“Cepat jalan!”. Seorang penjaga dengan pisau di tanganya mendorong kami untuk berjalan berjejer ke depan.
Hari ini adalah jadwal penjualan, kami sebagai budak akan berjejer rapi di tengah pasar. Menjajalkan diri kami mulai dari peringkat tertinggi hingga terendah. Seperti biasa siren menempati peringkat pertama dalam urutan di The Strary. Bukan berarti mereka menempati peringkat pertama di dunia ini, hanya saja tempat penjual belian ini belum cukup hebat untuk menculik peringkat satu dunia yaitu Roh. Aku pernah mendengar mereka pernah hampir menghancurkan satu desa, ketika mencoba mencuri seorang anak roh. Padahal yang mereka coba curi adalah roh hutan, roh terendah diantara roh lainya.
Aku melirik ke sebelah kiriku, six berada jauh dariku. Ada dua orang yang menjadi penghalang di antara kami.
“Tadi kau bilang ingin keluar dari sini? Kau yakin kau bisa melakukanya?. Atau jangan bilang kau ingin keluar dalam keadaan tak bernyawa?”. Aku berusaha memancing emosinya, aku harus memastikan apakah kita bisa menjadi tim yang bagus. Dari 5 anak disini, tidak ada satupun yang memiliki semangat untuk kabur. Mereka terlalu takut dengan para penjaga dan bully an anak anak dengan peringkat lebih tinggi. Dan aku tentu saja tidak ingin membuang waktuku untuk hal yang tidak berguna.
“Tentu saja dalam keadaan hidup! Aku tidak akan mati semudah itu”
“Oke”. Aku menepukkan kedua tanganku. Mungkin anak ini bisa membantuku keluar dari sini.
“Aku akan membantumu bertahan hidup”. Senyum manis terulas di wajahku.
Seorang pelanggan berjalan mendekatiku, wajahnya melihatku jijik. Dia menutup hidungnya rapat rapat.
“Hei.. kenapa kau jual barang tak layak seperti ini?”. Werewolf itu menunjuk ke arahku. Aku menunduk. Bajuku dipenuhi dengan kotoran, bahkan aku juga menempelkan beberapa kotoran itu ke rambutku. Dan wajahku sengaja kupukul dengan nampan makan yang terbuat dari besi, sehingga wajahku kini tertutupi dengan lebam di sana sini.
Seorang penjaga tergopoh gopoh mendekat, memastikan apa yang terjadi. Matanya terbelalak.
“Kau tahu aku punya indra penciuman yang kuat, kau sengaja ingin membunuhku?”. Hardiknya
“Maafkan kami atas pemandangan yang buruk ini, saya akan segera menariknya mundur”. Penjaga itu berkali kali menundukkan wajahnya, meminta maaf.
Dengan kasar ia menarik tali yang mengikat tanganku dan membawaku kembali ke kereta. Tamparan keras mengarah ke wajahku yang lebam.
“Ini sudah kesekian kalinya, kau membuat ulah. Berhenti merepotkanku!”. Dia menarik rambutku dan menghempaskanku ke dalam. Aku mengaduh pelan.
“Maafkan aku tuan, aku tidak akan mengulanginya lagi”. Aku meringkuk didepanya, memohon ampun.
Beast besar itu menarik rambutku lagi. “Three, jika kau berulah lagi. aku akan benar benar membunuhmu”
Aku mengangguk patuh. Debuman keras terdengar ketika penjaga itu menutup pintu kereta.
“Ah… akhirnya selesai juga”. Aku meregangkan tanganku kedepan. Cara ini selalu berhasil berapa kalipun aku melakukanya. Hal terpenting yang tidak boleh terluka adalah wajah, itu adalah peraturan tertulis yang harus dipatuhi siapapun. Bahkan penjaga sel sekalipun. Bayangkan saja siapa pelanggan diluar sana yang rela mengeluarkan uangnya hanya untuk budak jelek dengan luka lebam sepertiku? Hanya orang gila saja yang akan melakukanya.
Aku menyenderkan badanku ke dinding kereta. Walaupun aku sudah sering melakukanya tetap saja terasa sakit. Bagaimanapun juga aku makhluk hidup. Aku menyentuh ujung bibirku yang berdarah, penjaga itu memukulku sepenuh hati. Tentu saja ia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memukul wajah gadis yang selama ini membuat masalah.
BRAK.. tidak lama kemudian pintu kereta kembali terbuka. Beast besar dengan badan singa itu menyeret six.
“Sampah seperti kalian lebih baik diam disini!, dan kau three!”
Aku menunduk, berusaha menghindari pandanganya.
“Apa yang kau ajarkan pada anak baru ini? seingatku kemarin aku menemukan anak ras manusia yang tampan bukan si buruk rupa sepertinya”.
“Maafkan aku tuan”. Kataku lirih, memangnya apalagi yang bisa ku katakan?.
“Ini, kau urus anak ini”. Penjaga itu melemparkan six ke arahku.
BRAK..Pintu kereta kembali tertutup dengan kencang.
“Hei, menyingkirlah dariku. Kau berat”. Ucapku berbisik sambil mendorong six menjauh
“Apa apaan itu?”. Dia memandangku dengan tatapan aneh. “Kau seperti rubah”
Aku tertawa pelan. “Terimakasih atas pujianya”
“Tapi sungguh, wajahku benar benar sakit. Dia menamparku begitu melihat ke arahku”. Six memegang wajahnya. Darah mengalir dari wajahnya yang terluka.
“Itu salahmu, kau membuatnya murka. Lagian aku sudah menyuruhmu untuk memukul dengan nampan bukan mengoresnya dengan serpihan batu. Kau tahu luka dari goresan bisa membekas dari pada memar”
“Tunggu aku masih belum paham dengan semua ini. Kenapa kita harus sulit sulit keluar dari sana?, bukankah jika seseorang membeli kita, kita akan keluar dari sini dan menjadi budak?”
Aku menatapnya kagum, sepertinya dia di besarkan dilingkungan dengan tingkat positif yang tinggi.
“Kau tidak pernah berburuk sangka dengan orang lain ya?, bahkan kau mau mengikuti perintahku”
“Lalu apa maumu? Hanya kau satu satunya yang bisa diajak bicara di sana”. Six mendengus sebal.
Aku menyisir rambutku dengan tangan, membersihkan sisa sisa kotoran yang tadinya tertempel. “Well…Kita akan dimakan”.
Refleks Six yang tadinya sibuk dengan wajahnya menoleh ke arahku. “Apa maksudmu?”
Aku tertawa mengejek. “Kau pikir mengapa The Strary mau mencuri ras manusia jika hanya laku dijual sebagai budak hah?? Tentu saja kita di jual ke mereka yang membutuhkan daging segar”
“Kenapa? Kau mau menyerah?”. Tanyaku ke arahnya.
Six terlalu shock untuk menjawab pertanyaanku.
“Kau tahu di dunia ini tidak ada peraturan yang melarang kanibalisme. Lalu,apa yang kau harapkan?”
Hening, kami tenggelam dalam pikiran kami masing masing. Entah apa yang dipikirkannya, aku tidak ingin memikirkan kemungkinan terburuk.
Darah mengalir dari balik bajuku. Bercak merah membekas di beberapa sisi. Punggungku terasa panas. Sebuah cambuk besar, berkali kali dipukulkan ke arahku. Entah berapa lama aku berada di posisi ini, begitu kereta berhenti seorang penjaga langsung menggeretku keluar. Dan disinilah aku sekarang. Kami biasa menyebutnya dengan ruang kedisiplinan. Tempat dimana kau akan mendapatkan hukuman atas perbuatanmu, tidak hanya itu saja. Kadang kami juga menjadi pelampiasan kemarahan para penjaga.Tubuhku di penuhi luka. Aku berusaha mengantupkan mulutku kuat kuat. Jemariku aku kaitkan satu sama lain, untuk menguatkanku menahan sakit.“Jawab aku Three!”. Sebuah bentakan menyadarkanku. Aku terdiam,apa yang tadi dibicarakanya?. Aku terlalu fokus dengan rasa sakit dipunggungku. Mataku mengerjap, berpikir secepat mungkin, kata apa yang harus aku katakan.“Maafkan aku tuan, aku tidak akan mengulanginya lagi”Aw.. aku mendesis. Sebuah cambukan kasar,
“Ingat perkataanku Six. Jangan pernah percaya pada siapapun disini, anggaplah mereka musuh!”Kali ini, aku sedang menjelaskan beberapa peraturan dan hal hal yang harus di mengerti Six. Sebenarnya peraturan yang dibuat The Strary cukup sederhana hanya saja, peraturan kehidupanya yang sulit. Aku jadi teringat, sebelum jadwal penjualan kemarin, six sempat mendapatkan tato ditanganya untuk pertama kalinya. Dan seperti milikku, tatto ditanganya juga memiliki angka zero. Aku juga menjelaskan fungsi dari tatto tersebut kepadanya.“Apa itu juga termasuk dirimu?”. Six memandangku.Aku menelan ludah, benar juga perkataanya. Aku juga termasuk notabene siapapun disini.“Itu terserah padamu, kau bisa percaya denganku atau tidak itu semua terserah padamu. Aku tak akan memaksa, tapi satu hal yang perlu kau tahu aku berusaha mempercayaimu disini” kataku."Hmm..." gumam Six panjang.Perlahanku tundukkan kepalaku, bermain d
“Maafkan ya, Three kadang terlalu panik untuk hal kecil” kata Six sambil tertawa kecil. “Bukankah ia merepotkan” ucap Four ketus. “Tidak juga, ia malah terlihat lucu” Four menatap Six dengan tatapan tak percaya, “Bagian dari mana yang lucu? Ia mengikutimu ke sana kemari, mengajakmu bicara dengan wajahnya yang menyebalkan itu. Aku tak tahan denganya, bukankah ia lebih terlihat menjijikan?” Six tersenyum, namun matanya menunjukkan kemarahan. “Kau banyak bicara ya ternyata, sebaiknya kau menutup mulutmu dan berhenti bicara buruk tentangnya” Four mendengus, “Pantas saja kau dekat denganya, ternyata kau sama gilanya dengan gadis itu” “Hahaha terimakasih atas pujianya” kata Six sambil tertawa lebar. Pintu besar yang terbuat dari besi kini berada tepat didepan mereka. Setelah pintu yang terhubung dengan aula tadi, Six dan Four masih harus berjalan melewati lorong yang cukup panjang. Fungsi lorong ini untuk menyimpan berbagai keperluan
Aku berdiri terpaku di tempatku. Semalam aku tak bisa menemani Six seharian, terlalu beresiko. Jika para penjaga sampai tahu aku tak berada di dalam sel kamarku, dan menemukanku dalam sel milik Six. Bisa bisa mereka menyadari kondisi Six yang sedang terluka parah dan lagi mereka bisa saja menendang salah satu dari kami ke dalam sel yang saling berjauhan. Wajah Six terlihat buruk, nafasnya terdengar berat. Harapanku atas obat oles kemarin hancur seketika, ia tak membaik sama sekali. Ku tekuk lututku dan berjongkok tepat di sebelahnya. Panas, dahinya sangat panas. Aku menarik tanganku, apa yang harus ku lakukan?. Aku tak pernah mengalami hal seperti ini, kehidupanku yang keras sudah membuatku kebal akan luka. Iya, aku masih tetap merasakan sakit, tapi aku masih bisa menahanya, dan tubuhku juga tak membuat reaksi berlebihan. “Ibu” Six mengigau pelan. Dari mata yang masih terpejam itu terdapat setetes air yang berhasil mengalir dari matanya. Kuusap air matanya de
“Ah….” Desahku panjang sambil memijat pelan bahuku. Tak kusangka aku harus membersihkan aula besar itu sendirian dalam waktu singkat, bagaimana tidak? Yang bertugas untuk membersihkan aula hari ini adalah para Goblin. Dan ya.. seperti yang kalian tahu mereka meninggalkanku begitu melihatku mulai menyapu. Aku masih ingat bagaimana tawa kencang mereka yang mengiraku membantu mereka secara sukarela. Padahal alasan kenapa aula ini sangat kotor juga karena diriku. Dan lagi, ketika aku hendak membantu para werewolf menata aula, mereka memberikan tatapan tajam dan merendahkan ke arahku. Rasanya ingin ku teriakkan tepat di wajah mereka kalau aku sendiri juga tak mau berdampingan dengan mereka. Jika bukan karena hukuman dari penjaga The Strary, aku juga tak mau bersuka rela membantu mereka mengerjakan tugas. Alhasil aku tak melakukan apapun, begitu aku bergerak sejengkal saja, mereka sudah menjauh berlangkah langkah, dari pada aku malah menghambat pekerjaan mereka. Bukankah lebih baik aku du
Aku mengintip tubuh Six dari kejauhan, sejauh ini tak ada tanda tanda aneh dari dirinya. Ia juga belum membuka matanya sedari tadi. Aku tak tahu bagaimana suhu tubuhnya, tapi dari tarikan nafasnya yang terdengar normal sepertinya ia baik baik saja, ku harap begitu. Aku masih waspada padanya, siapa tahu ia benar benar vampir yang sedang bersembunyi. Matanya yang masih menutup membuatku tak bisa membuktikan jati diri Six, Ku harap semalam hanyalah mimpi belaka.Tapi kenyataan terus terusan berusaha menghancurkan harapanku. Kini aku berdiri didepan sel dengan angka 4 diatasnya. Aku menarik nafas panjang, ada tugas penting yang harus aku lakukan sekarang.“ Baiklah mari berkerja!” seruku bersemangat. Aku menarik tubuh Four keluar dari basecamp Zero. Dengan tubuhku yang kecil aku tak bisa membawa Four di bahuku ataupun menggendongnya di punggungku. Dengan sangat terpaksa aku harus menyeretya dengan kain dan membawanya melewati lorong yang menghubungkan dengan au
“Jadi jelaskan padaku, siapa dirimu sebenarnya!” kataku to the point. Aku bukan tipe gadis yang akan berpura pura tidak tahu dan bertingkah seperti tidak ada yang terjadi.Six menatapku dengan bingung, “Apa maksudmu?”“Nggak perlu berpura pura padaku. Aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku” kataku menyelidik.“Aku benar benar nggak tahu apa yang kau maksud Three. Aku baru saja bangun dari tidur panjang dan itu hal pertama yang ingin kau tanyakan padaku?. Kau juga, dari mana saja kau tadi?”. Kini giliran Six yang menanyaiku dengan nada yang tinggi.Aku menyerngitkan dahi, “Kenapa jadi kau yang marah denganku?”“Kau duluan yang menanyaiku dengan pertanyaan aneh, siapa yang nggak sebel dengan pertanyaan ambigu saat pertama bangun?. Padahal aku berharap kau menanyakan keadaanku, bukanya pertanyaan tidak masuk akal yang tak tahu dari mana asalnya itu”“Ini bu
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertengkaranku dengan Six terjadi. Kami benar benar memutus hubungan satu sama lain dan bertingkah saling tak kenal. Bahkan ketika kami berpapasan, mata kami tak bertemu. Walaupun kami sudah bukan teman lagi, entah mengapa mataku selalu mengekor kemanapun Six pergi. Seperti induk ayam yang kehilangan anaknya, aku selalu merasa khawatir ketika Six belum kembali setelah bertugas, ataupun ketika ia mengaduh saat menggerakkan tanganya. Untuk kematian Four aku sudah mengurusnya dengan baik, para penjaga tak terlalu peduli dengan kami, aku tak perlu membuat alasan yang panjang dan penjaga itu sudah mengganguk mengiyakan. Dan benar saja, kini nama Four telah tercoret di papan tugas. Untuk saat ini ruangan miliknya masih sepi pengunjung, sepertinya The Strary belum membutuhkan tambahan babu untuk bertugas setiap harinya. Aku berjalan membawa nampan makanku, jam makan sore. Mungkin ini terdengar asing, tapi memang itu sebutan yang ku
Aku mengerjapkan mataku, ah… bosannya hanya berdiam diri seperti ini. Jika ku hitung dari pergantian cahaya malam dan siang dari celah kecil di ruangan ini, sepertinya ini sudah 3 hari sejak kepergianku dari pusat penjualan. Kabar baiknya aku masih hidup dan sangat sehat, bagaimana tidak, Ai memenuhi semua kebutuhan ku. Bahkan lebih dari bagaimana The Strary memperlakukan ku dulu. Lama kelamaan aku merasa seperti hewan ternak dalam program penggemukan. Selama ini juga aku berusaha menggali informasi tentang tempat ini dan juga tentang tuan yang membeliku. Dan untuk kabar buruknya, aku masih terperangkap disini. Ai hanya melepaskan rantai leherku saat aku hendak pergi ke kamar mandi, selain itu gadis kecil dengan manik kuning itu tak melepaskannya. Dan lagi, ia selalu memonitoriku 24/7 setiap saatnya.“Ai…” panggilku kepada gadis itu.Ai hanya menoleh sebentar lalu kembali dengan kesibukannya membuat sebuah boneka dari jerami.“Ai&
‘Apa aku sudah mati?’ ucapku dalam hati, perlahan aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku. Aman, tubuhku masih tersambung dengan baik. Rupanya para penjaga The Strary memberikanku obat tidur, padahal selama proses pembelian aku diam dan tak melakukan sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya mereka masih merasa khawatir jika aku memiliki rencana lain.“Pstt… hei kau yang disana.” Sebuah suara berbisik ke arahku. Aku terdiam kaku, menimbang nimbang apakah lebih baik aku membuka mataku atau berpura pura tidur saja terus.Klotak.. sebuah kepingan krikil mendarat tepat di wajahku. Aku mengaduh pelan, dengan terpaksa ku buka mataku. Cahaya yang tiba tiba masuk itu membuat mataku menyipit silau.‘Dimana ini?’ batinku, aku memedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruangan berukuran 3 x 4 itu dipenuhi dengan jerami, sisanya kosong. Tak ada barang – barang yang mencurigakan, sejauh ini aman. Atapnya yang memiliki sedikit celah
Aku berdiri menghadap nampan makanku sekali lagi, memastikan apakah aku siap untuk menghadapi medan perang dihadapanku. Hari ini adalah jadwal penjualan tak terasa 6 bulan sudah berlalu dan kini kami dihadapkan dengan hari yang paling mendebarkan dalam setahun. Dan untuk rencana pertemananku dengan Lexa, jangan ditanya lagi, semua tak berjalan mulus. Ketika aku sudah hendak membuka sedikit hatiku untuknya, ia malah mati matian menyimpan Six untuk dirinya sendiri. Sedangkan lelaki itu selalu memaklumi perilaku manja dari sang gadis.“Apa kau siap?” tanya seorang lelaki dengan mata coklat dan rambut hitam legam diambang pintuku. Aku mengangguk siap.“Tentu” jawabku pendek.Wajahku kini sudah dipenuhi lebam, seperti biasa aku selalu berusaha tampil seburuk mungkin di hari penjualan.Tak butuh waktu lama kereta yang mengangkut para budak The Strary berhenti, kami digiring menuju pusat jual beli seperti biasanya. Menjajalk
Aku membuka mataku perlahan, sinar matahari dari celah dinding menerangi ruangan. Kreek.. Suara pintu besi terdengar dari sebrang. Six terlihat sedang berjalan perlahan meninggalkan kamarnya.Aku menaikkan sebelah alisku, “Mau kemana kau?”“AH!” Six melonjak kaget.“Apa? Tingkahmu seperti maling yang ketahuan ingin mencuri saja”. Aku mengubah posisiku menjadi duduk, ini lebih baik.“Hm, itu..”. Six berusaha memutar otaknya, mencari alasan yang cukup untuk meyakinkanku.Aku mencium bau bau mencurigakan darinya, “Tak apa katakan saja kemana kau akan pergi” kataku dengan nada sebaik mungkin.“Mm.. itu.. sepertinya seorang penjaga sel memanggilku tadi, jadi, aku pergi dulu ya”“Oh, sepertinya” kataku dengan nada sinis sambil berjalan mendekati ambang pintu.Aku melirik jam dinding yang berada di tengah basecamp.“Memangnya ada orang yang akan memanggilmu sepagi ini?”Six menggaruk tengkuknya yang tak gatal, keringat dingin mengalir dari tu
“Jadi, apa yang kau lakukan disini?” tanyaku. Setelah puas tertawa karena kejadian yang tak terduga itu, kini aku dan Six berjalan beriringan menuju basecamp. Akhir akhir ini ras manusia kekurangan orang. Pertama karena posisi Four kosong dan yang kedua karena laki laki disampingku ini dengan menyebalkanya terbebas dari tugas, sehingga kami, budak yang tersisa harus menutupi pekerjaan mereka sebisa mungkin. Jika hal ini terus berlanjut sepertinya salah satu dari kami akan berakhir di mulut Karberos, mati karena kelelahan. Six memalingkan wajahnya, “Hm, hanya kebetulan lewat itu saja” Aku memincingkan mata jahil, “Bilang saja kau mencariku” “Siapa yang mencarimu! Kebetulan saja kita bertemu dilorong tadi, kau terlalu percaya diri” Aku tertawa puas, “Apa apaan itu, kau berbohong dengan sangat buruk! Kemana kau akan pergi melewati tempat itu hah? Aula? Atau jangan jangan.. kau diam diam ingin pergi mengunjungi kamar para penjaga se
“Six… Six!!” “Apa?” kata Six kesal. “Kenapa kau mengacuhkanku lagi?” kata Lexa sambil menggembungkan mulutnya. “Sudahlah, bukan hal penting. Lagipula kenapa kau masih mengikutiku?” Lexa mengayun ayunkan tanganya, “Hm, kenapa ya?.. aku juga tak tahu” “Kalau bukan bersamamu, siapa lagi yang bisa ku ajak bermain?” sambungnya. Six menghela nafas panjang, “Kau tak lihat ada banyak orang yang ingin mendekatimu? Mereka selalu saja memandang kearahmu dimanapun kau pergi” Lexa tersenyum palsu, “Hahaha, sepertinya aku kurang memperhatikan. Oh ya, kita mau pergi kemana?” Seketika Six menghentikan langkahnya. “Kenapa berhenti?” tanya Lexa sambil memiringkan wajahnya. “Kau bahkan tak tahu kemana aku akan pergi. Ah, sudahlah. Berdebat denganmu hanya akan menghabiskan waktuku” kata Six sambil Kembali melangkahkan kakinya. Kedekatan Lexa dengan Six benar benar mengubah segalanya. Anak emas seperti Lexa akan mend
“Ibu, jangan pergi!” ucap seorang anak sambil menggengam pergelangan tangan kanan ibunya erat. “Dengarkan ibu, Rayn!. Kau tak boleh keluar dari tempat ini apapun yang terjadi!” kata seorang ibu sambil memegangi Pundak anaknya. “Tidak! Aku ikut denganmu” rengek seorang anak kecil dengan matanya yang mulai berair. “Rayn, dengarkan ibu!” tegas sang ibu, wajahnya terlihat putus asa. “Berjanjilah padaku, apapun yang terjadi jangan tinggalkan tempat ini!” Anak laki laki itu menggeleng cepat, “Aku ikut denganmu!” DOK..DOK..DOK suara pintu yang dipukul terdengar lebih keras. Kini rumah kayu yang berada di pinggir pedesaan telah di kelilingi oleh warga dengan obor api ditanganya. “Nyonya Chelsea!, cepat keluar sebelum kami mendobrak rumahmu!” Teriak kepala desa marah. Chelsea menoleh sebentar ke ambang pintu, memastikan bahwa pintunya masih kuat menahan amukan warga desa. Genggaman Rayn semakin kuat, “Huhuhu…jangan pergi
Lexa bersenandung senang, perbincangan singkat dengan Three membuatnya Bahagia. Ia medapatkan izin untuk memiliki Six, itu yang ia tangkap dari percakapan mereka tadi, Kini taka da seorang pun yang akan menghalangi kisah cintanya.Kreek, perlahan Lexa membuka pintu kaca dengan angka 1 diatasnya. Sebagai satu satunya gadis siren di basecamp siren, Lexa memiliki ruanganya sendiri, lengkap dengan berbagai kebutuhan yang memadai.“Dari mana saja kau?”Suara berat itu sontak membuat mood Lexa yang awalnya baik memburuk.“Apa yang kau lakukan disini, tuan?” katanya sinis, pintu yang semula ingin ia tutup kini Kembali terbuka lebar.Seorang werewolf dengan tubuh besarnya duduk dengan elegan diatas Kasur, seperti tak ada yang salah dengan kehadiranya.“Sudah ku bilang jangan panggil aku dengan sebutan itu saat kita sedang berdua, apa kau lupa akan hal itu lexa sayang” kata pria itu sambil mengulurkan tang
Retak, seperti kaca yang sudah hancur berkeping keping tak ada satupun dari kami yang berusaha memperbaiki pecahan kecil yang mulai melebar ini. Setiap kali kami berpapasan bukanya niat untuk bermaanfat yang muncul melainkan wajah terluka. Aku dan Six sama sama merasa di khianati. Aku memandang ke arah barak api yang menyala di dapur, hari ini aku bertugas memotong kayu bakar dan mempertahankan api agar selalu menyala. Ku dekatkan wajahku ke arah api. Rasanya panas, cukup untuk menghangatkan tubuhku yang terasa dingin.Tak terasa tanggal penjualan sudah semakin dekat, aku Kembali memasukkan beberapa kayu ke dalam perapian. Merenung, jika seperti ini bagaimana Six akan menghadapi tanggal penjualan sendirian?. Dengan cepat ku gelengkan kepalaku, aku sudah cukup mengajarinya tentu saja ia bisa bertahan sendirian, ini bukan berarti aku harus selalu ada disisinya, sekarang ia sudah memiliki gadis siren itu tak ada yang perlu ku khawatirkan, kataku memantapkan hati.