagaimana kondisinya sekarang?” cemas Puspa sembari menggenggam tangan neneknya yang masih terlelap. “Kata dokter, sekarang keadaannya sudah stabil. Nenekmu hanya kekurangan gizi, Puspa. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu tidak memiliki makanan untuk dimakan?” cemas Rudi.“Hutang saya ke warga kampung sudah banyak, Pak. Saya tidak mau merepotkan.”“Apa kamu ada uang untuk membayar rumah sakit? Jika tidak, bapak akan melakukan penggalangan dana ke warga kampung untuk biaya pengobat nenekmu,” usul Rudi.“Tidak, Pak. Tidak perl
Andre membuang muka tidak senang. Menunjukkan dengan jelas ketidaktertarikannya pada wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu sedang merengek meminta agar hubungan mereka yang kandas bisa diperbaiki. “Ini jam makan siang dan aku kehilangan selera makan karena kedatanganmu ke rumah sakit,” ujar Andre pada wanita itu. “Sayang, aku kan ke sini memang untuk mengajakmu makan siang,” bujuk wanita bernama Debbie. Ia adalah mantan pacar Andre. “Bagaimana jika kamu mengajak selingkuhanmu saja? Oh iya, siapa namanya? Nathan kalau tidak salah,” sindir Andre.Pria berusia 29 tahun yang merupakan pemilik rumah sakit ini, memang pernah berpacaran dengan seorang model bernama Debbie Sabrina. Sebelum akhirnya ia memergoki Debbie tidur dengan sahabat dekatnya, Nathan.“Itu kan masa lalu. Lagi pula aku sama Nathan tidak memiliki perasaan apa pun. Terlebih, kita sedang bertengkar saat itu. Itu sebabnya aku menerima ajakan Nathan,” jelas Debbie beralibi mencari pembenaran.
Andre membawa Puspa ke gedung yang berada di samping rumah sakit. Tepatnya gedung Core Farmasi. “Tunggu!” Puspa langsung menghentikan langkahnya begitu tahu Andre membawanya ke gedung tempat ia melakukan wawancara tadi pagi. “Ada apa?” “Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku tahu kamu orang kaya. Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena!” ujar Puspa ketakutan. “Semena-mena bagaimana?” “Kamu ingin mengatakan pada HRD Core Farmasi agar tidak menerimaku sebagai sales di sini, kan? Sebab aku telah menamparmu tadi. Aku mohon jangan lakukan itu. Aku sangat butuh pekerjaan. Maafkan aku,” mohon Puspa memelas. Andre mengangkat satu alisnya. “Kamu melamar jadi sales di sini?” “Oh, jadi kamu belum tahu ya. Hehe. Pokoknya aku minta maaf ya. Plis. Ya?” rengek Puspa. “Memangnya kamu siapa hingga aku harus tahu di mana kamu melamar kerja? Aku menyeretmu ke sini karena kamu menamparku di depan umum! Apa yang kamu lakukan tadi
Puspa telah bekerja di Core Farmasi selama beberapa bulan sejak peristiwa di ruang HRD. Meskipun masih merasa canggung dengan keberadaan Andre sebagai CEO perusahaan, dia telah mengatasi rasa malunya dan menjadi sales yang semakin handal. Suatu hari, "Puspa, dipanggil pak Bos tuh." Beritahu Vani. "Pak Bos? Pak Bos Pak Hendro?" sahut Puspa dengan santai. "Bukan." Vani menggeleng. Kemudian dengan setengah berbisik dia mendekatkan mulutnya ke telinga Puspa. "Pak Andre." Seketika bola mata Puspa seolah ingin keluar, "Pak Andre? Mau apa dia?" Suara Puspa sedikit memekik. Vani menaikkan bahunya. "Cepat sana. Sebelum dia marah besar nunggu kamu kelamaan." Tanpa berbasa-basi lagi, Puspa segera beranjak dari kursinya. Bergegas melangkah menuju ruang CEO Core Farmasi sebelum bom meledak karena harus menunggu Puspa. Seperti yang dikatakan Vani sahabatnya. "Pak Andre panggil saya?" tanya Puspa setelah dia berhasil mengetuk dan membuka pintu ruang Andre. "Duduk." Perintah Andre tanpa memand
Puspa duduk di kursi berderit dengan perasaan cemas dan takut. Pertemuan dengan Nathan, sahabat dekat Andre yang pernah menjadi penyebab kandasnya hubungan Andre dan Debbie, adalah kejutan yang tidak pernah dia duga. Dia mencoba menjaga sikap profesionalnya, tetapi hatinya berkata lain.Nathan, yang juga terkejut melihat Puspa sebagai perwakilan Core Farmasi, mencoba memecah kebekuan dengan tersenyum. "Puspa, saya tahu bahwa Anda bekerja untuk Andre sekaligus kekasihnya," kata Nathan tiba-tiba. "Saya ingin meminta maaf atas apa yang terjadi di antara kami dulu. Itu adalah kesalahan besar yang saya buat."Puspa terdiam sejenak, merasa terkejut dengan permintaan maaf Nathan. Dia tidak pernah mengharapkan permintaan maaf semacam ini. Walaupun begitu, dia merasa ada yang aneh di balik kata-kata Nathan. Namun, Puspa tetap menghargai kejujuran Nathan. "Terima kasih, Pak Nathan," ujar Puspa dengan tulus. "Saya juga ingin meminta maaf jika peristiwa tersebut telah mempengaruhi hubungan Anda d
Malam itu, Puspa dan Nathan terus berdiskusi tentang rencana untuk mengungkap kebenaran di balik perselingkuhan, konspirasi bisnis, dan semua rahasia yang mulai terkuak. Mereka merasa semakin dekat satu sama lain, berbagi informasi, dan menentukan langkah-langkah selanjutnya.Nathan menjelaskan bukti-bukti yang dimiliki Debbie, termasuk pesan teks, email, dan percakapan telepon yang mencurigakan antara Andre dan seseorang yang belum diketahui identitasnya. Selain itu, Debbie juga memiliki bukti transaksi keuangan yang mencurigakan yang mengarah pada kemungkinan manipulasi dalam perusahaan."Saya rasa ini adalah bukti yang cukup kuat, Puspa," kata Nathan. "Kita harus mencoba mengidentifikasi siapa orang yang berusaha merusak hubungan Andre dengan Debbie, dan apa motifnya."Puspa mengangguk setuju. Mereka merencanakan untuk meminta bantuan seorang detektif swasta untuk menyelidiki lebih lanjut identitas orang misterius ini. Namun, mereka tahu bahwa pertempuran bisnis yang seru belum ber