Suara dentingan peluru yang silih berganti itu, tidak sedikit pun membuat gadis cantik, dengan tinggi badan 165cm dan rambut sebahu terurai lepas itu sedikitpun gentar. Dia terus menjepretkan cameranya ke setiap sudut tempat . Bahkan dengan berjingkat lincah dia mengambil gambar dari peristiwa yang terjadi saat itu.
Dengan setengah berlari gadis itu, Arbia Siquilla, seorang jurnalis dari kantor terkenal di kotanya memburu berita tentang terjadinya pembunuhan dan perampokan di kawasan komplek dekat dia bekerja.
Tanpa menghiraukan keselamatannya, dia terus meliput serangkaian peristiwa baku hantam antara tim pasukan khusus dari kepolisian dengan segerombolan mafia yang berbaju serba hitam-hitam.
Ketika Arbia fokus mengambil gambar seseorang yang jauh di depannya, mengarahkan cameranya dan memotretnya dengan hasil sempurna,.tiba- tiba sebuah benda sudah menempel di pelipis kanannya.
"Ah, sial...!" Rutuknya dalam hati menyadari situasi itu. Dari awal sudah diberitahukan, reporter dari media apapun tidak boleh meliput berita, apalagi sampai ikut ke dalam pertempuran. Itu sangat berbahaya. Tapi bagi Arbia itu sudah biasa dan menjadi resiko dalam pekerjaanya. Selama ini dia selalu berani mengambil resiko demi loyalitas kariernya. Resiko apapun dia ambil. Bahkan dengan keberaniannya inilah, namanya mencuat terkenal. Karena ada beberapa berita sensasional mampu dia liput.
Masih dengan camera di tangannya, Arbia berdiri terpatung. Seseorang yang menodongkan pistol ke pelipis kanannya itu, adalah salah satu dari gerombolan mafia. Di seberang tempat Arbia berdiri, ada pria tegap dengan perawakan tinggi, badan kekar, muka ditutup. Di tangannya sebuah senapan laras panjang.
Pria itu dengan tenang melangkah maju mendekati mereka. Tanpa bergeming dan terus berjalan, pria yang tak lain kapten polisi pasukan khusus pemberantas mafia bernama Narendra Axelle itu, menyipitkan mata. Dan tepat di hadapan Arbia yang masih ditodongkan pisto, dia berhenti.
"Lepaskan wanita itu!" suaranya lantang. Sosok laki-laki tegap di samping Arbia itu bergeming. Pembawaanya yang begitu tenang mampu membuat Arbia terpaku tanpa melakukan perlawanan.
"Kamu lepaskan kami, aku akan melepaskan wanita ini!"
Dia, Arka Abianta pimpinan mafia yang akhir-akhir ini menjadi trending topik dengan ulahnya yang begitu extrem. Merampok dan membunuh. Korban- korbannya adalah pejabat pemerintah yang korup. Dan hasil rampokkannya dia donasikan kepada orang- orang kelas bawah, yang kehidupan sehari-harinya serba susah.
Tapi ulah Arka Abianta ini mampu meresahkan kaum atas yang selama ini hidup bergelimang harta. Hidup mereka terancam semenjak mereka mengikrarkan pemberontakan terhadap orang-orang kalangan atas, yang menghambur-hamburkan uang hanya untuk kepentingan pribadi. Hidup bermewah-mewah tanpa mempedulikan kaum jelata.
Arka Abianta seorang aktivis, yang awal mulanya bekerja di sebuah media terkenal. Tapi karena setiap liputannya ditentang sebagian orang yang merasa terancam dengan berita-berita yang ia liput, akhirnya dia diblack-out di semua media berita.
"Jangan bergerak kalau tidak ingin peluru ini nembus ke kepalamu!" sergah Arka ketika Arbia menggerakaĺn tangannya. Tujuannya melempar camera itu ke arah kapten Axelle agar menyelamatkan cameranya. Karena di dalam camera itu memuat banyak berita hari ini.
Suara dentingan peluru dan baku hantam masih berlanjut.
"Kapten Axelle! Perintahkan anak buah mundur ! Atau kalau tidak, peluru ini akan menembus kepala wanita ini...!" teriakan Arka menggema. Seketika akvitas baku hantam dan dentingan peluru itu terhenti. Semua fokus tertuju dengan suara Arka.
Laki-laki yang sering dipanggil kapten Axelle itu memberikan kode, gestur tangan kanannya melambai ke arah belakang setelah terlebih dulu menaruh senapan laras panjangnya ketanah.
"Biarkan anak buahku pergi! Lepaskan mereka!" Suaranya kembali bergema. Belum lagi suaranya berhenti menggema, Arbia, gadis itu dengan keberaniannya yang luar biasa menyikut dada laki-laki di sampingnya.
"Aaaaaa!" pekik Arka dengan pistol yang sudah jatuh ke tanah. Dia memeŕgangi dadanya yang terasa sakit luar biasa. Arbia dengan cepat lari tapi tak kalah cepat juga tangan Arka yang menarik kedua kaki Arbia dan menyeretnya cepat. Arbia tersungkur dan terseret mengikuti gerakan cepat Arka.
Kapten axelle dengan cepat bergerak dan berlari. Di tangannya sudah memegang kembali pistolnya. Tapi untuk fokus menembak peluru kearah Arka tidak mudah. Arka terus berlari menyeret tubuh kecil Arbia.
"Derrrrrrr ...!" Tembakan itu menembus kulitnya.
******
Mata itu mengerjap. Pandangannya kabur. Dia mulai melebarkan matanya mengitari sekelilingnya. Bau khas rumah sakit. Nafasnya masih lemah, ketika pandangannya jatuh pada sosok tampan di hadapannya, dia mulai mengingat-ingat kejadian sebelumnya.
Pria dengan seragam kebesarannya itu mendekat dan duduk di hadapan Arbia.
"Sudah sadar? Apa yang kamu rasakan? " suaranya datar tapi tegas. Di sana, di matanya, ada kelembutan. Tatapan itu mampu membuat Arbia nervous sesaat. Dengan sedikit membuang muka dia membalas.
" Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan mafia itu, apakah mereka tertangkap?" suaranya lemah.
Kapten Axelle mendekat ke arah Arbia. Laki-laki itu tersenyum dengan manis. "Kamu tidak usah merisaukan itu. Yang terpenting kondisimu harus cepat pulih. Lain kali kamu harus mengikuti prosedur yang ada. Jangan melawan aturan. Itu akan membahayakan diri kamu sendiri." ucapnya tenang, mampu menghipnotis seorang Arbia yang selama ini menentang pendapat orang lain.
"Apa kamu tidak punya keluarga di sini? Aku lihat dari ponselmu, semua kontaknya hanya ada teman-teman kerja kamu?" Kembali laki-laki itu menguarkan suaranya yang mempesona.
Arbia menggeleng lemah. Menutup mata dengan cepat. Pertanyaan kapten Axelle mampu mematahkan hipnotis yang tadi dia rasakan. Ada gulir air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya.
Sang kapten kaget melihat gadis muda itu tiba-tiba menangis.
"Eh kok nangis, apa aku salah ngomong?" Panik jelas terlihat di raut muka pria tampan itu. Sesaat Arbia membuka mata. Dia baru sadar air matanya meleleh sendiri.
"Maaf, kalau Aku salah ngomong," Lembut suara itu membuat Arbia tersenyum dan menggelang. Dia menghapus air matanya.
Sekelumit masa kecilnya membias pedih di hatinya.
15 tahun yang lalu, tragedi itu membuat seorang Arbia terpuruk di lorong rumah sakit begitu lama. Peristiwa pembunuhan berantai kedua orang tuanya, oleh orang-orang yang terancam dengan pemberitaan seputar korup.
Ayah Arbia seorang reporter yang kritis dengan berita-berita kontroversional, memburu setiap berita pejabat-pejabat yang tersandung dengan kasus korupsi. Setiap berita dan liputannya mencuat membuat beberapa orang merasa terancam dan akhirnya terjadi tragedi itu.
Dia harus kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Belum lagi neneknya yang terkena serangan jantung dan meninggal selang sehari pemakaman ayah dan ibunya. Semakin membuat Arbia yang saat itu baru berusia 8 tahun terpuruk.
Mentalnya yang rapuh terjatuh, menerima kenyataan pahit. Kehilangan 3 orang sekaligus, orang-orang yang teramat penting dalam hidupnya.
Arbia terhenyak merasakan sentuhan di bahunya. "Kamu baik- baik saja, kan?" Kapten Axelle mengelus bahunya lembut. Seolah menikmati sentuhan di pundaknya, Arbia mengangguk pelan.
"Jangan banyak pikiran, biar kamu cepat pulih. Sampai dengan kesembuhanmu, aku akan terus di sampingmu." ucapnya memberikan pengharapan.
BERSAMBUNG
Mari membaca novel saya, jangan lupa klik vote, like, dan koment nya ya, Terima kasih Dan ikuti karya saya yang lain @Sang Kapten dan Fatamorgana.
Seminggu kepulangannya dari rumah sakit, Arbia istirahat total dirumah. Pekerjaannya diambil alih oleh rekan satu divisinya. Membutuhkan waktu berhari-hari bahkan bisa berminggu-minggu untuk memulihkan kondisinya. Seorang diri di rumah sebesar itu, hal yang sudah biasa oleh seorang Arbia. Semenjak 4 tahun yang lalu dia memutuskan pindah ke rumah peninggalan neneknya. Setelah hampir tujuh tahun hidupnya ia jalani tinggal di rumah sakit. Persembunyian yang sudah tidak asing. Baginya rumah sakit adalah rumah utamanya waktu itu. 3 hari selang orang tua dan neneknya meninggal, Arbia dirawat khusus di rumah sakit oleh seorang pksikiater khusus gangguan saraf. Di sana dia dititipkan oleh mendiang neneknya. Kondisi psikis Arbia waktu itu tidak begitu bagus. Karena bertubi-tubi dia mengalami musibah dan mala petaka. Kehilangan-demi kehilangan membuat mental anak umur 8 tahun kala itu down. Sempat kehilangan ingatannya waktu itu, Arbia menjalani perawatan khusus
Arbia kembali menyibakkan selimut yang ada di badannya. Ini sudah yang ke-3 kalinya. Wajahnya terlihat lebih dingin dan angkuh. Ada kemarahan yang begitu besar di bola matanya. Tatapannya tajam ke arah laki-laki yang ada di hadapannya. Tanpa berkedip dia terus memperhatikan laki-laki itu. Sedangkan pria itu, masih sibuk merapikan selimut yang menempel di badan Arbia. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, melihat raut muka gadis itu. Bahkan dia menggelengkan kepala menyadari betapa kerasnya sifat Arbia. "Seharusnya, kamu sudah pergi dari rumahku!" desis Arbia dengan bibir sinis. Laki-laki yang tak lain, kapten Axelle itu kembali mengumbar pesonanya. Dia tersenyum sambil menatap gadis itu. "Sudah seharusnya kan, kamu berterima kasih sebelum mengusirku!" timpalnya enteng. Arbia merasa diremehkan mendengar ucapan kapten Axelle. "Berterima kasih kamu bilang! Untuk apa? Seharusnya aku sudah membunuhmu ketika pertama kali bertemu!" serunya beringas, menahan lu
Mendengar suara tembakan, kapten Axelle bergegas masuk ke rumah Arbia. Tidak lupa sinyal GPS ponsel nya dinyalakan. Dia mengirim pembaruan informasi pada timnya. Di bukanya pintu rumah Arbia dengan hati-hati. Dengan sikap tenangnya inilah seorang Narendra Axelle, selalu berhasil menjalankan tugas. Dia bersama timnya selalu sukses. Dilihatnya Arbia meringkuk ketakutan di samping tangga rumahnya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Sedangkan seseorang yang menembakkan pistol dengan peluru kematian itu, masih berjalan dengan tenang mendekati gadis muda itu. Dia belum menyadari kedatangan kapten Axelle. " Kenapa kamu harus ketakutan seperti ini, Arbi?" Mendengar nama kecilnya dipanggil, Arbia menoleh sesaat ke arah laki-laki itu. Ditatapnya dalam-dalam sosok mafia itu. Ada yang dia cari di sana. Dan dia merasa begitu familiar dengan nama panggilan itu. "Sebenarnya kamu ini siapa, kenapa kamu bisa tahu nama panggilanku waktu kecil?" Arka Abianta, sang mafi
3 minggu dari masa cutinya, Arbia sudah beraktivitas kembali. Tampak wajah cantiknya sudah memenuhi meja kerjanya hari ini. "Selamat datang kembali kak Arbi," sapa teman-temannya yang diiringi lambain tangannya, juga senyum manisnya. Memang agak berbeda penampilan baru Arbia hari ini. Lebih fresh dan sedikit feminim dengan berat badan Arbia yang sedikit menurun. Menambah gadis muda itu lebih cantik dan menarik. "Kak, Headline hari ini. Oh ya, kak Arbi dipanggil bos!" Suasana sibuk hari ini. Padahal baru pertama dia masuk. Baru saja pantatnya menyentuh kursi duduknya tapi sudah ada panggilan mendesak. Dia harus menghadap pimpinan direksi. "Ok! Aku segera datang." jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan riang. Arbia Siquilla, terkenal reporter yang kritis dan keras kepala. Punya prinsip dan komit sesuai dengan pekerjaanya. Sekaligus gadis yang supel dan periang. Mudah bergaul dan membaur dengan teman-teman satu liftingnya. Tak heran kalau dia
Arbia mempercepat langkahnya ketika memasuki kawasan komplek di rumahnya. Setumpuk berkas yang di pondongnya hampir jatuh berserakan. Dia menengok ke arah kanan dan kiri. Ada kecemasan di raut mukanya yang cantik. Dia berjalan dengan tergesa. Tak sengaja dia menabrak seseorang yang bersinggungan jalannya. "Eh maaf, Saya tidak sengaja!" ucap Arbia sambil tangannya disatukan di depan dada. Tapi ketika dilihatnya orang yang ada di depannya, secepat kilat Arbia berlari sambil memeluk erat-erat berkas yang ada di tangannya. Dengan terengah Arbia terus berlari menyusuri jalan sepi itu. Satu tanganya merogoh tas kerjanya. Mecari-cari ponselnya. Agak susah dia menemukan posel di tasnya. Di belakang sosok itu mulai mendekat. Arbia dengan sekuat tenaga berusaha berlari menjauh dari orang itu. Orang yang seharian ini menerornya lewat telpon dan pesan. Pagi tadi, Arbia mendapatkam bukti berupa surat kabar tahun 2005 silam. Dia mengejar deadline nya untuk Headline y
Arbia tak menyangka, kalau dia benar-benar jatuh di pelukkan sang kapten. Begitu mudahkah? Rasanya baru kemarin dia sangat membenci laki-laki tampan itu. Terus bagaimana dengan ambisinya, mengungkap kasus pembunuhan kedua orang tuanya? Itu beda cerita. Kebenaran tetap harus diungkap. Kecupan itu mendarat mulus di kening Arbia. Pagi itu dengan gagahnya Axelle membukakan pintu buat tuan putrinya. Hari ini, hari pertama dia mengantar kekasihnya. Dari dalam ruangan kerja, karyawan riuh rendah bergosip. Pemandangan indah pagi ini, menjadi bahan gosipan mereka. Dengan langkah ringan Arbia memasuki tempat kerjanya. "Hemm-hem!" Mereka berdehem meledek Arbia. Arbia bukannya tidak tahu, tapi sengaja bersikap cuek bebek. "Udah ada yang move-on ni dari sang editor." Ledek mereka kompak. Ada senyum simpul di bibir sensual Arbia. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia kembali membuka Headline kemarin. Setidaknya hari ini dia sudah bisa meng
Baru saja Arbia menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya, ponselnya bergetar. "Arbi!" Sang editor di jaringan telpon. "Iya, Pak!" jawabnya tegas. Semenjak kejadian kemarin yang di hotel Buana Arbia merasa canggung dan tidak nyaman dekat dengan bosnya. "Deadline, siaran langsung di Jl. Cempaka, pusat perbelanjaan mall, terjadi penyanderaan oleh teroris. Kamu cepat kesini, bawa camera perekam!" Secepat kilat Arbia menyambar cameranya. Tanpa menghiraukan pertanyaan teman-temannya. Tugas dari bosnya langsung merupakan tantangan tersendiri buat Arbia. Apalagi kalau sudah menyangkut perampokkan dan teroris itu adalah tantangan buat adrenalinnya. Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memarkirkan motor kebesarannya. Dengan tergesa dia berlari ke arah keramaian. Yang ternyata sudah banyak banget pihak polisi dan wartawan di sana. Matanya mengerjap nggak percaya melihat siapa yang ditodongkan pistol di pelipisnya. "Kapte
Dari peristiwa itu, kapten Axelle menyempatkan diri, menjenguk Arka Abianta. Kali ini, dia bukan untuk menangkap seorang pimpinan mafia atau sejenisnya, tapi dia akan menjenguk karena sifat manusiawinya masih berjalan normal. Setidaknya, seandainya, waktu itu tidak ada Arka, mungkin dirinya sudah tak bisa bertemu dengan orang yang baru beberapa hari dipacarinya. Saat ini, Arbia Squilla, sedang memandangi wajah tirus yang mulai pias itu. Sudah hampir setengah jam dia duduk di sisi pembaringan rumah sakit itu. Tapi si empunya tempat tidur, belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak ke hati gadis muda ini. Dicobanya, mengingat kenangan masa kecilnya, yang benar-benar hilang dari memorinya. Padahal, sebagian masa lalunya waktu Sekolah Menengah Pertama, masih jelas terbayang dibenaknya. Ketika pertama kalinya, dia merasa suka pada kakak kelasnya, dan dari semenjak itu, Arbia tidak pernah ingin merasakan pacaran itu se
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin