Setelah berhasil keluar dari rumah angker itu, semua tampak kelelahan dan trauma. Kartika menatap Mbah Kanjim yang membawa kendi di tangannya. "Apa itu Mbah?" “Ini.…” Mbah Kanjim mengangkat kendi itu di hadapan Kartika. “Aku sudah membawa serta Lasmini keluar. Dia tidak lagi terperangkap di dalam rumah warisan bapakmu.”Kartika menarik napas lega, meskipun wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran. “Syukurlah. Apa aku masih bisa berkomunikasi dengan Ibuku?"“Untuk sementara masih belum,” jawab Mbah Kanjim sambil mengetuk pelan kendi itu. “Untuk sementara waktu, dia akan berada di dalam kendi ini sampai aku bisa memastikan dia tidak akan membahayakan.”Astutik, yang sejak tadi duduk termenung, langsung berdiri ketika Pak Arif menghampirinya dengan wajah murka. “Bu, bagaimana ini? Kami sudah membayar mahal untuk rumah itu, tapi ternyata malah seperti neraka! Ada demit di sana! Kembalikan uang saya!”Astutik menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Pak, saya benar-benar tidak puny
Siang itu, di pos ronda, Amin sedang duduk santai sambil menyeruput teh hangat ketika sepasang suami-istri datang menghampirinya."Permisi, Mas," ujar wanita muda itu sambil tersenyum tipis. "Saya Mita, dan ini suami saya, Sigit. Maaf, apa saya boleh tahu alamat rumah ini?" Ia mengeluarkan foto rumah tua berwarna pudar sedikit pudar Amin memandang foto itu sejenak. “Oh, ini rumah almarhum pak Gatot, letaknya ada di ujung jalan sana. Tapi…”Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, pria yang dipanggil Sigit memotong dengan nada tegas, “Tidak perlu tapi-tapian. Bisa tunjukkan jalannya?”Amin merasa ragu, tapi akhirnya ia mengarahkan mereka ke lokasi rumah. “Ikuti jalan ini, nanti rumah itu ada di ujung, Pak.”Mita dan Sigit mengangguk, lalu melangkah pergi. Amin tetap di pos ronda, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, rasa takutnya membuatnya bungkam.Sesampainya di depan rumah itu, Mita menatap bangunan dengan rumput liar yang mulai meninggi, itu dengan pandangan aneh.“Jadi
Mita terbangun dalam kegelapan yang pekat. Segala suara mendadak lenyap, hanya keheningan yang menyesakkan dadanya. Kakinya gemetar, dan tubuhnya terasa berat seolah ditarik ke tanah. Napasnya tersengal-sengal saat matanya tertuju pada sosok mengerikan yang berdiri di depannya. Bayangan itu tinggi, dengan rambut hitam panjang yang menutupi sebagian wajahnya, dan mata merah menyala yang menusuk jiwanya."Si... siapa kau?" Mita tergagap, suaranya serak penuh ketakutan.Sosok itu tertawa pelan, tawa yang semakin lama semakin menyeramkan. "Kau ingin tahu siapa aku?" desisnya. Suaranya seperti bisikan angin yang menusuk telinga. "Aku adalah Dyah. Dan kau, wanita bodoh yang telah masuk ke dalam perangkapku. Hihihihihihi."Mita mundur beberapa langkah, lututnya hampir tak mampu menahan tubuhnya. "Aku tak paham... aku hanya ingin menyewa rumah ini... tolong, lepaskan aku!"Dyah bergerak mendekat, membuat udara di sekitar Mita semakin dingin. "Setelah sekian lama menunggu, akhirnya aku akan bi
Sosok Mita melangkah keluar rumah dengan tekad bulat. Tujuannya satu: pabrik tempat Dyah pernah bekerja. Ia tahu, untuk melanjutkan misi balas dendam Dyah, ia harus menemukan Alfian. Saat tiba di pabrik, suasana sibuk langsung menyambutnya. Buruh-buruh bekerja dengan wajah penuh peluh, mesin-mesin berderu tanpa henti. Namun, Mita tetap melangkah percaya diri, memancarkan aura misterius yang menarik perhatian.Sampai di pos keamanan, seorang satpam menghentikannya. "Mbak, ada perlu apa ke sini? Kalau bukan karyawan, nggak boleh masuk sembarangan."Mita tersenyum manis, suaranya lembut tetapi tegas. “Saya sepupu jauh Alfian. Saya hanya ingin mencari tahu kabarnya. Apakah mungkin saya bisa bicara dengan seseorang yang tahu tentang dia?”Satpam itu terdiam sejenak, matanya menyipit curiga. Namun senyum Mita yang menawan membuatnya mengendurkan sikap. “Tunggu sebentar. Saya panggilkan kepala HRD. Mungkin dia bisa membantu.”Tak lama, seorang pria paruh baya muncul. Kepala HRD pabrik yang t
Siska tergeletak tak sadarkan diri di lantai teras rumahnya. Keributan itu mengundang anak-anaknya keluar menuju teras. Tangisan bayi menggema, memecah keheningan. Anak sulungnya, Ardi, tersentak saat baru keluar pintu, matanya membelalak melihat tubuh ibunya yang terkulai lemas. “Ibu! Bangun, Bu!” teriaknya panik, mengguncang-guncang tubuh Siska. "Kenapa, Bu?"Adiknya yang lebih kecil ikut keluar, wajahnya pucat, lalu mulai menangis. “Kak, kenapa Ibu? Ibu kenapa?” tanyanya, suara lirih penuh ketakutan.Namun tangisan itu hanya memicu lebih banyak kegaduhan. Bayi di gendongan Ardi menangis lebih keras, jeritannya menggema hingga keluar rumah, menarik perhatian para tetangga.Mita, atau lebih tepatnya Dyah yang bersemayam dalam tubuhnya, berdiri mematung. Wajahnya tampak pucat, matanya bergerak liar, menimbang-nimbang langkah selanjutnya. “Jika Mita mati.…” gumamnya sambil melirik tubuh Siska. “Aku bisa saja kehilangan kesempatan ini. Kalau para warga mengeroyokku dan Mita mati, aku ak
Sepanjang perjalanan menuju arah kembali, Mita dan Rita berjalan beriringan. Awalnya, percakapan mereka ringan, sebatas basa-basi. Namun, Mita terus memancing Rita untuk bercerita lebih lanjut mengenai bayi dalam kandungannya. Sebab terakhir ia melihat Rita, tidak tampak tanda kalau gadis itu tengah hamil. Dengan kelihaiannya, Rita akhirnya terpancing. Pancingan Mita menunjukkan hasilnya. Dengan senyuman ramah dan nada suara yang penuh perhatian, Mita berhasil membuat Rita merasa nyaman.“Jadi, benar kamu sedang hamil?” tanya Mita, seolah membaca tubuh Rita yang sedikit berbeda. "Berapa bulan?" Sosok Dyah mulai merintah mencium aroma darah bayi dari perut Rita yang sedikit membuncit.Rita, yang awalnya terkejut,
Mita menggenggam tangan Rita dengan kuat, menyeretnya ke depan dengan tatapan yang semakin gelap. Rita mencoba melepaskan cengkeraman itu, tetapi tenaga Mita begitu kuat.“Aku menginginkan jabang bayi dalam perutmu!” suara Mita berubah serak, hampir seperti bukan manusia.Rita tersentak. “Apa maksudmu? Kau... kau tidak waras!” jeritnya dengan napas tersengal. Ia mulai menyadari ada sesuatu yang tidak wajar pada sosok di depannya.Mita berhenti sejenak, menatap Rita dengan tatapan yang begitu dalam hingga membuat wanita muda itu gemetar. “Bukankah kau sendiri bilang tidak menginginkan bayi itu? Berikan dia padaku... akan aku bantu kau menyingkirkan bayi itu!” suara parau itu terdengar seperti gema di telinga Rita, penuh ancaman dan kegilaan.“Tidak! Kau gila! Lepaskan aku!” Rita berteriak histeris, mencoba melawan, tetapi cengkeraman Mita semakin kuat. Dengan paksa, Mita menyeret Rita hingga ke depan pagar ru
Sesampainya di rumah Udin, suasana terasa semakin mencekam. Rumah itu kecil dan suram, penerangannya hanya berasal dari lampu minyak yang menyala redup di atas meja kayu usang. Di sudut ruangan, seorang pria tua berjanggut putih yang dikenal sebagai Mbah Kanjim sedang duduk bersila di atas tikar. Wajahnya serius, seolah tahu ada hal buruk yang dibawa ketiga orang itu.Udin, Rita, dan Amin masuk dengan napas terengah-engah. Tanpa basa-basi, Udin membuka pembicaraan. "Mbah, kami butuh bantuan. Ini soal rumah kontrakan itu... dan Mbak Mita," ujarnya tergagap sambil melirik Rita yang wajahnya sudah pucat pasi.Rita akhirnya angkat bicara, suaranya gemetar. "Mbah... saya... saya rasa ada yang nggak beres. Bayi di kandungan Mita... saya yakin bayi itu sudah..." Ia berhenti, menelan ludah dengan susah payah, lalu melanjutkan, "sudah tidak ada. Saya rasa... bayi itu jadi tumbal sesuatu di rumah itu. Saya juga melihat arwah wanita bernama Mita."Ucapan Rita membuat Udin dan Amin membelalak nge
"Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek
Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis
Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se
Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink
Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi
Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada
Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara
"Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata