Tak terasa sudah satu bulan semenjak kejadian naas itu, kini Anggara mulai bisa berjalan kembali. Walaupun belum sepenuhnya normal, setidaknya ia sudah bisa beraktivitas. Setelah mendapat persetujuan dari Davina, Anggara kini sudah mulai bergabung di perusahaan ayahnya.
"Hai Vin, gimana kabarmu hari ini?" tanya Michelle yang baru saja datang. Selama satu bulan ini Michelle masih sering datang ke rumah Davina. Tak jarang wanita itu juga menginap di sana. "Eh kamu Chelle, iya aku baik kok. Kamu nggak kerja hari ini?" Davina terlihat sumringah mendengar suara sahabatnya. "Enggak aku lagi nggak ada job hari ini, tapi lusa aku harus pergi ke Jepang untuk pemotretan di sana," jelas Michelle. "Oh gitu, ya moga aja kerjaan mu lancar terus ya Chelle. Bisa jadi model terkenal seperti yang kamu cita-citakan dari dulu," kata Davina. Saat di tengah-tengah pembicaraan mereka, Davina dikejutkan dengan suara Michelle yang aneh. "Akhh ...." "Ada apa Chelle, kok suaramu begitu?" Hal itu jelas membuat Davina tersentak. "Ekh, e-enggak kok Vin. A-aku tadi kejepit, iya kejepit." Mendadak Michelle menjadi tergagap. "Kok bisa sih, eh kamu udah makan belum? Kalau belum makan dulu yuk, biar di buatin sama Mbak." Davina menawarkan, lalu ia meminta pembantu nya untuk menyiapkan makanan. "Mas Angga kemana ya, kamu lihat Mas Angga nggak Chelle?" Sebelum makan, Davina ingin mengajak suaminya makan bareng juga. "E ... nggak tuh Vin, biar aku panggil aja ya," tawar Michelle. "Nggak usah Chelle, biar Mbak aja yang panggilin," cegahnya. Kemudian Davina memberi perintah pada Mbak dan berkata, "Mbak tolong panggilin Bapak ya. Bilang suruh makan bareng." "I-iya Buk baik." Suara Mbak yang bernama Lasmi itu terdengar gugup, meskipun itu cukup aneh bagi Davina ia tak ingin memusingkannya. Tak lama setelah memberi perintah pada Mbak Mi, Anggara pun datang. "Eh, udah pada ngumpul ya. Kamu udah dari tadi Chelle?" tanya Anggara sambil duduk. "Lumayan Mas, kita makan dulu yuk! Aku siapin buat kamu ya Vin. Mau lauk apa? Ini ada ayam kecap, sayur bayam jagung, telur balado, sama tahu tempe. Kamu mau yang mana?" Michelle sudah siap dengan centong nasinya. "Aku mau sayur bayam, telur sama tempe aja deh Chelle. Makasih ya Chelle kamu tuh udah terlalu baik sama aku, kamu selalu sempetin ke sini untuk bantu aku, ngehibur aku. Aku bersyukur banget punya sahabat kayak kamu." Davina tersenyum tulus saat mengatakan itu. "Iya sama-sama Vin, aku seneng kok bisa bantu kamu. Aku juga ikhlas ngelakuinnya, yang penting kamu jangan sampai sedih ya. Pokoknya kamu harus kuat," tutur Michelle. Setelah selesai makan, Davina diantarkan mbak Mi ke kamarnya. Namun, saat itu mbak Mi terdengar sedang menangis, bahkan air matanya sempat jatuh ke tangan Davina. "Mbak Mi kenapa, Mbak Mi nangis?" tanya Davina. "E-enggak kok Non, Maafin Mbak Mi ya Non. M-mbak cuma sedih melihat kondisi Non Vina sekarang, hiks .... Mbak Mi selalu berdoa supaya Non cepat sehat dan Tuhan selalu melindungi Non Vina," ucap Mbak Mi. Davina terharu mendengar perkataan mbak Mi. Dia sempat memeluk mbak Mi dan berterima kasih padanya karena sangat peduli dan sayang pada dirinya. Mbak Mi pun juga memberikan support pada majikannya itu, sehingga membuat Davina memiliki semangat lagi. __________________ Hari itu Anggara ada jadwal kontrol ke rumah sakit, jadi ia mengambil cuti untuk tidak masuk kantor. Semenjak dia diterima bergabung di perusahaan Hendra, Anggara selalu saja merasa sibuk. Bahkan dia selalu pulang malam, untung saja Davina memakluminya. Kalau bukan karena jadwal kontrol, mungkin Anggara tidak akan di rumah hari ini. "Vin, hari ini aku mau kontrol. Kamu di rumah dulu ya," ucap Anggara. "Kamu kontrol sendirian Mas?" tanya Davina memastikan. "Enggak, aku dianter supir. Ya udah kamu di rumah dulu ya, jangan berbuat yang aneh-aneh. Nanti sore paling Michelle kesini." Anggara mencium kening Davina lalu pergi. "Hati-hati Mas!" teriak Davina. Sementara suaminya kontrol ke rumah sakit, Davina memilih untuk tidur siang. Tanpa ia sadari telah tertidur begitu lama, bahkan ia bangun saat matahari hampir terbenam. Bahkan cuaca saat itu sedang gerimis. "Hoam … sepertinya aku tidur cukup lama, badanku sampai terasa pegel-pegel semua. Mas Angga udah pulang belum ya?" gumamnya sendiri. Lalu Davina secara perlahan keluar dari kamar sambil sesekali memanggil suaminya, " Mas … Mas Angga!" "Auwhh… yah begitu Sayang, ouh yes Beby!" Terdengar suara aneh dari suatu ruangan. Secara samar suara itu mirip suaminya. "Mas, kamu di mana?" Perasaannya saat ini campur aduk, ada rasa takut jika suaminya melakukan hal salah. Namun, disatu sisi ia lebih takut jika ada orang asing yang masuk ke rumah mereka dengan niat jahat. "Astaga, suara siapa itu. Apa jangan-jangan ada rampok yang masuk rumah ini ya," terkanya sendiri. Sambil terus menelusuri satu persatu tempat itu, Davina memutuskan untuk tak mengeluarkan suara. Supaya ia bisa tau siapa yang ada di rumahnya. Akhirnya dia telah menemukan ruangan itu, ia mengira jika ruangan itu adalah kamar tamu sebab letaknya ada di depan. "Akhh … yes beby, kamu memang yang terbaik Sayang." Suara itu semakin jelas saat Davina menempelkan telinganya ke daun pintu. Tangannya seketika bergetar hebat, meskipun kenyataan sudah menunjukkan kebenaran tapi rasanya ia menolak untuk percaya. "Enggak, nggak mungkin! Pasti aku salah dengar, nggak mungkin itu kamu kan Mas?" Davina menutup telinganya sambil menjauh dari ruangan itu. Tanpa disadarinya ia justru keluar dari rumah dan berjalan tanpa arah. Brak! "Astaga, aku menabrak orang. Mbak, Mbak sadar Mbak ...," ucap seorang pria.Tanpa sengaja seorang pria menabrak Davina dari belakang. Sambil terus menepuk-nepuk pipi Davina, pria itu mencoba membangunkannya. "Akh … sial, aku harus segera membawanya ke rumah sakit." Pria itu segera mencari taksi untuk membawa Davina ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Davina segera mendapatkan perawatan dari para tenaga medis. "Suster tolong berikan perawatan terbaik untuknya, saya akan membayarnya berapapun," pinta Pria itu. "Baik Pak, silahkan lakukan pendaftaran. Kami akan menangani pasien," jawab seorang suster. Pria itu segera ke bagian administrasi untuk melakukan registrasi pasien. Seorang petugas bertanya, "Bapak yang bertanggung jawab kan?" "Iya, saya yang menabraknya. Jadi saya yang bertanggung jawab, tolong berikan perawatan yang terbaik untuk wanita itu." Wajahnya terlihat panik. "Bapak atas nama siapa?" tanya petugas itu lagi. Pria itu tak menjawab, hanya memberikan kartu identitasnya pada petugas. "Denis!" Setelah semua perawatan selesai, Davina dip
"Kamu dianter sopir kan Mas?" tanya Davina."Iya, nanti sopir yang anter aku. Kamu lanjutin makannya, aku mau berangkat dulu ya, bye!" Anggara mengecup kening Davina sebelum ia pergi."Hati-hati Mas," teriaknya.Saat suaminya sudah pergi, Davina melihat situasi dan tidak ada orang saat itu. Ia bergegas mengintip ke luar, dan benar saja Anggara tidak berangkat dengan sopir. Sopir yang sudah di siapkan oleh Hendra diberi kunci motor dan pergi begitu saja. Lalu Anggara menyetir sendiri dengan wajah sumringah."Jadi sopir dari Ayah pun kamu abaikan Mas, h'h akan ku tunjukkan permainan yang sesungguhnya." Davina kembali ke tempat duduknya dan memanggil Mbak Mi agar membantunya ke kamar."Mbak Mi, aku boleh minta tolong nggak?" Setelah sampai di ranjangnya, Davina memulai strategi awal."Boleh Non, mau minta tolong apa?" tanya Mbak Mi."Aku tuh lagi pengen ... banget rambutan rapiah, sebenernya kemarin itu pengen titip Mas Angga. Sayang aku lupa, selain itu aku juga takut ngrepotin Mas Angg
"Hallo selamat siang, saya butuh seseorang yang bisa dijadikan mata-mata. Bisakah kalian mengirimkan orang yang paling ahli? Berapa pun harganya akan saya bayar," ucap Davina.Yah, wanita itu menghubungi sebuah agen detektif yang cukup terkenal di kota itu. Lantaran aktingnya yang harus tetap berpura-pura buta, Davina memiliki batas ruang gerak. Dia tidak bisa mengikuti kemana suaminya pergi, sehingga ia memutuskan untuk menyewa seorang detektif saja."Aku harap dengan cara ini bisa membantuku," gumamnya sendiri. Data diri serta foto Anggara telah dikirimkan Davina ke agensi itu. Lalu seseorang mengabari jika akan menuju lokasi Anggara saat ini."Bagus, sekarang aku akan menghubungi pengacara ku." Davina mulai menceritakan semua yang dia alami ke pengacaranya. Dia juga meminta pengacaranya agar mendampinginya dalam proses yang sedang dia jalani sekarang. "Mba Mbak Mi," panggilnya.Dari arah dapur mbak Mi sedikit berlari kecil dan menyahuti panggilan majikannya, "iya Non ada apa?""Se
Pagi itu Anggara pergi ke kantor tanpa pamit dengan Davina. Jika dia Davina yang kemarin, maka hatinya akan sangat sedih mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya. Sayangnya Davina hari ini sudah berbeda, semenjak semalam dia mengetahui jika suaminya secara diam-diam mengambil isi rekeningnya. Anggara menggunakan sidik jari Davina untuk melakukan transaksi mobile banking, padahal saat itu Davina sedang tertidur. Meskipun Davina sempat sadar, tapi dia memilih untuk membiarkan Anggara melakukan apa yang dia mau."Bagus jika dia sudah pergi, tinggal aku suruh Mbak Mi pergi juga. Lalu para teknisi cctv akan segera datang," ucapnya sambil menatap jendela.Beberapa menit yang lalu Davina baru saja melihat suaminya pergi dengan mobil barunya, tentu saja ada Michelle juga yang sedang glendotan di lengan Anggara. Tidak ada rasa cemburu sedikitpun di hati Davina saat ini, sepertinya memang dia sudah mati rasa. "Mbak ... Mbak Mi," panggilnya."Iya Non, ada apa?" tanya mbak Mi."Sekarang tang
"Mas, ponsel ini yang keluaran terbaru udah ada lho. Kamu nggak mau beliin aku Mas," rayu Michelle."Boleh Sayang, emang berapa harganya?" Anggara tampak tersenyum menanggapi permintaan kekasihnya itu."Murah kok Mas, paling cuma 35 jutaan. Emang beneran kamu mau beliin aku Mas?" tanya Michelle untuk memastikan lagi."Iya dong, kamu pikir aku orang miskin. Tentu tidak Sayang hahaha ...,"ucapnya dengan percaya diri."Apa jangan-jangan kamu udah dapet duit lagi dari istrimu yang buta itu ya Mas?" Michelle terlihat semangat dengan pertanyaannya itu."Pinter banget sih kamu hahaha...." Anggara tertawa penuh kemenangan.Malam itu Anggara masuk ke kamar Davina sambil mengendap-endap saat Davina sudah terlelap. Lantaran saat di kantor Anggara mendengar jika Davina dikirim uang dalam jumlah banyak, sudah pasti saat itu uang istrinya masih banyak. Benar saja, ada beberapa gepok uang di laci nakas. Tanpa ragu dan takut Anggara mengambil beberapa gepok dan hanya disisakan dua gepok saja.'Orang
"Nak apa kamu terluka, kenapa kamu melamun?" tanya Johanes."Ah, e ... tidak kok Kek. Saya tidak apa-apa, silahkan di cek dulu Kek, apa isinya masih lengkap," usul Davina."Iya semuanya masih lengkap, sekali lagi terima kasih ya Nak. Sebagai ucapan terima kasih ku, ini untuk jajan nanti." Johanes memberi Davina sejumlah uang di dalam amplop coklat."Kakek, ini tidak perlu. Saya ikhlas menolong Kakek, sebenarnya itu tadi hanya gerakan reflek setelah mendengar Kakek berteriak tadi. Sepertinya kondisi Kakek sudah lebih aman sekarang, aku harap para pengawal Kakek tidak berada terlalu jauh dari Kakek. Aku harus pergi Kek, sampai jumpa." Davina segera pergi dengan melambaikan tangan.Johanes hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, lalu ia pergi bersama para pengawalnya. Sementara Davina sendiri merasa lega karena sepertinya kakek Johanes tidak mengenalinya. Saat ini perusahaan milik Johanes masih ada kerjasama dengan milik ayahnya, Davina takut jika Johanes mengenalinya maka akan mengatak
"Tahu, arem-arem, kacang-kacang buk." Seorang pedagang kaki lima mendekati jendela Davina sambil menawarkan barang dagangannya. "Mineralnya satu berapaan Mang?" tanya Davina setelah kaca mobil turun. "Lima ribu aja Buk, mau berapa? " jawab si mang penjual. "Dua aja deh Mang." Davina mengeluarkan uang ratusan ribu tiga lembar dan Anggara sedikit melirik dari ekor matanya."Jadi sepuluh ribu ya Bu, loh uang kecil aja Buk. Saya belum ada kembalian, " ucap mang penjual. Beliau menolak uang dari Davina."Udah, ini buat Mamang aja semuanya, semoga dagangannya laris manis ya mang. " Davina segera menutup kaca mobil kembali setelah uang diterima. Wajahnya sumringah, ada kelegaan tersendiri dengan berbagi sedikit ke sesama. Namun, kebahagiaan itu seketika sirna saat suaminya buka suara. "Teruus, terus aja kayak gitu hambur-hamburin duit. Kamu fikir nyari duit itu gampang? Mentang-mentang kerja sendiri buang-buang duit terus. Lagian kamu itu udah punya suami Davina, ngapain sih harus baik s
Seorang pria paruh baya berlari di lorong rumah sakit. Wajahnya terlihat panik, ditambah dengan guratan halus tanda penuaan. Sesampainya di depan IGD, ia melihat ada sepasang suami istri paruh baya juga yang sedang duduk dengan wajah sedih. "Bagaimana keadaan mereka, apa mereka baik-baik saja?" tanya Hendra ayah Davina. "Dokter masih memeriksanya," sahut Dewo Seomito ayah Anggara suami Davina. Dokter keluar dari ruang IGD sambil melepas masker. "Keluarga pasien Anggara dan Davina?" "Iya Dok, kami orang tuanya." Hendra lebih dulu maju, rasa khawatir nya tak lagi bisa ia bendung. "Baik, saya jelaskan pelan-pelan ya Pak. Kondisi Pak Anggara mengalami patah lengan dan kaki, sehingga mengharuskan kami untuk mengambil tindakan operasi secepatnya." Mendengar penjelasan seperti itu membuat mamanya Anggara menangis, begitu juga dengan papanya. Akan tetapi, dokter tetap melanjutkan perkataannya, "tapi … pasien Davina tidak mengalami luka berat, hanya saja beliau mengalami kebutaan dan kami
"Nak apa kamu terluka, kenapa kamu melamun?" tanya Johanes."Ah, e ... tidak kok Kek. Saya tidak apa-apa, silahkan di cek dulu Kek, apa isinya masih lengkap," usul Davina."Iya semuanya masih lengkap, sekali lagi terima kasih ya Nak. Sebagai ucapan terima kasih ku, ini untuk jajan nanti." Johanes memberi Davina sejumlah uang di dalam amplop coklat."Kakek, ini tidak perlu. Saya ikhlas menolong Kakek, sebenarnya itu tadi hanya gerakan reflek setelah mendengar Kakek berteriak tadi. Sepertinya kondisi Kakek sudah lebih aman sekarang, aku harap para pengawal Kakek tidak berada terlalu jauh dari Kakek. Aku harus pergi Kek, sampai jumpa." Davina segera pergi dengan melambaikan tangan.Johanes hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, lalu ia pergi bersama para pengawalnya. Sementara Davina sendiri merasa lega karena sepertinya kakek Johanes tidak mengenalinya. Saat ini perusahaan milik Johanes masih ada kerjasama dengan milik ayahnya, Davina takut jika Johanes mengenalinya maka akan mengatak
"Mas, ponsel ini yang keluaran terbaru udah ada lho. Kamu nggak mau beliin aku Mas," rayu Michelle."Boleh Sayang, emang berapa harganya?" Anggara tampak tersenyum menanggapi permintaan kekasihnya itu."Murah kok Mas, paling cuma 35 jutaan. Emang beneran kamu mau beliin aku Mas?" tanya Michelle untuk memastikan lagi."Iya dong, kamu pikir aku orang miskin. Tentu tidak Sayang hahaha ...,"ucapnya dengan percaya diri."Apa jangan-jangan kamu udah dapet duit lagi dari istrimu yang buta itu ya Mas?" Michelle terlihat semangat dengan pertanyaannya itu."Pinter banget sih kamu hahaha...." Anggara tertawa penuh kemenangan.Malam itu Anggara masuk ke kamar Davina sambil mengendap-endap saat Davina sudah terlelap. Lantaran saat di kantor Anggara mendengar jika Davina dikirim uang dalam jumlah banyak, sudah pasti saat itu uang istrinya masih banyak. Benar saja, ada beberapa gepok uang di laci nakas. Tanpa ragu dan takut Anggara mengambil beberapa gepok dan hanya disisakan dua gepok saja.'Orang
Pagi itu Anggara pergi ke kantor tanpa pamit dengan Davina. Jika dia Davina yang kemarin, maka hatinya akan sangat sedih mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya. Sayangnya Davina hari ini sudah berbeda, semenjak semalam dia mengetahui jika suaminya secara diam-diam mengambil isi rekeningnya. Anggara menggunakan sidik jari Davina untuk melakukan transaksi mobile banking, padahal saat itu Davina sedang tertidur. Meskipun Davina sempat sadar, tapi dia memilih untuk membiarkan Anggara melakukan apa yang dia mau."Bagus jika dia sudah pergi, tinggal aku suruh Mbak Mi pergi juga. Lalu para teknisi cctv akan segera datang," ucapnya sambil menatap jendela.Beberapa menit yang lalu Davina baru saja melihat suaminya pergi dengan mobil barunya, tentu saja ada Michelle juga yang sedang glendotan di lengan Anggara. Tidak ada rasa cemburu sedikitpun di hati Davina saat ini, sepertinya memang dia sudah mati rasa. "Mbak ... Mbak Mi," panggilnya."Iya Non, ada apa?" tanya mbak Mi."Sekarang tang
"Hallo selamat siang, saya butuh seseorang yang bisa dijadikan mata-mata. Bisakah kalian mengirimkan orang yang paling ahli? Berapa pun harganya akan saya bayar," ucap Davina.Yah, wanita itu menghubungi sebuah agen detektif yang cukup terkenal di kota itu. Lantaran aktingnya yang harus tetap berpura-pura buta, Davina memiliki batas ruang gerak. Dia tidak bisa mengikuti kemana suaminya pergi, sehingga ia memutuskan untuk menyewa seorang detektif saja."Aku harap dengan cara ini bisa membantuku," gumamnya sendiri. Data diri serta foto Anggara telah dikirimkan Davina ke agensi itu. Lalu seseorang mengabari jika akan menuju lokasi Anggara saat ini."Bagus, sekarang aku akan menghubungi pengacara ku." Davina mulai menceritakan semua yang dia alami ke pengacaranya. Dia juga meminta pengacaranya agar mendampinginya dalam proses yang sedang dia jalani sekarang. "Mba Mbak Mi," panggilnya.Dari arah dapur mbak Mi sedikit berlari kecil dan menyahuti panggilan majikannya, "iya Non ada apa?""Se
"Kamu dianter sopir kan Mas?" tanya Davina."Iya, nanti sopir yang anter aku. Kamu lanjutin makannya, aku mau berangkat dulu ya, bye!" Anggara mengecup kening Davina sebelum ia pergi."Hati-hati Mas," teriaknya.Saat suaminya sudah pergi, Davina melihat situasi dan tidak ada orang saat itu. Ia bergegas mengintip ke luar, dan benar saja Anggara tidak berangkat dengan sopir. Sopir yang sudah di siapkan oleh Hendra diberi kunci motor dan pergi begitu saja. Lalu Anggara menyetir sendiri dengan wajah sumringah."Jadi sopir dari Ayah pun kamu abaikan Mas, h'h akan ku tunjukkan permainan yang sesungguhnya." Davina kembali ke tempat duduknya dan memanggil Mbak Mi agar membantunya ke kamar."Mbak Mi, aku boleh minta tolong nggak?" Setelah sampai di ranjangnya, Davina memulai strategi awal."Boleh Non, mau minta tolong apa?" tanya Mbak Mi."Aku tuh lagi pengen ... banget rambutan rapiah, sebenernya kemarin itu pengen titip Mas Angga. Sayang aku lupa, selain itu aku juga takut ngrepotin Mas Angg
Tanpa sengaja seorang pria menabrak Davina dari belakang. Sambil terus menepuk-nepuk pipi Davina, pria itu mencoba membangunkannya. "Akh … sial, aku harus segera membawanya ke rumah sakit." Pria itu segera mencari taksi untuk membawa Davina ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Davina segera mendapatkan perawatan dari para tenaga medis. "Suster tolong berikan perawatan terbaik untuknya, saya akan membayarnya berapapun," pinta Pria itu. "Baik Pak, silahkan lakukan pendaftaran. Kami akan menangani pasien," jawab seorang suster. Pria itu segera ke bagian administrasi untuk melakukan registrasi pasien. Seorang petugas bertanya, "Bapak yang bertanggung jawab kan?" "Iya, saya yang menabraknya. Jadi saya yang bertanggung jawab, tolong berikan perawatan yang terbaik untuk wanita itu." Wajahnya terlihat panik. "Bapak atas nama siapa?" tanya petugas itu lagi. Pria itu tak menjawab, hanya memberikan kartu identitasnya pada petugas. "Denis!" Setelah semua perawatan selesai, Davina dip
Tak terasa sudah satu bulan semenjak kejadian naas itu, kini Anggara mulai bisa berjalan kembali. Walaupun belum sepenuhnya normal, setidaknya ia sudah bisa beraktivitas. Setelah mendapat persetujuan dari Davina, Anggara kini sudah mulai bergabung di perusahaan ayahnya. "Hai Vin, gimana kabarmu hari ini?" tanya Michelle yang baru saja datang. Selama satu bulan ini Michelle masih sering datang ke rumah Davina. Tak jarang wanita itu juga menginap di sana. "Eh kamu Chelle, iya aku baik kok. Kamu nggak kerja hari ini?" Davina terlihat sumringah mendengar suara sahabatnya. "Enggak aku lagi nggak ada job hari ini, tapi lusa aku harus pergi ke Jepang untuk pemotretan di sana," jelas Michelle. "Oh gitu, ya moga aja kerjaan mu lancar terus ya Chelle. Bisa jadi model terkenal seperti yang kamu cita-citakan dari dulu," kata Davina. Saat di tengah-tengah pembicaraan mereka, Davina dikejutkan dengan suara Michelle yang aneh. "Akhh ...." "Ada apa Chelle, kok suaramu begitu?" Hal itu jelas me
"Mas, Mas Angga," panggil Davina. Wanita itu baru saja bangun, saat meraba kasur di sampingnya ternyata suaminya sudah tidak ada. Ia pun kembali bersedih saat mengingat tentang kondisinya saat ini. "Kenapa duniaku segelap ini sekarang, hiks… bagaimana aku menghadapi masa depanku nanti." Air matanya kembali jatuh. Untung saja ia segera sadar, Davina tak ingin terus berlarut dalam kesedihannya itu. "Lebih baik aku keluar mencari udara segar sekaligus mencari Mas Angga," tuturnya. Lalu secara perlahan Davina turun dari ranjang dan mulai mencari pintu keluar. "Sepertinya itu suara Mas Angga," terkanya. Ia mendengar suara suaminya sedang bercanda gurau dengan Michelle. "Mas, Michelle," panggil Davina. "Ya ampun, kamu udah bangun Vin? Kok nggak panggil aku?" Michelle segera membantu Davina. "Aku sudah memanggil kalian, tapi tidak ada yang mendengarnya. Ternyata kalian sedang di sini, memangnya kalian sedang apa Chelle?" Demi mengobati rasa penasarannya, Davina pun bertanya. "Oh, kami
Seorang pria paruh baya berlari di lorong rumah sakit. Wajahnya terlihat panik, ditambah dengan guratan halus tanda penuaan. Sesampainya di depan IGD, ia melihat ada sepasang suami istri paruh baya juga yang sedang duduk dengan wajah sedih. "Bagaimana keadaan mereka, apa mereka baik-baik saja?" tanya Hendra ayah Davina. "Dokter masih memeriksanya," sahut Dewo Seomito ayah Anggara suami Davina. Dokter keluar dari ruang IGD sambil melepas masker. "Keluarga pasien Anggara dan Davina?" "Iya Dok, kami orang tuanya." Hendra lebih dulu maju, rasa khawatir nya tak lagi bisa ia bendung. "Baik, saya jelaskan pelan-pelan ya Pak. Kondisi Pak Anggara mengalami patah lengan dan kaki, sehingga mengharuskan kami untuk mengambil tindakan operasi secepatnya." Mendengar penjelasan seperti itu membuat mamanya Anggara menangis, begitu juga dengan papanya. Akan tetapi, dokter tetap melanjutkan perkataannya, "tapi … pasien Davina tidak mengalami luka berat, hanya saja beliau mengalami kebutaan dan kami