Aku melangkah masuk ke dalam rumah si anak blasteran ini. Sungguh terkesima nan takjub diriku melihat seisi ruangan di dalam.
Aku melihat banyak sekali pernak-pernik yang memanjakan mata yang keluarga Dave miliki. Dinding-dinding rumah dihiasi dengan lukisan-lukisan berharga. Sebuah perapian besar dengan api yang menyala di tengahnya. Sofa dan kursi-kursi berbalut kain sutra berwarna merah di depan televisi, di mana ada bocah berambut pirang—adiknya Dave—yang sedang bermain playstation.
Di satu sudut ruangan, terdapat piano grand yang indah. Dari desainnya tentu itu terlihat mahal.
"Wow, rumah lu gede banget. Asli." Puji Ralph dengan terkemukau.
"Yah. Kamu orang kaya, ya?" tanyaku menggoda.
Dave terbujur malu setelah aku bertanya demikian. Wajahnya memerah dan tatapannya berbinar. "Ah, biasa aja, lah. Syukur, sih tapi. Makasih, ya." Ia menggaruk-garuk kepala. "Hayu, atuh. Kita naik ke kamarku." Dave menuntun kami menuju tangga di samping dapur menuju lantai atas.
Seorang pria paruh baya terlihat keluar dari sebuah ruangan di lantai bawah. Pria tersebut mengenakan setelan jas abu-abu dan memakai kacamata. Ia membawa aktentas kulit hitam yang tampak berisi dengan dokumen-dokumen penting dan perangkat teknologi modern.
"Dave." Pria itu memanggil.
"Iya, pah." Segera Dave berlari ke arah pria itu. "Papa mau kemana?"
"Papa mau meeting dulu. Itu teman-teman kamu, ya?" ia menunjuk ke arah kami.
"Eh, iya, om. Salam kenal, ya." Sapa Ralph dengan anggun.
"Iya, silakan. Baik-baik ya, nak. Jaga adik kamu. Kalau ada apa-apa, panggil mba Siti aja, ya. Yuk, saya pergi dulu." Pria itu melambai ke arah kami bertiga. Ia bergegas menuju pintu keluar dengan buru-buru.
Di kamar Dave, aku meletakan ranselku di dekat dipan kasur yang memanjang. Kamarnya terlihat rapi dan tertata. Berbeda dari kamarku yang serba berantakan.
"Sok, sok. Duduk aja, gais." Dave menutup pintu. Ia bergegas menuju akuarium kecil dekat laptop yang diletakan di atas meja kayu mahoni. Ia memberi makan ikan-ikan koki warna-warni yang terlihat kelaparan.
"Mantap juga rumahmu, bro." Puji Ralph kembali. Ia duduk di sampingku di atas karpet yang terbentang di lantai.
"Mau langsung aja, nih?" tanya Dave yang melepaskan jaket denimnya dan menggantungnya di sebuah gantungan di dinding.
"Hayu, buru." Ujar Ralph.
Aku mengeluarkan flashdisk yang kutemukan itu dari dalam tas. Dave mengambil laptop miliknya.
"Pake laptop aku aja, ya." Ia meletakannya di lantai, lalu menyalakannya.
Aku memberikan flashdisk itu padanya. Jujur saja ini adalah pertama kalinya aku melakukan sebuah keisengan. Entah apa yang kulakukan ini akan berdampak pada hukum atau tidak. Tapi, aku anggap saja ini sebagai balas dendamku pada Zaydan. Aku berusaha menegarkan diriku agar aku tidak merasa bersalah.
Ralph tiba-tiba mengutarakan, "Moga aja isinya skandal Zaydan lagi...."
Puk, seketika aku langsung menepuk pundaknya sebelum ia melanjutkan pernyataannya.
"Ish. Kenapa, dah?" ujarnya terganggu.
"No skandal-skandalan, ya. Kalo ampe gituan aku hapus file-nya." Ujar Dave dengan nada tegas yang mengotak-atik laptop Asus miliknya.
"Dih, mending buat gua, lah."
Nooo!!! Tegur kami berdua.
"Iye, iye." Ralph kecewa.
File di dalam flashdisk itu akhirnya dibuka. Di dalamnya terdapat sebuah folder. Dave kemudian membukanya. Terlihat sebuah file video yang singgah di dalam folder itu. Anehnya, hanya terdapat satu file video itu saja dalam folder itu.
"Hmmm. Video." Komentar Dave. "Kal, tadi apa kata hantu yang nyamperin kamu di kamar Zaydan?"
Aku berpikir sejenak, mengingat perkataan hantu pemuntah itu. "Kalo gak salah dia cuma bilang hentikan si kelinci putih itu."
Kelinci putih, ya. Bisik Dave lirih.
"Coba nyalain videonya, Dev." Tutur Ralph.
Video diklik. Dave mundur beberapa langkah sejajar dengan kami. Itu adalah sebuah rekaman yang hanya berdurasi lima menit. Video dibuka dengan lima orang pria remaja mengenakan topeng rubah yang dipasang di muka, selfie di depan cermin kamar mandi. Backsound dari video ini terbilang sangat mengganggu. Seperti suara karnaval horor ditambah dengan selingan tawa badut.
Kelima orang itu—dipimpin oleh pria yang memegang kamera video—bergerak meninggalkan kamar mandi. Mereka sampai di sebuah ruang seperti restoran dengan banyak sekali meja makan yang tidak disinggahi.
"Itu Zaydan? Yang ngerekam?" tanyaku penasaran.
"Gak tau. Mungkin aja." Jawab Ralph yang menyaksikan video itu begitu khidmat.
Pria yang merekam video kemudian menyorot ke bagian belakang seorang bocah laki-laki kecil yang berdiri di tengah-tengah rentetan kursi makan yang kosong. Bocah itu berdiri menyaksikan sebuah animatronik anjing sebesar manusia bernyanyi di atas panggung.
Si perekam dan teman-temannya kemudian mendekati bocah itu dari belakang. Seketika, si perekam merebut boneka beruang yang sedang dipeluk bocah itu, membuatnya teralihkan dan berteriak gelisah. Kak! Jangan, kak! Balikin! Teriak bocah itu.
Video itu menampilkan adegan pem-bully-an terhadap bocah malang itu. Pria-pria bertopeng itu melempar tangkap boneka milik bocah malang tersebut. Pada akhirnya, si perekam mendorong bocah itu dengan bonekanya hingga ia terjungklang ke meja pelanggan. Bocah yang malang. Ia hanya bisa menangis menerima perundungan kejam itu.
Menyaksikan rekaman itu, entah mengapa aku merasa seperti senasib dengan bocah itu. Lugu, bahan bully-an, dan cengeng. Itulah aku.
Tak lama, si perekam menarik kerah baju bocah itu hingga ia berdiri.
Kita apain lagi, ni bocah? Tanya salah seorang temannya.
Kita plorotin celananya. Tanya temannya yang berbeda sembari cekikikan.
Jangan. Gua punya ide yang lebih bagus. Jawab si perekam yang menyorot ke arah bocah yang menangis itu. Ia kemudian menggeser kameranya ke arah animatronik anjing yang sedang bernyanyi itu. Kita masukin dia ke dalem Mister Cuddle itu.
Aku melihat adegan itu, entah mengapa memberikan perasaan tidak enak. Pria yang merekam itu menarik paksa lengan bocah kecil itu. Anak itu menangis mencoba melepaskan cengkraman pria itu.
Kak! Gak mau, kak! Lepasin! Teriak anak kecil itu. Rintihan suara jeritan anak itu sungguh mengilukan pikiranku.
"Ralph. Kok, gua gak enak nontonnya, ya." Aku bersiap menutup wajahku untuk menghindari adegan yang tidak menyenangkan.
Tetapi, Ralph dan Dave sepertinya begitu fokus menyaksikan rekaman itu. Mereka tidak menghiraukan perasaan tidak nyaman di diriku.
Pria itu kemudian membopong bocah itu menuju boneka animatronik anjing itu. Teriakan histeris anak itu makin terdengar menyeringai. Meskipun aku merasa takut, namun aku penasaran apa yang akan dilakukan pria itu.
Ketika animatronik itu membuka mulut untuk melanjutkan lirik nyanyiannya, pria itu memasukan kepala bocah itu ke dalam mulut beruang itu. Saat itulah aku langsung memejamkan mataku.
Jangan, kak! Aaaarrgghh!! Teriakan anak kecil itu begitu menganggu pikiranku. Aku membekap kedua telingaku dengan sekuat tenaga. Tetapi, teriakan itu masih terdengar di telingaku.
"Anjir, gile ngeri banget, dah." Ujar Ralph. Aku tetap tidak mau membuka mataku karena tidak berani.
Seketika, aku mendengar suara Krak! Seperti suara tengkorak yang retak. Saat itu juga Ralph dan Dave berteriak.
"Shit! Ngeri banget, anjir!" teriak Ralph.
Krak! Suara itu terdengar lagi dan teriakan anak itu makin histeris.
"Anjir darahnya banyak banget!" lanjut Ralph.
Aku mulai tidak kuat mendengarnya. Saat itu aku berteriak. "MATIIN! MATIIN!" Saat itu pula, aku pun menangis.
Dave segera mematikan rekaman itu atas perintah Ralph.
"Udah, udah. Udah dimatiin, Kal." Ujar Dave.
Seketika, aku merasa ada yang menepuk pundakku. Itu adalah Dave ketika aku membuka mataku. Namun, ketika aku melihat ke arah laptop, sosok anak kecil dengan kepala yang hancur dan diselimuti darah menatapku tajam.
Aku berteriak histeris melihat penampakan itu, dan aku kembali menutup mata. Saat itu aku paham apa yang terjadi di video itu. Kepala anak kecil yang dimasukan ke dalam itu retak karena mulut boneka animatronik itu menutup mulutnya.
"APA? ADA APA?" teriak Ralph terkejut.
Sekejap, aku mendengar seseorang membuka pintu kamar. "Ada apa, sih? Heboh banget kayaknya."
Aku membuka kembali mataku. Ternyata itu adik Dave yang membuka pintu. Ia terlihat resah dengan kegaduhan yang terjadi.
Dave menarik pundaku kemudian merangkul diriku yang masih terengah-engah. "Sudah, sudah. Daniel, tolong ambilin minum."
Sang adik kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan.
"Nape lu, Gas?" Ralph melangkah ke hadapanku.
Aku menunjuk ke arah laptop yang masih terduduk di atas lantai dengan layar yang sudah mati. "I—itu." Telunjukku begitu gemetaran. "Ada anak kecil mukanya ancur tadi di balik laptop." Jawabku sambil terisak-isak.
Tak lama, adik Dave kembali membawa segelas air putih. Dave menadahkan air minum kepadaku. Aku merasa begitu letih seakan energiku telah terkuras habis. Jantungku berdebar sangat kencang dan keringat membanjiri tubuhku.
"Gila, lu kek risuh banget, asli. Kek abis naik roller coaster." Ralph menatapku dengan heran.
Ya, bagaimana tidak. Hal-hal yang berbau sadis adalah hal yang paling aku takuti. Justru karena hal barusan, aku bahkan lebih baik melihat penampakan hantu berwajah pucat daripada melihat adegan penyiksaan dan berdarah.
Aku terbaring di atas paha Dave sembari menenangkan diri. Bayang-bayang kejadian tadi masih terbesit dalam benakku.
"Kira-kira itu Zaydan, bukan? Yang ngerekam video ini?" tanya Dave penasaran.
"Kayaknya, sih." Jawab Ralph sembari mengangkat bahu. "Soalnya siapa lagi yang ngerekam? Kita nemuin flashdisk ini di kamar Zaydan." Dia berkata seolah ia yakin sekali dengan opininya. "Keknya kita harus laporin Zaydan ke polisi."
"Jangan!" bantah Dave.
Aku hanya terdiam mendengarkan mereka berargumen. Pikiranku sudah terlalu letih untuk mengutarakan opini.
"Kita gak punya bukti apa-apa kalo itu Zaydan. Lagian, emang kita mau bilang ke polisi kita nyelinap ke rumah Zaydan? Pasti kena juga, lah kita."
"Kita bilang aja kalo kita nemu dari meja Zaydan di sekolah." Ujar Ralph yang begitu ambisius.
"Ya sama aja, cok. Bahkan kita bakal ditanya kenapa kita ngambil FD orang sembarangan."
"Bilang aja kalo dia itu brengsek suka bully orang." Ralph terus mengutarakan ambisinya yang tidak mau kalah. "Gimana, Kal, menurut lu?"
Aku hanya terdiam menatapnya dengan napas terisak-isak.
"Agas lagi capek." Dave membela. "Ya, terserah kamu aja, Ralph. Tapi aku gak mau ikut-ikut. Aku gak mau kena masalah." Ia mengangkat kedua tangannya.
"Dih. Gak seru, dah." Ujar Ralph yang sepertinya kalah argumen. Ia menyilangkan kedua lengannya di dadanya.
Entah bagaimana aku melihat sosok Ralph meskipun ia begitu ambisius, aku bisa melihatnya takut dengan kesendirian.
***
Tengah malam. Aku terbangun di depan cermin kamar mandi. Anehnya adalah, wajah yang kupandang bukanlah wajahku, melainkan wajah Andi, teman sekelasku. Aku berada di tubuhnya.Andi membasuh mukanya dari sepercik air di wastafel. Tapi masalahnya, aku tidak menggerakan tubuhnya. Dan aku tidak bisa merasakan apapun, sementara Andi terus menyikat gigi. Rasanya seperti terjebak di dalam wadah, dan wadah itu bergerak kemana-mana tanpa kontrol dari dirimu.Pertanda apa ini? Bagaimana jiwaku bisa terjebak di tubuh orang lain, sedangkan dirinya tidak menyadari apapun.Tiba-tiba, aku melihat sosok hitam legam dari arah cermin. Sosok itu tiba-tiba menyambar tubuh Andi hingga seketika kegelapan menerpa diriku.Apa ini? Apa yang terjadi? Suasana menjadi gelap gulita. Apakah aku berada di dunia arwah?Tak lama, aku terbangun di sebuah ruangan. Aku melihat diriku terikat di sebuah kursi—masih di dalam tubuh Andi. Kedua tanganku terikat dengan tali, begitu juga kedua kakiku dan juga badanku.Aku panik
Pagi itu, aku melihat Dave menatap ke arah luar jendela yang sedang hujan deras. Aku menghampirinya perlahan dari belakang. Ia sedang menatap rumah yang berada di seberang rumahnya."Rumah Karlina." Sahutku.Dave tersenyum kecil. "Yah, rumah gadis tercantik di kota."Aku tertawa kecil mendengar pujian hiperbola itu. "Aku boleh jujur gak, sama kamu?" tanyaku yang berdiri tepat di sampingnya melihat ke luar jendela.Dave melirik ke arahku."Aku juga suka sama Karlina, sih." Jawabku lirih."Ya, kamu kan udah pernah bilang waktu itu," jawab Dave singkat. Dia sepertinya kehabisan kata-kata."Tau. Cuma maksudnya, kalo emang kamu suka sama dia, gak apa. Dia lebih cocok sama kamu, kok, daripada aku." Aku memberikan semangat padanya serta menepuk pundaknya.Dave tertawa kecil. "Ya, tapi gimana, ya. Dia kan udah sama Farid. Aku gak bisa nikung dia. Farid gitu, lho.""Iya, sih." Kami berdua menghela napas dan melihat jendela yang menampilkan rintik hujan yang menderu.Tiba-tiba, seseorang menyam
Sudah seminggu Ralph tidak masuk sekolah. Anehnya, tak ada satu pun yang tahu keberadaannya. Teleponku tak pernah diangkat, pesan WhatsApp yang kukirim pun tak pernah berbalas, bahkan status online-nya tak pernah muncul. Aku mulai merasa khawatir, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu.Namun, setelah seminggu tanpa kabar, kekhawatiranku memuncak. Aku tak bisa lagi menunggu tanpa kejelasan. Hari itu, sebelum jam masuk sekolah, aku memutuskan untuk pergi ke kelas 10 IPA 4, yang mana itu adalah kelasnya Ralph.Seketika, aku melihat Karlina yang keluar dari pintu kelas, aku langsung merasa jantungku berdetak lebih cepat. Dia berdiri menghampiriku dan menatapku, rambutnya tergerai rapi, dan make up-nya membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya. Ada sesuatu dalam cara dia melihatku mendekat yang membuatku sejenak kehilangan kata-kata.Sial, aku harus. Ini bukan saatnya salting, Ralph sedang menghilang. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan perasaanku. Setelah mem
“Dave itu baik banget. Hatinya itu tulus banget. Udah baik, ganteng lagi, idaman lah pokoknya.” Tutur Karlina memuji teman karibku.Mendengarnya aku tersenyum bangga. Aku sangat beruntung bisa mendapatkan teman yang memiliki banyak sisi kebaikan.“Ya udah, Gas. Lo gak mau gabung sama yang lain gitu?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.Ah, rasanya sangat malas ketika Karlina bertanya hal itu. Keberadaanku di sini hanya karena terpaksa. Bergabung dengan yang lain? Apa yang bisa aku lakukan?“Enggak, Rin,” jawabku atas pertanyaan Karlina.Namun, secara tiba-tiba gadis itu menarik tanganku sambil berkata, “Udah, ayo ikut aja! Daripada lo cuma sendirian di sini!”Ah, aku tak kuasa menolak. Akhirnya hanya bisa mengikuti langkah gadis itu. Namun, di tengah perjalan aku melihat Zaydan yang datang dari arah lain. Matanya menyipit tajam saat melihat Karlina menarik tanganku. Aku kebetulan menoleh ke arahnya, di situlah aku mengumpat dalam hati.“Hei, kalian!” teriaknya memanggil kami berdu
Pintu akhirnya dibuka. Aku melihat Dave yang masih memakai piyama berdiri di belakang pintu."Eh, Agas. Sendirian?""Oh, enggak ini aku bawa seorang teman." Aku menggeser tubuhku ke samping agar Karlina bisa melihat. Saat itu, aku melihat wajah Karlina yang terbujur bahagia."Ka-Karlina?" ucap Dave gugup.Seketika Karlina langsung berlari dan merangkulnya. "Dave!" teriaknya. Saat itu pula hatiku terasa hancur. Seperti ada serpihan beling yang menusuk hatiku. Aku menganga menatap peristiwa pelukan itu.Tetapi, aku berusaha tegar. Aku terus mengatakan dalam hatiku, Itu sahabatmu. Dia lebih berhak darimu. Sungguh sedikit menyesak, tapi aku berhasil menaklukan rasa iri dalam hatiku."Jir, kamu kemana aja Dev?" Karlina bertanya dengan begitu terharu."A-aku berhenti les, sih. Aku takut ketemu kamu. Soalnya kan, kamu udah punya pacar."Aku melihat Karlina dengan gesit menarik lengan Dave ke dalam rumahnya. Aku langsung mengikutinya.Aku bisa merasakan getaran cemas di udara, dan aku tahu bah
Aku duduk di samping Dave di kamar tidurnya, suasana ruangan terasa hening. Hari sudah mulai sore, dan suasana mendung begitu kental di udara. Aku melihat Dave menatap kosong ke arah luar jendela, wajahnya terlihat penuh kekhawatiran dan ketidakpastian."Ini sudah seminggu, Gas," ucap Dave dengan suara yang rendah. "Papa belum juga pulang. Aku sudah mencoba meneleponnya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Aku mulai pesimis apakah dia masih hidup atau tidak."Aku merasakan kegelisahan Dave, dan hatiku terasa pilu melihatnya seperti ini. "Moga ayahmu baik-baik saja, Dev." Aku berkata dengan bimbang. Terus terang aku bingung bagaimana memberikan harapan padanya.Dave mengangguk menyetujui pernyataanku, tapi tatapannya masih terasa penuh dengan kecemasan. Kami berdua merenung dalam keheningan, membiarkan ketidakpastian melayang di udara sore hari ini.Tiba-tiba, suara dentungan piano terdengar oleh telingaku. Suaranya melayang-layang di udara malam, melintasi dinding dan pintu kamar Dav
Malam itu, setelah seharian penuh pikiran dan perasaan campur aduk, aku akhirnya memutuskan untuk tidur lebih awal. Di kamarku yang sempit dan sederhana, aku berbaring di atas kasur, mencoba memejamkan mata. Tapi rasa gelisah tentang Ralph masih menghantuiku. Pikiran tentangnya dan kejadian-kejadian aneh yang akhir-akhir ini muncul di hadapanku terus menghantui. Aku menghela napas dalam-dalam, berharap tidur bisa membawa ketenangan.Aku terbangun. Aku mendapati diriku berada di ruangan aneh lagi. Kali ini aku berada di ruangan yang memiliki banyak manekin dan robot animatronik hewan-hewan yang mati. Suasana begitu hening.Aku bangkit di antara tumpukan kayu, namun aku melihat diriku yang tampak transparan. Lucid dream lagi? Pikirku. Ini adalah yang kedua kalinya aku mengalami lucid dream. Bahkan, kejadian sebelumnya aku mendapati diriku di situasi mengerikan, kecuali jika memang...."Ciko...." terdengar suara yang sedikit familiar di telingaku.Aku menoleh ke arah datangnya suara pang
Keesokan harinya, aku telah sampai di sekolah. Aku berjalan santai melewati koridor sekolah yang lumayan sepi. Namun, saat aku hendak masuk ke dalam kelasku, dengan samar aku mendengar kakak kelasku tengah bercerita tentang seseorang."Morgan gak masuk katanya hari ini," ujar teman sekelas Morgan.Aku langsung teringat akan mimpiku tadi malam. Mungkinkah hal itu ada hubungannya dengan Morgan yang tidak masuk sekolah hari ini?"Kenapa? Apa dia sakit?" tanya teman Morgan lainnya."Katanya sih, dia hilang," jawab teman Morgan yang memberi kabar tadi."Hilang? Kok bisa?" tanya teman Morgan lainnya sambil menampilkan ekpresi terkejutnya."Entahlah, aku hanya mendapatkan kabar itu saja," ujar teman Morgan yang memulai cerita tadi.Mendengar itu aku langsung menangkap jika memang kejadian tadi malam adalah hal nyata. Aku terus mendengarkan mereka bercerita hingga obrolan mereka sudah tidak terdengar lagi saat mereka hilang dari pandanganku, mereka naik ke atas melewati anak tangga.Aku kemba
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih
KETIKA KAMU BERKUNJUNG KE DUNIA ORANG MATISEMAKIN KAMU MENJELAJAHINYASEMAKIN BERESIKO PERJALANANMU-ELLIS REYNER______________________________________________________Aku terbangun di kegelapan. Gemuruh orang-orang penasaran bisa terdengar. Kabut-kabut mencuat di sekitarku. Aku sampai di dunia arwah.Lentera kehidupan menyala dan muncul di hadapanku. Aku pun mengambilnya. Namun, seseorang lewat di sampingku. Aku terkejut dan menoleh. Tetapi, sosok itu sirna.Aku menoleh kembali. Sosok remaja pria dengan wajah yang terbelah dan hancur datang menghampiriku. Aku terkejut dengan kengerian, namun aku pun terdiam karena sosok itu sangat familiar."Andi?" Ucapku.Ia mengangguk. Aku bisa melihat raut matanya dipenuhi kesedihan."Mereka membunuhku, tetapi mereka membuangku. Sekarang aku hanya makhluk yang tersesat di dunia gelap ini," curhatnya dengan penuh pilu. "Kamu mencari tempat tinggal Tuan Kelinci, bukan?" Ia kemudian menatapku dengan serius."Yah, aku lagi mencari tempat tinggal Asm
"Hahahaha.... Benar-benar momen yang mengharukan. Tapi, ini belum selesai. Masih ada yang kamu harus tolong lagi." Suara dari speaker itu terdengar lagi."Mana temanku yang lain?" Aku menggertak, menatap ke arah speaker itu."Tenang, tenang. Temanmu ada di sana."Seketika, salah satu lampu di ujung ruangan menyala, memancarkan cahaya pudar yang memperlihatkan sosok Ralph yang terikat di meja pemotong. Tubuhnya dipenuhi lebam, dan wajahnya memucat, menunjukkan betapa lama ia mungkin telah disekap di sana."To-tolong...." Ia merintih, seakan ia sudah lemas tak berdaya.Di sekitar meja itu terdapat alat-alat tajam, mulai dari pisau besar hingga benda logam yang terlihat seperti penjepit yang tidak pernah digunakan untuk tujuan yang baik."Ralph!" Aku berteriak, suaraku memantul di dinding-dinding beton yang dingin. Napas Dave tertahan saat ia melihat kondisi Ralph yang tak berdaya. Dia menatapku dengan ketakutan, tetapi juga dengan tekad yang mulai muncul dari rasa panik."Ayo, Dave," bi
SELAMA INI, DIA MENGAWASI KITA SEMUAMEREKAM SEGALA AKTIVITAS KITAAPA PUN YANG KITA LAKUKAN, DIA TAHU SEMUANYA________________________________________________Lampu-lampu di sisi lain ruangan seketika menyala satu-satu, mengarahkanku ke sebuah lorong. Di ujung lorong itu terdapat pintu besi yang tertutup.Aku sudah tidak merasakan ketakutan sedikit pun. Aku siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Maka, aku menggenggam kuat golokku dan berjalan dengan sigap menuju pintu itu.Nafasku terengah-engah. Aku membuka pintu besi itu.Seketika kilatan cahaya menyambar diriku, seakan aku memasuki dunia lain. Aku memejamkan mata dari silaunya cahaya itu, kemudian aku membuka mata, melihat diriku sampai di sebuah tempat gelap.Aku menuruni sebuah tangga memutar yang mengarahkanku ke sebuah ruangan. Ketika mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, ruangan di sekelilingku perlahan menjadi jelas. Aku sampai ke sebuah ruangan besar. Di dalamnya, deretan layar monitor memenuhi dinding-dinding, meman