Life is a dream in our way to the death. Sebuah kata-kata mutiara yang anggun saat aku mendengar video Ellis pagi itu. Sudah banyak video Ellis yang kutonton. Aku jadi semakin paham berbagai macam keunggulan anak indigo.
But you should know. Even death is something that we are gonna achieve, life is much stronger. So, when you are afraid of the dead, remember that you’re alive. You are stronger than them. You have a body. You have something that they don’t have.
Aku bisa melihat wajah Ellis tersenyum berbinar ke arah layar, seakan ia sedang tersenyum ke arahku.
"Aduh!" Aku hampir terjatuh. Seseorang menabrakku dari belakang saat aku berjalan di lorong sekolah sambil menonton video.
"Bajing lo! Kalau jalan pake mata!" bentaknya. Menyebalkan. Buruk muka, cermin dibelah. Zaydan! Aku berusaha mendiamkannya untuk meminimalisir konflik.
"Woi, brengsek lo! Bukannya minta maaf, malah melengos pergi. Berani lo sama gue?" Zaydan menarik bahuku hingga tubuhku berbalik menghadapnya.
Aku benci diriku sendiri yang merasa gentar di hadapan manusia tak berguna ini. Eksistensinya sama sekali tidak memberi kontribusi positif bagi peradaban dunia. Di sekolah, dia anak paling berisik, usil, dan selalu menjadi biang onar. Sikapnya paling menjengkelkan sedunia.
Aku heran kenapa Farid bisa berteman akrab dengan tukang bully seperti dia. Kurasa bukan hanya aku yang pernah dia bully, tetapi banyak anak lainnya juga. Hanya saja masalahnya, kami semua tak ada yang berani melawannya.
“Sini lo!" dia mengepalkan tangannya yang besar. Oh tidak, kenapa harus begini? Aku hanya bisa pasrah menerima nasibku yang akan datang ini.
Aku memejamkan mataku berharap semua akan segera berakhir. Tetapi, aku mendengar seseorang menahan serangan itu.
Aku membuka mataku dan melihat seseorang menahan lengannya. Saat aku menoleh ke arahnya, ternyata itu adalah Ralph.
“Lu jangan macem-macem sama temen gue, ya.” Gertak Ralph.
Aku menangis bahagia melihat sosok sahabatku yang berdiri membela diriku. “Ralph,” ujarku terharu.
“Jangan ikut campur lo, bajingan!” Zaydan melepaskan genggaman tangan Ralph yang menahannya. Tanpa ragu, Zaydan langsung menjambak kerah Ralph. Sungguh dia benar-benar seorang bajingan sesungguhnya.
Dalam sorot mataku yang penuh dengan ketakutan, aku melihat pertarungan yang berkecamuk di depanku. Zaydan, dengan kekasarannya yang tak terbantahkan, menyerang Ralph dengan pukulan yang keras dan ganas di wajahnya, membuatnya terhempas.
"Bangsat lo!" bentak Ralph. Ia tidak menyerah begitu saja. Dengan keberanian yang luar biasa, dia melawan balik, menghadapi Zaydan dengan sikap yang tegar dan tegas.
Terjadilah pukulan-pukulan antara mereka berdua, hingga menghempaskan diri mereka menuju taman di depan lorong.
Aku hanya bisa berdiri di sana, bergeming dan mematung oleh ketakutan dan kebingungan. Hatiku berkata untuk melarikan diri, tetapi kaki-kakiku tidak mau bergerak. Aku terpaku, menyaksikan pertarungan yang mengguncang jiwaku hingga ke dasar.
Kejadian di halaman sekolah itu seketika menarik murid-murid sekitar untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Mereka berkerumun di sekitar tempat pertarungan. Ada yang keheranan, ada pula yang bersorak.
Beberapa guru yang mendengar keributan itu segera bergerak ke arah kejadian, terkejut dan khawatir dengan apa yang mereka lihat. Mereka melangkah terbirit-birit untuk menghentikan pertarungan dan menjaga keamanan siswa.
"Sudah cukup!" teriak seorang guru, suaranya memecah kebisingan yang tercipta. Itu adalah pak Ichan. Dia melangkah maju dengan tegas, mencoba meredakan ketegangan di antara para siswa yang terlibat dalam pertarungan. "Apa yang terjadi di sini?"
Sementara para murid yang menonton mencoba memberikan laporan singkat tentang apa yang mereka saksikan, beberapa guru lainnya berusaha untuk memisahkan Zaydan dan Ralph yang masih terlibat dalam pertarungan yang sengit.
Perasaan malu dan gugup mulai menyelimuti diriku. Aku merasa seperti semua mata yang menatapku penuh dengan penilaian dan kekecewaan. Bagaimana aku bisa menjadi bagian dari kekacauan ini? Bagaimana aku bisa membiarkan diriku terperangkap dalam spiral kekerasan seperti ini?
Dalam keheningan yang tercipta setelah guru-guru berusaha meredakan situasi, aku berdiri di tempatku dengan hati yang berdebar kencang. Rasanya seperti seluruh dunia menunggu untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pada akhirnya, Zaydan dan Ralph di bawa ke ruang BK dengan para guru. Aku mengikuti mereka dari belakang.
Aku tidak menyangka akan peristiwa itu tadi. Pada akhirnya aku merasa bahagia terhadap diriku. Selama ini, aku ingin sekali ada seseorang yang mau membela diriku ketika diriku ditindas. Dan aku menemukannya.
Setelah pergi dari BK, Ralph dibawa ke UKS untuk pengobatan. Memar-memar di wajahnya dan luka-luka di tangannya memerlukan pengobatan yang sesuai. Zaydan memang suka menjadi liar ketika di dalam situasi pertarungan. Tetapi, aku melihat bahwa Ralph memang lawan yang memumpuninya.
Aku melihat Ralph keluar dari kamar klinik. Aku langsung beranjak dari kursi tunggu di koridor itu dan mendekatinya.
Tiba-tiba suara pria yang tengil muncul di dekat kami.
“Awas lo! Ini belum selesai!”
Ternyata itu adalah Zaydan yang juga terlihat babak belur. Lengan kirinya dibopong oleh Farid yang kemudian mereka pergi menjauh.
Setelah Zaydan dan Farid pergi, aku dan Ralph tinggal di koridor yang sunyi. Tatapan kami bertemu, dan aku bisa melihat kilatan keceriaan di mata Ralph.
"Bro, gimana kalau kita memberikan sedikit 'kejutan' untuk Zaydan?" usul Ralph dengan senyum misterius di wajahnya.
Aku terkejut mendengarnya. "Hah?"
Ralph mengedikkan alisnya dengan licik. "Kita bisa nyelinap ke kamarnya Zaydan, terus kita kasih sedikit balasan atas apa yang dia lakukan padamu. Gue tahu di mana rumahnya karena dulu pernah kerja kelompok bareng dia waktu kelas sepuluh. Kamarnya itu punya pintu belakang yang mengarah ke jalan."
Pikiran itu memancing rasa balas dendam di dalam diriku, tapi aku juga merasa ragu. Aku tidak pernah melakukan kenakalan seumur-umur. Aku selalu dicap sebagai orang baik.
"Gak tau, ya. Gue takut, asli."
Ralph menepuk pundakku dengan ramah. "Kalem bro, iseng-iseng doang, sih. Gak bakal ada yang akan terluka. Kalo ada apa-apa, gue yang tanggung. Lagian, dia emang pantas mendapat sedikit 'pelajaran', kan?"
Aku merenung sejenak, mempertimbangkan usulannya. Rasanya aneh untuk merencanakan sesuatu seperti ini, tapi pada saat yang sama, ada kepuasan kecil dalam pikiranku untuk memberikan 'pelajaran' pada Zaydan. Apalagi jika Ralph yang meminta, aku sulit berkata tidak.
"Oke," kataku akhirnya dengan senyum misterius yang mirip dengan Ralph. "Gue ikut."
Dengan senyum kemenangan, Ralph mengangguk. "Kita akan buat malamnya tak terlupakan bagi Zaydan."
***
Senja hari.“Kapan dia dateng?” tanya Ralph yang mengendap-endap di balik pohon.“Bentar lagi.” Jawabku.Aku dan Ralph mengintip ke balik pohon. Rumah Zaydan, rumah yang minimalis berdiri di depanku. Posisiku saat ini berada di sebuah pepohonan yang di depannya adalah sebuah jalan mobil. Tepat di seberang jalannya adalah rumah Zaydan yang membelakangi yang dilapisi pagar batu yang memanjang di seluruh jalan.Tak lama, ada sebuah motor mendekat. Motor kemudian berhenti di dekat motor Ralph yang diparkir di dekat pohon kami berdiri. Seorang penumpang pria dengan jaket army kemudian turun dari motor itu.“Makasih, pak.” Ujar pria itu. Ternyata itu adalah Dave yang kemudian memberikan helm Gojek kepada supir motor itu.“Hey, gais.” Sapa Dave dengan ramah. “Ngapain kalian ngendap-ngendap di balik pohon?”“Dev, akhirnya lu dateng juga.” Sapaku sembari mendekatinya.Sebetulnya aku tidak mengundang Dave untuk datang. Aku hanya menjaprinya saat aku pulang di rumah. Aku mengatakan padanya bahwa
Aku melangkah masuk ke dalam rumah si anak blasteran ini. Sungguh terkesima nan takjub diriku melihat seisi ruangan di dalam.Aku melihat banyak sekali pernak-pernik yang memanjakan mata yang keluarga Dave miliki. Dinding-dinding rumah dihiasi dengan lukisan-lukisan berharga. Sebuah perapian besar dengan api yang menyala di tengahnya. Sofa dan kursi-kursi berbalut kain sutra berwarna merah di depan televisi, di mana ada bocah berambut pirang—adiknya Dave—yang sedang bermain playstation.Di satu sudut ruangan, terdapat piano grand yang indah. Dari desainnya tentu itu terlihat mahal."Wow, rumah lu gede banget. Asli." Puji Ralph dengan terkemukau."Yah. Kamu orang kaya, ya?" tanyaku menggoda.Dave terbujur malu setelah aku bertanya demikian. Wajahnya memerah dan tatapannya berbinar. "Ah, biasa aja, lah. Syukur, sih tapi. Makasih, ya." Ia menggaruk-garuk kepala. "Hayu, atuh. Kita naik ke kamarku." Dave menuntun kami menuju tangga di samping dapur menuju lantai atas.Seorang pria paruh ba
Tengah malam. Aku terbangun di depan cermin kamar mandi. Anehnya adalah, wajah yang kupandang bukanlah wajahku, melainkan wajah Andi, teman sekelasku. Aku berada di tubuhnya.Andi membasuh mukanya dari sepercik air di wastafel. Tapi masalahnya, aku tidak menggerakan tubuhnya. Dan aku tidak bisa merasakan apapun, sementara Andi terus menyikat gigi. Rasanya seperti terjebak di dalam wadah, dan wadah itu bergerak kemana-mana tanpa kontrol dari dirimu.Pertanda apa ini? Bagaimana jiwaku bisa terjebak di tubuh orang lain, sedangkan dirinya tidak menyadari apapun.Tiba-tiba, aku melihat sosok hitam legam dari arah cermin. Sosok itu tiba-tiba menyambar tubuh Andi hingga seketika kegelapan menerpa diriku.Apa ini? Apa yang terjadi? Suasana menjadi gelap gulita. Apakah aku berada di dunia arwah?Tak lama, aku terbangun di sebuah ruangan. Aku melihat diriku terikat di sebuah kursi—masih di dalam tubuh Andi. Kedua tanganku terikat dengan tali, begitu juga kedua kakiku dan juga badanku.Aku panik
Pagi itu, aku melihat Dave menatap ke arah luar jendela yang sedang hujan deras. Aku menghampirinya perlahan dari belakang. Ia sedang menatap rumah yang berada di seberang rumahnya."Rumah Karlina." Sahutku.Dave tersenyum kecil. "Yah, rumah gadis tercantik di kota."Aku tertawa kecil mendengar pujian hiperbola itu. "Aku boleh jujur gak, sama kamu?" tanyaku yang berdiri tepat di sampingnya melihat ke luar jendela.Dave melirik ke arahku."Aku juga suka sama Karlina, sih." Jawabku lirih."Ya, kamu kan udah pernah bilang waktu itu," jawab Dave singkat. Dia sepertinya kehabisan kata-kata."Tau. Cuma maksudnya, kalo emang kamu suka sama dia, gak apa. Dia lebih cocok sama kamu, kok, daripada aku." Aku memberikan semangat padanya serta menepuk pundaknya.Dave tertawa kecil. "Ya, tapi gimana, ya. Dia kan udah sama Farid. Aku gak bisa nikung dia. Farid gitu, lho.""Iya, sih." Kami berdua menghela napas dan melihat jendela yang menampilkan rintik hujan yang menderu.Tiba-tiba, seseorang menyam
Sudah seminggu Ralph tidak masuk sekolah. Anehnya, tak ada satu pun yang tahu keberadaannya. Teleponku tak pernah diangkat, pesan WhatsApp yang kukirim pun tak pernah berbalas, bahkan status online-nya tak pernah muncul. Aku mulai merasa khawatir, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu.Namun, setelah seminggu tanpa kabar, kekhawatiranku memuncak. Aku tak bisa lagi menunggu tanpa kejelasan. Hari itu, sebelum jam masuk sekolah, aku memutuskan untuk pergi ke kelas 10 IPA 4, yang mana itu adalah kelasnya Ralph.Seketika, aku melihat Karlina yang keluar dari pintu kelas, aku langsung merasa jantungku berdetak lebih cepat. Dia berdiri menghampiriku dan menatapku, rambutnya tergerai rapi, dan make up-nya membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya. Ada sesuatu dalam cara dia melihatku mendekat yang membuatku sejenak kehilangan kata-kata.Sial, aku harus. Ini bukan saatnya salting, Ralph sedang menghilang. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan perasaanku. Setelah mem
“Dave itu baik banget. Hatinya itu tulus banget. Udah baik, ganteng lagi, idaman lah pokoknya.” Tutur Karlina memuji teman karibku.Mendengarnya aku tersenyum bangga. Aku sangat beruntung bisa mendapatkan teman yang memiliki banyak sisi kebaikan.“Ya udah, Gas. Lo gak mau gabung sama yang lain gitu?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.Ah, rasanya sangat malas ketika Karlina bertanya hal itu. Keberadaanku di sini hanya karena terpaksa. Bergabung dengan yang lain? Apa yang bisa aku lakukan?“Enggak, Rin,” jawabku atas pertanyaan Karlina.Namun, secara tiba-tiba gadis itu menarik tanganku sambil berkata, “Udah, ayo ikut aja! Daripada lo cuma sendirian di sini!”Ah, aku tak kuasa menolak. Akhirnya hanya bisa mengikuti langkah gadis itu. Namun, di tengah perjalan aku melihat Zaydan yang datang dari arah lain. Matanya menyipit tajam saat melihat Karlina menarik tanganku. Aku kebetulan menoleh ke arahnya, di situlah aku mengumpat dalam hati.“Hei, kalian!” teriaknya memanggil kami berdu
Pintu akhirnya dibuka. Aku melihat Dave yang masih memakai piyama berdiri di belakang pintu."Eh, Agas. Sendirian?""Oh, enggak ini aku bawa seorang teman." Aku menggeser tubuhku ke samping agar Karlina bisa melihat. Saat itu, aku melihat wajah Karlina yang terbujur bahagia."Ka-Karlina?" ucap Dave gugup.Seketika Karlina langsung berlari dan merangkulnya. "Dave!" teriaknya. Saat itu pula hatiku terasa hancur. Seperti ada serpihan beling yang menusuk hatiku. Aku menganga menatap peristiwa pelukan itu.Tetapi, aku berusaha tegar. Aku terus mengatakan dalam hatiku, Itu sahabatmu. Dia lebih berhak darimu. Sungguh sedikit menyesak, tapi aku berhasil menaklukan rasa iri dalam hatiku."Jir, kamu kemana aja Dev?" Karlina bertanya dengan begitu terharu."A-aku berhenti les, sih. Aku takut ketemu kamu. Soalnya kan, kamu udah punya pacar."Aku melihat Karlina dengan gesit menarik lengan Dave ke dalam rumahnya. Aku langsung mengikutinya.Aku bisa merasakan getaran cemas di udara, dan aku tahu bah
Aku duduk di samping Dave di kamar tidurnya, suasana ruangan terasa hening. Hari sudah mulai sore, dan suasana mendung begitu kental di udara. Aku melihat Dave menatap kosong ke arah luar jendela, wajahnya terlihat penuh kekhawatiran dan ketidakpastian."Ini sudah seminggu, Gas," ucap Dave dengan suara yang rendah. "Papa belum juga pulang. Aku sudah mencoba meneleponnya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Aku mulai pesimis apakah dia masih hidup atau tidak."Aku merasakan kegelisahan Dave, dan hatiku terasa pilu melihatnya seperti ini. "Moga ayahmu baik-baik saja, Dev." Aku berkata dengan bimbang. Terus terang aku bingung bagaimana memberikan harapan padanya.Dave mengangguk menyetujui pernyataanku, tapi tatapannya masih terasa penuh dengan kecemasan. Kami berdua merenung dalam keheningan, membiarkan ketidakpastian melayang di udara sore hari ini.Tiba-tiba, suara dentungan piano terdengar oleh telingaku. Suaranya melayang-layang di udara malam, melintasi dinding dan pintu kamar Dav
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih
KETIKA KAMU BERKUNJUNG KE DUNIA ORANG MATISEMAKIN KAMU MENJELAJAHINYASEMAKIN BERESIKO PERJALANANMU-ELLIS REYNER______________________________________________________Aku terbangun di kegelapan. Gemuruh orang-orang penasaran bisa terdengar. Kabut-kabut mencuat di sekitarku. Aku sampai di dunia arwah.Lentera kehidupan menyala dan muncul di hadapanku. Aku pun mengambilnya. Namun, seseorang lewat di sampingku. Aku terkejut dan menoleh. Tetapi, sosok itu sirna.Aku menoleh kembali. Sosok remaja pria dengan wajah yang terbelah dan hancur datang menghampiriku. Aku terkejut dengan kengerian, namun aku pun terdiam karena sosok itu sangat familiar."Andi?" Ucapku.Ia mengangguk. Aku bisa melihat raut matanya dipenuhi kesedihan."Mereka membunuhku, tetapi mereka membuangku. Sekarang aku hanya makhluk yang tersesat di dunia gelap ini," curhatnya dengan penuh pilu. "Kamu mencari tempat tinggal Tuan Kelinci, bukan?" Ia kemudian menatapku dengan serius."Yah, aku lagi mencari tempat tinggal Asm
"Hahahaha.... Benar-benar momen yang mengharukan. Tapi, ini belum selesai. Masih ada yang kamu harus tolong lagi." Suara dari speaker itu terdengar lagi."Mana temanku yang lain?" Aku menggertak, menatap ke arah speaker itu."Tenang, tenang. Temanmu ada di sana."Seketika, salah satu lampu di ujung ruangan menyala, memancarkan cahaya pudar yang memperlihatkan sosok Ralph yang terikat di meja pemotong. Tubuhnya dipenuhi lebam, dan wajahnya memucat, menunjukkan betapa lama ia mungkin telah disekap di sana."To-tolong...." Ia merintih, seakan ia sudah lemas tak berdaya.Di sekitar meja itu terdapat alat-alat tajam, mulai dari pisau besar hingga benda logam yang terlihat seperti penjepit yang tidak pernah digunakan untuk tujuan yang baik."Ralph!" Aku berteriak, suaraku memantul di dinding-dinding beton yang dingin. Napas Dave tertahan saat ia melihat kondisi Ralph yang tak berdaya. Dia menatapku dengan ketakutan, tetapi juga dengan tekad yang mulai muncul dari rasa panik."Ayo, Dave," bi
SELAMA INI, DIA MENGAWASI KITA SEMUAMEREKAM SEGALA AKTIVITAS KITAAPA PUN YANG KITA LAKUKAN, DIA TAHU SEMUANYA________________________________________________Lampu-lampu di sisi lain ruangan seketika menyala satu-satu, mengarahkanku ke sebuah lorong. Di ujung lorong itu terdapat pintu besi yang tertutup.Aku sudah tidak merasakan ketakutan sedikit pun. Aku siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Maka, aku menggenggam kuat golokku dan berjalan dengan sigap menuju pintu itu.Nafasku terengah-engah. Aku membuka pintu besi itu.Seketika kilatan cahaya menyambar diriku, seakan aku memasuki dunia lain. Aku memejamkan mata dari silaunya cahaya itu, kemudian aku membuka mata, melihat diriku sampai di sebuah tempat gelap.Aku menuruni sebuah tangga memutar yang mengarahkanku ke sebuah ruangan. Ketika mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, ruangan di sekelilingku perlahan menjadi jelas. Aku sampai ke sebuah ruangan besar. Di dalamnya, deretan layar monitor memenuhi dinding-dinding, meman