Aku berdiri terpaku di tempatku. Semalam aku tak bisa menemani Six seharian, terlalu beresiko. Jika para penjaga sampai tahu aku tak berada di dalam sel kamarku, dan menemukanku dalam sel milik Six. Bisa bisa mereka menyadari kondisi Six yang sedang terluka parah dan lagi mereka bisa saja menendang salah satu dari kami ke dalam sel yang saling berjauhan.
Wajah Six terlihat buruk, nafasnya terdengar berat. Harapanku atas obat oles kemarin hancur seketika, ia tak membaik sama sekali. Ku tekuk lututku dan berjongkok tepat di sebelahnya. Panas, dahinya sangat panas. Aku menarik tanganku, apa yang harus ku lakukan?. Aku tak pernah mengalami hal seperti ini, kehidupanku yang keras sudah membuatku kebal akan luka. Iya, aku masih tetap merasakan sakit, tapi aku masih bisa menahanya, dan tubuhku juga tak membuat reaksi berlebihan.
“Ibu” Six mengigau pelan. Dari mata yang masih terpejam itu terdapat setetes air yang berhasil mengalir dari matanya.
Kuusap air matanya dengan jariku. Ia pasti merindukan rumahnya, tak sepertiku yang tak pernah melihat wajah orang tua kandungku. Melihat dari sikapnya Six pasti tumbuh dengan siraman kasih sayang setiap harinya. Sret.. tiba tiba Six menggenggam tanganku erat. Alisnya masih berkerut, wajahnya terlihat sangat kesakitan. Tetesan air mata masih mengalir pelan dari matanya.
“Ibu, jangan pergi” ucapnya terisak.
Aku menatapnya kaget. Ku kira ia sudah bangun saat menggenggam tanganku, separah itukah dampak dari lukanya? Atau ini karena Six tak terbiasa terluka?
Ku usap kepala Six dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku masih digenggamnya dengan erat. “Tenang saja aku tak akan kemana mana” kataku lembut. Seketika wajah Six yang tadinya berkerut berubah menjadi lebih lunak.
Melihat Six yang mulai tenang, ku buka kain yang menutupi lukanya perlahan. Oh, sepertinya obat oles tersebut sedikit berfungsi, darah dari luka miliknya sudah berhenti. Tak ada pembusukan dan nanah dari lukanya. Memang sedikit membengkak, tapi ini sudah termasuk kabar baik. Panas dari tubuhnya sepertinya adalah bentuk pertahanan tubuh. Tubuh miliknya juga sedang berjuang untuk menyembuhkan luka besar yang menganga di bahu dan lenganya.
Ku lirik jam yang menggantung di tengah basecamp dari sela sela jeruji. Waktuku tak banyak sebentar lagi aku harus pergi bertugas, perlahan ku lepaskan genggaman tangan Six dan menaruhnya di atas tubuhnya. Aku berdiri di tempat, menggamati Six lagi sebelum memutuskan pergi bertugas. Six terlihat kedinginan, padahal suhu tubuhnya sedang panas. Hm… jadi apa yang harus ku lakukan?. Aha! … aku beri kain basah saja di kepalanya untuk mengurangi panas dan ku berikan selimut untuk mengurangi dinginya. Aku memang pintar, pujiku pada diri sendiri. Selain itu, dengan begini, para penjaga tak akan menyadari kondisi Six yang memburuk.
Dengan cepat aku berlari mengambil semua yang aku butuhkan, untung saja aku memiliki banyak kain. Aku menatap puas, semoga saja panas tubuh Six segera turun.
Tepat setelah aku menyelesaikan semuanya dan berjalan keluar sel dapat ku lihat dari kejauhan seorang beast penjaga berjalan ke arah basecamp Zero. Ia memandang lurus ke depan dengan tatapan yang tak lepas dariku. Sontak ku tengok kembali jam yang menggantung di dinding. Sekarang masih jam 6.50 masih ada 10 menit sebelum waktu pengerjaan tugas. Apa yang membuatnya terlihat marah padaku? Apa ini karena aku keluar dari sel milik Six? Gawat, jika sampai ia tahu Six sakit, semuanya akan berantakan.
Sebelum ia menghampiriku, lebih baik aku menghampirinya terlebih dahulu. Ku langkahkan kakiku mendekati pintu utama basecamp. Jantungku berdengup kencang, jujur aku takut. Apapun alasanya, hal buruk pasti akan terjadi padaku.
Plak… benar saja, begitu jarak antara penjaga dan diriku menjadi dekat. Sebuah tamparan melayang ke arahku. Aku meringis menahan sakit, wajahku belum sembuh sepenuhnya dari kejadian di jadwal penjualan. Penjaga didepanku dengan sengaja memanfaatkan lukaku untuk menutupi tamparan yang baru saja ia berikan.
“Ikuti aku Three” katanya sambil memalingkan wajahnya dariku.
Aku menunduk patuh, “Baik tuan”
***
Aku sudah hafal betul dengan jalan yang kini kami lewati sekarang. Bagaimana tidak, aku sudah seperti pelanggan setia ruang disiplin. Dalam seminggu aku bisa masuk ke dalam ruangan tersebut berkali kali, dan yang paling aku herankan, kenapa mereka masih mau menyimpan pembuat onar sepertiku yang kerjaanya hanya membuat rusuh mereka.
Kreek… pintu di depanku terbuka perlahan. Aku mengekor mengikuti penjaga The Strary, masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan bau amis darah.
Beast penjaga duduk bersila di salah satu kursi kayu yang terdapat di dalam ruangan, sedangkan aku berdiri kaku tepat di dekat pintu. Begitu masuk ruangan aku tak berani melangkah lebih jauh. Penjaga didepanku sudah mengeluarkan aura tak bersahabat, membuatnya jengkel sedikit saja bisa mengakibatkan masalah besar.
“Jadi, apa kau tahu apa yang membuatmu harus berhadapan denganku sekarang?” tanyanya dengan nada sinis.
Aku menelan ludah, terlalu banyak kesalan yang sudah kubuat. Yang mana yang sebenarnya ia maksud?. Aku menutup mulutku rapat rapat. Jika aku salah menyebutkan kesalahan yang ia maksud, bisa bisa aku malah melaporkan kesalahanku yang lain secara langsung. Dan tentu saja itu akan membuat hukumanku berlipat. Aku tak punya banyak waktu sekarang, karena kondisi Six, aku harus menggantikanya dalam bertugas. Dengan kata lain, aku harus menyelesaikan dua pekerjaan dalam waktu yang singkat.
“Oh, jadi kau tak tahu letak kesalahanmu” sindirnya. “Apa kau merasa tak memiliki dosa sedikitpun?”
Aku menggeleng cepat, “Tentu saja saya memiliki banyak dosa yang harus di tebus tuan”
“Sebutkan salah satu dosamu, apa yang kira kira membuatku marah seperti ini”
Aku terdiam, tak biasanya para penjaga menghujaniku pertanyaan dalam keheningan seperti ini. Biasanya mereka menanyaiku sambil menghukumku secara langsung, tak peduli alasan dan perkataan yang ku berikan mereka akan tetap menghukumku. Kenapa kali ini berbeda?
Ku gelengkan kepalaku. Aku tak bisa menjawab pertanyaanya, apapun konsekuensinya, ini lebih baik dari pada aku membuka mulutku.
“Sudah kuduga, kau tak tahu letak kesalahanmu. Aku bahkan sampai hafal namamu, gadis yang selalu keluar masuk ruang disiplin” katanya sambil menghela nafas.
“Sudah cukup basa basinya, sekarang cepat berlutut dan rentangkan tanganmu ke depan!” bentaknya.
Dengan cepat aku menjatuhkan diriku. Tubuhku kini bertumpu pada lutut dengan tangan yang terlentang kedepan. Penjaga sel yang tadinya duduk di atas kursi sudah berpindah tempat mengambil alat yang akan digunakanya untuk menghukumku. Dalam hatiku yang terdalam aku bersyukur, ia akan menghukum tanganku dan bukanya punggungku. Lukaku akan cambukan kemarin masih terasa sakit, luka itu bisa terbuka kembali jika aku menerima hukuman di bagian yang sama.
Beast di depanku menggetuk ketukkan rotan panjang yang ia pegang. Dengan langkah besarnya ia berjalan ke arahku. Aku mengatupkan gigiku kuat. Rotan itu kini memukul kulit tanganku kuat, panas bercampur perih menjalar di atas kulitku yang putih. Aku masih tak punya ide hal apa yang dimaksud oleh sang penjaga.
5 pukulan sudah ku rasakan, Tapi ia masih saja menutup mulutnya tentang alasanya memanggilku ke sini. Sampai pukulan keberapa ia akan membuka mulutnya? Ini tak akan selesai sebelum aku meminta maaf, tapi bagaimana caraku meminta maaf ketika aku sendiri tak tahu alasanku di panggil. Yang ada penjaga itu akan menambah hukumanku karena sudah berbicara saat tak ditanya.
Aku kembali menghitung banyak pukulan yang kudapat. Tiba tiba hening, aku tak merasakan pukulan lagi ketika hitunganku telah mencapai angka 8. Bukankah itu terlalu sedikit? Tak biasanya mereka hanya menghukumku seperti ini. Saking kagetnya, tanpa sadar aku menganggkat kepalaku tanpa izin.
“Ada apa? Kau kaget? Mau ku hukum lebih banyak?”
Aku menggeleng cepat, ini sudah sangat cukup.
Entah apa alasanya tiba tiba penjaga didepanku mulai berceloteh. “Moodku sedang baik hari ini. Dan kau tahu, hari ini seharusnya menjadi hari yang sangat berbahagia, penghuni baru akan datang ke dalam The Strary ini. Tak seperti dirimu, ia memiliki derajat yang lebih tinggi tentu saja seperti yang kami lakukan biasanya. Akan ada perayaan di aula tengah. Tapi –“. Penjaga tersebut menggantung perkataanya dan mulai mengitariku sambil mengetuk ketukkan rotan di tanganya. “Yang ku dapati bukan aula yang bersih dan indah melainkan peralatan kebersihan yang berserakan dan noda kotor hitam yang tak tahu dari mana asalnya. Kira kira siapa yang harus di salahkan akan hal ini?” lanjutnya.
Benar juga, kemarin aku lupa melanjutkan pekerjaanku karena harus menemani Six. Otakku di penuhi dengan rasa khawatir kemarin, tugas sama sekali tak terbesit di kepalaku. Ah, tunggu… jika hanya aku yang di panggil karena melalaikan tugas itu berarti tak ada masalah dengan Kerberos. Kemarin ia tak makan apapun karena Four sudah kembali ke basecamp sedangkan Six sedang terkulai lemas di atas karpet kumuh milikku. Sepertinya darah yang berceceran sudah cukup untuk menjadi bukti Kerberos sudah makan. Untung saja, karena jika sampai mereka di panggil aku harus memikirkan siasat yang dapat membuat Six absen dari kehadiranya.
“Saya tuan” kataku pelan.
Sret.. sebuah rotan ter acung tepat didepan wajahku. “Bersihkan tempat itu sekarang juga. Kau juga berpartisipasi dalam menghias aula, jangan berani beraninya kabur dari hukuman ini”
“Baik tuan”
“Kau boleh pergi sebelum moodku menjadi buruk karena melihat tampangmu yang lusuh” kata penjaga tersebut sambil mengibaskan tanganya.
Aku berdiri, membalikkan badanku dan berjalan cepat menuju pintu keluar.
“Three!”
Seketika aku menghentikan pergerakanku, apa lagi yang diinginkanya?
“Dan jangan lupa tugasmu hari ini! aku tak ingin melihatmu lagi di ruangan ini!” bentaknya.
Aku mengangguk lagi. “Baik tuan”. Kata kata itu menjadi penutup pembicaraan kami. Kini tugasku sudah menumpuk seperti gunung. Aku tak tahu tugas apa yang Six dapatkan hari ini semoga saja aku sempat melakukanya.
“Ah….” Desahku panjang sambil memijat pelan bahuku. Tak kusangka aku harus membersihkan aula besar itu sendirian dalam waktu singkat, bagaimana tidak? Yang bertugas untuk membersihkan aula hari ini adalah para Goblin. Dan ya.. seperti yang kalian tahu mereka meninggalkanku begitu melihatku mulai menyapu. Aku masih ingat bagaimana tawa kencang mereka yang mengiraku membantu mereka secara sukarela. Padahal alasan kenapa aula ini sangat kotor juga karena diriku. Dan lagi, ketika aku hendak membantu para werewolf menata aula, mereka memberikan tatapan tajam dan merendahkan ke arahku. Rasanya ingin ku teriakkan tepat di wajah mereka kalau aku sendiri juga tak mau berdampingan dengan mereka. Jika bukan karena hukuman dari penjaga The Strary, aku juga tak mau bersuka rela membantu mereka mengerjakan tugas. Alhasil aku tak melakukan apapun, begitu aku bergerak sejengkal saja, mereka sudah menjauh berlangkah langkah, dari pada aku malah menghambat pekerjaan mereka. Bukankah lebih baik aku du
Aku mengintip tubuh Six dari kejauhan, sejauh ini tak ada tanda tanda aneh dari dirinya. Ia juga belum membuka matanya sedari tadi. Aku tak tahu bagaimana suhu tubuhnya, tapi dari tarikan nafasnya yang terdengar normal sepertinya ia baik baik saja, ku harap begitu. Aku masih waspada padanya, siapa tahu ia benar benar vampir yang sedang bersembunyi. Matanya yang masih menutup membuatku tak bisa membuktikan jati diri Six, Ku harap semalam hanyalah mimpi belaka.Tapi kenyataan terus terusan berusaha menghancurkan harapanku. Kini aku berdiri didepan sel dengan angka 4 diatasnya. Aku menarik nafas panjang, ada tugas penting yang harus aku lakukan sekarang.“ Baiklah mari berkerja!” seruku bersemangat. Aku menarik tubuh Four keluar dari basecamp Zero. Dengan tubuhku yang kecil aku tak bisa membawa Four di bahuku ataupun menggendongnya di punggungku. Dengan sangat terpaksa aku harus menyeretya dengan kain dan membawanya melewati lorong yang menghubungkan dengan au
“Jadi jelaskan padaku, siapa dirimu sebenarnya!” kataku to the point. Aku bukan tipe gadis yang akan berpura pura tidak tahu dan bertingkah seperti tidak ada yang terjadi.Six menatapku dengan bingung, “Apa maksudmu?”“Nggak perlu berpura pura padaku. Aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku” kataku menyelidik.“Aku benar benar nggak tahu apa yang kau maksud Three. Aku baru saja bangun dari tidur panjang dan itu hal pertama yang ingin kau tanyakan padaku?. Kau juga, dari mana saja kau tadi?”. Kini giliran Six yang menanyaiku dengan nada yang tinggi.Aku menyerngitkan dahi, “Kenapa jadi kau yang marah denganku?”“Kau duluan yang menanyaiku dengan pertanyaan aneh, siapa yang nggak sebel dengan pertanyaan ambigu saat pertama bangun?. Padahal aku berharap kau menanyakan keadaanku, bukanya pertanyaan tidak masuk akal yang tak tahu dari mana asalnya itu”“Ini bu
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertengkaranku dengan Six terjadi. Kami benar benar memutus hubungan satu sama lain dan bertingkah saling tak kenal. Bahkan ketika kami berpapasan, mata kami tak bertemu. Walaupun kami sudah bukan teman lagi, entah mengapa mataku selalu mengekor kemanapun Six pergi. Seperti induk ayam yang kehilangan anaknya, aku selalu merasa khawatir ketika Six belum kembali setelah bertugas, ataupun ketika ia mengaduh saat menggerakkan tanganya. Untuk kematian Four aku sudah mengurusnya dengan baik, para penjaga tak terlalu peduli dengan kami, aku tak perlu membuat alasan yang panjang dan penjaga itu sudah mengganguk mengiyakan. Dan benar saja, kini nama Four telah tercoret di papan tugas. Untuk saat ini ruangan miliknya masih sepi pengunjung, sepertinya The Strary belum membutuhkan tambahan babu untuk bertugas setiap harinya. Aku berjalan membawa nampan makanku, jam makan sore. Mungkin ini terdengar asing, tapi memang itu sebutan yang ku
Aku menggerakkan sapu yang kini berada di genggamanku. Dengan berkurangnya personil basecamp Zero, pekerjaan yang harus kami lakukan otomatis bertambah. Biasanya aku hanya perlu melakukan satu tugas saja setiap harinya, tapi kini aku mendapatkan dua tugas dalam satu hari. Memang tak setiap hari, tapi ini cukup memakan habis tenagaku. “Haaah…” helaku panjang. Dengan tugas yang banyak dan memakan waktu lama, membuat pertemuanku dan Six semakin jarang. Aku bisa merasakan jarak yang semakin membesar diantara kami, seperti ada jurang dalam yang memisahkan antara kami, yang semakin lama kian membesar. Aku menggerakkan sapu lagi, membersihkan sela sela ruangan yang belum semuanya tersapu bersih. Lorong sepanjang ini harusku bersihkan sendirian dalam waktu yang singkat, belum lagi aku harus pergi membersihkan kamar milik para penjaga. Para penjaga itu terlalu malas untuk bahkan membersihkan kamar mereka sendiri, padahal tangan kami sudah penuh dengan tugas tugas lain yang le
Aku berjalan tertatih, pengelihatanku lama lama menjadi semakin buram. Seluruh tubuhku di penuhi luka, penjaga itu tak berhenti walaupun telah melihat luka dipungungku. Ia hanya tertawa dan mencari tempat lain yang bisa di jadikanya bantalan pemukul. Aku berhenti sejenak, mengistirahatkan tubuhku. Kesadaranku hampir hilang. Jika aku roboh disini, tak seorangpun akan menyelamatkanku, yang ada aku akan di bawa ke ruangan khusus tempat persediaan makan Kerberos. Nafasku terengah naik turun. Jarak basecamp Zero tak jauh lagi, tapi tenaga yang tersisa di tubuhku begitu tipis. Rasa sakit yang menghujami seluruh tubuhku membuat kesadaranku tergoyahkan. Tak seperti biasanya, luka kali ini terlalu banyak dan terlalu dalam. Aku bisa menahan jika mereka hanya mencambukku beberapa kali, tapi tidak seharian penuh seperti ini, dan tepat saat kesehataan mentalku sendang rendah. Aku kembali melangkahkan kakiku. Dan sebuah pemandangan sukses mengagetkanku. Gadis siren itu berdiri did
Mataku mengerjap perlahan, cahaya lampu yang remang menerangi sebagian wajahku. Six dan Lexa masih sibuk berdebat satu sama lain, entah apa yang sedang mereka bicarakan, aku tak begitu dapat mencerna semuanya. Ku gerakkan tubuhku perlahan, oh.. rupanya gadis siren itu langsung menyembuhkan lukaku begitu aku terjatuh tadi. Ditengah tengah perdebatan mereka, sekilas Six melihat ke arahku, memastikan keadaaan. “Kau sudah sadar!” seru Six senang. Lexa yang tadinya sedang fokus berdebat juga langsung menoleh ke arahku. “Kau tak apa? Bagaimana keadaanmu? Apakah masih ada yang sakit?” Six menghujaniku dengan pertanyaan bertubi tubi. Aku terdiam, rasanya risih. Entah karena Six yang tiba tiba berubah baik atau karena fakta aku sembuh berkat gadis itu. Manapun itu, tidak ada satupun pilihan yang akan membuatku lebih baik. Ku miringkan badanku membelakangi mereka, “Pergilah, aku ingin istirahat” “Ada apa? Apakah kau masih terluka
Retak, seperti kaca yang sudah hancur berkeping keping tak ada satupun dari kami yang berusaha memperbaiki pecahan kecil yang mulai melebar ini. Setiap kali kami berpapasan bukanya niat untuk bermaanfat yang muncul melainkan wajah terluka. Aku dan Six sama sama merasa di khianati. Aku memandang ke arah barak api yang menyala di dapur, hari ini aku bertugas memotong kayu bakar dan mempertahankan api agar selalu menyala. Ku dekatkan wajahku ke arah api. Rasanya panas, cukup untuk menghangatkan tubuhku yang terasa dingin.Tak terasa tanggal penjualan sudah semakin dekat, aku Kembali memasukkan beberapa kayu ke dalam perapian. Merenung, jika seperti ini bagaimana Six akan menghadapi tanggal penjualan sendirian?. Dengan cepat ku gelengkan kepalaku, aku sudah cukup mengajarinya tentu saja ia bisa bertahan sendirian, ini bukan berarti aku harus selalu ada disisinya, sekarang ia sudah memiliki gadis siren itu tak ada yang perlu ku khawatirkan, kataku memantapkan hati.
Aku mengerjapkan mataku, ah… bosannya hanya berdiam diri seperti ini. Jika ku hitung dari pergantian cahaya malam dan siang dari celah kecil di ruangan ini, sepertinya ini sudah 3 hari sejak kepergianku dari pusat penjualan. Kabar baiknya aku masih hidup dan sangat sehat, bagaimana tidak, Ai memenuhi semua kebutuhan ku. Bahkan lebih dari bagaimana The Strary memperlakukan ku dulu. Lama kelamaan aku merasa seperti hewan ternak dalam program penggemukan. Selama ini juga aku berusaha menggali informasi tentang tempat ini dan juga tentang tuan yang membeliku. Dan untuk kabar buruknya, aku masih terperangkap disini. Ai hanya melepaskan rantai leherku saat aku hendak pergi ke kamar mandi, selain itu gadis kecil dengan manik kuning itu tak melepaskannya. Dan lagi, ia selalu memonitoriku 24/7 setiap saatnya.“Ai…” panggilku kepada gadis itu.Ai hanya menoleh sebentar lalu kembali dengan kesibukannya membuat sebuah boneka dari jerami.“Ai&
‘Apa aku sudah mati?’ ucapku dalam hati, perlahan aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku. Aman, tubuhku masih tersambung dengan baik. Rupanya para penjaga The Strary memberikanku obat tidur, padahal selama proses pembelian aku diam dan tak melakukan sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya mereka masih merasa khawatir jika aku memiliki rencana lain.“Pstt… hei kau yang disana.” Sebuah suara berbisik ke arahku. Aku terdiam kaku, menimbang nimbang apakah lebih baik aku membuka mataku atau berpura pura tidur saja terus.Klotak.. sebuah kepingan krikil mendarat tepat di wajahku. Aku mengaduh pelan, dengan terpaksa ku buka mataku. Cahaya yang tiba tiba masuk itu membuat mataku menyipit silau.‘Dimana ini?’ batinku, aku memedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruangan berukuran 3 x 4 itu dipenuhi dengan jerami, sisanya kosong. Tak ada barang – barang yang mencurigakan, sejauh ini aman. Atapnya yang memiliki sedikit celah
Aku berdiri menghadap nampan makanku sekali lagi, memastikan apakah aku siap untuk menghadapi medan perang dihadapanku. Hari ini adalah jadwal penjualan tak terasa 6 bulan sudah berlalu dan kini kami dihadapkan dengan hari yang paling mendebarkan dalam setahun. Dan untuk rencana pertemananku dengan Lexa, jangan ditanya lagi, semua tak berjalan mulus. Ketika aku sudah hendak membuka sedikit hatiku untuknya, ia malah mati matian menyimpan Six untuk dirinya sendiri. Sedangkan lelaki itu selalu memaklumi perilaku manja dari sang gadis.“Apa kau siap?” tanya seorang lelaki dengan mata coklat dan rambut hitam legam diambang pintuku. Aku mengangguk siap.“Tentu” jawabku pendek.Wajahku kini sudah dipenuhi lebam, seperti biasa aku selalu berusaha tampil seburuk mungkin di hari penjualan.Tak butuh waktu lama kereta yang mengangkut para budak The Strary berhenti, kami digiring menuju pusat jual beli seperti biasanya. Menjajalk
Aku membuka mataku perlahan, sinar matahari dari celah dinding menerangi ruangan. Kreek.. Suara pintu besi terdengar dari sebrang. Six terlihat sedang berjalan perlahan meninggalkan kamarnya.Aku menaikkan sebelah alisku, “Mau kemana kau?”“AH!” Six melonjak kaget.“Apa? Tingkahmu seperti maling yang ketahuan ingin mencuri saja”. Aku mengubah posisiku menjadi duduk, ini lebih baik.“Hm, itu..”. Six berusaha memutar otaknya, mencari alasan yang cukup untuk meyakinkanku.Aku mencium bau bau mencurigakan darinya, “Tak apa katakan saja kemana kau akan pergi” kataku dengan nada sebaik mungkin.“Mm.. itu.. sepertinya seorang penjaga sel memanggilku tadi, jadi, aku pergi dulu ya”“Oh, sepertinya” kataku dengan nada sinis sambil berjalan mendekati ambang pintu.Aku melirik jam dinding yang berada di tengah basecamp.“Memangnya ada orang yang akan memanggilmu sepagi ini?”Six menggaruk tengkuknya yang tak gatal, keringat dingin mengalir dari tu
“Jadi, apa yang kau lakukan disini?” tanyaku. Setelah puas tertawa karena kejadian yang tak terduga itu, kini aku dan Six berjalan beriringan menuju basecamp. Akhir akhir ini ras manusia kekurangan orang. Pertama karena posisi Four kosong dan yang kedua karena laki laki disampingku ini dengan menyebalkanya terbebas dari tugas, sehingga kami, budak yang tersisa harus menutupi pekerjaan mereka sebisa mungkin. Jika hal ini terus berlanjut sepertinya salah satu dari kami akan berakhir di mulut Karberos, mati karena kelelahan. Six memalingkan wajahnya, “Hm, hanya kebetulan lewat itu saja” Aku memincingkan mata jahil, “Bilang saja kau mencariku” “Siapa yang mencarimu! Kebetulan saja kita bertemu dilorong tadi, kau terlalu percaya diri” Aku tertawa puas, “Apa apaan itu, kau berbohong dengan sangat buruk! Kemana kau akan pergi melewati tempat itu hah? Aula? Atau jangan jangan.. kau diam diam ingin pergi mengunjungi kamar para penjaga se
“Six… Six!!” “Apa?” kata Six kesal. “Kenapa kau mengacuhkanku lagi?” kata Lexa sambil menggembungkan mulutnya. “Sudahlah, bukan hal penting. Lagipula kenapa kau masih mengikutiku?” Lexa mengayun ayunkan tanganya, “Hm, kenapa ya?.. aku juga tak tahu” “Kalau bukan bersamamu, siapa lagi yang bisa ku ajak bermain?” sambungnya. Six menghela nafas panjang, “Kau tak lihat ada banyak orang yang ingin mendekatimu? Mereka selalu saja memandang kearahmu dimanapun kau pergi” Lexa tersenyum palsu, “Hahaha, sepertinya aku kurang memperhatikan. Oh ya, kita mau pergi kemana?” Seketika Six menghentikan langkahnya. “Kenapa berhenti?” tanya Lexa sambil memiringkan wajahnya. “Kau bahkan tak tahu kemana aku akan pergi. Ah, sudahlah. Berdebat denganmu hanya akan menghabiskan waktuku” kata Six sambil Kembali melangkahkan kakinya. Kedekatan Lexa dengan Six benar benar mengubah segalanya. Anak emas seperti Lexa akan mend
“Ibu, jangan pergi!” ucap seorang anak sambil menggengam pergelangan tangan kanan ibunya erat. “Dengarkan ibu, Rayn!. Kau tak boleh keluar dari tempat ini apapun yang terjadi!” kata seorang ibu sambil memegangi Pundak anaknya. “Tidak! Aku ikut denganmu” rengek seorang anak kecil dengan matanya yang mulai berair. “Rayn, dengarkan ibu!” tegas sang ibu, wajahnya terlihat putus asa. “Berjanjilah padaku, apapun yang terjadi jangan tinggalkan tempat ini!” Anak laki laki itu menggeleng cepat, “Aku ikut denganmu!” DOK..DOK..DOK suara pintu yang dipukul terdengar lebih keras. Kini rumah kayu yang berada di pinggir pedesaan telah di kelilingi oleh warga dengan obor api ditanganya. “Nyonya Chelsea!, cepat keluar sebelum kami mendobrak rumahmu!” Teriak kepala desa marah. Chelsea menoleh sebentar ke ambang pintu, memastikan bahwa pintunya masih kuat menahan amukan warga desa. Genggaman Rayn semakin kuat, “Huhuhu…jangan pergi
Lexa bersenandung senang, perbincangan singkat dengan Three membuatnya Bahagia. Ia medapatkan izin untuk memiliki Six, itu yang ia tangkap dari percakapan mereka tadi, Kini taka da seorang pun yang akan menghalangi kisah cintanya.Kreek, perlahan Lexa membuka pintu kaca dengan angka 1 diatasnya. Sebagai satu satunya gadis siren di basecamp siren, Lexa memiliki ruanganya sendiri, lengkap dengan berbagai kebutuhan yang memadai.“Dari mana saja kau?”Suara berat itu sontak membuat mood Lexa yang awalnya baik memburuk.“Apa yang kau lakukan disini, tuan?” katanya sinis, pintu yang semula ingin ia tutup kini Kembali terbuka lebar.Seorang werewolf dengan tubuh besarnya duduk dengan elegan diatas Kasur, seperti tak ada yang salah dengan kehadiranya.“Sudah ku bilang jangan panggil aku dengan sebutan itu saat kita sedang berdua, apa kau lupa akan hal itu lexa sayang” kata pria itu sambil mengulurkan tang
Retak, seperti kaca yang sudah hancur berkeping keping tak ada satupun dari kami yang berusaha memperbaiki pecahan kecil yang mulai melebar ini. Setiap kali kami berpapasan bukanya niat untuk bermaanfat yang muncul melainkan wajah terluka. Aku dan Six sama sama merasa di khianati. Aku memandang ke arah barak api yang menyala di dapur, hari ini aku bertugas memotong kayu bakar dan mempertahankan api agar selalu menyala. Ku dekatkan wajahku ke arah api. Rasanya panas, cukup untuk menghangatkan tubuhku yang terasa dingin.Tak terasa tanggal penjualan sudah semakin dekat, aku Kembali memasukkan beberapa kayu ke dalam perapian. Merenung, jika seperti ini bagaimana Six akan menghadapi tanggal penjualan sendirian?. Dengan cepat ku gelengkan kepalaku, aku sudah cukup mengajarinya tentu saja ia bisa bertahan sendirian, ini bukan berarti aku harus selalu ada disisinya, sekarang ia sudah memiliki gadis siren itu tak ada yang perlu ku khawatirkan, kataku memantapkan hati.