Sejak 2014 aku sudah tidak bekerja lagi di Bank aku memutuskan untuk mengundurkan diri demi suami dan putriku, Rolling tugas keluar kota yang berjarak 8 jam dari rumahku tidak dapat aku penuhi. Karier bagiku memang penting, tapi meninggalkan putri kecilku sanggatlah berat untukku, kejenuhan untuk bekerjapun mulai mengekang hari-hariku untuk beberapa bulan ini, lelah yang aku rasakan saat mengurus Quenniera di kala malam sering membuatku tidak konsentrasi saat bekerja. Untuk pertama kalinya aku merasakan beban yang begitu berat, di satu sisi memikirkan kerja, bisnis yang aku rintis, mengurus anak dan setres memikirkan suami yang tergoda oleh pelakor.
***Mau tak mau aku pun harus bekerja kembali, kali ini aku bekerja di sebuah koperasi yang bekerja sama di kantor pos kotaku. Pekerjaannya tidak menyita banyak waktu, dan aku sangat mengenal baik manajernya, ya dia sahabatku Widya. Memutuskan membuat bisnis pakaian ternyata tidak semudah yang aku bayangkan apalagi di kala kondisiKejenuhan akan hidup kian menggangguku, bayangan Rahman harus segera aku hapus dalam pikirku ini, biarlah jika kelak ia memilih wanita itu dari pada aku dan Queeniera. Ya aku harus sendiri dulu, aku ingin sendiri saja walau sebentar. Mematangkan niatku untuk berpisah dari Rahman.Tapi sebelum aku pergi berlibur, aku harus bertemu Febri terlebih dahulu, ya aku harus memohon maaf kepadanya. Dan jujur tentang kejadian saat SMA dahulu, kenapa aku sampai harus meninggalkan dia saat kuliah. Aku dengar dari teman-teman SMA karena aku, Febri belum bisa move on dan memiliki pendamping yang serius sampai kini. Aku menelponnya, jarak rumah Febri dari kantorku tidak jauh ya, 10 menit saja aku sudah di jemput olehnya.“Masuk Sin ke mobil.”“Ya Feb, terima kasih.”“Tumben, kenapa telepon Gue, sudah beberapa tahun ini gak ketemu, bodiguard Lo kemana Sin?”“Lagi pergi ke laut sama pelakor Feb.”“Serius Lo Sin? Sintia suaminya di rebut pelakor?”“Ya, kenapa musti kag
Satu tahun aku hidup di madu, ada yang bilang Rahman hanya pacaran, ada yang bilang Rahman telah menikah lagi di belakangku. Karier aku hancur, anak ku tumbuh tanpa ayah, Rahman tetap kerja, dia selalu pergi pagi dan pulang tengah malam bahkan hampir subuh. Hidupku bagaikan neraka. Sikap cueknya membuat aku muak. Semakin hari dia semakin dingin terhadapku, tetapi terhadap Queeniera rasa sayangnya masih tetap sama.Hilang sudah rasa romantis Rahman kepadaku, dulu yang selalu setia menemani aktivitasku kini nyaris tidak sama sekali. Aku pergi kerja sendiri, makan siang bersama teman-teman, Shopping , ke salon Rahman benar-benar tak peduli dengan apa yang kulakukan dan kian acuh dan makin acuh saja.Selain bekerja, aku tetap merintis usahaku di rumah, mulai dari toko pakaian anak, aksesoris Hp, pulsa Hp, obat herbal dan lain sebagainya. Semua kegiatan itu ku lakukan demi menghilang kan rasa sepi ku. Terkadang mama dan Egi yang selalu mendukungku untuk bisnis, tak ada rasa m
Sudah lama Sintia terluka oleh Rahman, Sintia pun sudah kuat memutuskan bercerai dari Rahman, keputusan yang sudah benar-benar bulat. Badanku kian kurus, air mata pun telah habis, berhari-hari dan bertahun-tahun aku selalu menangisi rasa sakit yang seharusnya dan lebih baik tak pernah aku tangisi. Aku akan pergi Rahman, hiduplah dengan dia bukan aku dan anakmu. Hari ini hatiku kuat untuk berkata itu, kata-kata yang mungkin terasa berat terucap dari mulutku 1 tahun lalu saat aku mengetahui kebusukan permainanmu dengan dia. Dan kini, hampir setiap malam Rahman pulang larut selalu saja dia pulang di atas jam 20.00 WIB, badan kusut, bau bensin dan debu tampak habis melakukan perjalanan jauh. Ke mana dia pergi? padahal sudah tidak kerja lagi. Temanku yang aku tugaskan untuk mengikuti pun memberi kabar, kalau Rahman sering datang ke kosan selingkuhannya itu, hampir setiap hari dia menghabiskan waktunya di sana, buat apa lagi jika bukan menghabiskan waktu dan bersenang-
Beberapa minggu berlalu, ya kini aku benar-benar sudah terbebas, dan tampaknya dia sudah benar-benar tak peduli kepada kami lagi. Mungkin perpisahan ini yang sudah mereka harapkan, idam-idamkan, nantikan selama ini. Egi, dia main ke rumahku, aku ceritakan apa yang sudah terjadi, bahwa aku telah bercerai dari Rahman, dan aku cerita kan segala perasaan galau kepadanya. Aku ingin dia menjauh dariku, agar tidak terjadi fitnah di lingkungan kami. Egi meneteskan air mata, dia bilang kepadaku andai semua waktu bisa di putar ke saat tahun-tahun 2010 lalu. Mungkin semua hal yang buruk bisa berubah. Tapi kita juga harus paham, jika jodoh, maut, rejeki atau perpisahan sekalipun adalah takdir yang sudah di tetapkan Allah. ”Kenapa semuanya jadi harus berakhir seperti ini, kak Egi sudah ada pengganti Kamu, namanya Natalie, kakak pacaran dengannya setelah kamu pergi dan tak ada kabar berita lagi. Sulit dek melupakan Kamu.”“Iya maafkan Sintia ya Kak.”“Kak Egi benar-benar
April tahun 2017 aku pergi ke Jakarta untuk mengharapkan karier yang baru, serta kehidupan baru. Quenniera aku titipkan kepada mama dan papa di Lampung. Aku putuskan pindah kota dengan Alan memadu cerita asmara baru yang berawal dari status kawan lama saja. Akan tetapi cinta ku dengan Alan adalah cinta terlarang. Ya Alan belum sah bercerai dengan istrinya, dia lagi mengurus proses cerainya yang maju mundur. Singkat cerita, istri Alan terlalu matre dan mendewakan dunia, sehingga Alan merasa tidak kuat untuk melanjutkan pernikahan yang jauh dari prinsip hidupnya yang aku kenal sederhana.Alan adalah sahabat lamaku saat bekerja di salah satu Bank swasta di Lampung, hanya kami berbeda cabang saja. Aku di cabang Metro, dan Alan di cabang Sribawono. Awal berpisah dari Rahman hampir setiap saat aku bermain Face Book. Di Face Book yang menjadi awal pertemuan aku dan Alan, Alan meminta perkawanan dengan ku di Face Book. Setelah dua hari kemudian, Alan mengirimkan pesan kepadaku di d
Tiga tahun sudah Queeniera aku titip kan kepada orang tuaku di kampung. Aku bekerja berpindah-pindah untuk mencari kata tenang agar tidak di ganggu oleh mantan suami maupun pelakor jahat itu. Mama dan Papa tiriku tampak semakin tua setiap kali ku menjenguk tampak nyata guratan-guratan tua dan kesedihan di wajah mereka. Jelas, pasti saja berat mereka memikirkan nasib hidupku yang lagi tidak baik-baik saja ini.Kini aku tinggal dan bekerja di Jakarta, berat sih berat bahkan tidak pernah terbayangkan sejak dulu harus bisa berjuang di kota metro politan yang penuh kejahatan, pergelutan dalam dunia kerja dan yang pasti tak ada yang gratis disini. Aku harus menyewa kamar kos, harus mencari makan sendiri, dan berjuang pergi ke kantor sendiri berjubelan di atas kendaraan umum baik kereta maupun busway. Tidak banyak teman yang aku miliki karena ini adalah kota baru yang aku singgahi untuk mencari kerja dan rejeki yang baru.Setiap awal bulan aku selalu menyempatkan diri unt
Malam ini, aku tersenyum sendiri di pojok kamarku. Senyum yang entah merasa sedih atau bahagia. Teringat hari itu di kala aku dan Hilda memutuskan mencari kerja di Jakarta. Nekad hanya beberapa jam saja mematangkan rencana mencari kerja berlima dengan Alan, Deo dan Wahyu. Ruru nugraha telah melarangku untuk ikut mereka, ya sahabartcenayangku dia bilang padaku.“Untuk apa ke Jakarta, urungkan saja jika masih mungkin, di sana mungkin akan ada kehidupan tapi tak jauh rumitnya seperti disini. ““Ya aku harus memberi kesempatan untuk Alan.”“Alan ingin pergi karena hatinya masih gelap, masih bingung diantara dua pilihan.”“Iya Ru, aku faham, tapi apa salahnya jika aku berusaha untuk percaya.”“Ya terserah Sin, tak bisa juga aku menahanmu, kau masih di butakan oleh cinta, hanya sedih saja aku melihat semua yang akan kamu lakukan adalah sia-sia belaka.”“Ru, doakan.”&ldqu
Hampir setahun aku menyendiri dan hanya fokus dengan kerja saja, semua lelaki yang mendekati hanya aku anggap teman semata, tidak ada perasaan lebih dari itu semua. Jujur sekarang aku lebih peka untuk menilai laki-laki. Sekiranya mereka yang hanya sekedar iseng, sekedar main-main, sekedar coba-coba aku juga sama cukup sekedar kenal saja dengan mereka itu. Hati dan perasaanku cukup mahal untuk sekedar main-main kini. Ya aku hanya ingin mencari pendamping yang pasti, yang mapan, yang memiliki kerja dan siap menghidupi aku dan Queeniera kelak. Saat menelepon putri ku sering sekali yang di tanyakan adalah sosok Papa. Ya di usia nya yang baru 3 tahun, antara mengenal dan mungkin lupa dengan sosok papa yang terkenang di memory otaknya itu."Mama beli papa baru dong." Atau, "Ma enak ya Aziz selalu di antarkan sekolah sama Papa dan mamanya Queeniera kapan Ma."Semua kata-kata yang Queeniera tanyakan dan lontarkan itu, terkadang aku hanya dapat menangis dan menjer