Siska tergeletak tak sadarkan diri di lantai teras rumahnya. Keributan itu mengundang anak-anaknya keluar menuju teras. Tangisan bayi menggema, memecah keheningan. Anak sulungnya, Ardi, tersentak saat baru keluar pintu, matanya membelalak melihat tubuh ibunya yang terkulai lemas. “Ibu! Bangun, Bu!” teriaknya panik, mengguncang-guncang tubuh Siska. "Kenapa, Bu?"Adiknya yang lebih kecil ikut keluar, wajahnya pucat, lalu mulai menangis. “Kak, kenapa Ibu? Ibu kenapa?” tanyanya, suara lirih penuh ketakutan.Namun tangisan itu hanya memicu lebih banyak kegaduhan. Bayi di gendongan Ardi menangis lebih keras, jeritannya menggema hingga keluar rumah, menarik perhatian para tetangga.Mita, atau lebih tepatnya Dyah yang bersemayam dalam tubuhnya, berdiri mematung. Wajahnya tampak pucat, matanya bergerak liar, menimbang-nimbang langkah selanjutnya. “Jika Mita mati.…” gumamnya sambil melirik tubuh Siska. “Aku bisa saja kehilangan kesempatan ini. Kalau para warga mengeroyokku dan Mita mati, aku ak
Sepanjang perjalanan menuju arah kembali, Mita dan Rita berjalan beriringan. Awalnya, percakapan mereka ringan, sebatas basa-basi. Namun, Mita terus memancing Rita untuk bercerita lebih lanjut mengenai bayi dalam kandungannya. Sebab terakhir ia melihat Rita, tidak tampak tanda kalau gadis itu tengah hamil. Dengan kelihaiannya, Rita akhirnya terpancing. Pancingan Mita menunjukkan hasilnya. Dengan senyuman ramah dan nada suara yang penuh perhatian, Mita berhasil membuat Rita merasa nyaman.“Jadi, benar kamu sedang hamil?” tanya Mita, seolah membaca tubuh Rita yang sedikit berbeda. "Berapa bulan?" Sosok Dyah mulai merintah mencium aroma darah bayi dari perut Rita yang sedikit membuncit.Rita, yang awalnya terkejut,
Mita menggenggam tangan Rita dengan kuat, menyeretnya ke depan dengan tatapan yang semakin gelap. Rita mencoba melepaskan cengkeraman itu, tetapi tenaga Mita begitu kuat.“Aku menginginkan jabang bayi dalam perutmu!” suara Mita berubah serak, hampir seperti bukan manusia.Rita tersentak. “Apa maksudmu? Kau... kau tidak waras!” jeritnya dengan napas tersengal. Ia mulai menyadari ada sesuatu yang tidak wajar pada sosok di depannya.Mita berhenti sejenak, menatap Rita dengan tatapan yang begitu dalam hingga membuat wanita muda itu gemetar. “Bukankah kau sendiri bilang tidak menginginkan bayi itu? Berikan dia padaku... akan aku bantu kau menyingkirkan bayi itu!” suara parau itu terdengar seperti gema di telinga Rita, penuh ancaman dan kegilaan.“Tidak! Kau gila! Lepaskan aku!” Rita berteriak histeris, mencoba melawan, tetapi cengkeraman Mita semakin kuat. Dengan paksa, Mita menyeret Rita hingga ke depan pagar ru
Sesampainya di rumah Udin, suasana terasa semakin mencekam. Rumah itu kecil dan suram, penerangannya hanya berasal dari lampu minyak yang menyala redup di atas meja kayu usang. Di sudut ruangan, seorang pria tua berjanggut putih yang dikenal sebagai Mbah Kanjim sedang duduk bersila di atas tikar. Wajahnya serius, seolah tahu ada hal buruk yang dibawa ketiga orang itu.Udin, Rita, dan Amin masuk dengan napas terengah-engah. Tanpa basa-basi, Udin membuka pembicaraan. "Mbah, kami butuh bantuan. Ini soal rumah kontrakan itu... dan Mbak Mita," ujarnya tergagap sambil melirik Rita yang wajahnya sudah pucat pasi.Rita akhirnya angkat bicara, suaranya gemetar. "Mbah... saya... saya rasa ada yang nggak beres. Bayi di kandungan Mita... saya yakin bayi itu sudah..." Ia berhenti, menelan ludah dengan susah payah, lalu melanjutkan, "sudah tidak ada. Saya rasa... bayi itu jadi tumbal sesuatu di rumah itu. Saya juga melihat arwah wanita bernama Mita."Ucapan Rita membuat Udin dan Amin membelalak nge
Mbah Kanjim menghela napas panjang, tubuhnya sedikit bergoyang saat sukmanya berhasil kembali ke raga. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menunjukkan betapa berat perjalanan di alam gaib tadi. Rita, Udin, dan Amin yang sejak tadi gelisah menunggu, langsung mendekat dengan wajah penuh tanya.“Bagaimana, Mbah? Apa Mita selamat?” desak Rita dengan suara cemas. "Apa kau berhasil membawanya pulang seperti kau membawaku dulu? Bagaimana keadaanya?" Rita terus memberondong pria tua itu dengan pertanyaan.“Apa Dyah akan muncul, Kek?” Udin menambahkan, matanya melirik penuh ketakutan ke arah pintu, seolah Dyah bisa tiba kapan saja. "Aku takut."Mbah Kanjim mengangkat tangan, meminta mereka diam. Ia mengambil napas panjang, lalu berkata dengan suara berat, “Maaf, aku tidak bisa menyelamatkannya.”Ucapan itu membuat suasana ruangan seketika tegang. Angin dingin yang entah dari mana mulai merayap masuk, menusuk kulit mereka.“Tidak bisa, Mbah? Kenapa?!” tanya Amin, suaranya setengah berbisik,
Malam itu begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan angin yang menggoyang dedaunan di sekitar mushola yang terdengar. Mbah Kanjim duduk di beranda rumahnya, tangannya sibuk memutar-mutar tasbih kayu tua yang warnanya sudah pudar. Pemakaman Mita tadi sore berjalan lancar, tapi perasaan ganjil masih menyelimuti dirinya. Ia tahu, sesuatu belum selesai.Tiba-tiba, angin dingin berembus masuk ke dalam rumah. Lampu minyak di meja bergoyang-goyang hingga hampir padam. "Siapa di sana?" Mbah Kanjim berdiri, menggenggam tasbihnya lebih erat.Suara isakan pelan terdengar, makin lama makin jelas. Di sudut ruangan, perlahan-lahan muncul sosok Mita. Rambutnya terurai panjang, wajahnya pucat dengan mata sembab akibat tangis. “Mbah... tolong aku,” ucapnya, suaranya serak dan bergetar.Mbah Kanjim mematung sejenak, lalu berkata dengan tenang meski jantungnya berdegup kencang. “Apa kau Mbak Mita? Apa yang terjadi? Kenapa kau masih di sini? Bukankah kau sudah dimakamkan dengan layak?”Mita menggeleng, air
Pagi itu, kampung Sidodadi diselimuti kabut tipis, udara dingin menggigit hingga ke tulang. Jalanan masih lengang, hanya beberapa ayam berlarian di antara reruntuhan daun kering. Seorang wanita muda dengan wajah cemas berjalan tergesa, diikuti seorang pria tampan yang tampak menjaga jarak. Mereka berhenti di depan sebuah warung sederhana yang sudah ramai dengan pelanggan, aroma makanan hangat menyeruak dari dalamnya.Wanita itu masuk tanpa ragu, langsung melangkah ke arah seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. “Ibu kok ada di sini?” tanyanya dengan nada tegas. Wanita itu rupanya berniat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan.Astutik, perempuan paruh baya itu, mendongak sekilas sambil melanjutkan pekerjaannya. “Iya, aku di sini. Ada apa kau datang ke kampung ini?” suaranya dingin, tanpa sedikit pun emosi.Wanita muda itu terlihat kesal. “Ibu masih bisa bersikap seperti itu? Saya datang karena ada urusan penting.”Astutik tersenyum tipis, lebih seperti menge
Pagi itu, kampung Sidodadi diselimuti kabut tipis, udara dingin menggigit hingga ke tulang. Jalanan masih lengang, hanya beberapa ayam berlarian di antara reruntuhan daun kering. Seorang wanita muda dengan wajah cemas berjalan tergesa, diikuti seorang pria tampan yang tampak menjaga jarak. Mereka berhenti di depan sebuah warung sederhana yang sudah ramai dengan pelanggan, aroma makanan hangat menyeruak dari dalamnya.Wanita itu masuk tanpa ragu, langsung melangkah ke arah seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. “Ibu kok ada di sini?” tanyanya dengan nada tegas. Wanita itu rupanya berniat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan.Astutik, perempuan paruh baya itu, mendongak sekilas sambil melanjutkan pekerjaannya. “Iya, aku di sini. Ada apa kau datang ke kampung ini?” suaranya dingin, tanpa sedikit pun emosi.Wanita muda itu terlihat kesal. “Ibu masih bisa bersikap seperti itu? Saya datang karena ada urusan penting.”Astutik tersenyum tipis, lebih seperti menge
"Cucuku harusnya mirip akulah, mana mungkin mirip kamu." Raut wajah Hendra berubah tidak suka, "lagian lho ya, harusnya si Udin itu cepat menikah biar bisa buat cucu yang mirip kamu."Mbah Kanjim hanya tersenyum, tidak menanggapi. Sementara Rasya, terlihat fokus menyetir, tapi pikirannya menerawang mengingat ucapan Mbah Kanjim semalam. Sementara mobil terus melaju pelan di jalan sempit, dikelilingi pohon-pohon besar yang daunnya rimbun. Rasya tampak larut dalam lamunannya, tatapan kosong mengarah ke depan. Hatinya penuh tanda tanya—apa benar sosok pria tua Mbah Kanjim akan menjadi anaknya? Rasya Memnag percaya mengenai hal gaib, tapi untuk reinkarnasi dia tidak terlalu percaya itu. "Rasya! Fokus!" tegur Hendra, suaranya memecah keheningan, membuat Rasya tersentak dari lamunan. "Itu pos satpamnya. Kau hampir terlewat!"Rasya menginjak rem mendadak, membuat mobil sedikit berguncang. Ia menarik napas dalam, berusaha mengembalikan konsentrasi."Maaf, aku tadi melamun," ucap Rasya, menco
"Tapi kenapa?" tanya Hendra suaranya hampir gak kalah tinggi, membuat Rasya mengelus pundak sang ayah untuk menenangkannya. "Aku akan menjaga kalian dari sini, jangan khawatir. Cari saja wanita yang bernama Dewi itu." Mbah Kanjim mulai merendahkan suaranya. "Ini kasus yang berbeda lagi dengan dua kasus sebelumnya. Dyah dan Purwati menjadi gaib karena dendam, meski penyebabnya juga dua hal yang berbeda. Kalau kasus Lilis dan Dewi, bukan hanya sekedar dendam. Dia memiliki peliharaan sosok gaib."Malam semakin pekat di luar rumah Mbah Kanjim. Angin dingin bertiup, membuat dedaunan pohon beringin tua di halaman bergesekan dan menimbulkan suara aneh seperti bisikan. Lampu di teras rumah berkedip-kedip, seolah-olah nyaris padam. Suara burung hantu tiba-tiba terdengar dari kejauhan, diikuti bunyi langkah samar yang seolah mengitari rumah.Suasana mendadak sunyi. Mbah Kanjim menelan kata, ia menatap Hendra dan Rasya dengan raut wajah serius. "Apa ada yang mengikuti kalian?" tanyanya. Hendra
"Kenapa Mbak Lilis tiba-tiba bisa jadi seperti itu?" tanya salah seorang tetangga. Dengan menangis, Dewi menjelaskan kalau Lilis adalah seorang penganut ilmu hitam. "Aku sendiri tidak menyangka, rupanya Mbak Lilis memiliki susuk. Entah dari mana dia bisa memilikinya." Suara Dewi terdengar sendu. Membuat beberapa orang mulai tergiring dengan opininya, tapi sebagian lagi seakan tidak percaya."Buktinya apa?" Ucapan salah seorang warga membuat Dewi mencebik. "Buktinya Mbak Lilis jadi kembang Mayang." Dewi menunjuk ke arah Lilis. Air mata mulai keluar, terlihat Lilis menangis. Sementara itu bayangan di belakang punggung Dewi semakin jelas terlihat. "Itu saja tidak cukup, siapa tahu ada orang yang sengaja mengirim 'tenun' kepadanya. Setahuku Lilis adalah wanita baik." "Kalau kau tidak percaya itu urusanmu, Mbah." Dewi mencelos membalas ucapan seorang wanita tua."Aku benar-benar tak menyangka," lirih Bu Kades, fokusnya lalu tertuju pada rantang berkat yang ada di meja. "Apa tadi Suci k
"Hahahahah!" Tawa Dewi bergema di ruangan. Ia menunjuk Lilis dengan tatapan mengejak. "Mulai hari ini kau jadi kembang Mayang!" Dewi menyeret tubuh Lilis yang separuh mati, menjauh dari pintu kamarnya.Terlihat Lilis yang kepayahan, berusaha meraih gawai milik Dewi, tapi Dewi malah menendangnya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Lilis berusaha merangkak menuju ke ruang tamu. Akan tetapi lagi-lagi, Dewi menendangnya.Tubuh Lilis yang lemah, berusaha merangkak perlahan di atas lantai dingin, kedua tangannya berusaha menarik tubuhnya ke depan meski gemetar hebat. Nafasnya berat, terdengar seperti erangan kesakitan."Mau ke mana, kembang Mayang?" Ucapan Dewi terdengar menyakitkan. Lilis menangis. Sementara Anis mencoba memejamkan mata, melihat pemandangan di hadapannya."Aku tidak kuat," lirih Anis, "andai aku kasat mata, aku akan menolong Mbak Lilis." Anis mulai menangis."Kau hanya melihat bayangan ini sekali, coba bayangka
Lilis berjalan di dapur ia mencoba menahan perasaan dengan melakukan aktifitas memasak. Baru bersiap untuk menyiapkan bahan, Lilis tiba-tiba mendengar suara teriakan Dewi dari dalam kamar. Ia langsung berbalik dan terhenyak mendapati Dewi sudah berdiri di tengah pintu. "Mbak Lilis ini bagaimana sih, dipanggil gak menyahut," Dewi menggerutu, "perutku sakit aku biasanya mengompres perutku dengan air hangat."Tanpa menjawab, Lilis segera merebus air permintaan Dewi. "Oh, iya, Mbak. Saya ingin memastikan kembali mengenai ucapan Mbak Lilis tadi di rumah sakit." Dewi menghela nafas dalam, lalu melanjutkan ucapannya, "Mbak kok tega sih ngomong begitu. Saya ini hamil lho, anak mas Lukman. Tega sekali, Mbak bilang kalau mau mengambil bayi ini dan meminta Mas Lukman untuk menceraikan saya." Nada suara Dewi terdengar bergetar, seakan menahan diri untuk tidak menangis. Melihat itu hati Lilis trenyuh, dia merasa sudah keterlaluan. "Maaf, Mbak. Tadi saya hanya emosi saat mengetahui hubungan Mbak
"Gak usah wedi, Nduk." Sosok itu terus melambaikan tangan ke arahnya, membuat Anis ingin menangis."Saya Mbah Sur, yang punya rumah ini." Pria itu menunjuk ke arah rumah Lukman. "Saya ini bapaknya Lukman. Seharusnya saya bisa pergi dengan tenang, tapi Dewi malah mengambil susuk milikku dan menanamkannya dalam tubuhnya."Anis tercekat, tapi ia mengusahakan langkahnya untuk mendekat."Ojo wedi. Saya sudah tobat di detik akhir sebelum mati," Mbah Sur mencoba meyakinkan Anis. "Saya butuh bantuanmu, supaya bisa mengikuti Lilis. Mbah berharap setelah kamu tahu jalan ceritanya, kamu bisa membantu melepas susuk dari Dewi. Mbah ingin pergi dengan tenang."Anis mengangguk. "Ba-gai-mana sa-ya bisa membantu?" tanyanya dengan terbata."Kau cukup ikuti. Setelah kembali ke alam sadarmu, cari saja keberadaan Dewi. Aku juga sudah menitipkan sesuatu kepadamu, bawa ke orang yang mengerti.""Aku tidak paham.""Lakukan saja, nanti kau juga aka
Anis dan Hendra akhirnya memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah Lukman. "Uti, ikut!" Cakra mulai merengek. Melihat Cakra yang sudah mengulurkan tangan, Rasya segera bertindak menggendong bocah tiga tahun itu. "Kamu di rumah saja, main sama ayah.""Gak mau, mau ikut Uti." Cakra mulai merengek. "Sudahlah biarkan saja dia ikut." Anis yang tidak tega bersiap hendak mengambil alih Cakra. Namun Rasya lebih sigap menepisnya. "Biar saja, Bu. Justru kalau Cakra ikut aku malah khawatir."Anis mengangguk mengerti. Ia segera bergegas masuk ke mobil yang akan membawanya ke desa Plaosan, tempat tinggal Lukman. ---Mobil yang dikemudikan Hendra menyusuri jalan berliku menuju desa Sidomulyo. Sawah-sawah hijau membentang di kiri-kanan, diselingi pohon kelapa yang melambai pelan. Udara segar menyapa, membuat hati serasa nyaman."Kok lewat jalan sini, Yah?" pertanyaan Anis memecah keheningan sepanjang perjalanan. "Aku tadi cek jalan lewat GPS, ternyata ada jalan yang dekat menuju desa Lukman." Ta
Kartika memandang wajah Kirana dengan penuh haru. "Kau... Cantika anakku?" Ucapnya sambil menahan isak. Kartika mengelus lembut pipi Kirana, sentuhan itu benar mengingatkannya akan putri Cantika yang sudah tiada. “Aku anak yang dilindungi Ibu, nenek melindungiku dari mati dan Dyah.”Degggg!Jantung Kartika seakan berhenti bersetak sejenak. Bagaimana bocah yang ya perkirakan berusia satu setengah tahun kurang, itu bisa berbicara dengan sangat lancar."Jangan menangis Bu ...." Kirana mengusap air mata yang keluar dari dua netra Kartika. "Aku senang bisa beltemu Ibu lagi." Kirana tersenyum. Saat Rasya memanggil Kartika, seketika Kirana kembali bertingkah seperti bocah biasa. Rasya baru saja menut
Anis kaget saat netranya melihat ada sesajen di bawah ranjang. Namun, karena tak mau terlibat terlalu jauh, ia bergegas menutup pintu dan kembali bergabung dengan Sulis.Tak lama kemudian, Hendra dan para pelayat kembali ke rumah duka. Wajah mereka terlihat lelah, dengan pakaian berdebu oleh tanah makam. Aroma dupa masih tercium di udara, menyatu dengan suasana sendu di dalam rumah. Semua duduk diam, menyisip teh hangat dalam hening yang mencekam.Hendra mendatangi Anis, menggeser duduk dan memangku Sandra."Yah, kok langsung memangku Sandra? Harusnya mandi dulu atau cuci muka lah paling tidak, habis dari pemakaman juga." Anis langsung mengambil alih Sandra kembali. "Nanti kalau Sandra 'sawan' bagaimana?""Aku sudah mandi kok, di rumah pak RT. Tadi orang-orang juga mandi di sana. Eh, tadi banyak tetangga yang ngamuk sama Dewi, lho."Ucapan Hendra mengundang rasa ingin tahu Anis. Keningnya mengkerut penuh rasa penasaran. Mengetahui