Di dalam kereta yang akan membawanya kembali ke tempatnya bekerja, kedua tangan Ikki terus mengepal. Ia masih saja tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya. Niatnya baik untuk meminta maaf dan memberitahu kebenaran tentang Ry. Meskipun ada ada niat terselubung –kedua orang tua Ry akan berterima kasih padanya dan merestui kembali hubungannya dengan Ry– lagi di balik itu semua, tapi ia tulis memberitahu mereka. Percayalah!Sayangnya ketulusannya tidak dihargai. Kedua orang tua Ry sepertinya tidak memercayai perkataannya. Mereka sudah terlanjur membencinya, seolah apa yang dilakukannya jauh lebih buruk dari apa yang dilakukan Ruu. Oh, ayolah, semua orang juga tahu jika seorang playboy bukanlah sesuatu yang baik. Para Ibu pasti akan meminta anak-anak cewek mereka untuk menjauhi cowok dengan tipe seperti itu. Tidak ada satu pun orang tua yang menginginkan anak cewek mereka di permainkan. Ia yakin Mama Ry juga seperti itu. Hanya saja Rei Yamazuki terlalu angkuh untuk mengakui kekhawati
Rin mengernyit. Tatapannya mengarah pada meja di dekat pintu. Tadi sepertinya dia melihat seseorang yang dikenalnya, mamanya. Namun, dia tak yakin, tadi hanya melihatnya sekilas. Wanita itu langsung memutar tubuh sehingga dia tidak sempat mengenalinya secara sungguh-sungguh. Rin berharap dia salah lihat, bukan mamanya yang berdiri di sana mengamati mereka, melainkan orang lain. Akan sangat berbahaya jika Mama melihatnya, entah apa yang akan terjadi pada Ry sampai Mama mengetahui hubungannya dengan Ruu. Mereka pasti akan dipisahkan, kakaknya pasti akan hancur. Sebenarnya Rin ingin memberitahu Ry, tapi karena masih belum yakin dia mengurungkan niatnya itu. Bagaimana jika itu bukan Mama? Bagaimana jika dia hanya salah lihat? Dia tak ingin membuat Ry panik. Kehebohan yang ditimbulkan karena kepanikan Ry, dia tak ingin bertanggung jawab. Dia tak ingin melihat kakaknya bersedih. Jadi, dia memutuskan untuk diam, dan berharap jika dia hanya salah mengenali orang. Saat ini di rumah sedang ada
Baru kali ini Ry tidak menikmati perjalanan. Seluruh pikirannya tercurah pada apa yang akan terjadi di rumah nanti. Jika benar Mama yang dilihat Rin di Mobieus tadi maka dia harus menyiapkan alasan yang masuk akal atau hubungannya dan Ruu akan tamat. Dadanya terus berdegup kencang, keringat masih membasahi pelipis. Semakin dekat dengan stasiun tempat mereka akan turun, perutnya terasa semakin mual dan melilit, seolah asam lambungnya meningkat padahal dia tidak memiliki riwayat sakit maag. Ry menggigiti kuku-kuku jarinya, kedua lututnya terus bergerak seperti seseorang yang gemetar. Memang pada dasarnya dia merasakan gemetar, tapi tidak separah itu. Dia hanya menggerakkannya saja untuk mengalihkan perhatian. Dia harus memikirkan hal lain, tidak boleh berpikir yang tidak-tidak – kemungkinan terburuk, harus berpikir positif. Mari berharap orang yang dilihat Rin bukanlah Mama, melainkan wanita lain yang mengenakan gaun dengan model dan motif serta warna yang sama. Meskipun seorang anak p
Baru kali ini Ry tidak menikmati perjalanan. Seluruh pikirannya tercurah pada apa yang akan terjadi di rumah nanti. Jika benar Mama yang dilihat Rin di Mobieus tadi maka dia harus menyiapkan alasan yang masuk akal atau hubungannya dan Ruu akan tamat. Dadanya terus berdegup kencang, keringat masih membasahi pelipis. Semakin dekat dengan stasiun tempat mereka akan turun, perutnya terasa semakin mual dan melilit, seolah asam lambungnya meningkat padahal dia tidak memiliki riwayat sakit maag. Ry menggigiti kuku-kuku jarinya, kedua lututnya terus bergerak seperti seseorang yang gemetar. Memang pada dasarnya dia merasakan gemetar, tapi tidak separah itu. Dia hanya menggerakkannya saja untuk mengalihkan perhatian. Dia harus memikirkan hal lain, tidak boleh berpikir yang tidak-tidak – kemungkinan terburuk, harus berpikir positif. Mari berharap orang yang dilihat Rin bukanlah Mama, melainkan wanita lain yang mengenakan gaun dengan model dan motif serta warna yang sama. Meskipun seorang anak p
Seruan dengan nada tanya itu tak hanya keluar dari mulut Ry, tetapi Rin juga menanyakannya. Mereka akan pindah? Astaga! Ini pasti tidak benar, 'kan? Pasti hanya pendengaran mereka saja yang bermasalah, 'kan? Mama tidak mengatakan akan pindah, atau memang mengatakannya? "Pindah, Ma?" ulang Ry bertanya. Suaranya bergetar, seperti lututnya. Perutnya kembali mual. "Maksud Mama pindah rumah?" Ry tak ingin berpikir yang tidak-tidak, tapi melihat anggukan Mama membuatnya menahan napas. Dunianya seolah berhenti, udara di sekelilingnya seperti tersedot ke satu tempat, pada tubuh wanita dewasa yang berdiri dalam jarak dua meter di depannya. Ry mengepalkan kedua tangannya yang berkeringat, kepalanya mulia menggeleng. Awalnya gelengan pelan, kemudian berubah menjadi gelengan kuat. "Kenapa kita harus pindah, Mama?" tanyanya memprotes. "Kita juga nggak lama di sini, baru satu tahun, 'kan?"Tatapan Rei menajam. Ry berubah menjadi sosok yang membangkang, di matanya. Semua ini pasti karena pengaruh R
Ruu mengerutkan keningnya, ia tengah kebingungan. Sejak beberapa menit yang lalu ia berusaha menghubungi Ry, tapi nomornya selalu tidak aktif. Pesan yang dikirimkan pun hanya bertanda centang satu, yang tandanya Ry sedang tidak mengaktifkan data ponselnya. Ini sesuatu yang langka bagi Ruu, Ry tidak mungkin tidak menonaktifkan ponsel sampai selama ini. Sebenarnya, sudah sejak tadi malam ia berusaha menghubungi, dan tidak ada sahutan. Ponsel Ry mati. Pesan yang sejak kemarin dikirimkannya pun masih bertanda centang satu. Entah apa yang terjadi pada Ry sehingga ponselnya tidak aktif sampai selama ini. Padahal biasanya ponsel Ry selalu aktif. Ruu melangkah keluar rumah menuju teras. Dari teras rumahnya, ia dapat melihat rumah Ry. Rumah mereka hanya berjarak dua buah rumah –mereka benar-benar bertetangga– ia dapat melihat Ry hanya dengan duduk di teras rumahnya. Kerutan alis Ruu semakin tajam, rumah Ry sepi. Pintu rumah tertutup rapat, begitu juga dengan pintu pagarnya. Biasanya, setiap p
Sudah siang, tapi ponsel Ry masih belum aktif juga. Keadaan rumahnya masih tetap seperti tadi pagi, rumah itu seolah kosong. Tak ada seorang pun yang terlihat keluar atau masuk ke rumah itu, bahkan para pelayan di rumah Ry yang berjumlah dua orang juga tidak terlihat. Beberapa kali ia memeriksa keadaan rumah itu dari teras rumahnya, dan tetap tidak ada perubahan. Sebenarnya ia inginkan n ke sana, tapi belum menemukan alasan yang tepat seandainya Bibi Rei bertanya kenapa ia berkunjung. Lagipula, ia tak ingin menunjukkan wajah memarnya pada Ry, ia tak ingin ceweknya khawatir. Ry tak perlu tahu soal perkelahian itu, tak perlu tahu ancamnya Ikki yang memuakkan. "Kenapa, Ruu? Kok, kayaknya dari tadi Mama perhatiin Ruu manyun terus?" Shu duduk di samping Ruu, memeriksa keadaan wajah putranya. Kepalanya mengheelng melihat lebam di wajah itu belum juga hilang. Ruu terlihat beberapa kali menarik dan mengembuskan napas berat dan panjang. Sebagai seorang Ibu, dia merasakan jika putranya sedang
"Gimana?" Shu datang dan duduk di kursi sebelah Ruu. Ada sebuah meja yang terbuat dari kayu yang memisahkan duduk mereka. "Ada keliatan nggak?" tanyanya khawatir. "Tadi Mama telepon ke nomor rumahnya nggak diangkat, telepon ke ponselnya nggak aktif. Ten juga sama kayak gitu, nggak aktif juga."Dada Ruu bergemuruh mendengarnya, jantungnya berdegup kencang. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di pelipisnya, tubuhnya bergetar, perutnya mendadak mual. Jangan sampai apa yang ditakutkannya terjadi. Jangan sampai Ry dan keluarganya sudah tidak menempati rumah mereka lagi. Ruu berdiri dengan panik, berlari cepat menuju rumah Ry, dan menemukan pagar rumah itu yang digembok. Sekelilingnya tiba-tiba berputar. Debaran jantungnya semakin kencang, sampai-sampai rasanya ia sedikit kesulitan menarik napas. Kepalanya berdenyut, awalnya hanya denyutan kecil, tapi semakin lama semakin kuat. Ruu menekan kepalanya menggunakan kedua tangan, menggeleng kuat, berharap apa yang dilihatnya bukanlah sebuah