Seorang pria paruh baya berlari di lorong rumah sakit. Wajahnya terlihat panik, ditambah dengan guratan halus tanda penuaan. Sesampainya di depan IGD, ia melihat ada sepasang suami istri paruh baya juga yang sedang duduk dengan wajah sedih.
"Bagaimana keadaan mereka, apa mereka baik-baik saja?" tanya Hendra ayah Davina. "Dokter masih memeriksanya," sahut Dewo Seomito ayah Anggara suami Davina. Dokter keluar dari ruang IGD sambil melepas masker. "Keluarga pasien Anggara dan Davina?" "Iya Dok, kami orang tuanya." Hendra lebih dulu maju, rasa khawatir nya tak lagi bisa ia bendung. "Baik, saya jelaskan pelan-pelan ya Pak. Kondisi Pak Anggara mengalami patah lengan dan kaki, sehingga mengharuskan kami untuk mengambil tindakan operasi secepatnya." Mendengar penjelasan seperti itu membuat mamanya Anggara menangis, begitu juga dengan papanya. Akan tetapi, dokter tetap melanjutkan perkataannya, "tapi … pasien Davina tidak mengalami luka berat, hanya saja beliau mengalami kebutaan dan kami belum bisa memastikan kapan Davina bisa melihat kembali." Seketika tubuh Hendra luruh ke lantai. Pandangannya menjadi gelap, untung saja Dewo segera menyadarkan nya kembali. "Astaga putriku, kenapa takdirmu begitu berat Nak, huuuuhuu." Hendra tak kuasa menahan tangisannya. Saat hari telah berganti, Hendra harus pulang untuk berkunjung ke kantor sebentar. Begitu juga dengan Dewo, mereka harus tetap ngantor pagi itu dan terpaksa hanya ada Maya di sana. "Maafin Vina Ma, Vina nggak sengaja kemarin." Davina terus saja meminta maaf sebab semenjak kejadian itu ibu Anggara terus saja menyalahkannya. "Kalau nggak bisa jadi istri yang baik ya minimal jangan sembrono. Akibat ulahmu itu putraku jadi terluka seperti ini, dasar wanita nggak berguna!" sentak Maya. Davina hanya bisa menangis, berapa kali pun ia minta maaf tetap tak bisa merubah keadaan. "Sudahlah Ma, toh ini semua sudah terjadi. Davina juga sudah mendapatkan teguran yang cukup", timpal Anggara. Lalu ia beralih ke Davina sambil berkata, "aku harap kamu tidak lagi membantah ucapan suami Vin. Sekarang sudah tahu kan hukuman bagi istri yang melawan suaminya. Bahkan penglihatanmu pun di ambil Tuhan jika selalu saja membantah suami." "M-maafkan aku Mas, hiks … Aku nggak akan mengulanginya lagi. Maaf ya Mas," pintanya. Belum sempat Anggara menyahutinya, tiba-tiba pintu kamar rawat mereka diketuk. "Permisi," ucap seseorang dari balik pintu. Maya yang membukakan pintu. Lalu wanita itu terlihat tersenyum senang. "Wah ada Michelle, kok makin cantik aja kamu Chelle. Ayo masuk Sayang!" Maya langsung mempersilahkan Michelle masuk. "Maaf ya Tante, aku baru bisa jenguk. Aku juga baru tau kabar ini tadi pagi, gimana keadaan mereka Tan?" tanya Michelle. "Nggak apa-apa Sayang, Anggara sudah menjalani operasi tinggal penyembuhannya saja. Kalau wanita itu … sekarang jadi buta," jelas Maya. Dia juga melirik Davina dengan tatapan sengit. "Apa! buta Tan? Tante nggak bercanda kan?" Michelle terlihat syok mendengar berita itu. "Buat apa Tante bercanda, lihat aja kalau nggak percaya." Maya menyuruh Michelle mendekati Anggara dan Davina yang terbaring di ranjang pasien. "Vin, gimana kondisimu?" Michelle mendekati Davina sambil mengelus pundaknya. Davina yang dengan posisi membelakangi Michelle belum berani menoleh, ia hanya menangis sesenggukan. "Vin, it's oke. Kamu wanita yang kuat, aku yakin kamu bisa lewatin ini semua. Jangan sedih terus ya," ucap Michelle kembali. Akhirnya Davina membalikkan tubuhnya, ia masih menangis dan mulai berkata, "makasih Chelle. A-aku sekarang udah buta Chelle, mungkin aja aku nggak bisa lihat kamu lagi, hiks…." Davina mengusap air matanya. Melihat kondisi Davina, Michelle segera memeluknya serta mengusap punggung Davina, sedangkan Maya melihat pemandangan itu dengan wajah sinis. Selain Maya, Anggara pun juga tidak senang dengan kondisi itu. Setelah beberapa hari perawatan, akhirnya mereka bisa pulang. Hari itu selain ayah Davina dan orangtua Anggara, Davina juga turut menjemput ke rumah sakit. "Selamat datang kembali ke rumahmu Vin," ucap Michelle. "Terimakasih ya Chelle udah mau repot-repot ikut jemput kami," jawab Davina. "Sama-sama, ya udah sekarang aku anter kamu ke kamar sekalian ya." Davina mengangguk mendengar tawaran dari Michelle dan menuju ke kamar, sedangkan yang lainnya duduk di ruang keluarga. "Aku masih khawatir dengan kondisi mereka, apa tidak sebaiknya kita bawa mereka ke rumah kita. Bisa ke rumah ku atau ke rumah kalian," saran Hendra. "Kalau ke rumah kami, aku cuma takut Davina kesepian Mas. Kau tau sendiri kan kalau Mas Dewo selalu kerja, aku juga sering bepergian untuk mengecek bisnis-bisnis ku. Semisal hanya Anggara yang di rumah kami, setidaknya nantinya bisa pulih dan beraktivitas kembali. Lalu bagaimana dengan Davina?" tutur Maya. Walaupun tidak terlihat, Hendra sudah tau jika besannya itu tak menyukai kondisi putrinya. "Tante dan Om tenang aja, kalian tidak perlu khawatir. Aku bisa membantu kalian, aku yang akan jaga mereka berdua sampai mereka terbiasa dengan kondisinya." Tiba-tiba Michelle datang dengan membawa nampan berisi air minum, lalu nimbrung pembicaraan mereka. Usulan Michelle itu disambut baik oleh orang tua Anggara, tapi wajah Hendra tidak menunjukkan persetujuan. Sayangnya memang tidak ada yang peduli dengan pendapat Hendra, karena mereka tidak bertanya. Terpaksa Hendra pun ikut menyetujuinya begitu saja. "Tante titip Anggara sama Vina ya Sayang, tolong bantu jagain mereka. Kalau ada apa-apa kabarin Om sama Tante," ucap Maya. "Baik Tante, Tante sama Om hati-hati di jalan ya." Michelle mengantarkan para orang tua pergi. Setelah itu, karena sudah lelah mereka memutuskan untuk istirahat. Saat tengah malam Davina terbangun, ia mendengar suara pintu kamarnya tertutup. Namun, kenapa suaminya malah tidak ada? "Kemana Mas Anggara malam-malam begini keluar, bukannya dia masih sakit ya," gumamnya."Mas, Mas Angga," panggil Davina. Wanita itu baru saja bangun, saat meraba kasur di sampingnya ternyata suaminya sudah tidak ada. Ia pun kembali bersedih saat mengingat tentang kondisinya saat ini. "Kenapa duniaku segelap ini sekarang, hiks… bagaimana aku menghadapi masa depanku nanti." Air matanya kembali jatuh. Untung saja ia segera sadar, Davina tak ingin terus berlarut dalam kesedihannya itu. "Lebih baik aku keluar mencari udara segar sekaligus mencari Mas Angga," tuturnya. Lalu secara perlahan Davina turun dari ranjang dan mulai mencari pintu keluar. "Sepertinya itu suara Mas Angga," terkanya. Ia mendengar suara suaminya sedang bercanda gurau dengan Michelle. "Mas, Michelle," panggil Davina. "Ya ampun, kamu udah bangun Vin? Kok nggak panggil aku?" Michelle segera membantu Davina. "Aku sudah memanggil kalian, tapi tidak ada yang mendengarnya. Ternyata kalian sedang di sini, memangnya kalian sedang apa Chelle?" Demi mengobati rasa penasarannya, Davina pun bertanya. "Oh, kami
Tak terasa sudah satu bulan semenjak kejadian naas itu, kini Anggara mulai bisa berjalan kembali. Walaupun belum sepenuhnya normal, setidaknya ia sudah bisa beraktivitas. Setelah mendapat persetujuan dari Davina, Anggara kini sudah mulai bergabung di perusahaan ayahnya. "Hai Vin, gimana kabarmu hari ini?" tanya Michelle yang baru saja datang. Selama satu bulan ini Michelle masih sering datang ke rumah Davina. Tak jarang wanita itu juga menginap di sana. "Eh kamu Chelle, iya aku baik kok. Kamu nggak kerja hari ini?" Davina terlihat sumringah mendengar suara sahabatnya. "Enggak aku lagi nggak ada job hari ini, tapi lusa aku harus pergi ke Jepang untuk pemotretan di sana," jelas Michelle. "Oh gitu, ya moga aja kerjaan mu lancar terus ya Chelle. Bisa jadi model terkenal seperti yang kamu cita-citakan dari dulu," kata Davina. Saat di tengah-tengah pembicaraan mereka, Davina dikejutkan dengan suara Michelle yang aneh. "Akhh ...." "Ada apa Chelle, kok suaramu begitu?" Hal itu jelas me
Tanpa sengaja seorang pria menabrak Davina dari belakang. Sambil terus menepuk-nepuk pipi Davina, pria itu mencoba membangunkannya. "Akh … sial, aku harus segera membawanya ke rumah sakit." Pria itu segera mencari taksi untuk membawa Davina ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Davina segera mendapatkan perawatan dari para tenaga medis. "Suster tolong berikan perawatan terbaik untuknya, saya akan membayarnya berapapun," pinta Pria itu. "Baik Pak, silahkan lakukan pendaftaran. Kami akan menangani pasien," jawab seorang suster. Pria itu segera ke bagian administrasi untuk melakukan registrasi pasien. Seorang petugas bertanya, "Bapak yang bertanggung jawab kan?" "Iya, saya yang menabraknya. Jadi saya yang bertanggung jawab, tolong berikan perawatan yang terbaik untuk wanita itu." Wajahnya terlihat panik. "Bapak atas nama siapa?" tanya petugas itu lagi. Pria itu tak menjawab, hanya memberikan kartu identitasnya pada petugas. "Denis!" Setelah semua perawatan selesai, Davina dip
"Kamu dianter sopir kan Mas?" tanya Davina."Iya, nanti sopir yang anter aku. Kamu lanjutin makannya, aku mau berangkat dulu ya, bye!" Anggara mengecup kening Davina sebelum ia pergi."Hati-hati Mas," teriaknya.Saat suaminya sudah pergi, Davina melihat situasi dan tidak ada orang saat itu. Ia bergegas mengintip ke luar, dan benar saja Anggara tidak berangkat dengan sopir. Sopir yang sudah di siapkan oleh Hendra diberi kunci motor dan pergi begitu saja. Lalu Anggara menyetir sendiri dengan wajah sumringah."Jadi sopir dari Ayah pun kamu abaikan Mas, h'h akan ku tunjukkan permainan yang sesungguhnya." Davina kembali ke tempat duduknya dan memanggil Mbak Mi agar membantunya ke kamar."Mbak Mi, aku boleh minta tolong nggak?" Setelah sampai di ranjangnya, Davina memulai strategi awal."Boleh Non, mau minta tolong apa?" tanya Mbak Mi."Aku tuh lagi pengen ... banget rambutan rapiah, sebenernya kemarin itu pengen titip Mas Angga. Sayang aku lupa, selain itu aku juga takut ngrepotin Mas Angg
"Hallo selamat siang, saya butuh seseorang yang bisa dijadikan mata-mata. Bisakah kalian mengirimkan orang yang paling ahli? Berapa pun harganya akan saya bayar," ucap Davina.Yah, wanita itu menghubungi sebuah agen detektif yang cukup terkenal di kota itu. Lantaran aktingnya yang harus tetap berpura-pura buta, Davina memiliki batas ruang gerak. Dia tidak bisa mengikuti kemana suaminya pergi, sehingga ia memutuskan untuk menyewa seorang detektif saja."Aku harap dengan cara ini bisa membantuku," gumamnya sendiri. Data diri serta foto Anggara telah dikirimkan Davina ke agensi itu. Lalu seseorang mengabari jika akan menuju lokasi Anggara saat ini."Bagus, sekarang aku akan menghubungi pengacara ku." Davina mulai menceritakan semua yang dia alami ke pengacaranya. Dia juga meminta pengacaranya agar mendampinginya dalam proses yang sedang dia jalani sekarang. "Mba Mbak Mi," panggilnya.Dari arah dapur mbak Mi sedikit berlari kecil dan menyahuti panggilan majikannya, "iya Non ada apa?""Se
Pagi itu Anggara pergi ke kantor tanpa pamit dengan Davina. Jika dia Davina yang kemarin, maka hatinya akan sangat sedih mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya. Sayangnya Davina hari ini sudah berbeda, semenjak semalam dia mengetahui jika suaminya secara diam-diam mengambil isi rekeningnya. Anggara menggunakan sidik jari Davina untuk melakukan transaksi mobile banking, padahal saat itu Davina sedang tertidur. Meskipun Davina sempat sadar, tapi dia memilih untuk membiarkan Anggara melakukan apa yang dia mau."Bagus jika dia sudah pergi, tinggal aku suruh Mbak Mi pergi juga. Lalu para teknisi cctv akan segera datang," ucapnya sambil menatap jendela.Beberapa menit yang lalu Davina baru saja melihat suaminya pergi dengan mobil barunya, tentu saja ada Michelle juga yang sedang glendotan di lengan Anggara. Tidak ada rasa cemburu sedikitpun di hati Davina saat ini, sepertinya memang dia sudah mati rasa. "Mbak ... Mbak Mi," panggilnya."Iya Non, ada apa?" tanya mbak Mi."Sekarang tang
"Mas, ponsel ini yang keluaran terbaru udah ada lho. Kamu nggak mau beliin aku Mas," rayu Michelle."Boleh Sayang, emang berapa harganya?" Anggara tampak tersenyum menanggapi permintaan kekasihnya itu."Murah kok Mas, paling cuma 35 jutaan. Emang beneran kamu mau beliin aku Mas?" tanya Michelle untuk memastikan lagi."Iya dong, kamu pikir aku orang miskin. Tentu tidak Sayang hahaha ...,"ucapnya dengan percaya diri."Apa jangan-jangan kamu udah dapet duit lagi dari istrimu yang buta itu ya Mas?" Michelle terlihat semangat dengan pertanyaannya itu."Pinter banget sih kamu hahaha...." Anggara tertawa penuh kemenangan.Malam itu Anggara masuk ke kamar Davina sambil mengendap-endap saat Davina sudah terlelap. Lantaran saat di kantor Anggara mendengar jika Davina dikirim uang dalam jumlah banyak, sudah pasti saat itu uang istrinya masih banyak. Benar saja, ada beberapa gepok uang di laci nakas. Tanpa ragu dan takut Anggara mengambil beberapa gepok dan hanya disisakan dua gepok saja.'Orang
"Nak apa kamu terluka, kenapa kamu melamun?" tanya Johanes."Ah, e ... tidak kok Kek. Saya tidak apa-apa, silahkan di cek dulu Kek, apa isinya masih lengkap," usul Davina."Iya semuanya masih lengkap, sekali lagi terima kasih ya Nak. Sebagai ucapan terima kasih ku, ini untuk jajan nanti." Johanes memberi Davina sejumlah uang di dalam amplop coklat."Kakek, ini tidak perlu. Saya ikhlas menolong Kakek, sebenarnya itu tadi hanya gerakan reflek setelah mendengar Kakek berteriak tadi. Sepertinya kondisi Kakek sudah lebih aman sekarang, aku harap para pengawal Kakek tidak berada terlalu jauh dari Kakek. Aku harus pergi Kek, sampai jumpa." Davina segera pergi dengan melambaikan tangan.Johanes hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, lalu ia pergi bersama para pengawalnya. Sementara Davina sendiri merasa lega karena sepertinya kakek Johanes tidak mengenalinya. Saat ini perusahaan milik Johanes masih ada kerjasama dengan milik ayahnya, Davina takut jika Johanes mengenalinya maka akan mengatak
"Nak apa kamu terluka, kenapa kamu melamun?" tanya Johanes."Ah, e ... tidak kok Kek. Saya tidak apa-apa, silahkan di cek dulu Kek, apa isinya masih lengkap," usul Davina."Iya semuanya masih lengkap, sekali lagi terima kasih ya Nak. Sebagai ucapan terima kasih ku, ini untuk jajan nanti." Johanes memberi Davina sejumlah uang di dalam amplop coklat."Kakek, ini tidak perlu. Saya ikhlas menolong Kakek, sebenarnya itu tadi hanya gerakan reflek setelah mendengar Kakek berteriak tadi. Sepertinya kondisi Kakek sudah lebih aman sekarang, aku harap para pengawal Kakek tidak berada terlalu jauh dari Kakek. Aku harus pergi Kek, sampai jumpa." Davina segera pergi dengan melambaikan tangan.Johanes hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, lalu ia pergi bersama para pengawalnya. Sementara Davina sendiri merasa lega karena sepertinya kakek Johanes tidak mengenalinya. Saat ini perusahaan milik Johanes masih ada kerjasama dengan milik ayahnya, Davina takut jika Johanes mengenalinya maka akan mengatak
"Mas, ponsel ini yang keluaran terbaru udah ada lho. Kamu nggak mau beliin aku Mas," rayu Michelle."Boleh Sayang, emang berapa harganya?" Anggara tampak tersenyum menanggapi permintaan kekasihnya itu."Murah kok Mas, paling cuma 35 jutaan. Emang beneran kamu mau beliin aku Mas?" tanya Michelle untuk memastikan lagi."Iya dong, kamu pikir aku orang miskin. Tentu tidak Sayang hahaha ...,"ucapnya dengan percaya diri."Apa jangan-jangan kamu udah dapet duit lagi dari istrimu yang buta itu ya Mas?" Michelle terlihat semangat dengan pertanyaannya itu."Pinter banget sih kamu hahaha...." Anggara tertawa penuh kemenangan.Malam itu Anggara masuk ke kamar Davina sambil mengendap-endap saat Davina sudah terlelap. Lantaran saat di kantor Anggara mendengar jika Davina dikirim uang dalam jumlah banyak, sudah pasti saat itu uang istrinya masih banyak. Benar saja, ada beberapa gepok uang di laci nakas. Tanpa ragu dan takut Anggara mengambil beberapa gepok dan hanya disisakan dua gepok saja.'Orang
Pagi itu Anggara pergi ke kantor tanpa pamit dengan Davina. Jika dia Davina yang kemarin, maka hatinya akan sangat sedih mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya. Sayangnya Davina hari ini sudah berbeda, semenjak semalam dia mengetahui jika suaminya secara diam-diam mengambil isi rekeningnya. Anggara menggunakan sidik jari Davina untuk melakukan transaksi mobile banking, padahal saat itu Davina sedang tertidur. Meskipun Davina sempat sadar, tapi dia memilih untuk membiarkan Anggara melakukan apa yang dia mau."Bagus jika dia sudah pergi, tinggal aku suruh Mbak Mi pergi juga. Lalu para teknisi cctv akan segera datang," ucapnya sambil menatap jendela.Beberapa menit yang lalu Davina baru saja melihat suaminya pergi dengan mobil barunya, tentu saja ada Michelle juga yang sedang glendotan di lengan Anggara. Tidak ada rasa cemburu sedikitpun di hati Davina saat ini, sepertinya memang dia sudah mati rasa. "Mbak ... Mbak Mi," panggilnya."Iya Non, ada apa?" tanya mbak Mi."Sekarang tang
"Hallo selamat siang, saya butuh seseorang yang bisa dijadikan mata-mata. Bisakah kalian mengirimkan orang yang paling ahli? Berapa pun harganya akan saya bayar," ucap Davina.Yah, wanita itu menghubungi sebuah agen detektif yang cukup terkenal di kota itu. Lantaran aktingnya yang harus tetap berpura-pura buta, Davina memiliki batas ruang gerak. Dia tidak bisa mengikuti kemana suaminya pergi, sehingga ia memutuskan untuk menyewa seorang detektif saja."Aku harap dengan cara ini bisa membantuku," gumamnya sendiri. Data diri serta foto Anggara telah dikirimkan Davina ke agensi itu. Lalu seseorang mengabari jika akan menuju lokasi Anggara saat ini."Bagus, sekarang aku akan menghubungi pengacara ku." Davina mulai menceritakan semua yang dia alami ke pengacaranya. Dia juga meminta pengacaranya agar mendampinginya dalam proses yang sedang dia jalani sekarang. "Mba Mbak Mi," panggilnya.Dari arah dapur mbak Mi sedikit berlari kecil dan menyahuti panggilan majikannya, "iya Non ada apa?""Se
"Kamu dianter sopir kan Mas?" tanya Davina."Iya, nanti sopir yang anter aku. Kamu lanjutin makannya, aku mau berangkat dulu ya, bye!" Anggara mengecup kening Davina sebelum ia pergi."Hati-hati Mas," teriaknya.Saat suaminya sudah pergi, Davina melihat situasi dan tidak ada orang saat itu. Ia bergegas mengintip ke luar, dan benar saja Anggara tidak berangkat dengan sopir. Sopir yang sudah di siapkan oleh Hendra diberi kunci motor dan pergi begitu saja. Lalu Anggara menyetir sendiri dengan wajah sumringah."Jadi sopir dari Ayah pun kamu abaikan Mas, h'h akan ku tunjukkan permainan yang sesungguhnya." Davina kembali ke tempat duduknya dan memanggil Mbak Mi agar membantunya ke kamar."Mbak Mi, aku boleh minta tolong nggak?" Setelah sampai di ranjangnya, Davina memulai strategi awal."Boleh Non, mau minta tolong apa?" tanya Mbak Mi."Aku tuh lagi pengen ... banget rambutan rapiah, sebenernya kemarin itu pengen titip Mas Angga. Sayang aku lupa, selain itu aku juga takut ngrepotin Mas Angg
Tanpa sengaja seorang pria menabrak Davina dari belakang. Sambil terus menepuk-nepuk pipi Davina, pria itu mencoba membangunkannya. "Akh … sial, aku harus segera membawanya ke rumah sakit." Pria itu segera mencari taksi untuk membawa Davina ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Davina segera mendapatkan perawatan dari para tenaga medis. "Suster tolong berikan perawatan terbaik untuknya, saya akan membayarnya berapapun," pinta Pria itu. "Baik Pak, silahkan lakukan pendaftaran. Kami akan menangani pasien," jawab seorang suster. Pria itu segera ke bagian administrasi untuk melakukan registrasi pasien. Seorang petugas bertanya, "Bapak yang bertanggung jawab kan?" "Iya, saya yang menabraknya. Jadi saya yang bertanggung jawab, tolong berikan perawatan yang terbaik untuk wanita itu." Wajahnya terlihat panik. "Bapak atas nama siapa?" tanya petugas itu lagi. Pria itu tak menjawab, hanya memberikan kartu identitasnya pada petugas. "Denis!" Setelah semua perawatan selesai, Davina dip
Tak terasa sudah satu bulan semenjak kejadian naas itu, kini Anggara mulai bisa berjalan kembali. Walaupun belum sepenuhnya normal, setidaknya ia sudah bisa beraktivitas. Setelah mendapat persetujuan dari Davina, Anggara kini sudah mulai bergabung di perusahaan ayahnya. "Hai Vin, gimana kabarmu hari ini?" tanya Michelle yang baru saja datang. Selama satu bulan ini Michelle masih sering datang ke rumah Davina. Tak jarang wanita itu juga menginap di sana. "Eh kamu Chelle, iya aku baik kok. Kamu nggak kerja hari ini?" Davina terlihat sumringah mendengar suara sahabatnya. "Enggak aku lagi nggak ada job hari ini, tapi lusa aku harus pergi ke Jepang untuk pemotretan di sana," jelas Michelle. "Oh gitu, ya moga aja kerjaan mu lancar terus ya Chelle. Bisa jadi model terkenal seperti yang kamu cita-citakan dari dulu," kata Davina. Saat di tengah-tengah pembicaraan mereka, Davina dikejutkan dengan suara Michelle yang aneh. "Akhh ...." "Ada apa Chelle, kok suaramu begitu?" Hal itu jelas me
"Mas, Mas Angga," panggil Davina. Wanita itu baru saja bangun, saat meraba kasur di sampingnya ternyata suaminya sudah tidak ada. Ia pun kembali bersedih saat mengingat tentang kondisinya saat ini. "Kenapa duniaku segelap ini sekarang, hiks… bagaimana aku menghadapi masa depanku nanti." Air matanya kembali jatuh. Untung saja ia segera sadar, Davina tak ingin terus berlarut dalam kesedihannya itu. "Lebih baik aku keluar mencari udara segar sekaligus mencari Mas Angga," tuturnya. Lalu secara perlahan Davina turun dari ranjang dan mulai mencari pintu keluar. "Sepertinya itu suara Mas Angga," terkanya. Ia mendengar suara suaminya sedang bercanda gurau dengan Michelle. "Mas, Michelle," panggil Davina. "Ya ampun, kamu udah bangun Vin? Kok nggak panggil aku?" Michelle segera membantu Davina. "Aku sudah memanggil kalian, tapi tidak ada yang mendengarnya. Ternyata kalian sedang di sini, memangnya kalian sedang apa Chelle?" Demi mengobati rasa penasarannya, Davina pun bertanya. "Oh, kami
Seorang pria paruh baya berlari di lorong rumah sakit. Wajahnya terlihat panik, ditambah dengan guratan halus tanda penuaan. Sesampainya di depan IGD, ia melihat ada sepasang suami istri paruh baya juga yang sedang duduk dengan wajah sedih. "Bagaimana keadaan mereka, apa mereka baik-baik saja?" tanya Hendra ayah Davina. "Dokter masih memeriksanya," sahut Dewo Seomito ayah Anggara suami Davina. Dokter keluar dari ruang IGD sambil melepas masker. "Keluarga pasien Anggara dan Davina?" "Iya Dok, kami orang tuanya." Hendra lebih dulu maju, rasa khawatir nya tak lagi bisa ia bendung. "Baik, saya jelaskan pelan-pelan ya Pak. Kondisi Pak Anggara mengalami patah lengan dan kaki, sehingga mengharuskan kami untuk mengambil tindakan operasi secepatnya." Mendengar penjelasan seperti itu membuat mamanya Anggara menangis, begitu juga dengan papanya. Akan tetapi, dokter tetap melanjutkan perkataannya, "tapi … pasien Davina tidak mengalami luka berat, hanya saja beliau mengalami kebutaan dan kami