Beranda / Horor / Rumah Angker Warisan Bapak / Bab 50. Ibuku Sayang, Ibuku Malang

Share

Bab 50. Ibuku Sayang, Ibuku Malang

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-20 07:57:29

Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya.

"Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.

Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?"

"Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.

A
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 51. Keluarga Hendra

    Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 52. Ibu Dan Anak

    "Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 53. Tangisan Ibu

    "Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartik

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 1: Kembali ke Rumah Lama

    Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat, namun hari ini tampaknya semua akan berubah."Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. Sorot matanya dingin dan tegas, jauh dari sikap menantu yang sopan.Anis mengangguk perlahan, bersiap menghadapi apa yang akan datang. "Apa yang ingin kau bicarakan, Lisa?" tanyanya, suaranya tetap lembut meski ada nada tertahan di dalamnya.Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin mas Rasya dan aku menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kehadiran Ibu di sini mengganggu. Aku butuh privasi, dan aku merasa kita tidak bisa hidup bersama seperti ini."Anis terdiam, menatap Lisa dengan tatapan tajam namun penuh perasaan. "Menggan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 2 : Peringatan Warga

    Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur gelisah di atas ranjang kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang pundak sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, kata-katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tubuhnya tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. "Ternyata mimpi," gumamnya lirih, "tapi rasanya seperti nyata." Ia mencoba mengatur napasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. "Mungkin kau lelah," ucapnya, berusaha menenangkan. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. "Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan," lanjutnya sambil bangkit berdiri, menyiratkan niatnya untuk menyelesaikan beberapa urusan desa.Namun, sebelum Hendra melangkah lebih

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 3 : Malam Pertama Di Rumah Suwung

    Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 4 : Suara Malam Yang Menghantui

    Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 5 : Putra Yang Datang

    Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 53. Tangisan Ibu

    "Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartik

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 52. Ibu Dan Anak

    "Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 51. Keluarga Hendra

    Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 50. Ibuku Sayang, Ibuku Malang

    Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya."Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?""Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.A

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 49. Beralih Kepemilikan

    Kartika mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Dengan wajah datar, ia akhirnya mengiyakan permintaan Wulan. Namun, ketika Wulan dengan nada tinggi meminta agar proses pengalihan nama dipercepat, Kartika merasa seperti dilempar ke jurang ketidakadilan.“Aku akan memanggil notaris,” ujar Wulan sambil beranjak, ia keluar pintu dan kembali dengan dua orang pria memakai kemeja hitam, yang sepertinya baru saja selesai mengikuti pengajian di rumah mereka. “Kita langsung urus sekarang, supaya tidak ada lagi alasan kalian untuk datang," ucap Wulan, "dan satu hal lagi ... aku tidak takut dengan segala cerita ‘angker’ yang kalian karang tentang rumah itu! Bilang saja kalau Kau butuh uang jadi menghubungi ibuku kembali."Kata-kata Wulan yang tajam menusuk hati Kartika. Sementara Hendra hanya menatap dengan dingin dan menahan kesal.“Kami angkat tangan jika terjadi sesuatu di rumah warisan bapak Kartika, nanti,” ucap Hendra dengan nada tegas.“Itu rumah milikku sekarang!” balas Wulan deng

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 48. Perdebatan Panas

    Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 47. Solusi Hendra (Part 2)

    Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 46. Pertarungan Dua Dunia: Lasmini vs Dyah

    Hawa dingin semakin menusuk, membuat semua orang di ruangan itu seperti membeku. Sosok Dyah yang penuh dendam melayang di udara, matanya merah menyala. Namun, dari tubuh Anis, sosok lain perlahan muncul. Tubuh Anis terguncang hebat, hingga akhirnya bayangan seperti kabut putih keluar dan berdiri kokoh di hadapan Dyah. Itu adalah Lasmini, sosok gaib yang selama ini bersemayam dalam diri Anis."jadi kau Lasmini?" Hendra terperengah sama seperti Kartika yang takjub dengan kecantikan sang ibu.Lasmini mengangguk tersenyum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan kepada Dyah, yang hampir saja berhasil membuat Anis beralih dunia."Dyah, aku sudah memperingatkanmu," suara Lasmini menggema, tegas dan penuh wibawa. "Pergi dari sini, atau kau akan binasa!"Dyah tertawa sinis, suaranya parau dan menggema di seluruh ruangan. "Kau pikir aku takut padamu, Lasmini? Aku tidak akan pergi! Karena aku tidak bisa pergi! Rumah ini seakan mengurungku! Maka dari itu, sekalian saja aku jadikan milikku!" Sosok

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 45. Sssst... Jangan Ganggu!

    Kartika berdiri terpaku. Bayang-bayang sosok perempuan semakin jelas di depannya. Dyah. Wajahnya yang pucat dengan mata cekung dan rambut panjang kusut terlihat menyeramkan di antara kegelapan. Hawa dingin seketika menusuk kulit Kartika, membuat tubuhnya menggigil."Hihihi... Kartika," suara lirih itu terdengar lagi, kini lebih dekat. "Lama kita tidak berjumpa..."Kartika menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. Ia memeluk Cakra lebih erat, berusaha meredam tangis bayinya yang mulai mereda namun masih tersendat-sendat. "Tidak.., tidak.., Mbak Dyah kenapa Kau masih ada di rumah warisan bapakku? Apa maumu?" tanyanya dengan suara bergetar.Sosok Dyah tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya ke arah Kartika. "Aku tidak bisa pergi Kartika.., jiwaku masih tertahan. Aku baru bisa pergi kalau keluargaku mengembalikan rumah ini padamu atau ada yang melunasi hutangku!" Sosok Dyah menyeringai, menampakan giginya yang runcing tajam, bola matanya menonjol keluar, menyisakan urat dan darah. "Bayi i

DMCA.com Protection Status