Siang itu, di pos ronda, Amin sedang duduk santai sambil menyeruput teh hangat ketika sepasang suami-istri datang menghampirinya."Permisi, Mas," ujar wanita muda itu sambil tersenyum tipis. "Saya Mita, dan ini suami saya, Sigit. Maaf, apa saya boleh tahu alamat rumah ini?" Ia mengeluarkan foto rumah tua berwarna pudar sedikit pudar Amin memandang foto itu sejenak. “Oh, ini rumah almarhum pak Gatot, letaknya ada di ujung jalan sana. Tapi…”Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, pria yang dipanggil Sigit memotong dengan nada tegas, “Tidak perlu tapi-tapian. Bisa tunjukkan jalannya?”Amin merasa ragu, tapi akhirnya ia mengarahkan mereka ke lokasi rumah. “Ikuti jalan ini, nanti rumah itu ada di ujung, Pak.”Mita dan Sigit mengangguk, lalu melangkah pergi. Amin tetap di pos ronda, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, rasa takutnya membuatnya bungkam.Sesampainya di depan rumah itu, Mita menatap bangunan dengan rumput liar yang mulai meninggi, itu dengan pandangan aneh.“Jadi
Mita terbangun dalam kegelapan yang pekat. Segala suara mendadak lenyap, hanya keheningan yang menyesakkan dadanya. Kakinya gemetar, dan tubuhnya terasa berat seolah ditarik ke tanah. Napasnya tersengal-sengal saat matanya tertuju pada sosok mengerikan yang berdiri di depannya. Bayangan itu tinggi, dengan rambut hitam panjang yang menutupi sebagian wajahnya, dan mata merah menyala yang menusuk jiwanya."Si... siapa kau?" Mita tergagap, suaranya serak penuh ketakutan.Sosok itu tertawa pelan, tawa yang semakin lama semakin menyeramkan. "Kau ingin tahu siapa aku?" desisnya. Suaranya seperti bisikan angin yang menusuk telinga. "Aku adalah Dyah. Dan kau, wanita bodoh yang telah masuk ke dalam perangkapku. Hihihihihihi."Mita mundur beberapa langkah, lututnya hampir tak mampu menahan tubuhnya. "Aku tak paham... aku hanya ingin menyewa rumah ini... tolong, lepaskan aku!"Dyah bergerak mendekat, membuat udara di sekitar Mita semakin dingin. "Setelah sekian lama menunggu, akhirnya aku akan bi
Sosok Mita melangkah keluar rumah dengan tekad bulat. Tujuannya satu: pabrik tempat Dyah pernah bekerja. Ia tahu, untuk melanjutkan misi balas dendam Dyah, ia harus menemukan Alfian. Saat tiba di pabrik, suasana sibuk langsung menyambutnya. Buruh-buruh bekerja dengan wajah penuh peluh, mesin-mesin berderu tanpa henti. Namun, Mita tetap melangkah percaya diri, memancarkan aura misterius yang menarik perhatian.Sampai di pos keamanan, seorang satpam menghentikannya. "Mbak, ada perlu apa ke sini? Kalau bukan karyawan, nggak boleh masuk sembarangan."Mita tersenyum manis, suaranya lembut tetapi tegas. “Saya sepupu jauh Alfian. Saya hanya ingin mencari tahu kabarnya. Apakah mungkin saya bisa bicara dengan seseorang yang tahu tentang dia?”Satpam itu terdiam sejenak, matanya menyipit curiga. Namun senyum Mita yang menawan membuatnya mengendurkan sikap. “Tunggu sebentar. Saya panggilkan kepala HRD. Mungkin dia bisa membantu.”Tak lama, seorang pria paruh baya muncul. Kepala HRD pabrik yang t
Siska tergeletak tak sadarkan diri di lantai teras rumahnya. Keributan itu mengundang anak-anaknya keluar menuju teras. Tangisan bayi menggema, memecah keheningan. Anak sulungnya, Ardi, tersentak saat baru keluar pintu, matanya membelalak melihat tubuh ibunya yang terkulai lemas. “Ibu! Bangun, Bu!” teriaknya panik, mengguncang-guncang tubuh Siska. "Kenapa, Bu?"Adiknya yang lebih kecil ikut keluar, wajahnya pucat, lalu mulai menangis. “Kak, kenapa Ibu? Ibu kenapa?” tanyanya, suara lirih penuh ketakutan.Namun tangisan itu hanya memicu lebih banyak kegaduhan. Bayi di gendongan Ardi menangis lebih keras, jeritannya menggema hingga keluar rumah, menarik perhatian para tetangga.Mita, atau lebih tepatnya Dyah yang bersemayam dalam tubuhnya, berdiri mematung. Wajahnya tampak pucat, matanya bergerak liar, menimbang-nimbang langkah selanjutnya. “Jika Mita mati.…” gumamnya sambil melirik tubuh Siska. “Aku bisa saja kehilangan kesempatan ini. Kalau para warga mengeroyokku dan Mita mati, aku ak
Sepanjang perjalanan menuju arah kembali, Mita dan Rita berjalan beriringan. Awalnya, percakapan mereka ringan, sebatas basa-basi. Namun, Mita terus memancing Rita untuk bercerita lebih lanjut mengenai bayi dalam kandungannya. Sebab terakhir ia melihat Rita, tidak tampak tanda kalau gadis itu tengah hamil. Dengan kelihaiannya, Rita akhirnya terpancing. Pancingan Mita menunjukkan hasilnya. Dengan senyuman ramah dan nada suara yang penuh perhatian, Mita berhasil membuat Rita merasa nyaman.“Jadi, benar kamu sedang hamil?” tanya Mita, seolah membaca tubuh Rita yang sedikit berbeda. "Berapa bulan?" Sosok Dyah mulai merintah mencium aroma darah bayi dari perut Rita yang sedikit membuncit.Rita, yang awalnya terkejut,
Mita menggenggam tangan Rita dengan kuat, menyeretnya ke depan dengan tatapan yang semakin gelap. Rita mencoba melepaskan cengkeraman itu, tetapi tenaga Mita begitu kuat.“Aku menginginkan jabang bayi dalam perutmu!” suara Mita berubah serak, hampir seperti bukan manusia.Rita tersentak. “Apa maksudmu? Kau... kau tidak waras!” jeritnya dengan napas tersengal. Ia mulai menyadari ada sesuatu yang tidak wajar pada sosok di depannya.Mita berhenti sejenak, menatap Rita dengan tatapan yang begitu dalam hingga membuat wanita muda itu gemetar. “Bukankah kau sendiri bilang tidak menginginkan bayi itu? Berikan dia padaku... akan aku bantu kau menyingkirkan bayi itu!” suara parau itu terdengar seperti gema di telinga Rita, penuh ancaman dan kegilaan.“Tidak! Kau gila! Lepaskan aku!” Rita berteriak histeris, mencoba melawan, tetapi cengkeraman Mita semakin kuat. Dengan paksa, Mita menyeret Rita hingga ke depan pagar ru
Sesampainya di rumah Udin, suasana terasa semakin mencekam. Rumah itu kecil dan suram, penerangannya hanya berasal dari lampu minyak yang menyala redup di atas meja kayu usang. Di sudut ruangan, seorang pria tua berjanggut putih yang dikenal sebagai Mbah Kanjim sedang duduk bersila di atas tikar. Wajahnya serius, seolah tahu ada hal buruk yang dibawa ketiga orang itu.Udin, Rita, dan Amin masuk dengan napas terengah-engah. Tanpa basa-basi, Udin membuka pembicaraan. "Mbah, kami butuh bantuan. Ini soal rumah kontrakan itu... dan Mbak Mita," ujarnya tergagap sambil melirik Rita yang wajahnya sudah pucat pasi.Rita akhirnya angkat bicara, suaranya gemetar. "Mbah... saya... saya rasa ada yang nggak beres. Bayi di kandungan Mita... saya yakin bayi itu sudah..." Ia berhenti, menelan ludah dengan susah payah, lalu melanjutkan, "sudah tidak ada. Saya rasa... bayi itu jadi tumbal sesuatu di rumah itu. Saya juga melihat arwah wanita bernama Mita."Ucapan Rita membuat Udin dan Amin membelalak nge
Mbah Kanjim menghela napas panjang, tubuhnya sedikit bergoyang saat sukmanya berhasil kembali ke raga. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menunjukkan betapa berat perjalanan di alam gaib tadi. Rita, Udin, dan Amin yang sejak tadi gelisah menunggu, langsung mendekat dengan wajah penuh tanya.“Bagaimana, Mbah? Apa Mita selamat?” desak Rita dengan suara cemas. "Apa kau berhasil membawanya pulang seperti kau membawaku dulu? Bagaimana keadaanya?" Rita terus memberondong pria tua itu dengan pertanyaan.“Apa Dyah akan muncul, Kek?” Udin menambahkan, matanya melirik penuh ketakutan ke arah pintu, seolah Dyah bisa tiba kapan saja. "Aku takut."Mbah Kanjim mengangkat tangan, meminta mereka diam. Ia mengambil napas panjang, lalu berkata dengan suara berat, “Maaf, aku tidak bisa menyelamatkannya.”Ucapan itu membuat suasana ruangan seketika tegang. Angin dingin yang entah dari mana mulai merayap masuk, menusuk kulit mereka.“Tidak bisa, Mbah? Kenapa?!” tanya Amin, suaranya setengah berbisik,
"Gak usah wedi, Nduk." Sosok itu terus melambaikan tangan ke arahnya, membuat Anis ingin menangis."Saya Mbah Sur, yang punya rumah ini." Pria itu menunjuk ke arah rumah Lukman. "Saya ini bapaknya Lukman. Seharusnya saya bisa pergi dengan tenang, tapi Dewi malah mengambil susuk milikku dan menanamkannya dalam tubuhnya."Anis tercekat, tapi ia mengusahakan langkahnya untuk mendekat."Ojo wedi. Saya sudah tobat di detik akhir sebelum mati," Mbah Sur mencoba meyakinkan Anis. "Saya butuh bantuanmu, supaya bisa mengikuti Lilis. Mbah berharap setelah kamu tahu jalan ceritanya, kamu bisa membantu melepas susuk dari Dewi. Mbah ingin pergi dengan tenang."Anis mengangguk. "Ba-gai-mana sa-ya bisa membantu?" tanyanya dengan terbata."Kau cukup ikuti. Setelah kembali ke alam sadarmu, cari saja keberadaan Dewi. Aku juga sudah menitipkan sesuatu kepadamu, bawa ke orang yang mengerti.""Aku tidak paham.""Lakukan saja, nanti kau juga aka
Anis dan Hendra akhirnya memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah Lukman. "Uti, ikut!" Cakra mulai merengek. Melihat Cakra yang sudah mengulurkan tangan, Rasya segera bertindak menggendong bocah tiga tahun itu. "Kamu di rumah saja, main sama ayah.""Gak mau, mau ikut Uti." Cakra mulai merengek. "Sudahlah biarkan saja dia ikut." Anis yang tidak tega bersiap hendak mengambil alih Cakra. Namun Rasya lebih sigap menepisnya. "Biar saja, Bu. Justru kalau Cakra ikut aku malah khawatir."Anis mengangguk mengerti. Ia segera bergegas masuk ke mobil yang akan membawanya ke desa Plaosan, tempat tinggal Lukman. ---Mobil yang dikemudikan Hendra menyusuri jalan berliku menuju desa Sidomulyo. Sawah-sawah hijau membentang di kiri-kanan, diselingi pohon kelapa yang melambai pelan. Udara segar menyapa, membuat hati serasa nyaman."Kok lewat jalan sini, Yah?" pertanyaan Anis memecah keheningan sepanjang perjalanan. "Aku tadi cek jalan lewat GPS, ternyata ada jalan yang dekat menuju desa Lukman." Ta
Kartika memandang wajah Kirana dengan penuh haru. "Kau... Cantika anakku?" Ucapnya sambil menahan isak. Kartika mengelus lembut pipi Kirana, sentuhan itu benar mengingatkannya akan putri Cantika yang sudah tiada. “Aku anak yang dilindungi Ibu, nenek melindungiku dari mati dan Dyah.”Degggg!Jantung Kartika seakan berhenti bersetak sejenak. Bagaimana bocah yang ya perkirakan berusia satu setengah tahun kurang, itu bisa berbicara dengan sangat lancar."Jangan menangis Bu ...." Kirana mengusap air mata yang keluar dari dua netra Kartika. "Aku senang bisa beltemu Ibu lagi." Kirana tersenyum. Saat Rasya memanggil Kartika, seketika Kirana kembali bertingkah seperti bocah biasa. Rasya baru saja menut
Anis kaget saat netranya melihat ada sesajen di bawah ranjang. Namun, karena tak mau terlibat terlalu jauh, ia bergegas menutup pintu dan kembali bergabung dengan Sulis.Tak lama kemudian, Hendra dan para pelayat kembali ke rumah duka. Wajah mereka terlihat lelah, dengan pakaian berdebu oleh tanah makam. Aroma dupa masih tercium di udara, menyatu dengan suasana sendu di dalam rumah. Semua duduk diam, menyisip teh hangat dalam hening yang mencekam.Hendra mendatangi Anis, menggeser duduk dan memangku Sandra."Yah, kok langsung memangku Sandra? Harusnya mandi dulu atau cuci muka lah paling tidak, habis dari pemakaman juga." Anis langsung mengambil alih Sandra kembali. "Nanti kalau Sandra 'sawan' bagaimana?""Aku sudah mandi kok, di rumah pak RT. Tadi orang-orang juga mandi di sana. Eh, tadi banyak tetangga yang ngamuk sama Dewi, lho."Ucapan Hendra mengundang rasa ingin tahu Anis. Keningnya mengkerut penuh rasa penasaran. Mengetahui
Seminggu setelah kematian Lukman, Anis sudah melupakan mengenai keadaan Lilis. Ia mulai beraktifitas seperti biasa, memasak, bermain dengan cucu dan aktifitas lain. Suatu pagi, Anis yang sedang bermain dengan dua cucu kesayangannya di ruang tamu, tersentak ketika ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup WhatsApp "Konco Lawas" muncul.Dengan santai, ia membuka pesan itu, namun wajahnya langsung berubah pucat. "Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bu Lilis telah berpulang. Semoga amal ibadahnya diterima." Anis membaca pesan itu berkali-kali, memastikan tidak salah baca. "Lilis meninggal?" gumamnya pelan, dengan penuh keterkejutan. Pikirannya berputar, teringat tatapan kosong Lilis yang terus mengarah ke langit-langit kemarin. "Ya Allah...." Anis memegang dadanya yang terasa sesak. Jari-jarinya gemetar saat mencoba mengetik balasan, tapi tak satu kata pun berhasil ia kirimkan. Wajah Lilis terus terbayang di benaknya."Kenapa kok pas 7 harian Lukman meninggal ya." Ani
"Pak, apa kita akan ikut mereka takziyah. Sementara, kita kan bawa Cakra dan Sandra," bisik Anis pada sang suami. "Lha mau bagaimana, Bu, mereka juga mengajak cucunya bukan? Kita ikut bentar saja, biar bagaimanapun Lukman sudah berjasa membantu Kartika sampai sembuh," bisik Hendra.Anis tampak ragu mendengar ucapan suaminya, tapi melihat antusiasme teman-teman yang lain yang juga mengajak cucu, ia jadi tak punya alasan menolak. Akhirnya keduanya sepakat ikut rombongan. Mobil yang ditumpangi Hendra dan Anis melaju di jalan beraspal yang membelah hamparan sawah hijau di kiri-kanan. Dari dalam mobil, terlihat petani dengan caping di bawah terik matahari sedang memanen. Langit siang cerah, awan putih berarak lembut, melukis langit yang indah.Pepohonan rindang melambai ditiup angin, memberikan kesan teduh meski matahari bersinar terik. Sesekali, motor atau sepeda melintas, menambah suasana desa yang tenang. Di kejauhan, terlihat bukit-bukit kecil seperti melindungi desa. Anis memandang
"Kenapa Kartika tiba-tiba pingsan?" Anis mulai panik. "Cepat bawa masuk!"Melihat tubuh Kartika yang limbung, Rasya panik. Ia bergegas menggendong tubuh sang istri dan membaringkannya di atas kasur. Anis yang tak kalah khawatir, buru-buru mengambil minyak kayu putih dari meja. "Cepat ambil air, Rasya!" perintah Anis dengan nada cemas.Rasya berlari ke dapur, membawa segelas air dingin, sementara Anis mengusap pelipis Kartika dengan minyak kayu putih. Setelah beberapa saat, Kartika perlahan membuka mata. "Kartika, kamu kenapa?!" tanya Rasya, suaranya penuh kekhawatiran.Wajah Kartika pucat, matanya berkaca-kaca. "Aku juga tidak tahu, Mas," gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya bergetar saat mencoba meraih tangan Rasya, tubuhnya masih terlihat lemah. Tak lama Hendra dan Cakra masuk. Melihat Cassandra, ekspresi Hendra bingung. Berbeda dengan Cakra, bocah itu tanpa aba-aba langsung menggandeng tangan Cassandra dan mengajaknya bermain. "Itu anak Lisa," celetuk Anis, seperti mengetahui
"Mas, bangun!" Candra membuka mata dan mendapati dua pria berseragam tengah mengguncang pundaknya. "Di mana saya?" tanyanya."Mas ada di rumah perbaikan diri. Ayo masuk, kita bicara di dalam, saya lihat, Mas ini tampak sedang tidak baik-baik saja." Polisi muda itu bersiap membantu Candra untuk berdiri. Namun belum sempat berdiri, Candra tiba-tiba menangis pilu. "Saya pembunuh!" teriaknya. "Saya sudah membunuh istri saya ...." Candra mulai histeris, tubuhnya bergetar hebat. Dua polisi itu saling pandang heran. Lalu kembali mengalihkan pandangan kepada Candra sambil berkata, "silahkan buat keterangan dulu di dalam."---Pagi harinya, Desa Lisa kembali gempar saat mobil polisi melintasi jalan utama, membawa Candra dengan wajah yang penuh penyesalan. Warga berkerumun di sekitar rumah kayu milik Lisa, berbisik-bisik dengan nada takut dan penasaran. Kartika dan Rasya yang bersiap pulang terhenti di tengah jalan, menatap pemandangan itu dengan ngeri. Di gendongannya, Cassandra merengek pela
"Apa maksudmu? Jadi benar Mas Candra yang membunuhmu?" ucap Kartika dengan nada gemetar tak percaya. "Ta-pi ... ke-napa?" Kartika terdiam, tubuhnya bergetar hebat. Kata-kata Lisa seperti palu yang menghantam pikirannya. “Candra membunuhku,” ucap Lisa tanpa ragu. Mata Kartika membelalak, penuh ketidakpercayaan. “Tidak mungkin!” desisnya, suaranya nyaris lenyap. Namun, sorot dingin Lisa tak terbantahkan. Rasa takut menyelimuti Kartika, nafasnya memburu. Sorot mata penuh dendam itu, membuat bulu kuduk Kartika meremang. Tenggorokannya tercekat dan tubuhnya kaku seakan tak bisa bergerak. "Candra membunuhku Kartika! Aku ingin mendapat keadilan atas kematianku! Bantu aku Kartika ... temukan Candra!" Suara Lisa diiringi dengan Isak tangisnya bergema di keheningan malam. “Keadilan...,” bisiknya pelan, membuat siapa pun yang mendengar merasakan hawa dingin menusuk tulang. "Candra harus bertanggung jawab dan anakku ...." Lisa tak melanjutkan ucapannya, ia terus menangis. "Anakku, dia tidak me