"Apa yang harus saya tolong tante, dia mengundurkan diri tanpa desakan siapapun jadi biarkan dia memilih jalannya." "Kamu tahu kan' zaman sekarang susah cari kerjaan, kalau dia menganggur bagaimana bisa makan?""Dia pasti sudah mikirin itu tante, jadi aku tidak akan merepotkan diri dengan kehidupan orang lain." Aku melepaskan tangannya yang menggenggam tanganku. Sakit rasanya hati ini bila ingat dia lebih mementingkan aruni daripada aku yang merupakan istri sah anaknya. Dia bahkan rela tutup mata dan telinga demi membiarkan aruni dan Arman tetap bersama. Berapa kali aku teriak tentang kesakitan, aku mengadu padanya tentang sikap suamiku, tapi dia diam saja. Sekarang, saat semuanya sudah berada di ambang batas, dia datang dan minta bantuanku. Hanya ingat saat butuh pertolongan, demi Tuhan, aku takkan memberi mereka kesempatan untuk memanfaatkanku. "Sejak kamu jadi calon istri orang kaya, kamu jadi sombong." Wanita tua itu gemas sikap acuh yang kutunjukkan di hadapannya. Dia menata
Aku kembali ke meja kerja, sementara para staf dari divisiku terus menggoda diri ini dan mengulang-ulang ucapkan pak direktur barusan. "Ada ribuan orang yang bergantung hidup padaku tapi aku hanya bergantung pada satu orang," ucap Randy, analis kesejahteraan kami. Dia jelas menggodaku dengan senyumnya yang dikulum, aku hanya menggelengkan kepala sambil menahan senyum. "Sudahlah hentikan," ucapku sambil mengibaskan tangan ke udara. "Bisa-bisanya anda tidak terpengaruh dengan ucapan Pak direktur dan hanya memasang wajah dingin. Apa Ibu sengaja menyembunyikan kebahagiaan ibu?""Begitulah," ujarku mengangkat bahu, aku tidak tertawa sama sekali, berusaha untuk tetap bersikap datar agar orang tidak memanfaatkan perasaanku. "Tapi anda sungguh beruntung." Pemuda yang selalu ceria dan suka melucu itu memuji keberuntunganku. "Mudah-mudahan satu keberuntungan diikuti oleh keberuntungan keberuntungan yang lain.""Mudah mudahan Bu... Tapi sepertinya masih ada aral yang melintang.""Maksudnya
Saat kudatangi lobi Timur beberapa petugas keamanan dan dua orang staf yang tengah menerima berkas dari calon pegawai membungkuk hormat pada diri ini. "Selamat sore Bu."Melihat keanggunan, pakaian dan perhiasanku yang cukup menarik perhatian orang-orang menatap diri ini. Melihatku dipanggil ibu orang-orang juga membungkuk hormat dan berusaha menarik perhatianku agar aku mau menerima beberapa dari mereka untuk bekerja di kantor ini. "Antriannya banyak sekali ya?""Iya, Bu, bahkan sejak subuh tadi mereka sudah mengantri.""Apa sudah ada yang diwawancarai?" "Belum Bu, belum sempat.""Oh." Aku tersenyum lalu berjalan-jalan melihat kerumunan itu. Di antara semua orang yang terpaku pandangannya padaku, aruni tak sengaja berpapasan dengan diri ini. Sejak tadi dia sibuk bermain ponsel dan kaget dengan kehadiranku. Melihat diri ini dengan setelan burgundy, wanita itu tercengang dan berusaha mengendalikan ekspresinya yang gugup. "Kau melamar di sini?"Wanita itu berusaha tidak menatapku.
"Siaaal!" Aku menggebrak tas dan melempar lemariku saat tiba di apartemen. Aku marah dan aku sedang berada di puncak kekesalan kepada Hanifah. Wanita bodoh yang naif itu dia telah berhasil mengalahkanku, kupikir aku berhasil mendapatkan Arman dan hidupnya akan semakin terpuruk setelah aku memenangkan suaminya, tapi ternyata wanita itu melontar tinggi seperti bintang dan bersinar, dia jadi pusat perhatian semua orang, lalu sebentar lagi akan jadi salah satu orang terkaya di kota ini."Beraninya dia meremehkan diri ini depan orang ramai! Kurang ajar!"Sekali lagi aku melempar gelas hingga pecah berkeping-keping ke lantai. Hidupku sudah hancur karena perbuatan Hanifah, hubunganku dengan Arman memburuk dan Pak Rudi juga menjauhiku. Bos kami yang tadinya sangat tergila-gila padaku itu tiba-tiba memutuskan hubungan karena mulut Hanifah. Dia mempermalukanku di restoran dan memanggil Arman sehingga terjadi keributan. Bukan cuma itu imbasnya, Pak Rudi juga memecat dan meminta diri ini mencar
Melihat dia menghubungiku aku gelagapan segera meraih ponselku, Aku kaget dihubungi olehnya dan ini adalah kesempatan untuk meraih kepercayaan pria itu lagi. "Arman, hai... Berhari-hari aku nungguin kabar dari kamu. Kamu di mana Arman?""Kamu yang ada di mana?""Aku di apartemenku. Tolong dengarkan aku, Arman... Please!""Ada apa?""Aku yakin kamu nelpon aku karena ada kepentingan kan?""Ga juga!""Tolong jangan bersikap dingin aku tahu kok kamu masih sayang ke aku.""Oh ya, kamu yakin?""Arman tolong beri aku kesempatan dan maafkan aku, kita belum bicara sejak kamu marah di restoran kemarin. Berulang kali aku kirim chat dan pesan tapi kamu nggak pernah balas.""Aku nggak baca semua pesannya karena pesan-pesan itu sangat panjang dan bikin aku pusing. Kalau ada yang mau kamu katakan katakan saja," jawab lelaki tampan itu dari seberang sana. Dulu dia begitu mempesona di mataku, tapi sejakbercerai dengan Hanifa, lelaki pujaanku itu berubah jadi urak urakan dan tidak terurus. Aku juga
Setelah meninggalkan apartemen aruni, meninggalkan kehancuran hidupku yang semuanya bermula dari wanita itu, aku mulai menyadari bahwa aku sudah kehabisan waktu dan kehilangan semua kesempatanku untuk bersama Hanifah. Ya, Hanifah.Wanita yang ternyata telah banyak mendedikasikan hidupnya untukku, dia mengurusku, melahirkan anakku dan mendidik mereka dengan baik. Bahkan setelah aku meninggalkannya, dia tetap berjuang sendirian agar Inayah dan Dika mendapatkan hidup yang layak dan stabil. Ah, segila apa diri ini sampai aku tega meninggalkannya demi kenikmatan sesaat. Aku sebodoh apa aku mengorbankan keluargaku demi kebahagiaan semua yang nyatanya hancur begitu saja. Aruni bukan wanita yang baik, kupikir dia hanya untukku tapi ternyata dia adalah petualang yang sedang mencari kehidupan nyaman dan kekayaan. Aku pikir dia akan memberiku kebahagiaan seperti Hanifah tapi ternyata dia hanya memberiku kesulitan dan kesedihan. Aku dicuci maki keluarga, aku juga dibenci oleh mertua, belum ten
Sekian lama mencoba dengan berbagai alasan untuk menemui Hanifa, aku seakan kehabisan cara untuk membujuk mantan istriku itu. Satu-satunya cara yang bisa kujadikan alasan Pamungkas untuk bertemu dengannya adalah bertemu dengan anak-anak, alasan ingin menjenguk mereka kujadikan dalih agar aku bisa menjumpai Hanifah. Terpikir dalam benakku, Anda sisa waktuku sebentar lagi, dan mungkin aku akan meninggal beberapa hari lagi, Aku ingin menghabiskan waktu bersama anak-anak dan mencuci kesalahanku di mata Hanifa. Mungkin sedikit peluang untuk bisa kembali padanya tapi aku ingin membuat dia memaafkanku dan mau tersenyum lagi, Aku ingin melihat wajahnya yang berbinar dan senyumnya yang tulus seperti dulu. Senyum indah yang hanya terlukis untukku. "Boleh aku minta waktu bersama anak-anak minggu depan?""Iya akan ku antar mereka kepadamu.""Baik, terima kasih," balasku.Hanya itu, lalu ia mematikan ponselnya. Aku tidak terkejut dengan sikapnya yang dingin, harusnya Aku bersyukur dia masih men
Selesai makan aku tiba-tiba terlintas ide untuk mengajak anak-anak jalan-jalan, aku penasaran Hanifah akan kemana bersama kekasihnya itu. Aku ingin melihatnya dan melihat bagaimana interaksinya bersama calon suaminya itu. Aku tahu ide itu akan menyakitkan hatiku tapi entah kenapa keinginan untuk "menguntitnya" terasa begitu kuat di hatiku. Aku sangat cemburu istriku akan menikah tapi aku rindu ingin melihatnya meski itu dari kejauhan. Meski hatiku terbakar oleh rasa iri dan dengki tapi aku juga senang jika di sisi lain ada laki-laki yang mencintai dan ingin membahagiakannya. Hanifa pantas mendapatkan hidup yang lebih baik setelah penderitaan panjangnya bersamaku. Aku tahu selama menikah denganku, Hanifah lebih banyak korban perasaan dan kesabaran, dia lebih sering menunda keinginannya demi mencukupi uang belanja keluarga dan kepentinganku. Aku baru menyadari betapa baik dan taatnya istriku itu, baru menyadari betapa berharganya dia setelah dia pergi dari kehidupanku. Ya, semiris dan