"Apa tidak berlebihan untuk selalu memanjakan Mbak aruni, kau terlalu mengikuti keinginannya, Mas, itu sama sekali tidak elok dilihat," tegurku pada suamiku yang saat itu sedang bermain ponsel. Ia nampak kelelahan dan penat sekali dengan pekerjaannya, seharusnya aku tidak membahas hal itu tapi aku sudah tidak tahan lagi.
"Apa kau mendengarku?" "Ya, ya." Dia menjawab tapi tatapan matanya tidak memandang ke arahku. "Ingat Mas, yang harus dinafkahi adalah anak dari kakakmu, Gilang, bukan ibunya! Tanggung jawab nafkah ibunya kembali kepada walinya." "Aku mengerti Itu, jangan kau ulang-ulang lagi aku juga mengerti Hanifah. Aku hanya bertekad menafkahi mereka setidaknya sampai anak itu berusia 12 tahun." Apa? Jantungku bergemuruh mendengar suamiku menyebut kata 12 tahun. Masya Allah, anak itu baru 5 tahun berarti 7 tahun lagi, mereka masih punya kesempatan untuk berbahagia dengan uang suamiku. Sebenarnya aku ikhlas bersedekah, tapi tidak dalam keadaan diperas dan ditekan seperti ini, seakan-akan wanita itu adalah istri suamiku dan berkuasa atas kehidupannya. "Sampai 12 tahun katamu, Mas? baru 2 tahun menafkahi saja kau sudah kehabisan banyak uang, bahkan kita tidak bisa merenovasi rumah atau upgrade kendaraan kita, tabungan terkuras habis dan itu semua karena kau terlalu fokus pada mereka." "Iya, kau benar, Han. Aku benar-benar minta maaf, aku hanya kasihan pada keponakanku yang sudah kehilangan figur ayahnya, aku tidak mau ibunya lalai atas pengasuhan anak tersebut, sehingga dia kurang kasih sayang dan perhatian lalu tumbuh menjadi anak nakal." "Masalah nakal atau tidaknya itu kembali kepada mental dan didikan anak tersebut, Mas. Kau telah memberikan yang terbaik selama ini sampai kau nyaris lalai pada keluargamu sendiri." "Aku tidak lalai." "Sebut saja begitu, tapi sebagai Istri dan anakmu, kami merasa di-anak tirikan." "Hah?" Suamiku terbelalak dengan perkataanku. "Iya, Mas, aku mulai merasa bahwa kau mengesampingkan dan meremehkan kami. Wanita itu minta pakaian dan uang bedak kau langsung mengirimkannya, sementara kau sama sekali tidak memperhatikan apa yang kubutuhkan." "Tapi aku sudah memberimu uang Hanifa, dan kau bisa beli apa yang kau inginkan tanpa harus bertanya dulu padaku." Lihat bagaimana cara dia membela dirinya! "Bukan tentang uangnya, Suamiku! Ini tentang perhatian dan kasih sayangmu. Bila kau bersikap baik pada wanita itu dan menawarkan apa kebutuhannya maka tentunya kau bisa lakukan lebih baik dari itu kepadaku istrimu," balasku. "Aku tak mengerti, kenapa kau seakan cari perhatian dan seolah-olah iri dengan wanita yang sudah janda itu! Kau tidak lihat bahwa jelas kau lebih beruntung darinya. " "Oleh karena dia jandalah, aku harus berhati-hati Mas. Apa kau ingat kalau ipar adalah maut!" "Aku tidak akan mati karena dia! Apa kau sama sekali tidak paham!" Suamiku memutar bola mata dan mulai kasar. "Astaga capek bicara denganmu Mas, kau tidak paham maksudku! Aku mengerti kau menyantuni mereka tapi kau harus ingat adab, wanita itu bukan mahram jadi kau harus menjaga jarak!" "Astaghfirullah, kaulah yang tidak paham Hanifah! Aku hanya membantu keponakanku agar hidup dengan baik dan tidak kekurangan peran orang tuanya! Jika dia sudah cukup besar, maka aku bisa mengurangi intensitas perhatianku pada mereka. Jangan memintaku untuk berhenti peduli dan menyayangi keponakanku, dia darah daging keluarga kami!" "Kalau begitu bawa anak itu ke sini, biar kita yang mengurus dan menyayanginya sementara Ibunya bisa bekerja dan menentukan pilihan hidupnya sendiri!" "Tidak, aku tidak setuju. Sebaik-baiknya pertumbuhan anak adalah dengan orang tuanya Mengapa kau ingin memisahkan keponakanku dengan ibunya!" "Astaga, Mas...." Demi Tuhan aku kehilangan kata-kata, bibirku kelu serta tenggorokanku tercekat seketika, aku merasa tertekan dan panas hati dengan cara paling jengkel sedunia, sedang aku tidak bisa melampiaskannya, sehingga aku hanya menjatuhkan diri di tempat tidur sambil menahan air mata. Aku belakangnya dirinya yang masih duduk di kursi dan bermain game. Kesal, geram dan sakit hati luar biasa. ** Keesokan harinya. "Mana dompetku?" Aku yang masih sakit hati enggan menjawab pertanyaannya, malah aku sama sekali tidak menyapa atau menegurnya. Kulakukan rutinitas pagi tanpa memandangnya sedikitpun. "Apa kau dengar, mana dompetku?" "Di meja rias." Lelaki itu menghela nafas melihat kekesalanku. "Loh mana kartu ATMku, mana uang yang di dompet ini?" "Sudah kusimpan semuanya, hanya kulisahkan uang bensin dan makan untukmu!" "Apa maksudmu?" "Jika kau tidak bisa mengendalikan pengeluaranmu! Maka aku akan ya lakukan itu untukmu. Lagipula, aku juga ingin perubahan dalam kehidupan kita, jadi akan kutabung uangnya dan kumanfaatkan sebaik mungkin!" "Jadi ini kau lakukan karena pembahasanmu yang semalam?" "Ya, karena aku tidak mau kau lebih fokus pada kakak iparmu dibandingkan istrimu sendiri!""Jangan bertingkah di luar nalar, tolong kembalikan kartu atm-ku karena aku butuh sekali dengan itu.""Tidak bisa, Aku akan pergi ke anjungan tunai dan memindahkan semua isinya ke rekening kami, lebih baik kau gunakan uang itu untuk kebutuhan anakku daripada kau terus memberikannya kepada iparmu. Apa kau tidak sadar Mas dalam satu bulan kau bisa menafkahinya lebih dari 7 juta, sementara aku hanya menghabiskan 4 sampai 5 juta, itupun juga masih bersisa!""Astaga, Kenapa kau malah menjadikan wanita malam itu sebagai sainganmu, aku hanya berusaha bertanggung jawab."Wanita malang katanya, hidupnya dan gaya berpakaiannya yang hedon sama sekali tidak menunjukkan kalau hidupnya Malang, bahkan dia melunjak dan memanfaatkan kebaikan hati kami. "Sudah kubilang, kau hanya bertanggung jawab kepada keponakanmu, bukan kepada wanita itu! Dia bisa mengurus dirinya sendiri dan dia masih punya keluarga!""Ya ampun, aku kehabisan kata-kata dengan tingkahmu yang aneh!" Jawab Mas Arman sambil mengacak r
Kupikir semudah itu menegur suamiku, semudah itu membentang jarak agar dia bisa menjaga diri dan tidak terlalu dekat dengan mantan iparnya yang sudah jelas bukan mahram. Aku berusaha agar mereka tidak terlalu intens bertemu atau berkomunikasi tapi sepertinya, untuk membuatnya menjadi kenyataan itu agak sulit. Wanita itu saling menelpon suamiku, dan akulah yang mengangkatnya. Aku tanyakan apa tujuannya dan dia selalu punya alasan masuk akal agar Mas Arman membantunya, juga menuruti semua keinginannya."Mba Hani, Aku boleh minta izin buat diantar Mas Arman untuk membawa Gilang berlomba ke tingkat kecamatan. Kau tahu anakku cukup berbakat dalam hal melukis jadi aku ingin mendukung dan mengembangkan prestasinya. Apa boleh?""Saya bukannya tidak izinkan Mbak tapi minggu-minggu ini suami saya sibuk sekali, jika tidak begitu urgent saya sarankan untuk menyewa mobil saja atau sopir pribadi.""Saya tidak berani pergi dengan orang yang tidak saya kenali, satu-satunya ipar yang baik dan dekat
Pulang dari kerja suamiku nampak penat sekali, iya letakkan kunci mobil dan tasnya di atas meja kerja lalu berjalan dengan lesu dan menjatuhkan dirinya di atas sofa depan ruang tv. Berulang kali dia mendesah sambil memijit di kepalanya."Kenapa Mas?" Aku datang membawakan segelas air hatiku jengkel atas percakapanku dengan ibu mertua beberapa saat yang lalu tapi aku harus tetap terlihat senyum di depan suamiku. "Capek banget, tensi kerjaan banyak sekali ditambah klien dari Jepang itu sama sekali tidak pengertian mereka meminta kami untuk mengebut pekerjaan proyek, tapi mereka tidak mengetahui kendala apa yang kami hadapi di lapangan! Ah ya Tuhan!""Emangnya apa yang terjadi Mas?""Mereka meminta pengecoran jembatan harus selesai dalam minggu ini, tapi mereka tidak menyadari bahwa kami menghadapi kendala terlambatnya pasokan material dan cuaca yang tidak mendukung.""... Lalu mereka mulai menyalahkan dan memintaku menyelesaikan semuanya sebagai supervisor lapangan.""Ya Tuhan aku tu
Melihat foto suamiku di postingan wanita lain sontak dada ini serasa dihantam bongkahan batu, sesak nafas ini nyaris tersengal bukan main. Aku jatuh terduduk dengan tangan gemetar dan tungkai kaki yang lemas seketika. Aku tidak tahu aku harus marah dari mana tapi yang jelas kejengkelan itu memuncak. Aku murka kepada aruni, marah juga pada suamiku yang tidak jujur padaku bahwa ia mengantarkan kakak iparnya. Mengapa ia harus menyembunyikannya? Apakah karena aku jarang terang-terangan menunjukkan keberatanku atas kedekatan mereka yang terlalu akrab ataukah ada hal yang lainnya?Sampai seniat itu membohongiku kalau dia punya pekerjaan di hari libur Padahal dia antarkan wanita jalang itu ke perlombaan anaknya. Dan si jalang itu... Kenapa selalu mengandalkan suamiku, Kenapa selalu Mas Arman yang dia suruh, dan Kalau suamiku tak mau dia akan memaksa dan menunjukkan kesedihannya. Suamiku yang mudah tersentuh dan iba pada orang lain akan menyerah dengan air mata aruni. Astaga, hatiku sesak,
Karena aku memaksa Mas Arman untuk menghubungi aruni maka lelaki yang tidak punya pilihan ditambah Karena rasa bersalahnya itu, maka dia terpaksa menghubungi iparnya. "Ada apa, Arman?" Suara wanita itu merdu mendayu dari seberang sana terdengar manis dan centil sekali."Uhm, begini....""Ada apa?""Tolong hapus postingan foto Saya dari instagram-nya Mbak aruni, ga enak diliat Hani dan kerabat lain. Ini hanya demi tidak menimbulkan asumsi negatif Mbak.""Aku tidak bermaksud untuk menyinggung istrimu, aku hanya berterima kasih karena kau selalu membantu kami.""Sama-sama Mbak, Tapi tolong foto saya dihapus ya, saya rela tidak pergi ke kondangan dengan istri demi kamu Mba," ucap Mas Arman dengan wajah yang tidak enak padaku. "Oh, maafin aku Arman, kalau tahu kamu mau ada acara aku nggak usah minta diantar.""Nggak papa Mbak sudah terlanjur juga, sampai nanti.""Bye Arman, makasih." Klik. Suamiku menghela nafas sambil menyimpan kembali ponsel ke dalam kantongnya."Kuharap kamu bisa t
(Oh maaf, apa ini Hanifah ya?) dia segera membalasku.(Iya, aku istrinya, aku tidak tahu apa maksudmu tapi aku kaget melihat pesan-pesanmu pada suamiku. Kau kirimkan foto-fotomu yang cantik dengan maksud apa?)(Tidak ada, hanya mengirimkan saja.)(Menurutmu ini masuk akal dan wajar, menurutmu wajar seorang kakak ipar mengirimkan foto-foto ke adik iparnya?)(Jika Itu menyakiti hatimu maka aku minta maaf, Aku tidak akan mengulanginya. Kau boleh menghapus pesannya.)Ini bukan tentang menghapus pesan, aku ingin dia memberiku penjelasan kenapa ia seakan menggoda suamiku, jika aku bicara terang-terangan tentu wanita itu akan merasa tertantang dan semakin berusaha dekat pada suamiku, jadi, akan kuusahakan untuk bicara baik-baik, meski perasaanku terbakar. (Tentu saja akan kuhapus, tapi, sebelum itu, Aku ingin tahu kenapa kau terlalu berani. Apa maksudmu?)(Maafkan aku, aku tidak bermaksud apa-apa. Arman yang minta kami mengabarkannya kegiatan harian kami, dia bilang dia harus memantau kami
Aku terguncang, hatiku mencelos menyusut seakan disiram minyak panas oleh perkataan Mas Arman. Dia bilang kalau belakangan ini kelancanganku meningkat sementara aku tidak pernah merasa melunjak. Bagiku dia suamiku, dan sebagai istri aku berkewajiban untuk melindungi keluarga serta menjaga batasan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. "Aku tidak bermaksud untuk lancang Mas, aku hanya mengingatkanmu agar kau menjaga jarak!""Emangnya aku terlalu dekat? Apakah aku pernah memeluk dan mencumbunya, ataukah kau mulai berpikir kalau aku dan aruni berselingkuh?""Aku tidak bilang begitu ya... Aku hanya...." dia segera meletakkan jari telunjuknya di bibirku sambil menggelengkan kepalanya, tawanya yang penuh misteri serta kelicikan itu membuatku tidak habis pikir. "Tatapan dan caramu bicara seakan kau curiga. Aku berusaha memaklumi gelagatmu, diam dan mengalah pada istriku, tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Jangan keterlaluan ya," ujar suamiku dengan senyum sinis. Sesudah mendo
Melihatku menangis sambil memeluk lututku sendiri lelaki itu hanya menatap dengan senyum sinis dan berkacak pinggang."Aku peringatkan padamu, meski kau istriku dan ibu anak-anakku tapi jangan bersikap kurang ajar, aku adalah suamimu dan kepala keluarga ini." "Lantas pikirkanlah! jika aku lebih dekat dengan iparku dan selalu mengandalkan mereka tanpa menjaga hatimu, Apa yang akan kau lakukan?!""Biasa saja," jawabnya sambil mengendikkan bahu. Aku tak sanggup lagi menahan air mata, rasanya pupus sudah harapan untuk mempertahankan keluarga begitu melihat tindakan dan perkataannya Mas Arman yang masuk akal. Kupikir dia telah mengindahkan peringatanku, dia berjanji akan menjaga sikapnya tapi ternyata lelaki itu bersikuku ingin tetap bersama dengan aruni, dia tetap ingin memberinya nafkah, perhatian dan waktu.Jika sudah begini, sama saja dengan suamiku menanggung dua keluarga, sama saja seakan dia punya istri dua. Karena sebagian besar penghasilan dan waktu untuk aruni, maka secara t
*Menjelang liburan ke Eropa, intensitas kesibukanku semakin meningkat, aku harus memberikan pembekalan pada tim marketing dari orang-orang yang ada di toko agar menjaga kinerja mereka selama aku tidak berada di Indonesia. Aku juga melatih asisten rumah tangga dan penjaga anak-anak agar mereka tetap disiplinkan seperti biasa. Hanya libur di hari Sabtu dan Minggu dan tetap melakukan les tambahan belajar di hari biasa. Tak lupa juga kutekankan agar para pengasuh tetap menyuruh anak-anak disiplin beribadah, juga kuberitahu asisten rumah tangga baru untuk mengurusi obat herbal mertuaku. Mereka harus minum itu setiap pagi sebelum sarapan, jadi asisten harus menyiapkannya dalam keadaan hangat. *Keberangkatanku ke Eropa adalah hal yang paling membuatku antusias. Setelah tujuh bulan menikah, untuk pertama kalinya aku dan Mas Renaldi akan punya waktu berdua saja tanpa kehadiran anak-anak dan kerabat lainnya. Benar-benar hanya aku dan dia saja tanpa asisten atau bodyguard yang mengikuti ka
*"Kulihat-lihat usahamu maju ya," ucap Lorena saat dia berkunjung ke butik tempat mendesain produk dan menjual barang. Aku yang cukup kaget dengan kedatangannya hanya bisa tersenyum sambil mengangguk tipis. "Iya, Alhamdulillah.""Aku tahu kau tak senang aku datang ke sini.""Tidak juga, hanya saja... tumben." Aku sedikit bingung kenapa dia mengunjungiku, ada kecanggungan di antara kami yang membuat aku dan dia hanya saling menatap tanpa bicara lagi."Apa kau senang dengan bisnis ini.""Aku senang, merasa beruntung ada tim marketing dan support yang memadai. Mas Renaldi memberiku kesempatan dan dukungan, tanpa dia mustahil merkku terjual dengan cepat.""Aku yang memberinya saran untuk menggunakan tim marketing dan orang-orang yang terpilih.""Kalau begitu terimakasih," balasku pada wanita berambut panjang itu."Ya kau pantas mendapatkannya."Aku tertawa karena untuk pertama kalinya dia bilang aku pantas mendapatkan sesuatu. "Tumben.""Dipikir-pikir kau memang pantas mendapatkanny
"gimana aku nggak marah kalau kamu nggak adil. Kamu juga membiayai wanita yang unik itu untuk membuka usaha dan memberikan sekolah terbaik untuk anak-anak mereka. Jomplang sekali dengan pelayananmu pada anak kita.""Kalau begitu biarkan clarra bersamaku, biar dia tinggal denganku maka akan kuberikan perusahaan itu untuknya!"Wanita itu terdiam sepertinya dia keberatan untuk menyerahkan clarra kepada Mas Rinaldi karena jika Clara pindah bersama kami maka wanita itu tak akan punya cara lagi untuk mendapatkan uang bulanan dari Mas Renaldi. Hebat sekaligus licik sekali, saat dia sendiri sudah punya suami tapi masih mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Lima ratus juta perbulan, untuk uang sekolah dan kebutuhan Clara yang sebenarnya tidak akan sebanyak itu. Tapi aku tidak punya hak untuk keberatan pada pemberian suamiku untuk anaknya, itu adalah urusan pribadi yang tidak boleh diganggu gugat."Pulang dan nikmati hidup dengan suamimu, bukankah kau sangat mencintainya! Selagi aku masih m
Sesuai dengan janji Mas Renaldi yang akan pergi ke sekolah anak-anak demi menegur orang-orang yang telah mengganggu mereka dan meminta kepada gurunya agar lebih berhati-hati. Suamiku mengunjungi tempat itu pukul 10.00 pagi dan dikabarkan padaku oleh asisten pribadinya Pak Dedi. Pria yang sudah 15 tahun jadi asisten Suamiku itu bilang kalau Mas Renaldy mengancam kepala sekolahnya, dia bilang tidak boleh Ada kesenjangan di sekolah tersebut, meski muridnya berasal dari latar belakang yang berbeda. "Bukan cuma anak orang kaya atau indo saja yang boleh menikmati fasilitas bagus, bahkan anak-anak dari kalangan menengah ke bawah dan latar belakang biasa saja mereka bisa menikmati pendidikan yang lebih baik dari sekolah umum.""Oh dia bilang begitu ya pak?""Iya Bu, Bapak juga bilang kalau tindakan bullying ini masih berlanjut maka beliau akan melaporkan ini ke dinas pendidikan dan mengadakan rapat pertemuan wali murid yang bisa berujung pada penutupan sekolah.""Wah, itu menakutkan juga Pa
Kilau matahari menerangi kamarku, desir angin meniupkan tirai kamar yang terbuat dari kain satin, pintu balkon meniupkan hawa dingin ke arahku.Lembut gaun satin yang membungkus tubuh seakan memanjakanku, ditambah dengan nyamannya tempat tidur dan mewahnya kamar kami, aku seperti seorang ratu di istana sendiri. "Kalau pintunya terbuka berarti Mas Renaldi sudah pergi," gumamku sambil bangun dari tempat tidur dan menyibak selimut.Saat membuka pintu kamar, asisten rumah tangga yang kebetulan lewat menyapa dan membungkuk hormat. "Selamat pagi Nyonya l, mau sarapan apa pagi ini? Mau dibawakan ke kamar atau sarapan bersama mertua nyonya. ""Tidak apa, saya akan ambil sendiri," balasku. Terbiasa mengurus diriku sendiri sedikit membuatku canggung saat seseorang menawariku hendak makan apa dan diantar ke mana. "Nyonya ada kegiatan hari ini, kalau ada kami akan siapkan pakaiannya.""Tidak ada Mba, terima kasih atas bantuannya.""Dengan senang hati Nyonya," balasnya sambil tersenyum dan mela
Setelah menenangkan anak-anak atas insiden yang terjadi di meja makan, aku langsung menemui suamiku yang sedang menghibur putrinya di ruang keluarga lantai dua. Gadis cantik dengan gaun berwarna peach itu, nampak begitu murung dan menundukkan kepalanya. "Maafin papa ya, kamu baru berkunjung ke sini dan sudah menyaksikan keributan kami.""Ga apa Pa, aku sudah lama mau ketemu papa juga.""Keadaannya sekarang Papa sudah punya istri kamu nggak papa kan?""Iya.""Kamu sudah kenalan sama tante Hanifah?""Belum sempat.""Kalau begitu mari kita berkenalan," ucapku kepada anak itu sambil mendekat dan berjongkok di hadapannya. "Namaku Hanifah, namamu siapa?""Clarissa putri," balasnya. "Kamu cantik sekali, garis wajahmu sangat mirip dengan kedua orang tuamu," pujiku sambil membelai perlahan di pipi gadis kecil itu, mata indah dan hidungnya yang mancung mirip ayahnya, sementara garis bibir dan wajahnya mirip ibunya. Dia tak bosan dilihat, fitur wajahnya seperti perpaduan antara orang Indonesi
"Kau tidak pantas berkata seperti itu Pricilla! Beraninya wanita yang kabur dari suaminya mengomentari wanita lain!" balas suamiku yang mencoba membela diri ini. "Kupikir istrimu adalah anak pengusaha dari Singapura tapi ternyata hanya wanita kampungan ini. Ya ampun, apa Kau terlalu putus asa untuk move on dariku ataukah ini hanya sekedar aksi balas dendam?" tanya Pricilla yang sudah membuat keadaan makin memanas dan tidak nyaman. "Sebaiknya mari kita makan," ucap ibu mertua sambil memberi isyarat pada semua orang agar bergabung ke meja makan, di meja panjang itu koki dapur telah menyiapkan aneka hidangan, ada sup rumput laut dan makanan herbal khas Tiongkok khusus dibuat untukku. Ada kue dan penganan lain yang juga tak kalah menggugah selera. "Ayo jangan bicara saja, mari kita rayakan momen baik ini dengan makan bersama dan saling membuka hati untuk berdamai.""Mi, apa Mami yakin? Apa yang membuat Mami tiba-tiba membuka hati pada orang miskin. Bukankah standar Mami selama ini sa
Aku tahu ada besar resiko yang kuambil setelah memberi pelajaran kepada Lorena. Andai wanita itu mengadu, pasti ada pertarungan antara aku dan Mas Renaldi, lalu jika suamiku disuruh memilih, dia pasti akan mengutamakan kerabat dibandingkan istrinya yang baru saja bergabung dalam keluarganya.Baru masuk dalam keluarga kaya dan harus beradaptasi dengan kebiasaan mereka yang agak feodal membuatku sedikit kesulitan tapi aku mampu belajar. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kehidupanku di antara orang-orang kaya ini, tapi satu-satunya hal menyebalkan hanyalah Lorena. Entah apa yang akan dia katakan pada suamiku, bagaimana pula ia menjelaskan pada keluarganya mobilnya rusak karena apa, boleh jadi ini ada pelajaran yang akan membuatnya berhenti menggangguku atau bisa juga itu adalah batu loncatan untuk membuatku diusir dari tempat ini."Kau sudah pulang?" tanya suamiku, agak kaget diri ini mendapatinya pulang lebih cepat dariku. "Iya, Mas.""Aku menunggumu dari tadi.""Aku keluar sebentar
*Kutunggu lelaki itu sampai dia pulang dari kantornya, setelah makan malam kami duduk bersantai di balkon rumah, kubawakan segelas kopi untuknia dan suamiku tersenyum senang menerima itu. "Gimana hari ini, apa semuanya lancar?""Iya, Alhamdulillah. Akhir-akhir ini aku senang pulang ke rumah karena seseorang selalu menunggu dan menanyakan hari-hariku. Terima kasih sudah jadi istri yang menyenangkan.""Sama sama, tapi ada hal yang membuatku sedikit tak senang.""Apa itu.""Maafkan aku, tapi aku keberatan Mas melibatkan Lorena dalam semua urusanku. Aku ingin mengatur usahaku sendiri dan tolong percayakan semuanya padaku.""Dia hanya mengelola modal untukmu." "Bila semua harus melewati dia, maka aku memilih untuk tidak memiliki bisnis dari modal perusahaanmu. Aku akan menabung pelan-pelan dan mengembangkan bisnis sendiri."Lelaki itu tertawa sambil menggelengkan kepalanya, dia memandangku sambil tersenyum."Sebenarnya ada apa? Jangan terlalu ambil hati masalah Lorena, kau tahu sendiri