Share

Teman Baru

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-12 12:03:10

Kelas di awal berjalan dengan lancar. Pada saat ini aku sedang berada di kantin dan menikmati makan siangku. Aku mengunyah makananku dengan pandangan mata yang kosong. Pikiranku terbayang akan berita yang tadi muncul di televisi; tentang kasus penculikan misterius. Hal itu membuat rasa penasaranku membuncah.

Tanpa menghabiskan makananku, aku membuka laman berita lewat ponselku. Muncul banyak sekali website resmi yang menampilkan tentang berita penculikan misterius. Aku membaca artikel dan menatap dalam-dalam wajah-wajah orang yang hilang secara misterius itu.

“Sebenarnya, siapa dalang di balik kasus penculikan ini?” batinku.

Hari itu, semua mata pelajaran berjalan normal. Aku sengaja pulang lebih lambat seraya membaca kembali berita yang tersebar luas di internet. Saat hendak bangkit berdiri, tiba-tiba perutku terasa sangat tidak nyaman. Oh tidak, panggilan alam datang secara tiba-tiba, memaksaku untuk pergi ke toilet. Aku meletakkan ponselku di meja dan dengan terburu-buru pergi ke toilet.

Di tengah perjalanan, tidak sengaja pandanganku tertuju pada seorang gadis yang memakai seragam yang sama denganku. Namun, gadis itu menuju ke ruang guru. Itu sangat aneh, karena biasanya para guru sudah pulang di jam ini. Lalu, apa tujuannya masuk ke ruang guru?

Aku memicingkan mata, karena aneh dengan gerak-gerik gadis itu. Dia tampak tertunduk, langkahnya pun tidak biasa. Akibat penasaran, rasa tak nyaman di perutku mendadak menghilang. Aku pun memutuskan untuk mengikuti gadis itu.

Langkahku terhenti tepat di depan ruang guru itu. Pintunya sedikit terbuka. Membuatku semakin merasa aneh.

“Seharusnya ruangan ini selalu dikunci setelah semua guru pulang, kok sekarang dibiarkan terbuka?” lirihku sambil menatap sekitarku, memastikan apakah ada orang atau tidak. Namun, tidak ada siapapun. Jelas sekali, semua guru sudah pulang. Tidak ada siapapun di sana.

Aku membuka pintu itu sedikit lebar dan menjulurkan kepalaku ke dalam. Kosong! Gadis itu telah menghilang.

“Aneh, jelas-jelas aku melihatnya masuk ke dalam tadi!” gumamku seraya menatap lebih detail setiap sudut.

Rasa penasaran di sanubari semakin memuncak, membuat kakiku tanpa sadar sudah masuk ke dalam ruang guru itu. Aku mencubit daguku sendiri sembari melangkah ke sana ke mari seperti seorang idiot.

“Kamu mencari siapa?” Sebuah suara yang datang berhasil membuatku hampir berteriak.

Aku menoleh, mataku melihat seorang gadis dengan seragam yang sama denganku tengah berdiri di sudut ruangan. Wajahnya pucat dan datar.

Napasku tercekat saat itu, jelas-jelas sebelumnya tidak ada siapapun di sana. Sebuah kemungkinan yang muncul di kepalaku membuat tubuhku menggigil ketakutan. Ruangan yang sebelumnya terasa hangat itu menjadi lebih dingin, seolah-olah udara turun beberapa derajat sekaligus.

“Si-siapa kamu?” tanyaku seraya menunjuk gadis itu

Gadis itu tak mengindahkan pertanyaanku. Tetapi, gadis itu menghampiriku dengan kecepatan yang tak masuk akal.

Gadis itu tiba-tiba berkata, “Jangan takut.”

Namun, bukannya tidak takut, aku semakin bergidik ngeri ketika gadis itu mendekatiku. Aku langsung lari terbirit-birit dari ruang guru itu. Saat berlari, aku baru teringat bahwa ponsel dan tas milikku masih ada di kelas! Sungguhpun, aku merutuki diriku sendiri yang pikun. Bisa-bisanya aku meninggalkan barangku di sana! Dengan terburu-buru aku memutar arah menuju ke kelasku. Setelah mengambil ponsel dan tas milikku, aku langsung berlari pergi.

Sampai di halaman sekolah, aku melihat kegelapan awan yang mulai merayap. Cahaya kuning redup sudah mulai terlihat dari lampu jalanan. Hanya suara angin yang bergumam lembut di sekitar.

Tidak seorang pun tampak berada di sekitar itu. Satu-satunya yang masih menemaniku adalah keheningan yang memenuhi udara.

Aku melihat ponselku yang baru saja kuambil, tetapi dengan kecewa aku menyadari bahwa baterainya telah habis. Gawat! Pikirku. Aku membuka dompetku dan menghitung sisa uang yang tersisa. Hanya dua ribu rupiah. Itu saja. Bahkan tarif angkot saja sudah lebih mahal dari sisa uangku.

Dengan hati yang hancur, aku menyaksikan sisa-sisa harapanku yang menyusut perlahan. Aku berjalan menuju bangku halte yang berdiri dekat pagar sekolah, lalu memerosotkan tubuhku ke bangku itu.

Hadeh, sialnya nasibku. Aku menyandarkan kepalaku ke papan di belakangku dan memejamkan mataku perlahan. Aku terombang-ambing dalam samudra penyesalan, mencari jawaban atas pertanyaan yang terus mengganggu: mengapa nasibku selalu begini?

Setiap hari, bayangan pembulian kejam Zaydan dan kawan-kawannya yang mengejekku dan mencemooh kekuranganku terus saja hadir. Ketika kejadian itu terjadi, tak ada yang membelaku, karena aku tak punya teman. Bahkan sepupuku, yang seharusnya menjadi sekutu, malah menjadi bagian dari musuh terkuatku, dan mengarahkan tombak-tombak kebencian padaku.

Guru-guru yang seharusnya memberiku dukungan dan motivasi, selalu kurang menghargaiku, walaupun keadaan sedikit berubah karena beberapa guru ada yang bersikap baik padaku, tetapi sayangnya mereka tidak begitu dekat denganku. Ibuku, dengan ceramahnya dan amarahnya, seolah aku hanya sosok yang tak pernah bisa sempurna untuknya. Belum lagi sekarang aku bisa melihat hantu. Makin menyusahkan saja diriku.

Aku menghela napas lagi dalam terombang-ambing dalam lautan putus asa yang menghempaskanku ke dasar kegelapan. Di dunia ini, aku merasa tidak ada yang baik padaku. Ada, sih. Om Dimas. Tapi, kesibukannya selalu membuat dirinya tidak ada waktu untukku.

Seandainya saja, ada orang—satu saja—yang mau berbaik hati padaku, dan mau meluangkan waktu untukku. Aku akan sangat bersyukur akan hal itu.

Tiba-tiba aku merasakan seseorang menyentuh lenganku. Sosok itu juga mengatakan, “Hei.”

Sekejap aku membuka mataku. Aku melihat seorang remaja pria berbaju seragam SMA dengan jaket denim. Ia terlihat tampan dengan wajah blasteran dan rambut pirang. Apakah ia hantu?

“Kamu kenapa?” tanya pria itu.

“Kamu hantu?” aku menyela tanpa berpikir panjang. Aku tahu ini memang tidak sopan, tapi entah hanya itu yang sepintas dalam pikiranku.

Pria itu bimbang sejenak, namun ia merespon. “Umm... enggak. Aku orang beneran.”

Aku menghela napas sejenak. Tapi, memang kelihatannya dia bukan hantu. Aku bisa merasakan ia menyentuhku barusan. Aku merenung menatap jalanan.

“Gue mau pulang, tapi hape gua mati, terus uang gua habis.” Keluh kesahku.

Pria itu terkekeh sedikit. “Oh, ya udah, atuh. Sini, aku pesenin Gojek.” Pria itu mengeluarkan ponselnya. “Kemana tujuan kamu?”

Aku terpana sejenak, namun aku langsung panik. “Eh, gak usah. Gak usah repot-repot. A-aku, sih, tadi rencana mau jalan sendiri.” Aku mengganti logatku dengan aku-kamu karena dari cara bicaranya.

Pria itu tersenyum kecil. “Gak papa, kok. Aku ikhlas.”

“Kemana alamatnya?” Ia kemudian duduk di sampingku.

Aku bergeming sejenak, memikirkan kejadian aneh yang saat ini muncul di hadapanku. Tapi, aku berusaha bersikap tegar. Aku pun menyebutkan alamat rumahku.

Pria itu kemudian mengetik di ponselnya. “Ini, ya. Udah aku pesenin. Lima menit dari sekarang.” Ia menunjukan layar ponselnya ke hadapanku.

Aku mengangguk perlahan. Namun, segenap ada pertanyaan yang terbenak dalam pikiranku. “Ke—kenapa kamu nolongin aku?” tanyaku. Aku merasa mataku sedikit berkaca-kaca.

“Hmmm... gak kenapa-napa, sih. Aku emang seneng aja nolongin orang. Gak ada yang salah kan aku nolongin kamu?”

Aku terkejut sesaat setelah ia mengatakan hal itu dengan santainya, seakan doaku langsung terkabul saat itu juga. Seketika, dadaku terasa sangat berat, seperti ada yang ingin mencuat dari dalam. Mataku semakin berkaca-kaca dan akan mengeluarkan air mata. Aku langsung menahan napas untuk menahan semuanya agar tidak keluar.

“Eh, ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyanya.

Aku menggeleng sedikit, lalu menoleh ke arah lain. Aku berusaha menahan agar tangisanku tidak mencuat keluar. Ayolah, jangan sekarang. Tetapi, air mataku justru malah mencuat keluar. Napasku juga malah menjadi terisak. Aku tidak bisa menahan diri lagi. Saat itu pula mengeluarkan semua beban dalam diriku.

“Eh, kamu nangis?” tanya pria itu. Ia menepuk-nepuk pundakku dari belakang.

Saat itu juga aku menjerit mengeluarkan semua emosi dalam jiwaku. Aku meninju tiang halte beberapa kali, hingga rasa perih melanda, baru aku berhenti.

Pria itu terus mengelus pundakku dengan lembut. Entah mengapa, beban di dalam diriku semakin sirna.

“Luapin semuanya. Nanti, kalau sudah lega, cerita.” Tuturnya lembut.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diriku. Aku kembali menegakan tubuhku, mencoba meredakan tangisanku.

“Sok, cerita.” Ujarnya.

Aku bergeming sejenak. Namun, aku berusaha mengungkapkan uneg-uneg dalam diriku.

“Aku merasa tidak berguna—tidak dicintai. Ayahku meninggal. Aku sekarang dirawat sama ibu, tapi aku gak deket sama ibuku. Dia selalu ngomelin aku, seakan aku gak pernah bisa jadi anak yang terbaik untuknya. Kami sekarang tinggal di rumah om jauh kami yang beda ibu dan punya sodara sepupu. Tapi, dia gak pernah baik sama aku. Di sekolah aku selalu dibully. Bahkan, sepupu aku itu juga ikut bareng sama geng yang ngebully aku. Aku gak punya temen. Guru-guru juga banyak yang gak ngehargain aku.”

Aku mengutarakan semuanya yang terbenak dalam pikiranku, sembari mengusap air mataku.

"Hmmm, I see. Aku paham, kok, apa yang kamu rasain." katanya dengan lirih, "Meskipun sekarang terasa begitu berat, tapi aku yakin kok, kamu pasti kuat."

Melihat senyuman di wajahnya, aku merasa harapanku telah bangkit.

"Kamu mungkin belum nemu tempatmu sekarang, tapi percaya deh, masa depanmu masih terbuka lebar. Setiap cobaan yang kamu alami akan membentukmu menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih bijaksana. Inget, bahwa ada cahaya di ujung terowongan. Kamu cuma perlu terus berjalan menuju cahaya itu. Kalo misal kamu perlu temen, aku mau kok, jadi temen kamu."

Mendengar pernyataan yang penuh empati dan dukungan dari pria itu, aku merasa seperti sehelai bunga yang mulai kembali mekar di tengah padang gurun keputusasaan.

“Makasih, lho.” Jawabku dengan sedikit senyuman berbinar di wajahku. “Tapi, emang kamu mau berteman sama orang yang bisa ngeliat hantu? Yang ada aku malah bikin kamu risih sendiri.” Aku mengutarakan kembali sebuah beban yang belum aku ceritakan.

Mendengar pernyataanku ini, aku melihat matanya yang sedikit terbelalak. Tak lama, ia menjawab. “Wow, serius?” jawabnya dengan senyuman yakin. “Malah, kayaknya ini bakal jadi pengalaman baru aku bisa punya temen indigo.”

Senyum di wajahku semakin bersinar. Aku tidak tahu siapa pria itu. Tapi, saat itulah aku merasa ada yang mau menerimaku apa adanya, dan bahwa aku tidak sendirian di dunia ini.

“Dave.” Ia memberikan tangannya.

“Agas.” Aku membalas jabatan tangan itu.

“Kamu sekolah di SMA CPS?” tanyanya usai berjabat.

“Iya, kenapa?”

“Kenal sama Karlina Damayanti, dong?”

Aku terkejut keblingar mendengar pertanyaan yang diutarakan Dave itu.

“I—iya, kenal. Dia siapanya kamu?”

Dave terkekeh sedikit. “Enggak, dia temen les aku.” Dia bergeming sejenak, sebelum melanjutkan kata-katanya. “Tapi, aku naksir dia, sih.” Ucapnya dengan nada malu.

Apa? Kenapa kebetulan sekali? Aku juga menyukai Karlina. Sedangkan Karlina justru malah pacaran sama Farid. Ini bukan lagi cinta segi tiga, ini cinta segi empat.

“Ta—tapi, kamu tau, kan, Karlina udah punya pacar?” Aku berusaha tidak mengungkapkan kebenaran yang ada di dalam diriku.

“Iya, udah. Namanya Farid. Dan sekarang aku mau ketemu dia.”

“Lah? Ngapain? Ngomong-ngomong Farid itu sepupu aku itu, sih.” Aku akhirnya menghela napas memberitahukan semuanya.

Dave terbelalak sejenak. Dia kemudian menceritakan kejadian sehari sebelumnya. Saat itu Karlina mengajaknya makan bareng di sebuah mall. Tapi, kejadian itu terpergoki oleh Farid dan kawan-kawannya. Saat itu terjadi pertikaian, dan Karlina menjadi penengah. Mereka disuruh untuk baikan. Farid mengajak Dave untuk menemuinya di lokasi pembangunan dekat sekolahku.

Dave juga menceritakan tentang dirinya yang merupakan siswa SMA Patra Dharma Balikpapan.  Dia juga mengatakan bahwa Karlina adalah tetangganya di seberang rumahnya.

“Jujur, sih. Aku sebenernya rada takut juga. Dan agak males, haha. Tapi, ya, aku harus nepatin janji,” ujarnya. “Okedeh, aku kayaknya mau pergi dulu. Takutnya orangnya udah dateng.” Ia menutup percakapan.

Melihatnya yang akan segera pergi, sekilas terbesut suatu firasat aneh.

“Tunggu!” Aku menggenggam lengan Dave dengan gesit. Detik itu pula, muncul sebuah kilatan penghilatan. Aku melihat sosok pria berjubah mengayunkan kapak ke arahku—tepatnya mungkin itu adalah Dave. Wajah orang itu tidak begitu jelas. Aku tidak bisa menebak siapa pria itu.

Aku langsung melepaskan genggamanku. Keringat membasahi tubuhku dan aku menjadi ketakutan sesaat.

“Kenapa?” tanya Dave.

Aku berusaha tetap tegar, berusaha melupakan apa yang kulihat barusan. “Mungkin, sebaiknya kamu jangan pergi menemui Farid.” Entahlah, apakah aku harus memperingatkannya atau tidak. Tetapi, rasanya, aku merasa ada hal yang tidak baik akan terjadi padanya.

“Kenapa?” tanyanya. Wajahnya terlihat penasaran menatapku. “Kamu bisa ngeliat masa depan juga?”

Duh aku harus jawab apa. Tapi tidak apa-apa, aku akan berusaha mengingatkannya dengan jawaban lain agar aku tidak seperti orang aneh. “Enggak. Tapi, aku kenal banget sama Farid. Dia itu posesif banget sama Karlina. Kamu ngedeketin Karlina itu bisa ngebuat dia murka. Entah gimana, aku ngedenger cerita kamu, kayaknya dia bakal ngapa-ngapain kamu.”

Duh apa yang kubicarakan.  Tapi masalahnya, ada firasat aneh yang terbesit di kepalaku. Aku bingung bagaimana menjelaskannya. Aku merasa akan ada sesuatu yang terjadi padanya jika ia pergi ke sana. Apalagi aku melihat sosok itu, seakan ia akan menemui ajalnya jika ia melanjutkan.

Dave melirik ke arah lain. Sepertinya ia sedang berpikir sejenak. “Oke. Aku percaya sama kamu.”

Mendengarnya berkata seperti itu tentu saja membuatku terbujur lega. Untuk pertama kalinya, akhirnya ada seseorang yang mau mendengarku.

“Makasih, ya. Udah ngingetin aku.” Kata Dave. Ia menepuk pundakku.

“Iya gapapa. Kamu pulang aja sekarang. Ngomong-ngomong, gojek aku udah sampe mana?”

Saat itu lah supir gojek akhirnya menglakson tak jauh dari pandanganku.

“Tuh, udah dateng.”

Sontak aku langsung terkejut. Namun, aku tidak lupa satu hal. “Eh, aku minta nomor kamu, ya. Nanti kita kontak-kontakan kalau hape aku udah full.”

“Siap, komandan.” Jawabnya antusias. Dave mengambil buku kecil dari saku jaket denimnya. Ia merobek kertas dari buku itu.

Aku meminjamkan pulpen padanya. Dan akhirnya, ia memberikan nomornya padaku.

“Aku duluan, ya.” Ujarku sembari menaiki motor gojek yang sudah dipesankan oleh Dave.

“Oke, hati-hati di jalan.”

Baru kali ini aku merasa terharu bisa bertemu seorang sebaik dia. Kuharap, aku bisa menjadi teman yang baik untuknya.

Di rumah, aku merebahkan diriku di tempat tidur. Akhirnya ponselku sudah kucas hingga penuh. Apakah ini saatnya untuk mengirim pesan kepada Dave? Sedikit ragu, tapi ya, apa yang salah, bukan.

Hei, ini gua, Agas. Save nomor gua, ya.

Eh, oh iya, dia ngomongnya aku-kamu, bukan lu-gua. Sekejap aku langsung menggantinya dengan sebutan aku.

 Sip, done, ya. Balasnya.

Entah kenapa, aku merasa begitu berbinar, seakan ada sesuatu yang tumbuh dalam diriku. Kegembiraan.

Aku mengobrol dengan Dave melalui W******p. Kami membicarakan banyak hal mengenai diri kami. Ternyata, Dave adalah seorang piatu. Ibunya meninggal karena kanker ketika ia usia 7 tahun. Sekarang ia tinggal di rumahnya bersama ayah dan adik laki-lakinya.

Saking asyiknya aku mengobrol, aku bahkan sampai tak menghiraukan sosok gadis pucat yang menatapiku dengan antusias di pojok ruanganku. Tak lama pun, ia menghilang. Mungkin karena dia merasa capek menungguku? Yah, baguslah. Setidaknya itu akan mengalihkanku dari rasa takut.

Eh, btw, kapan-kapan main, dong ke rumahku. Tawarku sebagai percakapan terakhirku.

Boleh. Tar sharelock aja.

Oke.

***

Bab terkait

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Menjadi Trio

    Di dalam kamar, aku termenenung, kembali membayangi kehidupanku yang sangat melelahkan. Kini, aku dapat melihat mahluk gaib, hal itu membuatku sangat tertekan. Rasanya aku ingin menutup mata batinku. Tetapi, mengingat Dave yang memujiku kemarin, aku sekarang malah berpikir, apakah aku memang harus menghapusnya?Saat itu, sosok gadis yang semalam muncul di pojok ruangan itu lagi. Ia menatapku dengan tatapan datar seperti tadi malam. Aku menyadari sesuatu bahwa gadis itu adalah gadis yang ada di ruang guru sebelumnya. Aku yang baru saja bangun dan duduk di kasur tentu saja menjadi ketakutan. Tapi, aku berusaha menegarkan diri.Aku menarik napas perlahan, dan menenangkan diri. Aku pun memberanikan diri menatapnya. Gadis itu hanya diam memandangku. Sepertinya ia tidak berniat macam-macam.“Haruskah aku menutup mata batinku?” tanyaku dengan risau.Gadis itu kemudian tersenyum. “Terserah kamu. Kamu yang punya kendali atas dirimu.”Wow, sebuah lontaran bijak yang diutarakan oleh makhluk tak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Astral Projection

    Se-pulang sekolah, aku dan Ralph pergi ke Gramedia. Aku menemaninya membeli buku Everything About The Other World, A Guidance For A Psychic, karya Ellis Reiner. Setelah itu kami pergi ke sebuah restoran siomay terdekat."Gue emang kagum banget sama Ellis Reiner," kata Ralph sambil menyuap siomay kering favoritnya di mall. Kebetulan ia mentraktirku makan siang hari ini."Mantan cenayang dari Inggris,” tambahnya.Aku menatap Ralph sedikit heran. "Kenapa lo bisa kagum sama dia? Di sini juga banyak cenayang, kan?"Ralph menggeleng, menaruh sendoknya di piring. "Jujur aja, gue nggak terlalu percaya sama cenayang-cenayang di Indonesia. Banyak yang nipu, ngejual omong kosong demi duit. Mereka sering kali bikin sensasi daripada membantu orang. Lo liat aja di TV, semua pada pamer kekuatan, padahal isinya cuma tipuan."Dia meneguk minumannya sebelum melanjutkan, "Beda sama Ellis Reiner. Gue ngikutin channel YouTube-nya sejak lama, dan dari video-videonya kelihatan dia beneran ngerti soal dunia

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Fantasi yang Menjadi Warisan

    Hujan deras saat aku makan malam bersama keluarga besar, aku, ibu, Om Dimas, dan Farid. Ralph dan Dave sudah pulang pada sore hari sebelum ibu datang, disusul oleh Om Dimas dan Farid, jadi mereka belum sempat bertemu.“Gimana sekolah? Sudah mulai betah?” tanya Om Dimas sambil menyendokan nasi ke piringnya.“Hmmm.... Lumayan, Om.”“Ya, baru sebulan. Yang namanya adaptasi pasti perlu proses kok.” Pria tampan klinis yang berhasil memberikan kami tunjangan hidup tersenyum ramah menatapku. Satu-satunya orang yang paling ramah denganku di rumah ini.“Iya, bang. Apalagi Agas bukan anak yang gampang bersosialisasi,” imbuh ibuku, menyembunyikan rasa kesal yang bisa kulihat dari wajahnya ketika menyeruput kuah soto.Om Dimas mengangguk sambil tersenyum lembut, “Makanya Om nyekolahin kamu sama Farid. Biar kamu ada temen.”Sekilas aku langsung mendengar Farid menggerutu dengan pernyataan ayah kandungnya.Aku menahan napas sejenak, mencoba menyembunyikan perasaan sedihku. “Iya, Om,” jawabku ringka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Definisi Sahabat Sejati

    Life is a dream in our way to the death. Sebuah kata-kata mutiara yang anggun saat aku mendengar video Ellis pagi itu. Sudah banyak video Ellis yang kutonton. Aku jadi semakin paham berbagai macam keunggulan anak indigo.But you should know. Even death is something that we are gonna achieve, life is much stronger. So, when you are afraid of the dead, remember that you’re alive. You are stronger than them. You have a body. You have something that they don’t have.Aku bisa melihat wajah Ellis tersenyum berbinar ke arah layar, seakan ia sedang tersenyum ke arahku."Aduh!" Aku hampir terjatuh. Seseorang menabrakku dari belakang saat aku berjalan di lorong sekolah sambil menonton video."Bajing lo! Kalau jalan pake mata!" bentaknya. Menyebalkan. Buruk muka, cermin dibelah. Zaydan! Aku berusaha mendiamkannya untuk meminimalisir konflik."Woi, brengsek lo! Bukannya minta maaf, malah melengos pergi. Berani lo sama gue?" Zaydan menarik bahuku hingga tubuhku berbalik menghadapnya.Aku benci dir

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Prank Ala Remaja

    Senja hari.“Kapan dia dateng?” tanya Ralph yang mengendap-endap di balik pohon.“Bentar lagi.” Jawabku.Aku dan Ralph mengintip ke balik pohon. Rumah Zaydan, rumah yang minimalis berdiri di depanku. Posisiku saat ini berada di sebuah pepohonan yang di depannya adalah sebuah jalan mobil. Tepat di seberang jalannya adalah rumah Zaydan yang membelakangi yang dilapisi pagar batu yang memanjang di seluruh jalan.Tak lama, ada sebuah motor mendekat. Motor kemudian berhenti di dekat motor Ralph yang diparkir di dekat pohon kami berdiri. Seorang penumpang pria dengan jaket army kemudian turun dari motor itu.“Makasih, pak.” Ujar pria itu. Ternyata itu adalah Dave yang kemudian memberikan helm Gojek kepada supir motor itu.“Hey, gais.” Sapa Dave dengan ramah. “Ngapain kalian ngendap-ngendap di balik pohon?”“Dev, akhirnya lu dateng juga.” Sapaku sembari mendekatinya.Sebetulnya aku tidak mengundang Dave untuk datang. Aku hanya menjaprinya saat aku pulang di rumah. Aku mengatakan padanya bahwa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Video Pembunuhan

    Aku melangkah masuk ke dalam rumah si anak blasteran ini. Sungguh terkesima nan takjub diriku melihat seisi ruangan di dalam.Aku melihat banyak sekali pernak-pernik yang memanjakan mata yang keluarga Dave miliki. Dinding-dinding rumah dihiasi dengan lukisan-lukisan berharga. Sebuah perapian besar dengan api yang menyala di tengahnya. Sofa dan kursi-kursi berbalut kain sutra berwarna merah di depan televisi, di mana ada bocah berambut pirang—adiknya Dave—yang sedang bermain playstation.Di satu sudut ruangan, terdapat piano grand yang indah. Dari desainnya tentu itu terlihat mahal."Wow, rumah lu gede banget. Asli." Puji Ralph dengan terkemukau."Yah. Kamu orang kaya, ya?" tanyaku menggoda.Dave terbujur malu setelah aku bertanya demikian. Wajahnya memerah dan tatapannya berbinar. "Ah, biasa aja, lah. Syukur, sih tapi. Makasih, ya." Ia menggaruk-garuk kepala. "Hayu, atuh. Kita naik ke kamarku." Dave menuntun kami menuju tangga di samping dapur menuju lantai atas.Seorang pria paruh ba

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Jebakan Mematikan

    Tengah malam. Aku terbangun di depan cermin kamar mandi. Anehnya adalah, wajah yang kupandang bukanlah wajahku, melainkan wajah Andi, teman sekelasku. Aku berada di tubuhnya.Andi membasuh mukanya dari sepercik air di wastafel. Tapi masalahnya, aku tidak menggerakan tubuhnya. Dan aku tidak bisa merasakan apapun, sementara Andi terus menyikat gigi. Rasanya seperti terjebak di dalam wadah, dan wadah itu bergerak kemana-mana tanpa kontrol dari dirimu.Pertanda apa ini? Bagaimana jiwaku bisa terjebak di tubuh orang lain, sedangkan dirinya tidak menyadari apapun.Tiba-tiba, aku melihat sosok hitam legam dari arah cermin. Sosok itu tiba-tiba menyambar tubuh Andi hingga seketika kegelapan menerpa diriku.Apa ini? Apa yang terjadi? Suasana menjadi gelap gulita. Apakah aku berada di dunia arwah?Tak lama, aku terbangun di sebuah ruangan. Aku melihat diriku terikat di sebuah kursi—masih di dalam tubuh Andi. Kedua tanganku terikat dengan tali, begitu juga kedua kakiku dan juga badanku.Aku panik

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Hilang

    Pagi itu, aku melihat Dave menatap ke arah luar jendela yang sedang hujan deras. Aku menghampirinya perlahan dari belakang. Ia sedang menatap rumah yang berada di seberang rumahnya."Rumah Karlina." Sahutku.Dave tersenyum kecil. "Yah, rumah gadis tercantik di kota."Aku tertawa kecil mendengar pujian hiperbola itu. "Aku boleh jujur gak, sama kamu?" tanyaku yang berdiri tepat di sampingnya melihat ke luar jendela.Dave melirik ke arahku."Aku juga suka sama Karlina, sih." Jawabku lirih."Ya, kamu kan udah pernah bilang waktu itu," jawab Dave singkat. Dia sepertinya kehabisan kata-kata."Tau. Cuma maksudnya, kalo emang kamu suka sama dia, gak apa. Dia lebih cocok sama kamu, kok, daripada aku." Aku memberikan semangat padanya serta menepuk pundaknya.Dave tertawa kecil. "Ya, tapi gimana, ya. Dia kan udah sama Farid. Aku gak bisa nikung dia. Farid gitu, lho.""Iya, sih." Kami berdua menghela napas dan melihat jendela yang menampilkan rintik hujan yang menderu.Tiba-tiba, seseorang menyam

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18

Bab terbaru

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Penguntit di Kegelapan

    “Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Warisan Baru

    Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Insiden

    Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Berdamai Dengan Masa Lalu

    Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Kenangan Baru

    Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Pertarungan Terakhir

    "Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Gerbang Merah

    KETIKA KAMU BERKUNJUNG KE DUNIA ORANG MATISEMAKIN KAMU MENJELAJAHINYASEMAKIN BERESIKO PERJALANANMU-ELLIS REYNER______________________________________________________Aku terbangun di kegelapan. Gemuruh orang-orang penasaran bisa terdengar. Kabut-kabut mencuat di sekitarku. Aku sampai di dunia arwah.Lentera kehidupan menyala dan muncul di hadapanku. Aku pun mengambilnya. Namun, seseorang lewat di sampingku. Aku terkejut dan menoleh. Tetapi, sosok itu sirna.Aku menoleh kembali. Sosok remaja pria dengan wajah yang terbelah dan hancur datang menghampiriku. Aku terkejut dengan kengerian, namun aku pun terdiam karena sosok itu sangat familiar."Andi?" Ucapku.Ia mengangguk. Aku bisa melihat raut matanya dipenuhi kesedihan."Mereka membunuhku, tetapi mereka membuangku. Sekarang aku hanya makhluk yang tersesat di dunia gelap ini," curhatnya dengan penuh pilu. "Kamu mencari tempat tinggal Tuan Kelinci, bukan?" Ia kemudian menatapku dengan serius."Yah, aku lagi mencari tempat tinggal Asm

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Kabur Dari Kegelapan

    "Hahahaha.... Benar-benar momen yang mengharukan. Tapi, ini belum selesai. Masih ada yang kamu harus tolong lagi." Suara dari speaker itu terdengar lagi."Mana temanku yang lain?" Aku menggertak, menatap ke arah speaker itu."Tenang, tenang. Temanmu ada di sana."Seketika, salah satu lampu di ujung ruangan menyala, memancarkan cahaya pudar yang memperlihatkan sosok Ralph yang terikat di meja pemotong. Tubuhnya dipenuhi lebam, dan wajahnya memucat, menunjukkan betapa lama ia mungkin telah disekap di sana."To-tolong...." Ia merintih, seakan ia sudah lemas tak berdaya.Di sekitar meja itu terdapat alat-alat tajam, mulai dari pisau besar hingga benda logam yang terlihat seperti penjepit yang tidak pernah digunakan untuk tujuan yang baik."Ralph!" Aku berteriak, suaraku memantul di dinding-dinding beton yang dingin. Napas Dave tertahan saat ia melihat kondisi Ralph yang tak berdaya. Dia menatapku dengan ketakutan, tetapi juga dengan tekad yang mulai muncul dari rasa panik."Ayo, Dave," bi

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   SI PENGUNTIT DI BAWAH TANAH

    SELAMA INI, DIA MENGAWASI KITA SEMUAMEREKAM SEGALA AKTIVITAS KITAAPA PUN YANG KITA LAKUKAN, DIA TAHU SEMUANYA________________________________________________Lampu-lampu di sisi lain ruangan seketika menyala satu-satu, mengarahkanku ke sebuah lorong. Di ujung lorong itu terdapat pintu besi yang tertutup.Aku sudah tidak merasakan ketakutan sedikit pun. Aku siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Maka, aku menggenggam kuat golokku dan berjalan dengan sigap menuju pintu itu.Nafasku terengah-engah. Aku membuka pintu besi itu.Seketika kilatan cahaya menyambar diriku, seakan aku memasuki dunia lain. Aku memejamkan mata dari silaunya cahaya itu, kemudian aku membuka mata, melihat diriku sampai di sebuah tempat gelap.Aku menuruni sebuah tangga memutar yang mengarahkanku ke sebuah ruangan. Ketika mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, ruangan di sekelilingku perlahan menjadi jelas. Aku sampai ke sebuah ruangan besar. Di dalamnya, deretan layar monitor memenuhi dinding-dinding, meman

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status