Share

Bab 60. Jiwa Jahat

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-30 12:00:41

Siska tergeletak tak sadarkan diri di lantai teras rumahnya. Keributan itu mengundang anak-anaknya keluar menuju teras. Tangisan bayi menggema, memecah keheningan. Anak sulungnya, Ardi, tersentak saat baru keluar pintu, matanya membelalak melihat tubuh ibunya yang terkulai lemas. “Ibu! Bangun, Bu!” teriaknya panik, mengguncang-guncang tubuh Siska. "Kenapa, Bu?"

Adiknya yang lebih kecil ikut keluar, wajahnya pucat, lalu mulai menangis. “Kak, kenapa Ibu? Ibu kenapa?” tanyanya, suara lirih penuh ketakutan.

Namun tangisan itu hanya memicu lebih banyak kegaduhan. Bayi di gendongan Ardi menangis lebih keras, jeritannya menggema hingga keluar rumah, menarik perhatian para tetangga.

Mita, atau lebih tepatnya Dyah yang bersemayam dalam tubuhnya, berdiri mematung. Wajahnya tampak pucat, matanya bergerak liar, menimbang-nimbang langkah selanjutnya. “Jika Mita mati.…” gumamnya sambil melirik tubuh Siska. “Aku bisa saja kehilangan kesempatan ini. Kalau para warga mengeroyokku dan Mita mati, aku ak
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 61. Pengaruh

    Sepanjang perjalanan menuju arah kembali, Mita dan Rita berjalan beriringan. Awalnya, percakapan mereka ringan, sebatas basa-basi. Namun, Mita terus memancing Rita untuk bercerita lebih lanjut mengenai bayi dalam kandungannya. Sebab terakhir ia melihat Rita, tidak tampak tanda kalau gadis itu tengah hamil. Dengan kelihaiannya, Rita akhirnya terpancing. Pancingan Mita menunjukkan hasilnya. Dengan senyuman ramah dan nada suara yang penuh perhatian, Mita berhasil membuat Rita merasa nyaman.“Jadi, benar kamu sedang hamil?” tanya Mita, seolah membaca tubuh Rita yang sedikit berbeda. "Berapa bulan?" Sosok Dyah mulai merintah mencium aroma darah bayi dari perut Rita yang sedikit membuncit.Rita, yang awalnya terkejut,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 62. Takut

    Mita menggenggam tangan Rita dengan kuat, menyeretnya ke depan dengan tatapan yang semakin gelap. Rita mencoba melepaskan cengkeraman itu, tetapi tenaga Mita begitu kuat.“Aku menginginkan jabang bayi dalam perutmu!” suara Mita berubah serak, hampir seperti bukan manusia.Rita tersentak. “Apa maksudmu? Kau... kau tidak waras!” jeritnya dengan napas tersengal. Ia mulai menyadari ada sesuatu yang tidak wajar pada sosok di depannya.Mita berhenti sejenak, menatap Rita dengan tatapan yang begitu dalam hingga membuat wanita muda itu gemetar. “Bukankah kau sendiri bilang tidak menginginkan bayi itu? Berikan dia padaku... akan aku bantu kau menyingkirkan bayi itu!” suara parau itu terdengar seperti gema di telinga Rita, penuh ancaman dan kegilaan.“Tidak! Kau gila! Lepaskan aku!” Rita berteriak histeris, mencoba melawan, tetapi cengkeraman Mita semakin kuat. Dengan paksa, Mita menyeret Rita hingga ke depan pagar ru

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 63. Penolakan

    Sesampainya di rumah Udin, suasana terasa semakin mencekam. Rumah itu kecil dan suram, penerangannya hanya berasal dari lampu minyak yang menyala redup di atas meja kayu usang. Di sudut ruangan, seorang pria tua berjanggut putih yang dikenal sebagai Mbah Kanjim sedang duduk bersila di atas tikar. Wajahnya serius, seolah tahu ada hal buruk yang dibawa ketiga orang itu.Udin, Rita, dan Amin masuk dengan napas terengah-engah. Tanpa basa-basi, Udin membuka pembicaraan. "Mbah, kami butuh bantuan. Ini soal rumah kontrakan itu... dan Mbak Mita," ujarnya tergagap sambil melirik Rita yang wajahnya sudah pucat pasi.Rita akhirnya angkat bicara, suaranya gemetar. "Mbah... saya... saya rasa ada yang nggak beres. Bayi di kandungan Mita... saya yakin bayi itu sudah..." Ia berhenti, menelan ludah dengan susah payah, lalu melanjutkan, "sudah tidak ada. Saya rasa... bayi itu jadi tumbal sesuatu di rumah itu. Saya juga melihat arwah wanita bernama Mita."Ucapan Rita membuat Udin dan Amin membelalak nge

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 64. Penemuan Jenazah

    Mbah Kanjim menghela napas panjang, tubuhnya sedikit bergoyang saat sukmanya berhasil kembali ke raga. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menunjukkan betapa berat perjalanan di alam gaib tadi. Rita, Udin, dan Amin yang sejak tadi gelisah menunggu, langsung mendekat dengan wajah penuh tanya.“Bagaimana, Mbah? Apa Mita selamat?” desak Rita dengan suara cemas. "Apa kau berhasil membawanya pulang seperti kau membawaku dulu? Bagaimana keadaanya?" Rita terus memberondong pria tua itu dengan pertanyaan.“Apa Dyah akan muncul, Kek?” Udin menambahkan, matanya melirik penuh ketakutan ke arah pintu, seolah Dyah bisa tiba kapan saja. "Aku takut."Mbah Kanjim mengangkat tangan, meminta mereka diam. Ia mengambil napas panjang, lalu berkata dengan suara berat, “Maaf, aku tidak bisa menyelamatkannya.”Ucapan itu membuat suasana ruangan seketika tegang. Angin dingin yang entah dari mana mulai merayap masuk, menusuk kulit mereka.“Tidak bisa, Mbah? Kenapa?!” tanya Amin, suaranya setengah berbisik,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 65. Perjanjian

    Malam itu begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan angin yang menggoyang dedaunan di sekitar mushola yang terdengar. Mbah Kanjim duduk di beranda rumahnya, tangannya sibuk memutar-mutar tasbih kayu tua yang warnanya sudah pudar. Pemakaman Mita tadi sore berjalan lancar, tapi perasaan ganjil masih menyelimuti dirinya. Ia tahu, sesuatu belum selesai.Tiba-tiba, angin dingin berembus masuk ke dalam rumah. Lampu minyak di meja bergoyang-goyang hingga hampir padam. "Siapa di sana?" Mbah Kanjim berdiri, menggenggam tasbihnya lebih erat.Suara isakan pelan terdengar, makin lama makin jelas. Di sudut ruangan, perlahan-lahan muncul sosok Mita. Rambutnya terurai panjang, wajahnya pucat dengan mata sembab akibat tangis. “Mbah... tolong aku,” ucapnya, suaranya serak dan bergetar.Mbah Kanjim mematung sejenak, lalu berkata dengan tenang meski jantungnya berdegup kencang. “Apa kau Mbak Mita? Apa yang terjadi? Kenapa kau masih di sini? Bukankah kau sudah dimakamkan dengan layak?”Mita menggeleng, air

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 66. Amarah Seorang Ibu

    Pagi itu, kampung Sidodadi diselimuti kabut tipis, udara dingin menggigit hingga ke tulang. Jalanan masih lengang, hanya beberapa ayam berlarian di antara reruntuhan daun kering. Seorang wanita muda dengan wajah cemas berjalan tergesa, diikuti seorang pria tampan yang tampak menjaga jarak. Mereka berhenti di depan sebuah warung sederhana yang sudah ramai dengan pelanggan, aroma makanan hangat menyeruak dari dalamnya.Wanita itu masuk tanpa ragu, langsung melangkah ke arah seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. “Ibu kok ada di sini?” tanyanya dengan nada tegas. Wanita itu rupanya berniat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan.Astutik, perempuan paruh baya itu, mendongak sekilas sambil melanjutkan pekerjaannya. “Iya, aku di sini. Ada apa kau datang ke kampung ini?” suaranya dingin, tanpa sedikit pun emosi.Wanita muda itu terlihat kesal. “Ibu masih bisa bersikap seperti itu? Saya datang karena ada urusan penting.”Astutik tersenyum tipis, lebih seperti menge

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 66. Amarah Seorang Ibu

    Pagi itu, kampung Sidodadi diselimuti kabut tipis, udara dingin menggigit hingga ke tulang. Jalanan masih lengang, hanya beberapa ayam berlarian di antara reruntuhan daun kering. Seorang wanita muda dengan wajah cemas berjalan tergesa, diikuti seorang pria tampan yang tampak menjaga jarak. Mereka berhenti di depan sebuah warung sederhana yang sudah ramai dengan pelanggan, aroma makanan hangat menyeruak dari dalamnya.Wanita itu masuk tanpa ragu, langsung melangkah ke arah seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. “Ibu kok ada di sini?” tanyanya dengan nada tegas. Wanita itu rupanya berniat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan.Astutik, perempuan paruh baya itu, mendongak sekilas sambil melanjutkan pekerjaannya. “Iya, aku di sini. Ada apa kau datang ke kampung ini?” suaranya dingin, tanpa sedikit pun emosi.Wanita muda itu terlihat kesal. “Ibu masih bisa bersikap seperti itu? Saya datang karena ada urusan penting.”Astutik tersenyum tipis, lebih seperti menge

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 67. Ketakutan

    Pagi itu, Wulan berdiri gemetar di tengah kegelapan rumah suwung. Meski matahari bersinar terang di luar, suasana di dalam rumah terasa seperti malam pekat. Bau busuk menyengat hidung, hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Tubuhnya seolah terkunci, matanya menatap sosok di depannya—Dyah, kakaknya yang telah berubah menjadi iblis.“Ti…tidak…,” bisik Wulan, suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia mencoba mundur perlahan, namun kakinya seperti meja kayu usang.Dyah tertawa, cekikikan yang menggema di seluruh ruangan, menyeramkan seperti cakar-cakar yang mencakar dinding. "Kau takut padaku, Wulan?" suara parau itu memenuhi udara. "Padahal, kita saudara. Kau adikku... yang menghancurkan kehidupan!""Apa maksudmu?" tanya Wulan, mencoba tegar meski tubuhnya gemetar.Dyah melangkah maju, wajahnya kini terlihat jelas di bawah redupnya cahaya yang menembus jendela pecah. Kulitnya kelabu, matanya merah menyala, dan bibirnya yang robek tersenyum lebar. "Gara-gara kau, aku tak pernah menikah. Gara

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 78. Tangisan Dalam Pelukan Jenazah

    Tubuh Candra bergetar hebat, kakinya terasa lemas seperti tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Pandangannya terpaku pada tubuh Lisa yang terbujur kaku di lantai, darah mengalir deras dari luka di kepala istrinya. Setrika yang tadi ia gunakan tergeletak tak jauh dari sana, berlumur darah. "Tidak... Lisa... tidak mungkin..." suaranya tercekat, nyaris berbisik. Ia mundur beberapa langkah, tubuhnya limbung dan gemetar. Air matanya mulai mengalir, bercampur dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya.Ketakutan mencengkeramnya, nafasnya memburu tak beraturan. Tangannya meremas rambutnya sendiri, seakan berharap ini hanya mimpi buruk yang bisa ia bangunkan. Namun pemandangan itu terlalu nyata. Lisa tak lagi bergerak.Tangisan Cassandra terus meraung-raung memanggil ibunya, "Mama! Mama !" menambah suasana mencekam. Gadis kecil itu memeluk tubuh Lisa yang dingin, mengguncang-guncangnya dengan tangan mungilnya. "Mama...."Candra merasakan gelombang panik yang lebih bes

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 77. Rumah Angker Warisan Bapak Lisa

    "Pergi!" Lisa berteriak keras, suaranya menggema di ruang tamu rumah mewah itu. Matanya memerah, penuh amarah yang memuncak.Candra, yang berdiri di ambang pintu, hanya menatap putri kecilnya, Cassandra, yang menggigil di sudut ruangan sambil memeluk boneka lusuhnya. Tangisan bocah itu seperti jeritan kecil di tengah badai."Aku menjual rumah gono-gini dengan Rasya gara-gara kamu!" Lisa melanjutkan teriakannya. "Dan besok... aku terpaksa kembali ke rumah warisan bapakku!""Sudahlah, Lisa. Jangan berteriak seperti ini. Apa kau tidak kasihan melihat Cassandra terus menangis?" Candra mencoba menenangkan, meski suaranya bergetar, menahan emosi yang hampir pecah."Aku gak peduli!" Lisa berbalik menatapnya tajam. "Pria sampah sepertimu tidak berhak berbicara! Aku! Aku yang selama ini memenuhi kebutuhan rumah ini! Aku tulang rusuk yang dipaksa jadi tulang punggung! Kau cuma bisa menghabiskan uang hasil kerja kerasku!""Kau menyebutku sampah? Kau sendiri a

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 76. Purwati Berhasil Pergi

    Mbah Legi mengamati Mbah Kanjim yang selesai dengan ritualnya. Dengan wajah penuh tanya, Mbah Legi membuka pembicaraan, "Apa kau akan membawa Lasmini kembali ke alam manusia?"Mbah Kanjim tersenyum kecil. "Tidak, aku tidak akan menarik jiwanya langsung ke dunia manusia," jawabnya dengan nada yang tenang dan penuh arti.Mbah Legi menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Sudah kuduga. Kalau kau menariknya paksa, bisa-bisa dia malah menggantikan Purwati sebagai arwah penasaran. Dan itu hanya akan membuat keadaan sama buruknya.""Benar sekali," kata Mbah Kanjim sambil menatap lurus ke arah dupa yang mulai memudar. "Aku tidak bisa mengambil risiko sebesar itu. Lasmini harus tetap di tempatnya, di alam yang telah menjadi miliknya sekarang. Namun, bukan berarti aku tidak punya cara lain."Mbah Legi mengerutkan dahi. "Apa yang kau maksud, Kanjim?"Senyum tipis kembali muncul di wajah Mbah Kanjim. "Aku tidak akan menarik Lasmini secara langsung. Seba

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 75. Komunikasi

    Siang itu, di rumah Mbah Legi yang sunyi, suara gawai milik Udin berdering nyaring, memecah keheningan. Udin, yang tengah sibuk mengutak-atik mainan di meja, mengangkat telepon itu dengan nada santai. Namun, nada bicaranya segera berubah serius setelah mendengar suara di seberang. "Oh, mandor sudah datang? Baik, saya sampaikan ke Mas Rasya," ujarnya sambil menoleh ke arah Rasya, yang duduk tak jauh darinya."Mas, kabar dari Amin. Mandor sudah datang untuk merobohkan rumah warisan bapak Kartika," ucap Udin, nadanya datar tapi sedikit tergesa. Rasya mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah. "Katakan ke Amin, untuk urus semuanya. Aku percaya padanya," jawab Rasya sambil menyesap teh hangatnya.Akan tetapi, obrolan itu tak berhenti di situ. Udin, yang terlihat ragu, tiba-tiba menambahkan dengan nada setengah berbisik, "Oh ya, Mas, Amin juga bilang... dia akan bertunangan dengan Rita, jadi dia minta Mas dan Mbak Kartika, juga pak Hendra untuk datang." Ucapannya langsung membuat suasana be

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 74. Tidak Ada Solusi

    Sepanjang perjalanan menuju rumah Purwati, jalanan desa terlihat senyap. Semua pintu rumah tampak tertutup. Setelah sampai di depan rumah milik Purwati. Mbah Kanjim mendorongkan energinya.“Pergilah ke tempatmu yang semestinya. Jangan kembali untuk mengganggu!”Sosok Purwati menghilang dalam kabut hitam. Mbah Kanjim terengah-engah melafalkan mantra untuk memberi pagar gaib.“Sudah selesai?” tanya Hendra, suaranya masih terdengar gemetar.Belum sempat mendapat jawaban, suara teriakan menggema dari dalam rumah Purwati. Suaranya memecah malam, penuh amarah dan kebencian, seperti ribuan paku yang menghantam telinga. "Kurang ajar! Pria tua sialan! Lepaskan aku! Bahkan aku tidak mengenalmu! Kenapa kau ikut campur dengan urusanku!" Suara itu bergetar, bergema seperti tidak berasal dari satu arah, melainkan dari seluruh penjuru.Mbah Kanjim berdiri tegak di depan rumah, wajahnya penuh konsentrasi. Ia telah menyelesaikan rapalan segelnya, dan tangan kanannya terangkat, memegang keris kecil yan

  • Rumah Angker Warisan Bapak   73. Arwah Purwati

    Hendra menelan ludah. "Lalu bagaimana, Mbah? Apa cara menanganinya berbeda?" Mbah Kanjim menatap Hendra dalam. "Berdasarkan penerawanganku, jiwa Purwati masih tertahan di dunia. Sementara Lasmini sudah pergi dengan tenang. Mungkin karena tak puas, Purwati mengalihkan dendamnya kepada Kartika." Mbah Kanjim berdiri perlahan. "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga. Sebelum malam turun sepenuhnya, demit golongan apapun kalau malam hari memiliki energi yang kuat."Hendra mengangguk. Begitupun Kartika dan Rasya. Keduanya segera bergegas memberi tahu Anis yang sedang menidurkan Cakra di kamar.Perjalanan menuju desa Kenikir terasa sunyi. Lampu-lampu jalan yang minim hanya menyinari sebagian kecil jalan, menciptakan bayangan panjang di aspal. Rasya memegang kemudi dengan tenang, tapi pikirannya penuh dengan rencana besar yang baru saja ia mulai. Di jok belakang, Udin duduk dengan santai, sesekali melirik keluar jendela, sementara Mbah Kanjim terdiam dengan mata tertutup,

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 72. Rahasianya

    Mbah Kanjim mengangkat wajahnya, sorot matanya tajam namun penuh arti. "Nak Hendra," gumamnya pelan, "dendam seperti api, makin dibiarkan, makin membakar. Tapi terkadang, api hanya bisa padam jika yang membawanya bersedia menyerah. Dyah tak bisa pergi sebelum menerima bahwa hidupnya telah selesai... dan itu bukan perkara mudah."Hendra terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di kejauhan, suara tawa Udin dan Pak Iman masih terdengar, tetapi di dalam hati Hendra, perasaan mencekam kembali menyelimuti.---Rasya berdiri mematung di tengah ruangan, matanya mengamati setiap sudut rumah yang tampak usang. Sorot matanya berhenti pada dinding penuh coretan, salah satunya bertuliskan: "Kartika ♥ Candra." Wajahnya berubah tegang, rahangnya mengatup. Nafasnya terdengar berat, terutama saat ia melihat lebih banyak nama "Candra" tertulis di sana, bercampur dengan nama Kartika."Mas," suara lirih Kartika memecah lamunannya. Rasya menoleh, tatapannya tajam, menyiratkan emosi yang sulit disembunyikan.Ka

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 71. Pagar Gaib Rumah Warisan Bapak

    Hendra mengangguk, tapi tak mampu berkata apa-apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Perlahan, ia berdiri dan menuju pintu depan dengan langkah berat. Tangan Hendra gemetar saat meraih gagang pintu, tapi ia mencoba memberanikan diri untuk membukanya.Ketika pintu terbuka, sosok Purwati tampak berdiri di luar pagar. Wajahnya menyeramkan—kulitnya pucat kehijauan seperti mayat yang membusuk, matanya melotot dengan bola mata hampir keluar dari rongganya, dan mulutnya menyeringai lebar hingga menampakkan deretan gigi yang hitam legam. Rambutnya yang panjang kusut menjuntai seperti tali jerat. Tatapannya penuh amarah, menembus pandangan siapa pun yang melihatnya."Keluar kamu!" suara Purwati terdengar parau, bercampur gema mistis yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. "Kalian pikir pagar gaib ini bisa menghentikanku?! Aku akan masuk dan menghancurkan semuanya!"Hendra dan Anis saling pandang bingung. "Apa kau memasang pagar gaib, Pak?" tanya Anis. Hendra hanya menggeleng pelan,

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 70. Jiwa Yang Pendendam

    Angin malam berhembus lembut, tetapi ada hawa dingin yang merayap di tengkuk Kartika saat ia berdiri sendirian di luar rumah. Rasya baru saja masuk ke dalam untuk memberitahu Anis dan Hendra kabar duka yang baru mereka terima. Kartika masih terpaku, pikirannya penuh gejolak, hingga sebuah suara yang familiar tiba-tiba terdengar."Kartika ...." suara itu lirih namun jelas, menyelinap di antara desiran angin.Kartika memutar kepala, tubuhnya menegang. "Ibu?" tanyanya dengan napas tercekat.Bayangan samar mulai terbentuk di hadapannya, berubah menjadi sosok yang sangat dikenalnya—Lasmini, ibunya. Kartika terisak kecil, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Takdir memang tak dapat dihindari. Mungkin memang sudah waktunya, Nak," ucap Lasmini dengan suara lembut, tetapi ada nada tegas di dalamnya. "Purwati sudah lama menderita stroke. Dia terpeleset di kamar mandi, dan sekarang ... dia telah pergi."Kartika terdiam, hatinya diliputi keraguan. "Apa aku harus pergi ke sana, Bu?" tanyanya

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status