Andre membuang muka tidak senang. Menunjukkan dengan jelas ketidaktertarikannya pada wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu sedang merengek meminta agar hubungan mereka yang kandas bisa diperbaiki.
“Ini jam makan siang dan aku kehilangan selera makan karena kedatanganmu ke rumah sakit,” ujar Andre pada wanita itu.
“Sayang, aku kan ke sini memang untuk mengajakmu makan siang,” bujuk wanita bernama Debbie. Ia adalah mantan pacar Andre.
“Bagaimana jika kamu mengajak selingkuhanmu saja? Oh iya, siapa namanya? Nathan kalau tidak salah,” sindir Andre.
Pria berusia 29 tahun yang merupakan pemilik rumah sakit ini, memang pernah berpacaran dengan seorang model bernama Debbie Sabrina. Sebelum akhirnya ia memergoki Debbie tidur dengan sahabat dekatnya, Nathan.
“Itu kan masa lalu. Lagi pula aku sama Nathan tidak memiliki perasaan apa pun. Terlebih, kita sedang bertengkar saat itu. Itu sebabnya aku menerima ajakan Nathan,” jelas Debbie beralibi mencari pembenaran.
“Oh, jadi kalau kita bertengkar, kamu bisa bebas tidur dengan sembarang pria. Begitu?” tandas Andre.
“Bukan begitu maksudku. Aku hanya ….”
“Hanya apa?” potong Andre. “Hanya tidak bisa setia? Hhh! Memuakkan.” Pria itu bergegas berjalan pergi.
Di sisi lain rumah sakit ….
Puspa terlihat sangat cantik dengan rambut yang dikuncir rapi dan setelan kerja berwarna biru sekaligus tas tangan yang elegan. Semuanya berjalan sangat lancar. Vani sangat membantu Puspa dalam proses menyiapkan dokumen lamaran kerja dan wawancara hari ini.
Kini Puspa tinggal menunggu hasil wawancara sembari menjaga neneknya di rumah sakit.
“Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Kemarin aku mendapatkan rejeki nomplok, sekarang aku bisa ikut wawancara kerja. Nenek, aku akan menjamin nenek tidak perlu kelaparan lagi,” ujar Puspa bermonolog. Rasanya hari ini langkah kakinya lebih ringan dari biasanya.
Tiba-tiba ….
BUUUK!
Seorang pria menabrak Puspa hingga terjatuh.
“Aduh,” rintih Puspa sembari mengusap pantatnya yang nyeri terbentur lantai.
Pria itu melebarkan matanya. Ia sedang memastikan wajah gadis yang baru saja ia tabrak.
“Kamu?” tanya Andre sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Puspa berdiri.
“Tu-tuan yang kemarin?” sentak Puspa terkejut. “Tuan tidak hendak mengambil uang yang diberikan untukku kemarin, kan? Karena aku sudah memakainya.”
Andre mengernyitkan keningnya. “Bicara apa kamu?”“Andre? Sayang!” panggil Debbie yang ternyata masih mengejar Andre.
Andre mendengus kesal. Ia langsung mendekap Puspa dan berbisik ke telinga gadis itu, “Ikuti alurku jika kamu tidak ingin aku meminta uang itu kembali.”
Puspa yang tidak mengerti apa yang tengah terjadi pun hanya mampu mengangguk cepat. Jujur, ia lebih sayang dengan uang itu dari pada gengsinya.
“Heh! Kamu siapa?” tanya ketus Debbie sembari mendorong Puspa agar lepas dari dekapan Andre.
Andre dengan sigap memasang badan melindungi Puspa. “Jangan sentuh pacarku. Hubungan kita sudah berakhir. Tidak ada hak lagi bagimu untuk mengusik hidupku,” tegas Andre.
“Pa-pacar?” Debbie ternganga mendengarnya. “Kamu pacaran dengan gadis cupu begini? Kamu tidak malu jalan dengan gadis yang bajunya entah di dapat dari pasar loak sebelah mana, ini?”
Puspa terdiam melihat baju di badannya yang ia pinjam dari Vani. Menurutnya baju yang ia kenakan itu sangat bagus. Ia bahkan tidak mampu membeli baju seperti ini.
“Aku tidak tahu kamu siapa, tapi yang jelas bajuku lebih mahal dari harga dirimu!” balas Puspa tidak terima.
“Apa kamu bilang?” Debbie hendak menampar Puspa tapi tangan Puspa dengan sigap langsung menghadang tangan Debbie.
“Gadis cupu ini bisa dengan mudah menghajarmu. Apa kamu mau coba?” tantang Puspa.
Andre ikut ternganga melihat kelakuan Puspa. Ia takjub. Ternyata gadis itu bisa melindungi dirinya sendiri.
Debbie kehabisan kata-kata. Ia melihat sekeliling dan mendapati banyak pasien yang mengantri serta petugas medis melihat ke arahnya. Karena malu, ia buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah Debbie pergi, Andre membungkukkan badannya ke arah para pasien yang sedang duduk mengantri.
“Maaf, telah menganggu,” ucap Andre.
Puspa yang tidak mengerti hanya ikut membungkukkan badannya sebelum Andre menariknya pergi ke halaman depan rumah sakit.
“Apa yang kamu lakukan di rumah sakit ini? Apa belum cukup kamu menyelinap masuk ke rumahku? Sekarang kamu mengikutiku sampai ke tempatku bekerja?” cerca Andre yang langsung menghardik Puspa dengan banyak tuduhan.
“Apa orang kaya selalu ke-pede-an?” dengus kesal Puspa. “Harusnya di sini aku yang berhak mencerca! Apa yang barusan kamu katakan? Pacar? Dih!”
“Jawab saja pertanyaanku!” desak Andre.
“Nenekku sakit dan dirawat di rumah sakit ini. Itu sebabnya aku ada di sini.”
“Aku tidak percaya.”
“Kalau begitu cek saja di bagian informasi.”
“Oke. Siapa nama nenekmu. Katakan dengan jujur, ya!”
“Gendis Rahmawati.”
Lagi-lagi Andre langsung menarik tangan Puspa ke bagian informasi.
“Aduh, sakit! Pelan-pelan,” mohon Puspa merasakan nyeri di pergelangan tangannya. Tentu saja, Andre tidak menggubrisnya.
“Sus, apa ada pasien bernama Gendis Rahmawati?” tanya Andre pada resepsionis itu.
Wajah resepsionis itu langsung pucat saat melihat Andre yang bertanya.
“Tu-tuan.” Ia buru-buru mengecek komputernya. “Ada, Tuan. Beliau baru masuk ke rumah sakit kemarin.”
“Penanggung jawab pasien atas nama siapa?”
“Atas nama Puspa Gemilang, Tuan.”
“Ada di kamar berapa?”
“Bangsal 23-D kelas 4, Tuan.”
“Pindahkan ke ruangan VVIP.”
“Ba-baik, Tuan.”
Puspa ternganga mendengar “ruangan VVIP”. Ia menengok pelan ke arah Andre.
“Apa kamu sedang mencari ginjal untuk dibeli? Ginjalku kelebihan satu,” ucap Puspa memelas.
“Apa yang sedang kamu bicarakan?” tanya Andre kebingungan.
“Ruang VVIP harganya 3 juta semalam. Aku tidak punya uang untuk membayarnya. Bagaimana jika kamu membeli ginjalku saja dan memberikan aku kembaliannya?”
“Aku sudah punya dua ginjal sehat. Aku tidak butuh ginjalmu.”
“Lalu kenapa kamu memindahkan nenekku ke ruangan yang tidak bisa aku bayar?!” kesal Puspa.
“Aku yang bayar! Apa susahnya mengucapkan terima kasih?”
“Susah. Itu sangat susah. Kamu sudah membantuku kemarin. Aku tidak bisa menerima lebih banyak lagi bantuan. Bagiku, aku harus bekerja untuk mendapatkan upah. Aku tidak biasa menerima uluran tangan orang terus menerus. Kalau bukan karena keadaan yang sangat memaksaku, aku juga tidak akan menerima uangmu kemarin,” tolak Puspa.
Andre terdiam sejenak. Ia lalu berbisik ke telinga Puspa.
“Bagaimana jika upahnya, keperawananmu saja?”
PLAK!
Secara refleks, Puspa malah menampar pria itu, membuat seluruh staff di ruangan itu terkejut melihat pimpinan rumah sakit ditampar di depan umum.
“Seriously?” kesal Andre memelototi Puspa.
Puspa seketika sadar dari rasa kesalnya.
“Ma-maafkan aku. Aku tidak sengaja. Tadi ada nyamuk. Sungguh! Aku tidak sengaja,” mohon Puspa melemparkan dusta.
Andre mendengus kesal. “Kamu harus membayar yang ini. Ikut aku!”
Sekali lagi Andre menarik paksa tangan Puspa. Kali ini Puspa tidak melawan. Ia benar-benar takut jika harus diminta membayar semuanya dengan uang. Setengah mati ia bekerja pun tidak akan terbayarkan.
Andre membawa Puspa ke gedung yang berada di samping rumah sakit. Tepatnya gedung Core Farmasi. “Tunggu!” Puspa langsung menghentikan langkahnya begitu tahu Andre membawanya ke gedung tempat ia melakukan wawancara tadi pagi. “Ada apa?” “Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku tahu kamu orang kaya. Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena!” ujar Puspa ketakutan. “Semena-mena bagaimana?” “Kamu ingin mengatakan pada HRD Core Farmasi agar tidak menerimaku sebagai sales di sini, kan? Sebab aku telah menamparmu tadi. Aku mohon jangan lakukan itu. Aku sangat butuh pekerjaan. Maafkan aku,” mohon Puspa memelas. Andre mengangkat satu alisnya. “Kamu melamar jadi sales di sini?” “Oh, jadi kamu belum tahu ya. Hehe. Pokoknya aku minta maaf ya. Plis. Ya?” rengek Puspa. “Memangnya kamu siapa hingga aku harus tahu di mana kamu melamar kerja? Aku menyeretmu ke sini karena kamu menamparku di depan umum! Apa yang kamu lakukan tadi
Puspa telah bekerja di Core Farmasi selama beberapa bulan sejak peristiwa di ruang HRD. Meskipun masih merasa canggung dengan keberadaan Andre sebagai CEO perusahaan, dia telah mengatasi rasa malunya dan menjadi sales yang semakin handal. Suatu hari, "Puspa, dipanggil pak Bos tuh." Beritahu Vani. "Pak Bos? Pak Bos Pak Hendro?" sahut Puspa dengan santai. "Bukan." Vani menggeleng. Kemudian dengan setengah berbisik dia mendekatkan mulutnya ke telinga Puspa. "Pak Andre." Seketika bola mata Puspa seolah ingin keluar, "Pak Andre? Mau apa dia?" Suara Puspa sedikit memekik. Vani menaikkan bahunya. "Cepat sana. Sebelum dia marah besar nunggu kamu kelamaan." Tanpa berbasa-basi lagi, Puspa segera beranjak dari kursinya. Bergegas melangkah menuju ruang CEO Core Farmasi sebelum bom meledak karena harus menunggu Puspa. Seperti yang dikatakan Vani sahabatnya. "Pak Andre panggil saya?" tanya Puspa setelah dia berhasil mengetuk dan membuka pintu ruang Andre. "Duduk." Perintah Andre tanpa memand
Puspa duduk di kursi berderit dengan perasaan cemas dan takut. Pertemuan dengan Nathan, sahabat dekat Andre yang pernah menjadi penyebab kandasnya hubungan Andre dan Debbie, adalah kejutan yang tidak pernah dia duga. Dia mencoba menjaga sikap profesionalnya, tetapi hatinya berkata lain.Nathan, yang juga terkejut melihat Puspa sebagai perwakilan Core Farmasi, mencoba memecah kebekuan dengan tersenyum. "Puspa, saya tahu bahwa Anda bekerja untuk Andre sekaligus kekasihnya," kata Nathan tiba-tiba. "Saya ingin meminta maaf atas apa yang terjadi di antara kami dulu. Itu adalah kesalahan besar yang saya buat."Puspa terdiam sejenak, merasa terkejut dengan permintaan maaf Nathan. Dia tidak pernah mengharapkan permintaan maaf semacam ini. Walaupun begitu, dia merasa ada yang aneh di balik kata-kata Nathan. Namun, Puspa tetap menghargai kejujuran Nathan. "Terima kasih, Pak Nathan," ujar Puspa dengan tulus. "Saya juga ingin meminta maaf jika peristiwa tersebut telah mempengaruhi hubungan Anda d
Malam itu, Puspa dan Nathan terus berdiskusi tentang rencana untuk mengungkap kebenaran di balik perselingkuhan, konspirasi bisnis, dan semua rahasia yang mulai terkuak. Mereka merasa semakin dekat satu sama lain, berbagi informasi, dan menentukan langkah-langkah selanjutnya.Nathan menjelaskan bukti-bukti yang dimiliki Debbie, termasuk pesan teks, email, dan percakapan telepon yang mencurigakan antara Andre dan seseorang yang belum diketahui identitasnya. Selain itu, Debbie juga memiliki bukti transaksi keuangan yang mencurigakan yang mengarah pada kemungkinan manipulasi dalam perusahaan."Saya rasa ini adalah bukti yang cukup kuat, Puspa," kata Nathan. "Kita harus mencoba mengidentifikasi siapa orang yang berusaha merusak hubungan Andre dengan Debbie, dan apa motifnya."Puspa mengangguk setuju. Mereka merencanakan untuk meminta bantuan seorang detektif swasta untuk menyelidiki lebih lanjut identitas orang misterius ini. Namun, mereka tahu bahwa pertempuran bisnis yang seru belum ber
"Mas Jon!" panggil Puspa berlarian memanggil seorang pria berusia 40 tahunan yang sedang menyapu di depan sebuah rumah mewah."Pu-Puspa? Sedang apa kamu di sana?" tanya Jon keheranan. Jon pernah bertemu dengan Puspa saat Jon diperintahkan majikannya untuk berbelanja kebutuhan kebun dan Puspa menjadi kuli angkut barang saat itu. Ya, walaupun tubuh gadis itu begitu mungil, ia sangatlah kuat."Hehe, begini Mas Jon. Aku sedang butuh pekerjaan. Majikannya Mas Jon sedang mencari pekerjaan atau tidak?" tanya Puspa."Tidak. Semua posisi pembantu sudah diisi di rumah ini.""Tapi aku sangat kuat. Aku bisa jadi juru angkat galon atau asisten tuknag kebun. Asistennya Mas Jin," bujuk Puspa."Tidak, tidak, tidak. Lebih baik kamu pulang. Aku tidak mau terlibat ke dalam masalah dan dipecat," tolak Jon.Tentu saja, Puspa tidak akan mendengarkan penolakan Jon. Ia melirik sapu yang tersandar di dekat pos satpam. Ia langsung mengambilnya hendak menyapu halaman. Ia sempat tertegun untuk beberapa saat meli
Puspa semakin tidak mengerti dengan bertanyaan Andre. “Kenapa Tuan menanyakan hal privasi seperti itu?” tanya Puspa tidak nyaman. “Kamu orang asing yang datang dari antah berantah. Aku perlu tahu apakah kamu aktif secara seksual dan membawa penyakit atau tidak.” “Saya masih perawan,” jawab Puspa dengan ketus. Sesungguhnya pertanyaan itu sangat menyinggung. Namun, ia dibuat seakan tidak punya pilihan selain menjawab. Andre terdiam sejenak. Ia tidak menyangka jika jawaban seperti itu akan keluar dari mulut Puspa. “Kalau begitu buktikan,” tantang Andre yang semakin penasaran. “Apa? Anda gila? Saya di sini untuk mencari pekerjaan bukan untuk menjual keperawanan!” Andre tersenyum seringai. “Gadis perawan sangat langka dan ucapanmu tidak bisa dipercaya sebelum adanya pembuktian. Terlebih aku masih yakin kamu hendak mencuri di rumah ini dan ‘mencari pekerjaan’ itu hanyalah alibimu semata.” “Ta-tapi, Tuan saya berkata jujur.” SRET! Andre mengambil amplop berisikan uang tunai dari da
Puspa langsung menuju ke unit gawat darurat untuk mencari neneknya. Saat ia melihat Pak RT yang bernama Rudi, ia langsung bergegas menghampirinya. Benar saja, di dekat Rudi duduk, terbaring Gendis, nenek Puspa yang sedang terkulai tidak berdaya. “Pak Rudi, nenek saya kenapa ya?” tanya Puspa. “Darah, kadar gula, dan hemoglobin nenekmu sangat rendah. Jadi, ia pingsan tadi saat sedang menyapu di depan rumah,” jelas Rudi. “Lalu bagaimana kondisinya sekarang?” cemas Puspa sembari menggenggam tangan neneknya yang masih terlelap. “Kata dokter, sekarang keadaannya sudah stabil. Nenekmu hanya kekurangan gizi, Puspa. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu tidak memiliki makanan untuk dimakan?” cemas Rudi.“Hutang saya ke warga kampung sudah banyak, Pak. Saya tidak mau merepotkan.”“Apa kamu ada uang untuk membayar rumah sakit? Jika tidak, bapak akan melakukan penggalangan dana ke warga kampung untuk biaya pengobat nenekmu,” usul Rudi.“Tidak, Pak. Tidak perl