"Dokter, Suster, tolong!" teriak pria itu dengan wajah panik.
"Letakkan di sini Pak, mari saya bantu." Seorang perawat pria menghampirinya dengan brankar pasien yang ia dorong. Perlahan mereka meletakkan Davina di atas brankar, lalu di dorongnya menuju ruang UGD. Setelah brankar masuk ke ruangan, pintu ditutup dan seorang perawat berhenti. Kemudian perawat tersebut bertanya, "bagaimana kronologinya tadi Kak? Kenapa pasien bisa terluka?" "Aku tidak sengaja menyerempetnya tadi, dia berjalan seperti orang mabuk. Aku kira dia akan baik-baik saja, tapi saat dalam perjalanan ke sini dia tidak sadarkan diri," jelas pria itu. "Baiklah, kalau begitu kami akan segera menanganinya. Mohon untuk segera mendaftarkan administrasinya," titah perawat itu. Pria itu mengangguk mantap, tetapi sebelum ia pergi kembali berkata, " Pak saya mohon tangani dia dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu datangkan dokter terbaik untuknya, saya akan bertanggung jawab penuh untuknya." "Baik Kak, semuanya akan baik-baik saja. Tolong bantu doa ya." Setelah berkata demikian, perawat itu menghilang dari balik pintu. Tanpa belama lagi, pria yang bernama Denis itu pun pergi ke ruang administrasi. Disana ia mendaftarkan Davina dengan identitas wanita lain. Sebab, ia sendiri tidak tahu siapa nama serta asal-usul wanita yang ditabraknya tadi. Saat pagi harinya, seorang suster hendak memeriksa keadaan Davina. Ia membuka pintu kamar rawat dan melihat pemandangan yang sangat indah. "Wah, sepertinya mereka pasangan yang sangat romantis ya," gumam suster itu. "Ehmm…." Davina mulai menggeliat, sepertinya dia terganggu dengan pemeriksaan suster yang saat itu tengah memeriksanya. "Selamat pagi Bu Dinar," sapa suster tersebut. Seketika Denis yang mendengar nama Dinar disebut, langsung terbangun. Betapa terkejutnya saat ternyata ia sedang menggenggam tangan Davina. "Astaga, maafkan saya. Saya tidak sengaja, semalam saya ketiduran," ucapnya gugup. Akan tetapi, mereka semua tiba-tiba dikejutkan dengan suara Davina. "Mataku, mataku, aku melihat kalian. A-aku bisa melihat kembali?" tuturnya dengan suara gemetar. "Hah!" Suster tak bergeming, ia hanya diam membeku. Akhirnya Denis menyadarkannya. "Panggil Dokter Sus," titah Denis. Secepat kilat suster itu berlari keluar untuk memanggil dokter. "Mau kemana dia, bukannya di sini ada tombol darurat," gumam Denis. Tak lama setelah itu, dokter pun datang dan langsung memeriksa kondisi Davina. Dari situ lah Denis baru tahu jikalau kondisi Davina sebelumnya sedang buta. Akan tetapi, hal mengejutkan terjadi pagi itu, secara perlahan ia bisa melihat kembali. "Hey, kenapa kamu malah nangis?" Denis mulai mendekati Davina setelah dokter dan suster itu pergi. "Aku hanya terharu, akhirnya aku bisa melihat lagi. Setelah beberapa waktu yang lalu duniaku penuh kegelapan. Hiks hiks," sahutnya dalam isak tangis. "Ya sudah, kamu tidak perlu bersedih lagi. Sekarang semuanya akan baik-baik saja, aku juga mau minta maaf karena aku telah memalsukan identitasmu di rumah sakit ini. Soalnya aku nggak tahu siapa namamu yang sebenarnya." Denis tampak tertunduk menyesal. "Tidak apa-apa, aku tidak mempermasalahkan itu. Terimakasih sudah membawaku ke rumah sakit dengan tepat waktu," jawab Davina sambil tersenyum. "Oh ya, siapa nama aslimu?" tanya Denis. "Aku Davina Setiawan, dan kamu?" Tak lupa Davina juga bertanya. "Namaku Denis, sekali lagi aku minta maaf atas kecerobohanku," sahut Denis. Hari itu juga Davina diperbolehkan pulang oleh dokter. Saat hendak membayar tagihan rumah sakit, Denis berniat untuk membayar semuanya. "Biar aku bayar dulu tagihan rumah sakit ini," ucapnya. "Tidak usah, biar aku saja yang membayar. Aku ada uang kok, kamu bisa simpan saja uangmu. Kamu sudah bekerja keras, aku tidak ingin menghabiskannya begitu saja." Davina dengan jelas menolak niat Denis. "Bukankah aku harus bertanggungjawab atas kecelakaan ini?" sanggah Denis. "Iya, aku tahu itu, tapi untuk kali ini simpan saja uangmu. Jika lain kali kita bertemu lagi, aku bisa menagihnya dengan sebuah traktiran mungkin." Davina tersenyum manis, hal itu membuat Denis merasa berdesir hatinya. "Ah iya, baiklah kalau begitu mari aku antar pulang." Denis menawarkan dirinya untuk menghantar Davina pulang. "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Lagi pula ada suatu hal penting yang harus ku selesaikan. Lebih baik kau pulang saja Denis, aku akan naik taksi." Davina menolak secara halus dan Denis pun mengerti. Sebab, memang sudah terlalu banyak hal yang ingin Davina ketahui saat ini. Sesampainya di rumah, Davina memutuskan untuk tetap berpura-pura buta. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan suaminya di rumah itu. Justru yang ada hanyalah Nisa. "Bapak kemana Mbak Nisa?" tanya Davina. "Saya kurang tahu Bu, tadi hanya bilang mau keluar sebentar." Nisa menjawab apa adanya. "Tolong telfonkan suamiku, nomernya ada di kontak darurat nomor 2." Vina menyerahkan ponselnya, lalu tanpa banyak tanya Nisa mulai menghubungi Anggara. Setelah tersambung, Davina jadi tahu kalau suaminya sedang berada di kantor ayahnya. "Mas ngapain di kantor Ayah?" tanya Davina. "Mas tadi diundang sama Ayah, ya… kami cuma ngobrol ringan aja kok. Nanti kalau udah selesai Mas langsung pulang ya," Entah mengapa nada suaranya melembut kali ini. "Mas kesana sama siapa tadi?" Sepertinya Davina sudah mulai mencari tahu. "Tadi bareng sama Michelle, kebetulan Michelle mau ada kerjaan ke luar kota hari ini. Ya sudah Mas sekalian di anterin ke kantor Ayah, paling nanti pulangnya Mas naik taksi online aja," jelasnya. "Ya sudah Mas, hati-hati ya pulangnya." Setelah itu Davina berkata pada Nisa kalau dia hendak istirahat. Mungkin karena efek obat-obatan yang diberikan dokter membuatnya ngantuk sekali. "Hooaamm, sudah sore ternyata. Kira-kira Mas Angga udah pulang belum ya?" Tak ingin menerka-nerka sendiri, Davina segera keluar kamar untuk mencari suaminya. Namun, kondisi rumah itu sepi sekali, dan saat dia menuju kamar tamu, suara menjijikkan itu kembali terdengar. Jelas bisa di simpulkan kalau Anggara sudah di rumah dan kembali berbuat dosa. "Siapa wanita itu Mas? Baiklah, kali ini aku akan tahu siapa yang menjadi duri dalam daging itu," ucapnya dengan yakin. Tanpa permisi, pintu kamar yang ternyata tidak dikunci itu terbuka lebar. Langsung menampilkan adegan laknat yang membuat Davina geram. Bahkan sekuat tenaga ia menjaga ekspresinya agar dua orang dihadapannya itu tidak tahu. "Mas, Mas Angga di sini?" ucapnya. Awalnya Michelle gelagapan karena merasa kepergok, tapi Anggara segera menyadarkannya jika Davina dalam kondisi buta. Anggara hanya memberi isyarat dengan telunjuk agar wanita itu diam. "E, iya Sayang. Mas di sini, tadi Mas lihat kamu lagi tidur nyenyak banget. Mas nggak mau ganggu kamu, mangkanya Mas tidur di sini," sahutnya. Secara perlahan Anggara menyuruh Michelle untuk keluar dari kamar itu tanpa suara, sedangkan Anggara mengalihkan perhatian Davina. Setelah Michelle berhasil keluar, Anggara juga mencari alasan untuk keluar rumah. "Sayang, Mas ada janji dengan teman Mas. Biasa lah mau ngomongin masalah kerjaan, Mas tinggal dulu ya Sayang. Kalau butuh sesuatu panggil Nisa aja," tutur Anggara. Davina hanya bisa mengangguk, dan setelah Anggara pergi. Dia membanting tongkatnya, tangannya mengepal geram dan saat dia melihat ke arah jendela. Secara jelas ia melihat suaminya dan Michelle pergi. "Permainan baru dimulai Mas, kalian akan aku hancurkan sehancur-hancurnya." Ia menghapus air matanya dan hatinya dipenuhi rasa benci dengan dua manusia itu."Tahu, arem-arem, kacang-kacang buk." Seorang pedagang kaki lima mendekati jendela Davina sambil menawarkan barang dagangannya. "Mineralnya satu berapaan Mang?" tanya Davina setelah kaca mobil turun. "Lima ribu aja Buk, mau berapa? " jawab si mang penjual. "Dua aja deh Mang." Davina mengeluarkan uang ratusan ribu tiga lembar dan Anggara sedikit melirik dari ekor matanya."Jadi sepuluh ribu ya Bu, loh uang kecil aja Buk. Saya belum ada kembalian, " ucap mang penjual. Beliau menolak uang dari Davina."Udah, ini buat Mamang aja semuanya, semoga dagangannya laris manis ya mang. " Davina segera menutup kaca mobil kembali setelah uang diterima. Wajahnya sumringah, ada kelegaan tersendiri dengan berbagi sedikit ke sesama. Namun, kebahagiaan itu seketika sirna saat suaminya buka suara. "Teruus, terus aja kayak gitu hambur-hamburin duit. Kamu fikir nyari duit itu gampang? Mentang-mentang kerja sendiri buang-buang duit terus. Lagian kamu itu udah punya suami Davina, ngapain sih harus baik s
Hari sudah berganti, pagi itu seorang perawat menghantarkan sarapan untuk pasien. Setelah memastikan nama pasien sesuai, perawat itu mulai meletakkan makanan di meja makan pasien sambil berkata, "makanannya harus dihabiskan ya Pak Buk.""Terimakasih," jawab mereka lirih. Sebelum perawat keluar dari ruangan VVIP itu, ia kembali menoleh kebelakang. "Bu, tolong dahulukan Ibu Davina untuk disuapi ya agar beliau tidak terlalu kesulitan makan," kata perawat itu. Kemudian dia menghilang dari balik pintu. "Ciih, aku disuruh nyuapin menantu durhaka ini? Rak sudi," bantah Maya secara ketus. "Mama, kok gitu sih? Davina kan menantu Mama juga." Anggara menampilkan suara lembutnya, tetapi tidak dengan wajahnya. "Maafin aku Ma, hiks hiks…." Isak tangis Davina terdengar menyayat hati. "Maaf? mau seribu kali kamu minta maaf pun aku udah nggak peduli lagi. Kamu itu hanya menantu sekaligus istri durhaka yang gak nurut sama suami. Seandainya dari kemarin kamu mau mematuhi apa kata suamimu untuk berh
"Apa yang terjadi Chelle, kenapa suaramu seperti itu? " Davina langsung bertanya saat mendengar suara anehnya Michelle. "E… anu, itu Vin, a-aku kejepit tadi. Iya kejepit, " jawab Michelle asal. "Mangkanya hati-hati Chelle, kok bisa sih kejepit? " timpal Anggara. Pria itu tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Michelle menahan geram dengan tingkah pria dihadapannya itu. "Iya Chelle hati-hati, jangan sampai kamu terluka. " Tanpa menaruh curiga apapun terhadap Michelle, justru Davina bersimpati padanya. "Iya Vin, lain kali aku bakalan lebih 'hati-hati' kok!" Michelle sengaja memberi penekanan pada kata hati-hati dan mengarahkan wajahnya pada Anggara, hingga membuat pria itu tersenyum lebar tanpa suara. Yah, ternyata selama ini Michelle dan Anggara telah menjalin hubungan terlarang. Entah dari sejak kapan hal itu terjadi, yang jelas mereka telah menutupinya dengan sangat rapi dari Davina. Sampai pada hari ini, saat Michelle mendengar kabar jikalau Davina telah buta, jelas saja ha
Matahari mulai menampakkan sinarnya pagi itu. Suara burung yang bernyanyi di depan jendela kamar Davina membuatnya terusik. Matanyanya mulai terbuka lebar, tapi tak ada satu hal pun yang dapat ia lihat. Tangannya meraba kasur disebelahnya, ternyata kosong dan suaminya tidak ada. "Mas, Mas Angga …, kemana ya Mas Angga kok nggak ada? Mas…." Davina terus saja memanggil-manggil suaminya sambil berjalan keluar kamar secara perlahan. Setelah dia keluar kamar barulah terdengar suara suaminya yang sedang bersenda gurau dengan seorang wanita. "Itu seperti suaranya Mas Angga sama Michelle ya," gumamnya sendiri. Bersama bantuan tongkatnya, Davina terus menyusuri jalan. "Mas Angga, kamu lagi sama Michelle?" tanyanya saat merasa sudah dekat dengan sang suami. "Eh, Davina udah bangun. Kok nggak panggil aku, aku kan bisa bantu kamu. Sini, pelan-pelan ya." Michelle berinisiatif untuk memapah Davina dan didudukkan nya di kursi. "Aku tadi udah panggil-panggil kalian, tapi nggak ada jawaban. Eh ngg
"Dokter, Suster, tolong!" teriak pria itu dengan wajah panik. "Letakkan di sini Pak, mari saya bantu." Seorang perawat pria menghampirinya dengan brankar pasien yang ia dorong. Perlahan mereka meletakkan Davina di atas brankar, lalu di dorongnya menuju ruang UGD. Setelah brankar masuk ke ruangan, pintu ditutup dan seorang perawat berhenti. Kemudian perawat tersebut bertanya, "bagaimana kronologinya tadi Kak? Kenapa pasien bisa terluka?""Aku tidak sengaja menyerempetnya tadi, dia berjalan seperti orang mabuk. Aku kira dia akan baik-baik saja, tapi saat dalam perjalanan ke sini dia tidak sadarkan diri," jelas pria itu. "Baiklah, kalau begitu kami akan segera menanganinya. Mohon untuk segera mendaftarkan administrasinya," titah perawat itu. Pria itu mengangguk mantap, tetapi sebelum ia pergi kembali berkata, " Pak saya mohon tangani dia dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu datangkan dokter terbaik untuknya, saya akan bertanggung jawab penuh untuknya.""Baik Kak, semuanya akan baik-bai
Matahari mulai menampakkan sinarnya pagi itu. Suara burung yang bernyanyi di depan jendela kamar Davina membuatnya terusik. Matanyanya mulai terbuka lebar, tapi tak ada satu hal pun yang dapat ia lihat. Tangannya meraba kasur disebelahnya, ternyata kosong dan suaminya tidak ada. "Mas, Mas Angga …, kemana ya Mas Angga kok nggak ada? Mas…." Davina terus saja memanggil-manggil suaminya sambil berjalan keluar kamar secara perlahan. Setelah dia keluar kamar barulah terdengar suara suaminya yang sedang bersenda gurau dengan seorang wanita. "Itu seperti suaranya Mas Angga sama Michelle ya," gumamnya sendiri. Bersama bantuan tongkatnya, Davina terus menyusuri jalan. "Mas Angga, kamu lagi sama Michelle?" tanyanya saat merasa sudah dekat dengan sang suami. "Eh, Davina udah bangun. Kok nggak panggil aku, aku kan bisa bantu kamu. Sini, pelan-pelan ya." Michelle berinisiatif untuk memapah Davina dan didudukkan nya di kursi. "Aku tadi udah panggil-panggil kalian, tapi nggak ada jawaban. Eh ngg
"Apa yang terjadi Chelle, kenapa suaramu seperti itu? " Davina langsung bertanya saat mendengar suara anehnya Michelle. "E… anu, itu Vin, a-aku kejepit tadi. Iya kejepit, " jawab Michelle asal. "Mangkanya hati-hati Chelle, kok bisa sih kejepit? " timpal Anggara. Pria itu tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Michelle menahan geram dengan tingkah pria dihadapannya itu. "Iya Chelle hati-hati, jangan sampai kamu terluka. " Tanpa menaruh curiga apapun terhadap Michelle, justru Davina bersimpati padanya. "Iya Vin, lain kali aku bakalan lebih 'hati-hati' kok!" Michelle sengaja memberi penekanan pada kata hati-hati dan mengarahkan wajahnya pada Anggara, hingga membuat pria itu tersenyum lebar tanpa suara. Yah, ternyata selama ini Michelle dan Anggara telah menjalin hubungan terlarang. Entah dari sejak kapan hal itu terjadi, yang jelas mereka telah menutupinya dengan sangat rapi dari Davina. Sampai pada hari ini, saat Michelle mendengar kabar jikalau Davina telah buta, jelas saja ha
Hari sudah berganti, pagi itu seorang perawat menghantarkan sarapan untuk pasien. Setelah memastikan nama pasien sesuai, perawat itu mulai meletakkan makanan di meja makan pasien sambil berkata, "makanannya harus dihabiskan ya Pak Buk.""Terimakasih," jawab mereka lirih. Sebelum perawat keluar dari ruangan VVIP itu, ia kembali menoleh kebelakang. "Bu, tolong dahulukan Ibu Davina untuk disuapi ya agar beliau tidak terlalu kesulitan makan," kata perawat itu. Kemudian dia menghilang dari balik pintu. "Ciih, aku disuruh nyuapin menantu durhaka ini? Rak sudi," bantah Maya secara ketus. "Mama, kok gitu sih? Davina kan menantu Mama juga." Anggara menampilkan suara lembutnya, tetapi tidak dengan wajahnya. "Maafin aku Ma, hiks hiks…." Isak tangis Davina terdengar menyayat hati. "Maaf? mau seribu kali kamu minta maaf pun aku udah nggak peduli lagi. Kamu itu hanya menantu sekaligus istri durhaka yang gak nurut sama suami. Seandainya dari kemarin kamu mau mematuhi apa kata suamimu untuk berh
"Tahu, arem-arem, kacang-kacang buk." Seorang pedagang kaki lima mendekati jendela Davina sambil menawarkan barang dagangannya. "Mineralnya satu berapaan Mang?" tanya Davina setelah kaca mobil turun. "Lima ribu aja Buk, mau berapa? " jawab si mang penjual. "Dua aja deh Mang." Davina mengeluarkan uang ratusan ribu tiga lembar dan Anggara sedikit melirik dari ekor matanya."Jadi sepuluh ribu ya Bu, loh uang kecil aja Buk. Saya belum ada kembalian, " ucap mang penjual. Beliau menolak uang dari Davina."Udah, ini buat Mamang aja semuanya, semoga dagangannya laris manis ya mang. " Davina segera menutup kaca mobil kembali setelah uang diterima. Wajahnya sumringah, ada kelegaan tersendiri dengan berbagi sedikit ke sesama. Namun, kebahagiaan itu seketika sirna saat suaminya buka suara. "Teruus, terus aja kayak gitu hambur-hamburin duit. Kamu fikir nyari duit itu gampang? Mentang-mentang kerja sendiri buang-buang duit terus. Lagian kamu itu udah punya suami Davina, ngapain sih harus baik s