Se-pulang sekolah, aku dan Ralph pergi ke Gramedia. Aku menemaninya membeli buku Everything About The Other World, A Guidance For A Psychic, karya Ellis Reiner. Setelah itu kami pergi ke sebuah restoran siomay terdekat.
"Gue emang kagum banget sama Ellis Reiner," kata Ralph sambil menyuap siomay kering favoritnya di mall. Kebetulan ia mentraktirku makan siang hari ini.
"Mantan cenayang dari Inggris,” tambahnya.
Aku menatap Ralph sedikit heran. "Kenapa lo bisa kagum sama dia? Di sini juga banyak cenayang, kan?"
Ralph menggeleng, menaruh sendoknya di piring. "Jujur aja, gue nggak terlalu percaya sama cenayang-cenayang di Indonesia. Banyak yang nipu, ngejual omong kosong demi duit. Mereka sering kali bikin sensasi daripada membantu orang. Lo liat aja di TV, semua pada pamer kekuatan, padahal isinya cuma tipuan."
Dia meneguk minumannya sebelum melanjutkan, "Beda sama Ellis Reiner. Gue ngikutin channel YouTube-nya sejak lama, dan dari video-videonya kelihatan dia beneran ngerti soal dunia mistis. Nggak ada omong kosong, nggak ada dramatisasi berlebihan. Dia kayak punya pandangan yang lebih rasional, kalau itu mungkin bisa dibilang."
Aku mengangguk pelan, sedikit tertarik. "Berarti lo lebih percaya sama Ellis daripada cenayang-cenayang lokal?"
"Jelas. Dia nggak pernah ngejual rasa takut atau memanfaatkan orang. Dia cuma cerita apa yang dia alami dan gimana dia ngatasin kemampuan indigonya. Beda banget sama cenayang di sini yang kadang lebih banyak nipu daripada membantu orang," jawab Ralph, sambil tersenyum tipis.
"Sayangnya, dia meninggal secara misterius beberapa tahun lalu. Sampai sekarang masih belum ada yang tau gimana dia meninggal," Ralph menatapku serius sambil menyuapkan satu lagi potong batagor. "Gue masih ikutin channel YouTube-nya sampai sekarang, meskipun dia udah nggak ada."
"Serius?" Aku sedikit kaget.
Ralph mengangguk. "Bukan cuma beredar, banyak orang yang masih merasa terbantu sama cerita-ceritanya. Kayak dia tuh, ya, udah nggak ada, tapi jejaknya masih hidup dan membekas di benak orang-orang."
“Gua itu kayaknya lagi diincer makhluk tinggi gede, badan kurus, warnanya item kayak bayangan, mata gede bersinar kayak lampu, punya tanduk rusa di kepala, dan cakarnya tajem kayak ranting pohon. Udah tiga kali gua liat sosok itu buntutin gua.” Aku bercerita seketika, selayaknya mungkin karena memang aku ingin curhat.
Ralph terdiam sejenak. Aku bisa melihatnya merasa canggung karena aku melihatnya dengan risih. "Wow, dari ciri yang lo deskripsiin kayaknya itu sosok hantu paling keren yang pernah gue denger," katanya dengan nada simpatik.
Meskipun pengalaman yang kualami mengerikan, aku merasa lebih tenang karena memiliki Ralph di sisiku. Tentu saja, mungkin dengan Dave juga.
"Pertama kali gue liat makhluk itu pas mata batin gua kebuka. Gua pas itu kayak ada di dunia lain, terus makhluk itu ngejer-ngejer gue. Abis itu gua sempet liat dia lagi di jalan pas gue mau pulang. Sama, dia terus ngejer-ngejer gue."
Ralph menatapku dengan serius, tak lagi menunjukkan antusiasme berlebihan. "Gue ngerti, Gas. Gue nggak bisa bayangin gimana rasanya, tapi gue di sini buat lo. Kapan pun lo butuh bantuan, gue siap. Kita bakal cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan ini terjadi, aku merasa tidak sendirian. "Thanks, Ralph. Gue bener-bener butuh temen yang bisa diajak ngomong soal ini."
Ralph tersenyum kecil, kali ini dengan tulus. "Lo gak perlu takut, Gas. Kita hadapi bareng-bareng."
***
Esok harinya, di hari Sabtu pagi Ralph datang bermain ke rumahku. Dia menepati ucapannya untuk bermain ke rumah.
“Gas, Nih, lu harus liat video ini.”
“Apaan?” tanyaku sambil melangkah mendekatinya. Di layar, terlihat sebuah video Youtube yang menunjukkan seorang wanita yang sudah terlihat paruh baya. Ia terlihat sedang duduk di tengah sebuah auditorium dan banyak orang melihatnya, seakan sedang membawakan kuliah.
“Ellis Reiner. Paranormal asal Inggris. Ini dia,” Ujar Ralph dengan antusias.
Aku menyaksikan video wanita itu menerangkan mengenai keunikan seorang indigo. Hal yang sedikit membuatku penasaran adalah ketika wanita itu menjelaskan mengenai astral projection. Seketika, terbesit rasa penasaran pada Ralph.
“Coba lu demonstrasiin, Gas. Astral Projection.”
“Eh, jangan, dong. Gue takut kalo masuk alam sana. Serem, cuy. Apalagi kalo gue gak bisa balik.” Jawabku. Gila saja, melihat wujud makhluk astral di dunia nyata saja sudah membuat bulu kudukku menggigil, apalagi sampai mengunjungi dunia mereka.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu.
“Eh, siapa itu?” tanya Ralph.
Aku menoleh ke belakang. Suara itu berasal dari pintu depan rumahku. Kebetulan ibuku sedang keluar sejenak, jadi aku berinisiatif membuka pintu.
“Dave?” sapaku gembira.
Dave berdiri di depan pintu mengenakan kaos biru polos dilapisi dengan jaket hijau abri. “Hai. Aku bawa kue, barangkali suka.” Ia memberikanku sekotak berisi kue balok.
“Makasih. Yuk, masuk.”
Aku meletakan kue hadiahnya di meja dapur. Aku mengajak Dave melihat sekeliling rumah. Hal yang membuatku gembira adalah bisa memperkenalkan dirinya kepada Ralph.
“Hmmm, lu ngomongnya aku-kamu, ya?” tanya Ralph penasaran.
“Iya. Gak masalah, kan, ya?” ujar Dave menghangatkan suasana. Ia meletakan ranselnya di lantai di belakang pintu kamarku.
“Yaa... gak masalah, sih. Terserah lu aja. Tapi, gue ngomongnya lo-gue, ya.”
“Santai.” Jawabnya ramah.
Senang melihat kedua teman baruku bisa langsung klop dalam sekejap. Itu adalah momen bersejarah yang akan menjadi kenangan terbaik di masa hidupku.
“Btw, kalian lagi ngapain?” tanya Dave, yang malah justru mengarah kepada Ralph ke hal yang enggak-enggak.
“Oh, kita abis ngeliat video paranormal tentang dunia hantu. Rencananya aku mau bantu Agas buat masuk ke dunia itu.”
Mendengar itu, Dave malah tersenyum kesenangan. “Oh, iya. Agas kan bisa ngeliat hantu.”
Oh, tidak. Pikirku. Kenapa malah jadi begini? Aku senang sekali bisa mendapatkan teman yang bisa klop bersamaku. Tapi, aku tidak menyangka sama sekali bahwa mereka menginginkan aku untuk mengeksplor bakatku yang justru menjadi sumber masalah baru dalam hidupku. Saat itulah, senyuman bahagiaku sirna menjadi wajah renungan.
“Mau ya, Gas? Lu nyoba pergi ke The Other World?” tanya Ralph dengan nada mendramatisir.
“Aduh, gimana, ya. Menurutmu gimana, Dev?” tanyaku ragu. Aku mencoba mencari pembelaan dari Dave. Semoga ia memiliki opini tersendiri.
“Hmmm....” Ia berpikir sejenak. “Menurut aku coba aja, sih. Barangkali kamu emang punya kemampuan itu. Bisa jadi itu bakal jadi hal yang berguna buat kamu dan orang lain.” Tuturnya sembari duduk di lantai dan menyelonjorkan kedua kakinya. “Ya, gak, sih?”
Ralph menjadi semakin antusias. “Nah, betul, tuh. Mau, yaa.... Pliis.....”
Oh, sial. Tak kusangka kedua kawan baruku ini malah sependapat. Ingin sekali aku menolak, tapi apa daya. Mereka teman baruku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka.
Aku menarik napas panjang. Dengan berat hati, aku mengatakan. “Oke. Kalau itu yang kalian mau.”
Duh, kok malah jadi gini, sih? Aku menelan ludah. “Yaudah, tapi kalian harus jagain aku, ya.”
“Yes.” Jawab Ralph semangat. “Hayu, hayu.”
Akhirnya, lampu dimatikan. Gorden jendela ditutup hingga tak ada cahaya matahari masuk. Kami duduk melingkar di lantai.
“Oke, kita pake aplikasi jam dari hape gua aja, ya.” Ralph mengaktifkan fitur jam pada ponselnya hingga terdengar suara jarum detik memutar.
“Eh, serius, nih? Asli gua takut beut, Ralph.” Tuturku ragu.
Tapi sepertinya, Ralph begitu antusias hingga ia terus menyemangatiku. “Ayolah. Lu pasti bisa. Lu kalo udah biasa juga bakal nganggep itu rumah kedua lu, asli.”
Baiklah, aku berusaha optimis. Aku menarik napas sejenak sejenak. “Oke, aku coba, ya.”
Ayo, Agas. Lu pasti bisa. Bisikku dalam hati berusaha menyemangati diri.
“Mending jangan lama-lama. Bareng dua sampe tiga menit aja.” Sanggah Dave.
“Nah, iya. Lu kasih tanda kalo misal arwah lu udah berhasil keluar dari tubuh lu.”
What? Bagaimana caraku melakukan itu? Ya, sudahlah. Apa saja yang penting aku bisa cepat menyelesaikan permintaan bodoh ini.
Ponsel Ralph dilekatakan di tengah-tengah kami. Aku menarik napas sejenak. Lalu, aku memejamkan mataku. Perlahan, aku mendengarkan dentuman detik dari aplikasi ponsel itu. Aku memusatkan pikiranku pada suara itu. Hingga tak lama, aku merasa lingkunganku menjadi dingin, dan pikiranku terlelap. Aku merasakan lingkunganku semakin gelap.
Akhirnya, aku membuka mataku. Aku masih melihat Ralph dan Dave di depan mataku. Hanya saja, di bawah mereka terdapat banyak sekali kabut. Dan ruangan di sekitarku nampak lebih gelap dari sebelumnya.
“Ralph? Dev?” aku memanggil mereka. Tetapi, mereka tidak menjawab.
Aku pun berdiri dan melangkah sedikit. Saat itu, aku melihat tubuhku yang masih duduk dan terpejam. Sungguh, aku begitu syok parah, hingga aku tak sengaja menabrak meja kecil di belakangku, menjatuhkan beberapa buku.
Seketika, Ralph melihat ke arahku. Tepatnya, ke arah buku yang jatuh.
“Eh, liat. Bukunya jatoh sendiri.” Ujarnya. “Jir, keknya lu berhasil Kal.” Suara Ralph terdengar sedikit menggema. Mungkin karena efek perbedaan dunia, atau entahlah.
Saat itu juga, gadis hantu itu muncul berdiri di dekat tubuhku yang masih duduk. Ia menatapku datar.
“Katanya kamu mau ngilangin kemampuanmu?” tanyanya.
Bingung juga bagaimana menjawabnya. Tapi, akhirnya aku punya opiniku sendiri. “Yah, pengennya, sih. Tapi, kayaknya aku bakal pikir-pikir lagi.”
Gadis itu tersenyum. Ia tiba-tiba sirna perlahan.
Tepat di samping kananku—di lantai, muncul sebuah lentera yang menyinari ruangan ini. Melihatnya, membuatku tertarik, dan aku mengambil lentera itu dan membawanya. Saat itu juga, muncul sosok pria paruh baya di dekatku, membuatku terkejut. Pria itu juga menatapku dengan datar. Aku tidak tahu siapa dia.
“Dia meninginkanmu, dia menginginkanmu, dia menginginkanmu....” Pria itu mengulang-ulang ucapannya dengan nada monoton.
“Si-siapa, pak?” Aku menatapnya dengan tertegun.
Pria itu seketika terdiam. Dia terus menatapku. “Pria yang berwujud bayangan; pria dengan mata bercahaya; pria yang sangat tinggi, melebihi tinggi manusia.” Kata-katanya sungguh menyeringai menderu di telingaku. “Dia menginginkanmu. Jangan biarkan ia kembali ke cahaya.” Pria itu kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kamarku.
Dari jalannya, ia terlihat kaku. Saat itu melihat ke arah luar kamarku, pria itu sudah hilang dalam kegelapan. Suara-suara rintihan jeritan terdengar di sekelilingku, memberikan suasana bak penderitaan. Bulu kudukku merinding. Ini lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Dengan sigap, aku langsung berlari dan melompat ke tubuhku. Seketika aku terbangun—mengambil napas panjang—dan aku tersadarkan.
“Eh, gimana? Gimana?” Ralph bertanya begitu antusias.
Aku bergeming sejenak, menjernihkan pikiranku. Setelah itu, aku menceritakan semuanya.
“Mantap! Lo adalah satu-satunya orang yang punya kelebihan di mata batin, Gas. Fix! Yang lain gak ada soalnya.” Puji Ralph sembari menepuk pundakku. “Janji lo gak bakal hapus bakat lo?” ia bertanya dengan memberikan wajah merana.
Di sisi lain, Dave juga mengacungkan jempol, menandakan ia sependapat dengan Ralph.
Aku menghela napas sejenak. Namun, dengan wajah yang termenung, aku berkata, “Oke.”
***
Hujan deras saat aku makan malam bersama keluarga besar, aku, ibu, Om Dimas, dan Farid. Ralph dan Dave sudah pulang pada sore hari sebelum ibu datang, disusul oleh Om Dimas dan Farid, jadi mereka belum sempat bertemu.“Gimana sekolah? Sudah mulai betah?” tanya Om Dimas sambil menyendokan nasi ke piringnya.“Hmmm.... Lumayan, Om.”“Ya, baru sebulan. Yang namanya adaptasi pasti perlu proses kok.” Pria tampan klinis yang berhasil memberikan kami tunjangan hidup tersenyum ramah menatapku. Satu-satunya orang yang paling ramah denganku di rumah ini.“Iya, bang. Apalagi Agas bukan anak yang gampang bersosialisasi,” imbuh ibuku, menyembunyikan rasa kesal yang bisa kulihat dari wajahnya ketika menyeruput kuah soto.Om Dimas mengangguk sambil tersenyum lembut, “Makanya Om nyekolahin kamu sama Farid. Biar kamu ada temen.”Sekilas aku langsung mendengar Farid menggerutu dengan pernyataan ayah kandungnya.Aku menahan napas sejenak, mencoba menyembunyikan perasaan sedihku. “Iya, Om,” jawabku ringka
Life is a dream in our way to the death. Sebuah kata-kata mutiara yang anggun saat aku mendengar video Ellis pagi itu. Sudah banyak video Ellis yang kutonton. Aku jadi semakin paham berbagai macam keunggulan anak indigo.But you should know. Even death is something that we are gonna achieve, life is much stronger. So, when you are afraid of the dead, remember that you’re alive. You are stronger than them. You have a body. You have something that they don’t have.Aku bisa melihat wajah Ellis tersenyum berbinar ke arah layar, seakan ia sedang tersenyum ke arahku."Aduh!" Aku hampir terjatuh. Seseorang menabrakku dari belakang saat aku berjalan di lorong sekolah sambil menonton video."Bajing lo! Kalau jalan pake mata!" bentaknya. Menyebalkan. Buruk muka, cermin dibelah. Zaydan! Aku berusaha mendiamkannya untuk meminimalisir konflik."Woi, brengsek lo! Bukannya minta maaf, malah melengos pergi. Berani lo sama gue?" Zaydan menarik bahuku hingga tubuhku berbalik menghadapnya.Aku benci dir
Senja hari.“Kapan dia dateng?” tanya Ralph yang mengendap-endap di balik pohon.“Bentar lagi.” Jawabku.Aku dan Ralph mengintip ke balik pohon. Rumah Zaydan, rumah yang minimalis berdiri di depanku. Posisiku saat ini berada di sebuah pepohonan yang di depannya adalah sebuah jalan mobil. Tepat di seberang jalannya adalah rumah Zaydan yang membelakangi yang dilapisi pagar batu yang memanjang di seluruh jalan.Tak lama, ada sebuah motor mendekat. Motor kemudian berhenti di dekat motor Ralph yang diparkir di dekat pohon kami berdiri. Seorang penumpang pria dengan jaket army kemudian turun dari motor itu.“Makasih, pak.” Ujar pria itu. Ternyata itu adalah Dave yang kemudian memberikan helm Gojek kepada supir motor itu.“Hey, gais.” Sapa Dave dengan ramah. “Ngapain kalian ngendap-ngendap di balik pohon?”“Dev, akhirnya lu dateng juga.” Sapaku sembari mendekatinya.Sebetulnya aku tidak mengundang Dave untuk datang. Aku hanya menjaprinya saat aku pulang di rumah. Aku mengatakan padanya bahwa
Aku melangkah masuk ke dalam rumah si anak blasteran ini. Sungguh terkesima nan takjub diriku melihat seisi ruangan di dalam.Aku melihat banyak sekali pernak-pernik yang memanjakan mata yang keluarga Dave miliki. Dinding-dinding rumah dihiasi dengan lukisan-lukisan berharga. Sebuah perapian besar dengan api yang menyala di tengahnya. Sofa dan kursi-kursi berbalut kain sutra berwarna merah di depan televisi, di mana ada bocah berambut pirang—adiknya Dave—yang sedang bermain playstation.Di satu sudut ruangan, terdapat piano grand yang indah. Dari desainnya tentu itu terlihat mahal."Wow, rumah lu gede banget. Asli." Puji Ralph dengan terkemukau."Yah. Kamu orang kaya, ya?" tanyaku menggoda.Dave terbujur malu setelah aku bertanya demikian. Wajahnya memerah dan tatapannya berbinar. "Ah, biasa aja, lah. Syukur, sih tapi. Makasih, ya." Ia menggaruk-garuk kepala. "Hayu, atuh. Kita naik ke kamarku." Dave menuntun kami menuju tangga di samping dapur menuju lantai atas.Seorang pria paruh ba
Tengah malam. Aku terbangun di depan cermin kamar mandi. Anehnya adalah, wajah yang kupandang bukanlah wajahku, melainkan wajah Andi, teman sekelasku. Aku berada di tubuhnya.Andi membasuh mukanya dari sepercik air di wastafel. Tapi masalahnya, aku tidak menggerakan tubuhnya. Dan aku tidak bisa merasakan apapun, sementara Andi terus menyikat gigi. Rasanya seperti terjebak di dalam wadah, dan wadah itu bergerak kemana-mana tanpa kontrol dari dirimu.Pertanda apa ini? Bagaimana jiwaku bisa terjebak di tubuh orang lain, sedangkan dirinya tidak menyadari apapun.Tiba-tiba, aku melihat sosok hitam legam dari arah cermin. Sosok itu tiba-tiba menyambar tubuh Andi hingga seketika kegelapan menerpa diriku.Apa ini? Apa yang terjadi? Suasana menjadi gelap gulita. Apakah aku berada di dunia arwah?Tak lama, aku terbangun di sebuah ruangan. Aku melihat diriku terikat di sebuah kursi—masih di dalam tubuh Andi. Kedua tanganku terikat dengan tali, begitu juga kedua kakiku dan juga badanku.Aku panik
Pagi itu, aku melihat Dave menatap ke arah luar jendela yang sedang hujan deras. Aku menghampirinya perlahan dari belakang. Ia sedang menatap rumah yang berada di seberang rumahnya."Rumah Karlina." Sahutku.Dave tersenyum kecil. "Yah, rumah gadis tercantik di kota."Aku tertawa kecil mendengar pujian hiperbola itu. "Aku boleh jujur gak, sama kamu?" tanyaku yang berdiri tepat di sampingnya melihat ke luar jendela.Dave melirik ke arahku."Aku juga suka sama Karlina, sih." Jawabku lirih."Ya, kamu kan udah pernah bilang waktu itu," jawab Dave singkat. Dia sepertinya kehabisan kata-kata."Tau. Cuma maksudnya, kalo emang kamu suka sama dia, gak apa. Dia lebih cocok sama kamu, kok, daripada aku." Aku memberikan semangat padanya serta menepuk pundaknya.Dave tertawa kecil. "Ya, tapi gimana, ya. Dia kan udah sama Farid. Aku gak bisa nikung dia. Farid gitu, lho.""Iya, sih." Kami berdua menghela napas dan melihat jendela yang menampilkan rintik hujan yang menderu.Tiba-tiba, seseorang menyam
Sudah seminggu Ralph tidak masuk sekolah. Anehnya, tak ada satu pun yang tahu keberadaannya. Teleponku tak pernah diangkat, pesan WhatsApp yang kukirim pun tak pernah berbalas, bahkan status online-nya tak pernah muncul. Aku mulai merasa khawatir, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu.Namun, setelah seminggu tanpa kabar, kekhawatiranku memuncak. Aku tak bisa lagi menunggu tanpa kejelasan. Hari itu, sebelum jam masuk sekolah, aku memutuskan untuk pergi ke kelas 10 IPA 4, yang mana itu adalah kelasnya Ralph.Seketika, aku melihat Karlina yang keluar dari pintu kelas, aku langsung merasa jantungku berdetak lebih cepat. Dia berdiri menghampiriku dan menatapku, rambutnya tergerai rapi, dan make up-nya membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya. Ada sesuatu dalam cara dia melihatku mendekat yang membuatku sejenak kehilangan kata-kata.Sial, aku harus. Ini bukan saatnya salting, Ralph sedang menghilang. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan perasaanku. Setelah mem
“Dave itu baik banget. Hatinya itu tulus banget. Udah baik, ganteng lagi, idaman lah pokoknya.” Tutur Karlina memuji teman karibku.Mendengarnya aku tersenyum bangga. Aku sangat beruntung bisa mendapatkan teman yang memiliki banyak sisi kebaikan.“Ya udah, Gas. Lo gak mau gabung sama yang lain gitu?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.Ah, rasanya sangat malas ketika Karlina bertanya hal itu. Keberadaanku di sini hanya karena terpaksa. Bergabung dengan yang lain? Apa yang bisa aku lakukan?“Enggak, Rin,” jawabku atas pertanyaan Karlina.Namun, secara tiba-tiba gadis itu menarik tanganku sambil berkata, “Udah, ayo ikut aja! Daripada lo cuma sendirian di sini!”Ah, aku tak kuasa menolak. Akhirnya hanya bisa mengikuti langkah gadis itu. Namun, di tengah perjalan aku melihat Zaydan yang datang dari arah lain. Matanya menyipit tajam saat melihat Karlina menarik tanganku. Aku kebetulan menoleh ke arahnya, di situlah aku mengumpat dalam hati.“Hei, kalian!” teriaknya memanggil kami berdu
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih
KETIKA KAMU BERKUNJUNG KE DUNIA ORANG MATISEMAKIN KAMU MENJELAJAHINYASEMAKIN BERESIKO PERJALANANMU-ELLIS REYNER______________________________________________________Aku terbangun di kegelapan. Gemuruh orang-orang penasaran bisa terdengar. Kabut-kabut mencuat di sekitarku. Aku sampai di dunia arwah.Lentera kehidupan menyala dan muncul di hadapanku. Aku pun mengambilnya. Namun, seseorang lewat di sampingku. Aku terkejut dan menoleh. Tetapi, sosok itu sirna.Aku menoleh kembali. Sosok remaja pria dengan wajah yang terbelah dan hancur datang menghampiriku. Aku terkejut dengan kengerian, namun aku pun terdiam karena sosok itu sangat familiar."Andi?" Ucapku.Ia mengangguk. Aku bisa melihat raut matanya dipenuhi kesedihan."Mereka membunuhku, tetapi mereka membuangku. Sekarang aku hanya makhluk yang tersesat di dunia gelap ini," curhatnya dengan penuh pilu. "Kamu mencari tempat tinggal Tuan Kelinci, bukan?" Ia kemudian menatapku dengan serius."Yah, aku lagi mencari tempat tinggal Asm
"Hahahaha.... Benar-benar momen yang mengharukan. Tapi, ini belum selesai. Masih ada yang kamu harus tolong lagi." Suara dari speaker itu terdengar lagi."Mana temanku yang lain?" Aku menggertak, menatap ke arah speaker itu."Tenang, tenang. Temanmu ada di sana."Seketika, salah satu lampu di ujung ruangan menyala, memancarkan cahaya pudar yang memperlihatkan sosok Ralph yang terikat di meja pemotong. Tubuhnya dipenuhi lebam, dan wajahnya memucat, menunjukkan betapa lama ia mungkin telah disekap di sana."To-tolong...." Ia merintih, seakan ia sudah lemas tak berdaya.Di sekitar meja itu terdapat alat-alat tajam, mulai dari pisau besar hingga benda logam yang terlihat seperti penjepit yang tidak pernah digunakan untuk tujuan yang baik."Ralph!" Aku berteriak, suaraku memantul di dinding-dinding beton yang dingin. Napas Dave tertahan saat ia melihat kondisi Ralph yang tak berdaya. Dia menatapku dengan ketakutan, tetapi juga dengan tekad yang mulai muncul dari rasa panik."Ayo, Dave," bi
SELAMA INI, DIA MENGAWASI KITA SEMUAMEREKAM SEGALA AKTIVITAS KITAAPA PUN YANG KITA LAKUKAN, DIA TAHU SEMUANYA________________________________________________Lampu-lampu di sisi lain ruangan seketika menyala satu-satu, mengarahkanku ke sebuah lorong. Di ujung lorong itu terdapat pintu besi yang tertutup.Aku sudah tidak merasakan ketakutan sedikit pun. Aku siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Maka, aku menggenggam kuat golokku dan berjalan dengan sigap menuju pintu itu.Nafasku terengah-engah. Aku membuka pintu besi itu.Seketika kilatan cahaya menyambar diriku, seakan aku memasuki dunia lain. Aku memejamkan mata dari silaunya cahaya itu, kemudian aku membuka mata, melihat diriku sampai di sebuah tempat gelap.Aku menuruni sebuah tangga memutar yang mengarahkanku ke sebuah ruangan. Ketika mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, ruangan di sekelilingku perlahan menjadi jelas. Aku sampai ke sebuah ruangan besar. Di dalamnya, deretan layar monitor memenuhi dinding-dinding, meman