"Jangan bertingkah di luar nalar, tolong kembalikan kartu atm-ku karena aku butuh sekali dengan itu."
"Tidak bisa, Aku akan pergi ke anjungan tunai dan memindahkan semua isinya ke rekening kami, lebih baik kau gunakan uang itu untuk kebutuhan anakku daripada kau terus memberikannya kepada iparmu. Apa kau tidak sadar Mas dalam satu bulan kau bisa menafkahinya lebih dari 7 juta, sementara aku hanya menghabiskan 4 sampai 5 juta, itupun juga masih bersisa!" "Astaga, Kenapa kau malah menjadikan wanita malam itu sebagai sainganmu, aku hanya berusaha bertanggung jawab." Wanita malang katanya, hidupnya dan gaya berpakaiannya yang hedon sama sekali tidak menunjukkan kalau hidupnya Malang, bahkan dia melunjak dan memanfaatkan kebaikan hati kami. "Sudah kubilang, kau hanya bertanggung jawab kepada keponakanmu, bukan kepada wanita itu! Dia bisa mengurus dirinya sendiri dan dia masih punya keluarga!" "Ya ampun, aku kehabisan kata-kata dengan tingkahmu yang aneh!" Jawab Mas Arman sambil mengacak rambutnya sendiri dengan kesal seakan-akan dia frustrasi dengan ucapanku. "Boleh bersikap baik tapi jangan sampai kebaikan membuat orang lain melunjak dan menekan kita. Kau hanya boleh menyantuni dengan hitungan sedekah, bukan menafkahi seakan-akan mereka adalah keluarga utama!" "Ya Allah, Kenapa ucapanmu pedas sekali!" "Atau... Kau boleh memilih antara aku dan anak kita atau kau nikahi saja wanita itu sekalian!" tantangku sambil berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam. "Allahu Akbar, apa kau lupa perjanjian kita sebelum menikah. Aku sudah bilang padamu bahwa kau boleh memiliki harta dan kehidupanku, tapi aku tetap akan membantu saudara-saudaraku. Apa kau lupa?" "Aku tidak melarangmu membantu saudara tapi presentasinya jangan melebihi istri dan anak-anak yang harusnya kau prioritaskan!" "Emangnya kau kekurangan?" "Tidak! Tapi aku harus mengerem pengeluaranmu." "Kenapa?" "Karena itu sudah berlebihan dan wanita yang kau beri itu, seharusnya tidak perlu mendapatkan nafkah dari suami orang!" Suamiku menarik nafas panjang sambil menatapku tanpa berkedip sedikitpun, seakan-akan sulit baginya mengais udara dan ucapanku barusan membuatnya tersengal. * Setelah hening selama 15 menit akhirnya suamiku yang sudah mepet mau berangkat ke kantornya mengalah padaku dan meminta maaf, dia mendekatiku yang duduk di sofa lalu berjongkok di hadapanku. "Iya, aku mengakui kalau aku memang salah, aku minta maaf," ucapnya sambil menyentuh lututku. Aku tidak menjawab hanya mengalihkan pandanganku sambil mendesah panjang. "Aku janji mulai sekarang aku akan mengurangi pemberianku pada mereka dan hanya memberikannya dengan izinmu." "Begitu saja tidak cukup, karena bisa saja kau memberinya di belakangku tanpa sepengetahuanku!" "Aku berjanji bahwa apa yang aku berikan sekarang akan lewat dirimu." "Dan ibunya Gilang tidak akan senang dengan kecanggungan itu." "Aku akan bicara padanya, jika mulai sekarang kaulah yang mengatur segalanya. Dia pasti bisa mengerti, mengingat seperti apa yang kau katakan tadi ... Dia bukan istriku." "Ya harusnya kau sadar, Mas. wanita itu mendiang istri kakakmu, setelah 4 bulan masa iddah Dia bebas menentukan pilihannya dan kita tidak terikat lagi dengannya. Aku bukan tidak berprasaan atau kasihan tapi, ketika kita terus memanjakan ya maka dia tidak akan tumbuh mandiri dan mengurus dirinya sendiri." "Kau benar Hanifa, aku benar-benar minta maaf," ucap lelaki itu sambil meraih kepalaku dan mengecup pucuknya, "Aku benar-benar menyesal," ungkapnya lirih. "Baiklah, lupakan saja." Aku mendesah nafas untuk segera memperpendek percakapan ini. "Kalau begitu tolong kembalikan dompet dan kartuku." "Akan kuberikan uangmu tapi tidak dengan kartunya." "Aku mohon...." "Tidak Mas, kalau aku tidak tegas dalam hubungan kita maka tak lama lagi rumah tangga ini akan hancur, aku tidak mau siapapun ikut campur dan bila kalian sekeluarga tetap bersikeras menafkahi wanita itu .. maka yang harus menafkahinya adalah kamu empat bersaudara, bukan kau sendirian, Mas." "Iya Hanifah, aku setuju." "Lagipula ... Wanita itu terlampau cantik jadi untuk menghindari fitnah dan isu yang tidak sedap diantara kita semua, lebih baik mulai sekarang kau menjaga jarak jika kau masih menghargaiku!" "Tentu, sayang, aku sangat menghargaimu." Dia menggenggam tanganku lalu tak lama kemudian lelaki itu memutuskan untuk berangkat kerja. Entah dia benar-benar menuruti keinginanku ataukah itu hanya sebatas ucapan di bibir saja agar aku tidak marah lagi tapi aku harus memastikan bahwa suamiku tetap berada dalam genggamanku. ,Kupikir semudah itu menegur suamiku, semudah itu membentang jarak agar dia bisa menjaga diri dan tidak terlalu dekat dengan mantan iparnya yang sudah jelas bukan mahram. Aku berusaha agar mereka tidak terlalu intens bertemu atau berkomunikasi tapi sepertinya, untuk membuatnya menjadi kenyataan itu agak sulit. Wanita itu saling menelpon suamiku, dan akulah yang mengangkatnya. Aku tanyakan apa tujuannya dan dia selalu punya alasan masuk akal agar Mas Arman membantunya, juga menuruti semua keinginannya."Mba Hani, Aku boleh minta izin buat diantar Mas Arman untuk membawa Gilang berlomba ke tingkat kecamatan. Kau tahu anakku cukup berbakat dalam hal melukis jadi aku ingin mendukung dan mengembangkan prestasinya. Apa boleh?""Saya bukannya tidak izinkan Mbak tapi minggu-minggu ini suami saya sibuk sekali, jika tidak begitu urgent saya sarankan untuk menyewa mobil saja atau sopir pribadi.""Saya tidak berani pergi dengan orang yang tidak saya kenali, satu-satunya ipar yang baik dan dekat
Pulang dari kerja suamiku nampak penat sekali, iya letakkan kunci mobil dan tasnya di atas meja kerja lalu berjalan dengan lesu dan menjatuhkan dirinya di atas sofa depan ruang tv. Berulang kali dia mendesah sambil memijit di kepalanya."Kenapa Mas?" Aku datang membawakan segelas air hatiku jengkel atas percakapanku dengan ibu mertua beberapa saat yang lalu tapi aku harus tetap terlihat senyum di depan suamiku. "Capek banget, tensi kerjaan banyak sekali ditambah klien dari Jepang itu sama sekali tidak pengertian mereka meminta kami untuk mengebut pekerjaan proyek, tapi mereka tidak mengetahui kendala apa yang kami hadapi di lapangan! Ah ya Tuhan!""Emangnya apa yang terjadi Mas?""Mereka meminta pengecoran jembatan harus selesai dalam minggu ini, tapi mereka tidak menyadari bahwa kami menghadapi kendala terlambatnya pasokan material dan cuaca yang tidak mendukung.""... Lalu mereka mulai menyalahkan dan memintaku menyelesaikan semuanya sebagai supervisor lapangan.""Ya Tuhan aku tu
Melihat foto suamiku di postingan wanita lain sontak dada ini serasa dihantam bongkahan batu, sesak nafas ini nyaris tersengal bukan main. Aku jatuh terduduk dengan tangan gemetar dan tungkai kaki yang lemas seketika. Aku tidak tahu aku harus marah dari mana tapi yang jelas kejengkelan itu memuncak. Aku murka kepada aruni, marah juga pada suamiku yang tidak jujur padaku bahwa ia mengantarkan kakak iparnya. Mengapa ia harus menyembunyikannya? Apakah karena aku jarang terang-terangan menunjukkan keberatanku atas kedekatan mereka yang terlalu akrab ataukah ada hal yang lainnya?Sampai seniat itu membohongiku kalau dia punya pekerjaan di hari libur Padahal dia antarkan wanita jalang itu ke perlombaan anaknya. Dan si jalang itu... Kenapa selalu mengandalkan suamiku, Kenapa selalu Mas Arman yang dia suruh, dan Kalau suamiku tak mau dia akan memaksa dan menunjukkan kesedihannya. Suamiku yang mudah tersentuh dan iba pada orang lain akan menyerah dengan air mata aruni. Astaga, hatiku sesak,
Karena aku memaksa Mas Arman untuk menghubungi aruni maka lelaki yang tidak punya pilihan ditambah Karena rasa bersalahnya itu, maka dia terpaksa menghubungi iparnya. "Ada apa, Arman?" Suara wanita itu merdu mendayu dari seberang sana terdengar manis dan centil sekali."Uhm, begini....""Ada apa?""Tolong hapus postingan foto Saya dari instagram-nya Mbak aruni, ga enak diliat Hani dan kerabat lain. Ini hanya demi tidak menimbulkan asumsi negatif Mbak.""Aku tidak bermaksud untuk menyinggung istrimu, aku hanya berterima kasih karena kau selalu membantu kami.""Sama-sama Mbak, Tapi tolong foto saya dihapus ya, saya rela tidak pergi ke kondangan dengan istri demi kamu Mba," ucap Mas Arman dengan wajah yang tidak enak padaku. "Oh, maafin aku Arman, kalau tahu kamu mau ada acara aku nggak usah minta diantar.""Nggak papa Mbak sudah terlanjur juga, sampai nanti.""Bye Arman, makasih." Klik. Suamiku menghela nafas sambil menyimpan kembali ponsel ke dalam kantongnya."Kuharap kamu bisa t
(Oh maaf, apa ini Hanifah ya?) dia segera membalasku.(Iya, aku istrinya, aku tidak tahu apa maksudmu tapi aku kaget melihat pesan-pesanmu pada suamiku. Kau kirimkan foto-fotomu yang cantik dengan maksud apa?)(Tidak ada, hanya mengirimkan saja.)(Menurutmu ini masuk akal dan wajar, menurutmu wajar seorang kakak ipar mengirimkan foto-foto ke adik iparnya?)(Jika Itu menyakiti hatimu maka aku minta maaf, Aku tidak akan mengulanginya. Kau boleh menghapus pesannya.)Ini bukan tentang menghapus pesan, aku ingin dia memberiku penjelasan kenapa ia seakan menggoda suamiku, jika aku bicara terang-terangan tentu wanita itu akan merasa tertantang dan semakin berusaha dekat pada suamiku, jadi, akan kuusahakan untuk bicara baik-baik, meski perasaanku terbakar. (Tentu saja akan kuhapus, tapi, sebelum itu, Aku ingin tahu kenapa kau terlalu berani. Apa maksudmu?)(Maafkan aku, aku tidak bermaksud apa-apa. Arman yang minta kami mengabarkannya kegiatan harian kami, dia bilang dia harus memantau kami
Aku terguncang, hatiku mencelos menyusut seakan disiram minyak panas oleh perkataan Mas Arman. Dia bilang kalau belakangan ini kelancanganku meningkat sementara aku tidak pernah merasa melunjak. Bagiku dia suamiku, dan sebagai istri aku berkewajiban untuk melindungi keluarga serta menjaga batasan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. "Aku tidak bermaksud untuk lancang Mas, aku hanya mengingatkanmu agar kau menjaga jarak!""Emangnya aku terlalu dekat? Apakah aku pernah memeluk dan mencumbunya, ataukah kau mulai berpikir kalau aku dan aruni berselingkuh?""Aku tidak bilang begitu ya... Aku hanya...." dia segera meletakkan jari telunjuknya di bibirku sambil menggelengkan kepalanya, tawanya yang penuh misteri serta kelicikan itu membuatku tidak habis pikir. "Tatapan dan caramu bicara seakan kau curiga. Aku berusaha memaklumi gelagatmu, diam dan mengalah pada istriku, tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Jangan keterlaluan ya," ujar suamiku dengan senyum sinis. Sesudah mendo
Melihatku menangis sambil memeluk lututku sendiri lelaki itu hanya menatap dengan senyum sinis dan berkacak pinggang."Aku peringatkan padamu, meski kau istriku dan ibu anak-anakku tapi jangan bersikap kurang ajar, aku adalah suamimu dan kepala keluarga ini." "Lantas pikirkanlah! jika aku lebih dekat dengan iparku dan selalu mengandalkan mereka tanpa menjaga hatimu, Apa yang akan kau lakukan?!""Biasa saja," jawabnya sambil mengendikkan bahu. Aku tak sanggup lagi menahan air mata, rasanya pupus sudah harapan untuk mempertahankan keluarga begitu melihat tindakan dan perkataannya Mas Arman yang masuk akal. Kupikir dia telah mengindahkan peringatanku, dia berjanji akan menjaga sikapnya tapi ternyata lelaki itu bersikuku ingin tetap bersama dengan aruni, dia tetap ingin memberinya nafkah, perhatian dan waktu.Jika sudah begini, sama saja dengan suamiku menanggung dua keluarga, sama saja seakan dia punya istri dua. Karena sebagian besar penghasilan dan waktu untuk aruni, maka secara t
"Ibu tidak melarangmu untuk bergaul dengan anak ibu, tapi kau juga harus memberi waktu untuk air Man agar dia bisa mengurus dirinya sendiri dan keluarganya."Wanita itu semakin menjadi-jadi saja tangisannya mendengar ibu mertua menjawabnya, dia semakin tidak membendung air mata malas sekarang ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menangis semakin pilu. "Sejujurnya ini tidak seperti yang ibu dengarkan, aku jarang bertemu Arman. Paling hanya sekali atau dua kali dalam sebulan, kami hanya sering berhubungan lewat chat karena dia membantu keuanganku." Wanita itu terus mengadu mengusap air mata dan meminta perhatian ibu mertua.Aku benci padanya karena ia begitu tidak tahu diri dan egois, seakan dunia berputar tentang kebutuhan dia saja sehingga dia merasa bahwa suamiku harus menafkahinya. "Oh ya? dalam seminggu saja bisa lebih dua kali pertemuan kalian! bahkan ke manapun mba pergi, suamiku selalu menjadi supirmu. Hari Minggu kemarin seharusnya kami menghadiri syukuran ayahku y