Puspa langsung menuju ke unit gawat darurat untuk mencari neneknya. Saat ia melihat Pak RT yang bernama Rudi, ia langsung bergegas menghampirinya. Benar saja, di dekat Rudi duduk, terbaring Gendis, nenek Puspa yang sedang terkulai tidak berdaya.
“Pak Rudi, nenek saya kenapa ya?” tanya Puspa.
“Darah, kadar gula, dan hemoglobin nenekmu sangat rendah. Jadi, ia pingsan tadi saat sedang menyapu di depan rumah,” jelas Rudi.
“Lalu bagaimana kondisinya sekarang?” cemas Puspa sembari menggenggam tangan neneknya yang masih terlelap.
“Kata dokter, sekarang keadaannya sudah stabil. Nenekmu hanya kekurangan gizi, Puspa. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu tidak memiliki makanan untuk dimakan?” cemas Rudi.
“Hutang saya ke warga kampung sudah banyak, Pak. Saya tidak mau merepotkan.”
“Apa kamu ada uang untuk membayar rumah sakit? Jika tidak, bapak akan melakukan penggalangan dana ke warga kampung untuk biaya pengobat nenekmu,” usul Rudi.
“Tidak, Pak. Tidak perlu. Saya tadi dapat bantuan dari juragan kaya,” tolak Puspa.
“Bantuan bagaimana?”
“Sejenis utuber yang bagi-bagi uang gitu, Pak. Dan kebetulan saya mendapatkannya,” jawab Puspa berbohong. Karena menurutnya sangat tidak logis jika ia mengatakan mendapatkan uang setelah masuk dengan paksa ke rumah orang kaya yang mesum. Wajarnya pasti sudah diusir. Terlebih Puspa tidak mau dituduh mencuri lagi.
“Apa uangnya cukup untuk membayar rumah sakit?”
“Cukup kok, Pak.”
“Kalau begitu, lebih baik kamu sekarang ke bagian administrasi untuk menyelesaikan pembayaran.”
Puspa menganggukkan kepalanya seraya menghela napas lega. Ia lalu menuju ke bagian administrasi. Sepanjang langkah kakinya, ia tidak sadar menitikan air mata. Dadanya terasa nyeri. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan selama ini hingga membuat neneknya harus pingsan karena seminggu ini mereka hanya makan satu kali sehari. Itu pun hanya nasi aking dan garam.
Di bagian administrasi rumah sakit, ia membayar dengan uang pemberian Andre.
“Apa mungkin pria mesum dan kurang ajar itu malaikat penolong? Jika bukan karena uang yang ia berikan, aku tidak akan mampu membayar rumah sakit. Aku tidak mau peduli dengan sikapnya, yang jelas dia sudah sangat membantuku. Aku harap aku bisa bertemu lagi dengannya dan berterimakasih. Tadi, aku langsung saja pergi karena omongannya,” gumam Puspa lega sembari duduk di lorong rumah sakit.
Ia menghitung lagi uang yang ia terima. Tersisa 16 juta rupiah. Ia lantas mengkalkulasi hutangnya di warung dan uang sewa rumah yang sudah menunggak 4 bulan.
“Jika dikurangi hutang-hutang, sisanya masih 13 juta. Uang itu akan aku fokuskan untuk sewa rumah dan membeli makanan yang bergizi untuk nenek agar nenek tidak pingsan lagi. Tapi, uang 13 juta jika digunakan terus menerus tanpa ada pemasukkan, akan habis juga. Aku harus berusaha mencari pekerjaan lain agar punya gaji bulanan,” lanjutnya sebelum kembali menemui neneknya.
Saat ia menghampiri Gendis, Gendis tengah beradu dengan beberapa perawat. Sementara Rudi sudah tidak ada di sana. Puspa pun panik melihatnya. Buru-buru ia mendekati neneknya itu.
“Ada apa ini?” tanya Puspa.
“Nenek ini memaksa untuk melepaskan selang infus dan ingin pulang. Kondisinya belum memungkinkan untuk pulang,” terang salah satu perawat yang masih sibuk memegangi Gendis.
“Kenapa nenek memaksa ingin pulang?” tanya Puspa.
“Puspa! Siapa yang akan membayar tagihan rumah sakit? Nenek sudah tidak punya tabungan lagi,” cemas Gendis.
“Aku sudah membayarnya. Berikut deposit untuk rawat inap dua malam.”
Seketika Gendis berhenti memberontak dan membiarkan perawat memasang kembali selang infus ke tangannya. Para perawat langsung permisi meninggalkan mereka berdua setelah selesai dengan tugas mereka.
“Kamu dapat uang dari mana? Kamu tidak mencuri, kan?” tanya Gendis curiga.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Pa-pacarku yang memberikannya,” bohong Puspa. Ia enggan menjelaskan kronologi kejadian yang sebenarnya. Puspa sadar betul jika neneknya akan murka ketika mengetahui cucunya menerobos masuk ke rumah orang kaya demi mendapatkan uang.
“Pacar? Apa pacarmu orang kaya? Kenapa kamu tidak pernah cerita?”
Puspa hanya menganggukkan kepalanya.
“Kenalkan pada nenek kalau begitu,” desak Gendis.
“Heh?” Sontak Puspa langsung terkejut dengan permintaan itu. Tentu saja ia terkejut, pacar yang ia sebutkan barusan hanyalah fiksi belaka.
“Kenapa? Kamu malu mengenalkan nenekmu yang miskin ini pada pacarmu itu?”
“Tidak. Hanya saja dia sedang sibuk bekerja. Nanti saja kalau dia punya waktu luang, aku akan memperkenalkannya pada nenek. Yang penting sekarang nenek istirahat dan fokus dengan pemulihan kesehatan nenek saja.”
Gendis hanya melirik curiga. Dalam hatinya terbesit kemungkinan buruk jika cucunya itu telah mencuri. Namun, Gendis mengenal betul siapa cucunya itu. Jadi, ia buru-buru menepis anggapannya.
“Puspa?” panggil seorang perempuan dari belakang.
“Vani? Kok bisa kamu ada di sini?” tanya Puspa terkejut dengan kehadiran sahabat dekatnya itu.
“Papaku telp katanya nenek Gendis masuk rumah sakit. Jadi, aku bergegas ke sini untuk menjenguk. Lagi pula aku bekerja di kantor sebelah,” ujar Vani teman masa kecil Puspa. Vani adalah anak Pak Rudi, ketua RT yang mengantarkan Gendis ke rumah sakit.
“Bagaimana keadaan nenek, Pus? Nenek sakit apa?” tanya Vani.
“Lebih baik kita bicara di luar saja yuk. Biar nenek bisa istirahat,” ajak Puspa.
Vani mengangguk meng-iya-kan ajakan Puspa. Keduanya berjalan menuju ke halaman rumah sakit. Agar percakapan mereka tidak menganggu pasien lain atau pun tenaga medis yang bertugas.
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” ulang tanya Vani.
Puspa menarik napas panjang penuh sesal.
“Ini semua salahku, Van. Aku tidak bisa mencukupi semua kebutuhan rumah tangga dan membuat nenek pingsan. Selama 3 minggu terakhir, aku tidak mendapatkan banyak pekerjaan. Kamu tahu sendiri, tempatku menjaga parkir sudah diambil alih oleh preman. Aku tidak punya tempat mencari nafkah dan aku tidak punya uang untuk beli makanan sama sekali.
“Seminggu pertama aku masih bisa berhutang pada penjual sayur, tapi karena hutangku sudah satu juta rupiah lebih, aku tidak bisa lagi berhutang. Seminggu kedua aku hanya mampu membeli beras dan kerupuk. Seminggu terakhir, aku terpaksa meminta sisa beras aking dari tetangga samping rumah untuk makan. Aku tahu beras aking itu pakan ternak. Mau bagaimana lagi, dari pada tidak ada sama sekali.
“Sebab itulah nenek pingsan karena kurang gizi. Aku masih bisa bertahan mungkin karena aku masih muda,” jelas Puspa panjang lebar dengan wajah menyesal.
“Astaga. Kenapa kamu nggak bilang sama aku?”
“Ibumu kan lagi sakit. Aku tidak mau terus-terusan merepotkan.”
“Lalu bagaimana dengan pembayaran rumah sakit. Kalau kamu butuh, aku punya sedikit tabungan yang bisa kamu pakai,” ujar Vani menawarkan bantuan.
“Terima kasih, Van. Tapi, tadi ada pria baik yang membantuku membayar rumah sakit sekaligus memberikan deposito untuk rawat inap. Jadi, aku rasa, aku dan nenek akan baik-baik saja untuk sementara ini.”
“Syukurlah.” Vani ikut merasa lega mendengarnya.
“Tapi, aku butuh bantuanmu, Van.”
“Bantuan apa? Katakan saja, jika aku bisa bantu, aku pasti akan membantumu.”
“Begini, aku tidak bisa berpangku tangan meminta tolong pada orang terus menerus. Aku butuh pekerjaan yang bisa mengandalkan ijazah SMA. Apa kamu punya pandangan lowongan kerja?”
Vani terdiam sejenak. Ia lantas membuka ponselnya, mengecek pesan grup dari perusahaan tempatnya bekerja untuk mengecek ketersediaan lowongan.
“Ada nih, Pus. Lowongan untuk lulusan SMA. Menjadi sales produk suplemen. Perusahaan farmasi yang memproduksi suplemen kesehatan itu juga masih satu kepemilikan dengan pemilik rumah sakit ini. Kamu mau?” kata Vani menawarkan.
“Mau, Van. Aku mau. Tapi ….”
“Tapi apa, Pus?”
“Aku tidak punya baju yang layak untuk digunakan melamar kerja. Bajuku semuanya sudah kumal dan tidak pantas. Apa aku pakai seragam SMA ku saja ya? Aku lepas logo sekolahnya.”
“Hmmm, tidak perlu sih. Besok pagi mending kamu datang ke rumahku saja sih. Aku pinjamkan baju kerjaku untuk wawancara kerja. Sistem pelamar di sana, langsung wawancara soalnya. Nanti aku ajarin kamu cara menjawab pertanyaan untuk wawancara kerja. Oke?”
Puspa tersenyum dan langsung memeluk Vani. “Makasih banget ya, Van!”
Andre membuang muka tidak senang. Menunjukkan dengan jelas ketidaktertarikannya pada wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu sedang merengek meminta agar hubungan mereka yang kandas bisa diperbaiki. “Ini jam makan siang dan aku kehilangan selera makan karena kedatanganmu ke rumah sakit,” ujar Andre pada wanita itu. “Sayang, aku kan ke sini memang untuk mengajakmu makan siang,” bujuk wanita bernama Debbie. Ia adalah mantan pacar Andre. “Bagaimana jika kamu mengajak selingkuhanmu saja? Oh iya, siapa namanya? Nathan kalau tidak salah,” sindir Andre.Pria berusia 29 tahun yang merupakan pemilik rumah sakit ini, memang pernah berpacaran dengan seorang model bernama Debbie Sabrina. Sebelum akhirnya ia memergoki Debbie tidur dengan sahabat dekatnya, Nathan.“Itu kan masa lalu. Lagi pula aku sama Nathan tidak memiliki perasaan apa pun. Terlebih, kita sedang bertengkar saat itu. Itu sebabnya aku menerima ajakan Nathan,” jelas Debbie beralibi mencari pembenaran.
Andre membawa Puspa ke gedung yang berada di samping rumah sakit. Tepatnya gedung Core Farmasi. “Tunggu!” Puspa langsung menghentikan langkahnya begitu tahu Andre membawanya ke gedung tempat ia melakukan wawancara tadi pagi. “Ada apa?” “Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku tahu kamu orang kaya. Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena!” ujar Puspa ketakutan. “Semena-mena bagaimana?” “Kamu ingin mengatakan pada HRD Core Farmasi agar tidak menerimaku sebagai sales di sini, kan? Sebab aku telah menamparmu tadi. Aku mohon jangan lakukan itu. Aku sangat butuh pekerjaan. Maafkan aku,” mohon Puspa memelas. Andre mengangkat satu alisnya. “Kamu melamar jadi sales di sini?” “Oh, jadi kamu belum tahu ya. Hehe. Pokoknya aku minta maaf ya. Plis. Ya?” rengek Puspa. “Memangnya kamu siapa hingga aku harus tahu di mana kamu melamar kerja? Aku menyeretmu ke sini karena kamu menamparku di depan umum! Apa yang kamu lakukan tadi
Puspa telah bekerja di Core Farmasi selama beberapa bulan sejak peristiwa di ruang HRD. Meskipun masih merasa canggung dengan keberadaan Andre sebagai CEO perusahaan, dia telah mengatasi rasa malunya dan menjadi sales yang semakin handal. Suatu hari, "Puspa, dipanggil pak Bos tuh." Beritahu Vani. "Pak Bos? Pak Bos Pak Hendro?" sahut Puspa dengan santai. "Bukan." Vani menggeleng. Kemudian dengan setengah berbisik dia mendekatkan mulutnya ke telinga Puspa. "Pak Andre." Seketika bola mata Puspa seolah ingin keluar, "Pak Andre? Mau apa dia?" Suara Puspa sedikit memekik. Vani menaikkan bahunya. "Cepat sana. Sebelum dia marah besar nunggu kamu kelamaan." Tanpa berbasa-basi lagi, Puspa segera beranjak dari kursinya. Bergegas melangkah menuju ruang CEO Core Farmasi sebelum bom meledak karena harus menunggu Puspa. Seperti yang dikatakan Vani sahabatnya. "Pak Andre panggil saya?" tanya Puspa setelah dia berhasil mengetuk dan membuka pintu ruang Andre. "Duduk." Perintah Andre tanpa memand
Puspa duduk di kursi berderit dengan perasaan cemas dan takut. Pertemuan dengan Nathan, sahabat dekat Andre yang pernah menjadi penyebab kandasnya hubungan Andre dan Debbie, adalah kejutan yang tidak pernah dia duga. Dia mencoba menjaga sikap profesionalnya, tetapi hatinya berkata lain.Nathan, yang juga terkejut melihat Puspa sebagai perwakilan Core Farmasi, mencoba memecah kebekuan dengan tersenyum. "Puspa, saya tahu bahwa Anda bekerja untuk Andre sekaligus kekasihnya," kata Nathan tiba-tiba. "Saya ingin meminta maaf atas apa yang terjadi di antara kami dulu. Itu adalah kesalahan besar yang saya buat."Puspa terdiam sejenak, merasa terkejut dengan permintaan maaf Nathan. Dia tidak pernah mengharapkan permintaan maaf semacam ini. Walaupun begitu, dia merasa ada yang aneh di balik kata-kata Nathan. Namun, Puspa tetap menghargai kejujuran Nathan. "Terima kasih, Pak Nathan," ujar Puspa dengan tulus. "Saya juga ingin meminta maaf jika peristiwa tersebut telah mempengaruhi hubungan Anda d
Malam itu, Puspa dan Nathan terus berdiskusi tentang rencana untuk mengungkap kebenaran di balik perselingkuhan, konspirasi bisnis, dan semua rahasia yang mulai terkuak. Mereka merasa semakin dekat satu sama lain, berbagi informasi, dan menentukan langkah-langkah selanjutnya.Nathan menjelaskan bukti-bukti yang dimiliki Debbie, termasuk pesan teks, email, dan percakapan telepon yang mencurigakan antara Andre dan seseorang yang belum diketahui identitasnya. Selain itu, Debbie juga memiliki bukti transaksi keuangan yang mencurigakan yang mengarah pada kemungkinan manipulasi dalam perusahaan."Saya rasa ini adalah bukti yang cukup kuat, Puspa," kata Nathan. "Kita harus mencoba mengidentifikasi siapa orang yang berusaha merusak hubungan Andre dengan Debbie, dan apa motifnya."Puspa mengangguk setuju. Mereka merencanakan untuk meminta bantuan seorang detektif swasta untuk menyelidiki lebih lanjut identitas orang misterius ini. Namun, mereka tahu bahwa pertempuran bisnis yang seru belum ber
"Mas Jon!" panggil Puspa berlarian memanggil seorang pria berusia 40 tahunan yang sedang menyapu di depan sebuah rumah mewah."Pu-Puspa? Sedang apa kamu di sana?" tanya Jon keheranan. Jon pernah bertemu dengan Puspa saat Jon diperintahkan majikannya untuk berbelanja kebutuhan kebun dan Puspa menjadi kuli angkut barang saat itu. Ya, walaupun tubuh gadis itu begitu mungil, ia sangatlah kuat."Hehe, begini Mas Jon. Aku sedang butuh pekerjaan. Majikannya Mas Jon sedang mencari pekerjaan atau tidak?" tanya Puspa."Tidak. Semua posisi pembantu sudah diisi di rumah ini.""Tapi aku sangat kuat. Aku bisa jadi juru angkat galon atau asisten tuknag kebun. Asistennya Mas Jin," bujuk Puspa."Tidak, tidak, tidak. Lebih baik kamu pulang. Aku tidak mau terlibat ke dalam masalah dan dipecat," tolak Jon.Tentu saja, Puspa tidak akan mendengarkan penolakan Jon. Ia melirik sapu yang tersandar di dekat pos satpam. Ia langsung mengambilnya hendak menyapu halaman. Ia sempat tertegun untuk beberapa saat meli
Puspa semakin tidak mengerti dengan bertanyaan Andre. “Kenapa Tuan menanyakan hal privasi seperti itu?” tanya Puspa tidak nyaman. “Kamu orang asing yang datang dari antah berantah. Aku perlu tahu apakah kamu aktif secara seksual dan membawa penyakit atau tidak.” “Saya masih perawan,” jawab Puspa dengan ketus. Sesungguhnya pertanyaan itu sangat menyinggung. Namun, ia dibuat seakan tidak punya pilihan selain menjawab. Andre terdiam sejenak. Ia tidak menyangka jika jawaban seperti itu akan keluar dari mulut Puspa. “Kalau begitu buktikan,” tantang Andre yang semakin penasaran. “Apa? Anda gila? Saya di sini untuk mencari pekerjaan bukan untuk menjual keperawanan!” Andre tersenyum seringai. “Gadis perawan sangat langka dan ucapanmu tidak bisa dipercaya sebelum adanya pembuktian. Terlebih aku masih yakin kamu hendak mencuri di rumah ini dan ‘mencari pekerjaan’ itu hanyalah alibimu semata.” “Ta-tapi, Tuan saya berkata jujur.” SRET! Andre mengambil amplop berisikan uang tunai dari da