Melihat Arman pergi begitu saja wanita itu putus asa untuk mengejarnya, di sisi lain lelaki bernama Rudi mulai berkemas dan meninggalkan restoran itu, pria bertubuh tinggi itu membayar tagihan makanan lalu berinisiatif meninggalkan restoran dengan segala kekecewaan hatinya. Sempat kami berpapasan mata, sementara masih banyak pengunjung restoran lain yang memperhatikan drama itu dengan segala komentar dan tertawaan mereka. "Aku pamit!"Aruni terkesiap dengan ucapan Rudi, dia menggelengkan kepala dan berusaha membujuk lelaki itu agar mau bicara dengannya."Tunggu ya Mas, aku bisa jelasin, lelaki itu hanya rangkaian masa lalu yang sudah selesai... tapi dia merasa masih punya hubungan denganku.""Cukup!" Kalau gitu menggelengkan kepala sambil mengangkat jari telunjuknya."Lain kali jangan seperti itu, jika kau ingin memberi harapan dan cinta ... berikan hanya pada satu orang saja. Jangan mulai hubungan baru Jika hubungan lama belum tuntas!" "Tapi Mas... hanya dia yang merasa mencintai
"Apa yang harus saya tolong tante, dia mengundurkan diri tanpa desakan siapapun jadi biarkan dia memilih jalannya." "Kamu tahu kan' zaman sekarang susah cari kerjaan, kalau dia menganggur bagaimana bisa makan?""Dia pasti sudah mikirin itu tante, jadi aku tidak akan merepotkan diri dengan kehidupan orang lain." Aku melepaskan tangannya yang menggenggam tanganku. Sakit rasanya hati ini bila ingat dia lebih mementingkan aruni daripada aku yang merupakan istri sah anaknya. Dia bahkan rela tutup mata dan telinga demi membiarkan aruni dan Arman tetap bersama. Berapa kali aku teriak tentang kesakitan, aku mengadu padanya tentang sikap suamiku, tapi dia diam saja. Sekarang, saat semuanya sudah berada di ambang batas, dia datang dan minta bantuanku. Hanya ingat saat butuh pertolongan, demi Tuhan, aku takkan memberi mereka kesempatan untuk memanfaatkanku. "Sejak kamu jadi calon istri orang kaya, kamu jadi sombong." Wanita tua itu gemas sikap acuh yang kutunjukkan di hadapannya. Dia menata
Aku kembali ke meja kerja, sementara para staf dari divisiku terus menggoda diri ini dan mengulang-ulang ucapkan pak direktur barusan. "Ada ribuan orang yang bergantung hidup padaku tapi aku hanya bergantung pada satu orang," ucap Randy, analis kesejahteraan kami. Dia jelas menggodaku dengan senyumnya yang dikulum, aku hanya menggelengkan kepala sambil menahan senyum. "Sudahlah hentikan," ucapku sambil mengibaskan tangan ke udara. "Bisa-bisanya anda tidak terpengaruh dengan ucapan Pak direktur dan hanya memasang wajah dingin. Apa Ibu sengaja menyembunyikan kebahagiaan ibu?""Begitulah," ujarku mengangkat bahu, aku tidak tertawa sama sekali, berusaha untuk tetap bersikap datar agar orang tidak memanfaatkan perasaanku. "Tapi anda sungguh beruntung." Pemuda yang selalu ceria dan suka melucu itu memuji keberuntunganku. "Mudah-mudahan satu keberuntungan diikuti oleh keberuntungan keberuntungan yang lain.""Mudah mudahan Bu... Tapi sepertinya masih ada aral yang melintang.""Maksudnya
Saat kudatangi lobi Timur beberapa petugas keamanan dan dua orang staf yang tengah menerima berkas dari calon pegawai membungkuk hormat pada diri ini. "Selamat sore Bu."Melihat keanggunan, pakaian dan perhiasanku yang cukup menarik perhatian orang-orang menatap diri ini. Melihatku dipanggil ibu orang-orang juga membungkuk hormat dan berusaha menarik perhatianku agar aku mau menerima beberapa dari mereka untuk bekerja di kantor ini. "Antriannya banyak sekali ya?""Iya, Bu, bahkan sejak subuh tadi mereka sudah mengantri.""Apa sudah ada yang diwawancarai?" "Belum Bu, belum sempat.""Oh." Aku tersenyum lalu berjalan-jalan melihat kerumunan itu. Di antara semua orang yang terpaku pandangannya padaku, aruni tak sengaja berpapasan dengan diri ini. Sejak tadi dia sibuk bermain ponsel dan kaget dengan kehadiranku. Melihat diri ini dengan setelan burgundy, wanita itu tercengang dan berusaha mengendalikan ekspresinya yang gugup. "Kau melamar di sini?"Wanita itu berusaha tidak menatapku.
"Siaaal!" Aku menggebrak tas dan melempar lemariku saat tiba di apartemen. Aku marah dan aku sedang berada di puncak kekesalan kepada Hanifah. Wanita bodoh yang naif itu dia telah berhasil mengalahkanku, kupikir aku berhasil mendapatkan Arman dan hidupnya akan semakin terpuruk setelah aku memenangkan suaminya, tapi ternyata wanita itu melontar tinggi seperti bintang dan bersinar, dia jadi pusat perhatian semua orang, lalu sebentar lagi akan jadi salah satu orang terkaya di kota ini."Beraninya dia meremehkan diri ini depan orang ramai! Kurang ajar!"Sekali lagi aku melempar gelas hingga pecah berkeping-keping ke lantai. Hidupku sudah hancur karena perbuatan Hanifah, hubunganku dengan Arman memburuk dan Pak Rudi juga menjauhiku. Bos kami yang tadinya sangat tergila-gila padaku itu tiba-tiba memutuskan hubungan karena mulut Hanifah. Dia mempermalukanku di restoran dan memanggil Arman sehingga terjadi keributan. Bukan cuma itu imbasnya, Pak Rudi juga memecat dan meminta diri ini mencar
Melihat dia menghubungiku aku gelagapan segera meraih ponselku, Aku kaget dihubungi olehnya dan ini adalah kesempatan untuk meraih kepercayaan pria itu lagi. "Arman, hai... Berhari-hari aku nungguin kabar dari kamu. Kamu di mana Arman?""Kamu yang ada di mana?""Aku di apartemenku. Tolong dengarkan aku, Arman... Please!""Ada apa?""Aku yakin kamu nelpon aku karena ada kepentingan kan?""Ga juga!""Tolong jangan bersikap dingin aku tahu kok kamu masih sayang ke aku.""Oh ya, kamu yakin?""Arman tolong beri aku kesempatan dan maafkan aku, kita belum bicara sejak kamu marah di restoran kemarin. Berulang kali aku kirim chat dan pesan tapi kamu nggak pernah balas.""Aku nggak baca semua pesannya karena pesan-pesan itu sangat panjang dan bikin aku pusing. Kalau ada yang mau kamu katakan katakan saja," jawab lelaki tampan itu dari seberang sana. Dulu dia begitu mempesona di mataku, tapi sejakbercerai dengan Hanifa, lelaki pujaanku itu berubah jadi urak urakan dan tidak terurus. Aku juga
Setelah meninggalkan apartemen aruni, meninggalkan kehancuran hidupku yang semuanya bermula dari wanita itu, aku mulai menyadari bahwa aku sudah kehabisan waktu dan kehilangan semua kesempatanku untuk bersama Hanifah. Ya, Hanifah.Wanita yang ternyata telah banyak mendedikasikan hidupnya untukku, dia mengurusku, melahirkan anakku dan mendidik mereka dengan baik. Bahkan setelah aku meninggalkannya, dia tetap berjuang sendirian agar Inayah dan Dika mendapatkan hidup yang layak dan stabil. Ah, segila apa diri ini sampai aku tega meninggalkannya demi kenikmatan sesaat. Aku sebodoh apa aku mengorbankan keluargaku demi kebahagiaan semua yang nyatanya hancur begitu saja. Aruni bukan wanita yang baik, kupikir dia hanya untukku tapi ternyata dia adalah petualang yang sedang mencari kehidupan nyaman dan kekayaan. Aku pikir dia akan memberiku kebahagiaan seperti Hanifah tapi ternyata dia hanya memberiku kesulitan dan kesedihan. Aku dicuci maki keluarga, aku juga dibenci oleh mertua, belum ten
Sekian lama mencoba dengan berbagai alasan untuk menemui Hanifa, aku seakan kehabisan cara untuk membujuk mantan istriku itu. Satu-satunya cara yang bisa kujadikan alasan Pamungkas untuk bertemu dengannya adalah bertemu dengan anak-anak, alasan ingin menjenguk mereka kujadikan dalih agar aku bisa menjumpai Hanifah. Terpikir dalam benakku, Anda sisa waktuku sebentar lagi, dan mungkin aku akan meninggal beberapa hari lagi, Aku ingin menghabiskan waktu bersama anak-anak dan mencuci kesalahanku di mata Hanifa. Mungkin sedikit peluang untuk bisa kembali padanya tapi aku ingin membuat dia memaafkanku dan mau tersenyum lagi, Aku ingin melihat wajahnya yang berbinar dan senyumnya yang tulus seperti dulu. Senyum indah yang hanya terlukis untukku. "Boleh aku minta waktu bersama anak-anak minggu depan?""Iya akan ku antar mereka kepadamu.""Baik, terima kasih," balasku.Hanya itu, lalu ia mematikan ponselnya. Aku tidak terkejut dengan sikapnya yang dingin, harusnya Aku bersyukur dia masih men
*Menjelang liburan ke Eropa, intensitas kesibukanku semakin meningkat, aku harus memberikan pembekalan pada tim marketing dari orang-orang yang ada di toko agar menjaga kinerja mereka selama aku tidak berada di Indonesia. Aku juga melatih asisten rumah tangga dan penjaga anak-anak agar mereka tetap disiplinkan seperti biasa. Hanya libur di hari Sabtu dan Minggu dan tetap melakukan les tambahan belajar di hari biasa. Tak lupa juga kutekankan agar para pengasuh tetap menyuruh anak-anak disiplin beribadah, juga kuberitahu asisten rumah tangga baru untuk mengurusi obat herbal mertuaku. Mereka harus minum itu setiap pagi sebelum sarapan, jadi asisten harus menyiapkannya dalam keadaan hangat. *Keberangkatanku ke Eropa adalah hal yang paling membuatku antusias. Setelah tujuh bulan menikah, untuk pertama kalinya aku dan Mas Renaldi akan punya waktu berdua saja tanpa kehadiran anak-anak dan kerabat lainnya. Benar-benar hanya aku dan dia saja tanpa asisten atau bodyguard yang mengikuti ka
*"Kulihat-lihat usahamu maju ya," ucap Lorena saat dia berkunjung ke butik tempat mendesain produk dan menjual barang. Aku yang cukup kaget dengan kedatangannya hanya bisa tersenyum sambil mengangguk tipis. "Iya, Alhamdulillah.""Aku tahu kau tak senang aku datang ke sini.""Tidak juga, hanya saja... tumben." Aku sedikit bingung kenapa dia mengunjungiku, ada kecanggungan di antara kami yang membuat aku dan dia hanya saling menatap tanpa bicara lagi."Apa kau senang dengan bisnis ini.""Aku senang, merasa beruntung ada tim marketing dan support yang memadai. Mas Renaldi memberiku kesempatan dan dukungan, tanpa dia mustahil merkku terjual dengan cepat.""Aku yang memberinya saran untuk menggunakan tim marketing dan orang-orang yang terpilih.""Kalau begitu terimakasih," balasku pada wanita berambut panjang itu."Ya kau pantas mendapatkannya."Aku tertawa karena untuk pertama kalinya dia bilang aku pantas mendapatkan sesuatu. "Tumben.""Dipikir-pikir kau memang pantas mendapatkanny
"gimana aku nggak marah kalau kamu nggak adil. Kamu juga membiayai wanita yang unik itu untuk membuka usaha dan memberikan sekolah terbaik untuk anak-anak mereka. Jomplang sekali dengan pelayananmu pada anak kita.""Kalau begitu biarkan clarra bersamaku, biar dia tinggal denganku maka akan kuberikan perusahaan itu untuknya!"Wanita itu terdiam sepertinya dia keberatan untuk menyerahkan clarra kepada Mas Rinaldi karena jika Clara pindah bersama kami maka wanita itu tak akan punya cara lagi untuk mendapatkan uang bulanan dari Mas Renaldi. Hebat sekaligus licik sekali, saat dia sendiri sudah punya suami tapi masih mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Lima ratus juta perbulan, untuk uang sekolah dan kebutuhan Clara yang sebenarnya tidak akan sebanyak itu. Tapi aku tidak punya hak untuk keberatan pada pemberian suamiku untuk anaknya, itu adalah urusan pribadi yang tidak boleh diganggu gugat."Pulang dan nikmati hidup dengan suamimu, bukankah kau sangat mencintainya! Selagi aku masih m
Sesuai dengan janji Mas Renaldi yang akan pergi ke sekolah anak-anak demi menegur orang-orang yang telah mengganggu mereka dan meminta kepada gurunya agar lebih berhati-hati. Suamiku mengunjungi tempat itu pukul 10.00 pagi dan dikabarkan padaku oleh asisten pribadinya Pak Dedi. Pria yang sudah 15 tahun jadi asisten Suamiku itu bilang kalau Mas Renaldy mengancam kepala sekolahnya, dia bilang tidak boleh Ada kesenjangan di sekolah tersebut, meski muridnya berasal dari latar belakang yang berbeda. "Bukan cuma anak orang kaya atau indo saja yang boleh menikmati fasilitas bagus, bahkan anak-anak dari kalangan menengah ke bawah dan latar belakang biasa saja mereka bisa menikmati pendidikan yang lebih baik dari sekolah umum.""Oh dia bilang begitu ya pak?""Iya Bu, Bapak juga bilang kalau tindakan bullying ini masih berlanjut maka beliau akan melaporkan ini ke dinas pendidikan dan mengadakan rapat pertemuan wali murid yang bisa berujung pada penutupan sekolah.""Wah, itu menakutkan juga Pa
Kilau matahari menerangi kamarku, desir angin meniupkan tirai kamar yang terbuat dari kain satin, pintu balkon meniupkan hawa dingin ke arahku.Lembut gaun satin yang membungkus tubuh seakan memanjakanku, ditambah dengan nyamannya tempat tidur dan mewahnya kamar kami, aku seperti seorang ratu di istana sendiri. "Kalau pintunya terbuka berarti Mas Renaldi sudah pergi," gumamku sambil bangun dari tempat tidur dan menyibak selimut.Saat membuka pintu kamar, asisten rumah tangga yang kebetulan lewat menyapa dan membungkuk hormat. "Selamat pagi Nyonya l, mau sarapan apa pagi ini? Mau dibawakan ke kamar atau sarapan bersama mertua nyonya. ""Tidak apa, saya akan ambil sendiri," balasku. Terbiasa mengurus diriku sendiri sedikit membuatku canggung saat seseorang menawariku hendak makan apa dan diantar ke mana. "Nyonya ada kegiatan hari ini, kalau ada kami akan siapkan pakaiannya.""Tidak ada Mba, terima kasih atas bantuannya.""Dengan senang hati Nyonya," balasnya sambil tersenyum dan mela
Setelah menenangkan anak-anak atas insiden yang terjadi di meja makan, aku langsung menemui suamiku yang sedang menghibur putrinya di ruang keluarga lantai dua. Gadis cantik dengan gaun berwarna peach itu, nampak begitu murung dan menundukkan kepalanya. "Maafin papa ya, kamu baru berkunjung ke sini dan sudah menyaksikan keributan kami.""Ga apa Pa, aku sudah lama mau ketemu papa juga.""Keadaannya sekarang Papa sudah punya istri kamu nggak papa kan?""Iya.""Kamu sudah kenalan sama tante Hanifah?""Belum sempat.""Kalau begitu mari kita berkenalan," ucapku kepada anak itu sambil mendekat dan berjongkok di hadapannya. "Namaku Hanifah, namamu siapa?""Clarissa putri," balasnya. "Kamu cantik sekali, garis wajahmu sangat mirip dengan kedua orang tuamu," pujiku sambil membelai perlahan di pipi gadis kecil itu, mata indah dan hidungnya yang mancung mirip ayahnya, sementara garis bibir dan wajahnya mirip ibunya. Dia tak bosan dilihat, fitur wajahnya seperti perpaduan antara orang Indonesi
"Kau tidak pantas berkata seperti itu Pricilla! Beraninya wanita yang kabur dari suaminya mengomentari wanita lain!" balas suamiku yang mencoba membela diri ini. "Kupikir istrimu adalah anak pengusaha dari Singapura tapi ternyata hanya wanita kampungan ini. Ya ampun, apa Kau terlalu putus asa untuk move on dariku ataukah ini hanya sekedar aksi balas dendam?" tanya Pricilla yang sudah membuat keadaan makin memanas dan tidak nyaman. "Sebaiknya mari kita makan," ucap ibu mertua sambil memberi isyarat pada semua orang agar bergabung ke meja makan, di meja panjang itu koki dapur telah menyiapkan aneka hidangan, ada sup rumput laut dan makanan herbal khas Tiongkok khusus dibuat untukku. Ada kue dan penganan lain yang juga tak kalah menggugah selera. "Ayo jangan bicara saja, mari kita rayakan momen baik ini dengan makan bersama dan saling membuka hati untuk berdamai.""Mi, apa Mami yakin? Apa yang membuat Mami tiba-tiba membuka hati pada orang miskin. Bukankah standar Mami selama ini sa
Aku tahu ada besar resiko yang kuambil setelah memberi pelajaran kepada Lorena. Andai wanita itu mengadu, pasti ada pertarungan antara aku dan Mas Renaldi, lalu jika suamiku disuruh memilih, dia pasti akan mengutamakan kerabat dibandingkan istrinya yang baru saja bergabung dalam keluarganya.Baru masuk dalam keluarga kaya dan harus beradaptasi dengan kebiasaan mereka yang agak feodal membuatku sedikit kesulitan tapi aku mampu belajar. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kehidupanku di antara orang-orang kaya ini, tapi satu-satunya hal menyebalkan hanyalah Lorena. Entah apa yang akan dia katakan pada suamiku, bagaimana pula ia menjelaskan pada keluarganya mobilnya rusak karena apa, boleh jadi ini ada pelajaran yang akan membuatnya berhenti menggangguku atau bisa juga itu adalah batu loncatan untuk membuatku diusir dari tempat ini."Kau sudah pulang?" tanya suamiku, agak kaget diri ini mendapatinya pulang lebih cepat dariku. "Iya, Mas.""Aku menunggumu dari tadi.""Aku keluar sebentar
*Kutunggu lelaki itu sampai dia pulang dari kantornya, setelah makan malam kami duduk bersantai di balkon rumah, kubawakan segelas kopi untuknia dan suamiku tersenyum senang menerima itu. "Gimana hari ini, apa semuanya lancar?""Iya, Alhamdulillah. Akhir-akhir ini aku senang pulang ke rumah karena seseorang selalu menunggu dan menanyakan hari-hariku. Terima kasih sudah jadi istri yang menyenangkan.""Sama sama, tapi ada hal yang membuatku sedikit tak senang.""Apa itu.""Maafkan aku, tapi aku keberatan Mas melibatkan Lorena dalam semua urusanku. Aku ingin mengatur usahaku sendiri dan tolong percayakan semuanya padaku.""Dia hanya mengelola modal untukmu." "Bila semua harus melewati dia, maka aku memilih untuk tidak memiliki bisnis dari modal perusahaanmu. Aku akan menabung pelan-pelan dan mengembangkan bisnis sendiri."Lelaki itu tertawa sambil menggelengkan kepalanya, dia memandangku sambil tersenyum."Sebenarnya ada apa? Jangan terlalu ambil hati masalah Lorena, kau tahu sendiri