Rombongan Pengantin dari Alam Gaib
"Kenapa seserahannya harus malem, Neng?" tanya perias pengantin pada Nilam, gadis yang akan menikah hari ini. Gadis berumur 20 tahun itu sudah sangat cantik, menggunakan singer Sunda serta kebaya putih. Ronceng melati di sebelah kanan tergerai ke depan menutupi brokat sederhana, di mana baju itu warisan dari ibunya."Gak tahu, Teh. Permintaan dari keluarga A Aris. Lagipula, cuma ijab qabul, pestanya mah belakangan kalau urusan Aa di kota sudah selesai," jawab Nilam sambil terus mengulum senyum. Tidak masalah untuk Nilam menikah tanpa pesta, toh lebih cepat tentu lebih baik."Denger-denger teh, harusnya minggu depan, kan, ya, Neng Nilam nikahnya?""Iya, Teh. Cuma A Aris minta tanggal dimajukan. Beliau ada kerjaan di luar kota, jadi kalau udah nikah, Nilam bisa diajak juga. Ada yang ngurus Aa di sana." Wajah Nilam mulai memerah, ia tersipu malu membayangkan betapa indahnya mahligai rumah tangga yang akan dijalani bersama pria yang ia cintai.Teh Rita, wanita yang ditunjuk untuk jadi juru rias malam ini sibuk memasang jepit pada sanggul, tetapi sudah tiga kali jepit hitam yang lumayan tebal itu selalu saja patah. Dari beberapa pengalaman, kelancaran proses pernikahan tergantung pada proses riasnya. Meski hanya mitos, kadang selalu benar adanya."Bukannya pamali, ya, ngeganti waktu yang sudah ditentukan, Neng? Apalagi tanggal baiknya udah dihitung." Teh Rita mengajak Nilam untuk mengobrol kembali, meski tangannya masih aktif memperbaiki tatanan rambut."Ah, orang tua Nilam mah gak terpatok sama begituan, Teh. Semua waktu juga dianggap baik. Ibu udah pengen Nilam nikah, katanya keburu beliau tua." Sang pengantin terkekeh. Padahal, sudah ada dua kakaknya yang menikah, tetapi Bu Rosidah ingin segera melihat Nilam bersanding di pelaminan.Berjam-jam mereka mengobrol sembari melakukan kegiatan merias. Beberapa kali juga Teh Rita selalu mendapatkan keanehan. Bibir yang sudah merah merona, bisa kembali pucat. Ia harus memolesnya kembali dengan alasan agar terlihat lebih mencolok. Wanita itu tidak menerangkan apa yang ia alami, takut malah merusak mood pengantin yang sedang bagus.Bukan hanya itu, kebaya yang akan dipakai nilam tercium bau bunga-bungaan. Padahal, Nilam mengaku belum menyemprotkan parfume. Kebaya disimpan puluhan tahun, biasanya akan bau lemari atau kamper, mustahil sampai wangi seperti ini. Hal itu tidak Nilam pusingkan, ia berpikir detergen yang dipakai mencuci mungkin punya bau yang menyengat.Nilam melirik jam di dinding, di mana waktu sudah menunjukan pukul 22.00, sedangkan rombongan pihak pria belum juga datang. Tatanan rias yang dilakukan setelah Magrib, baru selesai di jam itu. Nilam sedikit tenang, setidaknya jika calon suaminya datang, ia sudah dalam keadaan cantik."Alhamdulillah sudah selesai. Sudah geulis (cantik). Tinggal nunggu kedatangan calon suaminya, Neng. Teteh jadi ikut degdegan." Teh Rita mencoba mencairkan suasana karena wajah Nilam terlihat sangat tegang.Si pengantin wanita tersenyum. Sebenarnya ia ingin melihat secantik apa riasannya, hanya saja adat di kampung melarang wanita berkaca sebelum sah jadi istri. Mitosnya, cahaya sebagai pengantin hilang. Tidak manglingi.Sementara itu di luar, Darsan dan Hasim yang bertugas menunggu rombongan pengantin di pinggir jalan terlihat kebingungan saat dari kegelapan terlihat rombongan membawa seserahan tengah berjalan kaki mendekati mereka. Keduanya saling melirik, Hasim sampai bertanya, "Kok, gak pake mobil, ya?""Iya, ya. Mungkin di parkir di jalan utama," jawab Darsan asal, meski tetap saja membingungkan karena dari jalan utama ke desa lumayan jauh, harus melewati perkebunan sayuran dan beberapa lahan kosong. Kawasan Desa Wangunsari memang bukan wilayah yang padat penduduk, malah masih dikelilingi area hutan bambu serta sungai di sebelah utara."Padahal mobil juga masuk ke sini." Hasim menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ah sudahlah, penting cepet selesai. Udah malem. Kang, bilang ke pihak wanita kalo rombongan teh udah datang. Biar aku yang nyambut mereka."Hasim hanya mengangguk. Cepat-cepat ia pergi untuk memberi kabar baik ini. Darsan langsung merapikan batiknya. Dari sorot sinar rembulan dan penerangan lampu bohlam yang sengaja dipasang di sekitar jalan, terlihat wajah-wajah datar mereka. Ada sekitar 10 orang, tetapi entah mengapa suasana begitu hening tanpa ada sepatah kata pun.Darsan langsung mengajak mereka bersalaman. Bisa pria itu rasakan sentuhan sedingin es dari tangan-tangan para tamu. Ia pun bertanya pada pria yang terlihat lumayan tua untuk memecah kesunyian, "Mobilnya disimpan di mana, Pak?" "Di sana," jawab pria itu sambil menunjuk jalanan yang gelap. Darsan hanya meng-oh-kan, lantas mempersilakan rombongan untuk memasuki rumah Nilam yang masih memiliki halaman dengan tanah kosong lumayan luas, terdapat satu pohon mangga di sana.***"Neng, sudah selesai? Rombongan sudah datang," ucap Bu Rosidah di balik pintu. Matanya bebinar melihat anak bungsunya sudah sangat cantik, ditambah bau bunga-bungaan begitu semerbak, membuat wanita berkebaya cokelat itu memuji Teh Rita dan mengucapkan banyak terima kasih.Sebelum membawa Nilam keluar, Bu Rosidah memeluk putrinya begitu erat. Tak terasa air matanya tiba-tiba menetes, seolah akan ada perpisahan di antara mereka. Apalagi Nilam bilang, besok pagi akan langsung ikut bersama suaminya karena 2 hari lagi, Aris resmi dinas di Jakarta—sementara Aris sendiri berasal dari Sukabumi."Jaga diri baik-baik, ya, Neng. Harus rajin kabari Ibu," ucap Bu Rosidah di sela isaknya.Nilam langsung melepas pelukan itu. "Ibu kayak mau ngelepas Nilam ke mana aja. Akadnya aja belum, Bu. Nanti aja melepas kangennya. Dandanan Nilam luntur gara-gara nangis," ucap Nilam dengan suara bergetar.Ibunya langsung menghapus air mata, ia pun mengangguk. Anak dan ibu itu lantas segera keluar dari kamar, berjalan saling berdampingan menuju ruang tengah di mana dua keluarga sudah berkumpul secara lesehan.Suasana di rumah tidak seperti di luar, ada sedikit suasana hangat dan canda tawa dari penghulu dan keluarga wanita yang memang tidak terlalu banyak. Sedangkan rombongan pria hanya menimpali dengan senyum sesekali.Akad pun dilaksanakan secara singkat, kata sah menggema dari kedua belah saksi. Semua tampak berjalan normal seperti biasa. Hanya saja, acara makan-makan harus ditunda setelah Aris berkata pada Nilam, "Kita harus pergi sekarang, Neng.""Loh, kenapa sekarang, A? Bukannya besok? Terus keluarga Aa teh harus makan dulu. Pasti lapar dari Sukabumi ke sini," jawab Nilam dengan wajah bingung."Iya, A. Kenapa Aa bawa Neng sekarang? Ibu teh udah nyiapin makanan." Ada getar tertahan dari suara Bu Rosidah."Saya harus pergi, Bu. Gak bisa lama-lama di sini." Hanya itu jawaban Aris.Sebagai seorang ibu, tentu ada penahanan. Namun, Pak Wahyu selaku bapak yang bijak berusaha menengahi. Beliau mengatakan kalau Nilam sudah sah menjadi istri, sudah sepatutnya mendengar perintah suami. Bagaimanapun pekerjaan Aris harus dimaklumi, apalagi hanya seorang karyawan di sebuah perusahaan, ada kendali seorang atasan yang wajib dilaksankan.Terjadilah perpisahan singkat. Bahkan, Nilam tidak diizinkan berganti pakaian, tetap dengan baju pengantinnya karena keluarga Aris berkilah diburu oleh waktu. Aris berjanji, secepatnya akan membawa kabar baik. Pria itu menahan ibu dan bapak Nilam untuk tidak mengantar sampai mobil. Awalnya Bu Rosidah tergugu, memeluk putrinya erat. Namun, seperti ada sesuatu dari diri Aris yang membuat pihak wanita mengangguk patuh.Kini Nilam berjalan berdampingan dengan suaminya, saling menggenggam tangan satu sama lain. Ada bahagia juga sedih yang menyelusup, tetapi Nilam yakin Aris pasti akan melakukan yang terbaik."Mobilnya di mana, Kang?" tanya Nilam setelah berjalan cukup jauh dari rumahnya. Aris hanya menunjuk ke area gelap di mana pohon bambu berjajar di sisi kanan dan kiri.Nilam mencoba memperjelas pandangannya. "Delman?" tanyanya sedikit kaget karena melihat dua kereta kuda berhiaskan kain hijau dan emas. Aris pun mengangguk.Setelah sampai, Nilam mulai naik dengan sebelah tangan berpegangan pada tangan Aris. Kedua delman pun melaju, memecah kegelapan serta kesunyian di antara lolongan anjing dan bau melati yang menyeruak.Sementara itu, dering telepon dari ponsel Nilam yang tertinggal terus saja berbunyi. Teh Rita yang sedang beberes peralatan rias pun melihat panggilan tersebut. Ada sekitar 10 kali panggilan yang belum terjawab. Karena suasana di luar sedang sedih, terpaksa ia mengangkat panggilan itu. "Assalamualaikum.""Waalaikumsallam. Nilam, ini Teteh Ayu, sodaranya Aris, Neng. Maaf, Teteh harus menyampaikan berita duka."Perasaan Teh Rita mulai tidak enak. Dengan ragu-ragu ia jawab, "Ke-kenapa Teh?""Rombongan seserahan mengalami kecelakaan sekitar Magrib di tol." Suara itu dibarengi dengan isak tangis yang menyayat hati, sementara Teh Rita menutup mulutnya tak percaya.Langit kian pekat, ditemani lolongan anjing serta cuitan para binatang malam. Desau angin menciptakan suasana hening di Desa Mekarwangi. Cahaya bulan purnama seakan mengundang pasang-pasang tak kasat mata untuk memperhatikan laju delman yang menyelusup dalam kabut malam di antara rindangnya pepohonan. Nilam masih belum menyadari apa-apa. Tangannya diselipkan pada lengan Aris yang sedingin es. Meski terbalut jas hitam tebal dan terhalang kebaya tipis, ia bisa merasakan betapa dinginnya kulit seputih pualam itu. Nilam menyandarkan kepalanya di bahu Aris, merasa tubuhnya lemah dan sangat mengantuk. Aris masih menatap jalanan yang hanya bisa dilalui oleh kereta kencananya. Suara seringai kuda terkadang memecah kesunyian. Roda kian berputar, membelah jalan di antara pohon bambu yang menjorok ke dalam—seakan berperan menjadi terowongan—menembus dunia yang sulit terjangkau manusia. Pria itu menoleh ke arah Nilam, membelai pipinya yang halus. Dengkuran halus mulai terdengar, menandakan gad
Hasim dan Darsan sudah sampai di rumah sakit yang kebetulan berada di kota mereka. Sesuai arahan dari Teh Rita, juga berbekal berita terupdate di internet, kedua pria itu akhirnya bertemu dengan pihak keluarga Aris. Karena semua masih diselimuti kesedihan, keduanya tidak berani bertanya macam-macam. Turut berduka. Hanya kalimat itu yang mereka sampaikan sebagai perwakilan dari keluarga pihak mempelai wanita. Hasim dan Darsan pun masih belum bisa menjelaskan keadaan di rumah Nilam, sebab kejadian malam ini seperti di luar ekspetasi. para korban yang berjumlah sepuluh orang tersebut masih dalam proses autopsi. Kedua pria itu hanya mengatakan pada keluarga korban jika keluarga Nilam sedang dalam keadaan kacau, maka kedatangannya diwakilkan. Karena memang sedang sama-sama berduka, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka lebih fokus pada urusan keluarga masing-masing. Hasim dan Darsan duduk berselonjor di halaman rumah sakit, menghadap ke arah jalan. Tubuh mereka lemas seketika set
Beberapa orang masih bertahan di rumah Nilam sembari menunggu azan Subuh. Sebagian lagi memutuskan pulang dan menunggu saja kabar baiknya besok pagi dengan harapan cahaya matahari membawa sinar kebahagiaan pada warga Desa Wangunsari. Terutama kabar tentang kepulangan Nilam. Bah Karsun akan berusaha memanggil Nilam dengan zikir ketika detik-detik menjelang azan di mesjid nanti. Kalau sampai fajar datang gadis itu tak kembali, maka jalan selanjutnya adalah menyisir wilayah desa. Apalagi Sungai Niskala terkenal sebagai gerbang menuju alam lain. Karena waktu masih tersisa beberapa jam, warga mendesak Pak Wahyu untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Pantrangan apa yang sudah dilanggar? Atau mungkin proses mana yang terlewat ketika hari pernikahan. Aturan desa cukup ketat untuk calon pengantin, bahkan sang pengantin wajib menyucikan diri di sungai dekat makam keramat. Konon, untuk membuang sial.Sementara itu, Pak Wahyu terkenal sebagai orang yang tak acuh pada aturan desa. Maka, b
Beberapa saat setelah Nilam pingsan, akhirnya gadis itu mulai tersadar. Matanya mengerjap, tangannya memegangi kepala. Di ujung ranjang ada Bu Rosidah yang tengah memijat kaki Nilam, sedangkan Pak Wahyu berdiri di ambang pintu. Saat melihat Nilam menoleh, dengan cepat pria itu mendekat. "Pak, Bu," panggilnya dengan suara lemah.Dengan cekatan Bu Rosidah menyodorkan teh manis yang sudah tidak terlalu hangat. Tangannya yang sebelah membantu mengangkat kepala Nilam, yang sebelahnya lagi mendekatkan gelas agar memudahkan Nilam meneguk air meski hanya sedikit. "Neng teh gak apa-apa, kan?" tanya Bu Rosidah khawatir, sedangkan Pak Wahyu menarik bangku plastik yang berada di depan meja rias. "Gak apa-apa, Bu. Cuma agak pusing aja. Memangnya kenapa Bu?" Nilam sedikit memundurkan badannya, mencari posisi terbaik agar bisa bersandar pada tumpukan bantal. "Tadi teh kamu pingsan pas pagi nari. Kata Ibu, kamu belum makan dari pagi. Jaga kesehatan atuh, Neng. Jangan bikin Bapak khawatir," ucap
Cerita Pak Wahyu tentang peristiwa aneh di rumahnya pun berakhir karena waktu azan Subuh telah berkumandang. Pak Lurah memberi intruksi agar warga salat terlebih dahulu. Nanti, sekitar pukul 08.00, diharap berkumpul di depan kantor kelurahan untuk menyisir kawasan desa. Satu per satu dari mereka pulang. Pria bernama Agus itu pun berpamitan pada Pak Wahyu, begitu juga Bah Karsun yang akan pergi ke mesjid bersama anaknya. Yang tersisa di rumah hanya tinggal Pak Wahyu, Nur, juga suami-suami mereka. Bu Rosidah dan Indah masih ditenangkan oleh tetangga di kamar. "Bapak gak nyembunyiin apa-apa dari Nur, kan?" tanya Nur memperhatikan wajah bapaknya yang tampak kacau. "Nyembunyiin apa Teh? Jangan bikin suasana tambah kacau," jawab Pak Wahyu. Punggungnya ia sandarkan ke tembok, matanya sibuk menatap langit-langit ruangan. "Lebih baik kamu pikirkan cara ngomong ke Ibu. Apalagi Ibu teh punya asam lambung akut, gak boleh stres." "Pak ...." Pundak Nur dirangkul dari belakang oleh Bagas, suami
Pukul 07.35, sebagian warga sudah berkumpul di halaman kantor kelurahan. Sambil menunggu intruksi dan kehadiran warga yang lain, mereka berbincang-bincang dengan beberapa kubu. Sudah bisa dipastikan, yang jadi topik adalah hilangnya Nilam.Ada yang menebak jika Nilam dibawa penunggu Hutan Ireng, ada juga yang bilang dibawa oleh penghuni Sungai Niskala yang kebetulan berada di bawah tebing makam keramat. Calon pengantin harus mutih dan menyepi dulu satu malam si sana, mungkin pada saat itu si penunggu jatuh cinta pada Nilam, pikir warga. Tidak ada yang salah. Harus diakui bahwa Nilam adalah gadis sederhana yang cantik. Memiliki kulit eksotis dengan bibir tipis. Alisnya tebal simetris, bulu mata lentik, mata sipit, serta hidung bangir. Pipinya agak cubby, dagunya sedikit menyusut. Para pria mengakui Nilam masuk dalam kategori wanita berwajah manis. "Menurut kalian, apa si Nilam akan balik lagi? Atau malah kayak yang sudah-sudah?" tanya Alit pada rekan di depannya. Mereka tengah duduk
Pasang-pasang kaki menelusuri tempat yang jarang terjamah oleh warga. Mereka menapaki bukit, makam, sungai, dan juga curug. Dari pagi hingga sore hari, nama Nilam terus dipanggil, terkadang diselingi dengan seruan azan, berharap ada hal baik yang datang. Kelelahan membuat mereka beristirahat sejenak di area sungai. Ada juga yang menelusuri sampai ujung, guna memastikan tak ada yang terlewat. Bahkan Pak Wahyu sudah ikhlas, jika yang ditemukan berupa mayat. Yang penting, Nilam terlihat raganya. Karena sampai pukul 15.00 belum membuahkan hasil, rombongan pertama dibubarkan, diganti dengan rombongan kedua yang nantinya akan mencari sampai malam. Bah Karsun bilang, mencarilah di area yang pertama disisir, beliau tetap yakin bahwa Nilam tidak jauh. "Pak, mending pulang dulu. Bapak harus makan," ucap Bagas, suaranya sedikit dibesarkan karena gemuruh air sungai cukup membuat suasana bising. "Bapak belum tenang, sok aja kamu yang pulang. Kasian Nur, kerjaan kamu juga ketunda, kan?" "Gak a
"Gimana, Pak? Nilam sudah ketemu?" Bu Rosidah langsung menghampiri suaminya yang baru saja datang. Wajah pria itu sangat kusut, ia hanya menatap istrinya sekilas lalu pergi ke kamar sembari mengusap wajahnya dengan mengucap istigfar beberapa kali.Gerakan mata Bu Rosidah seakan mengikuti laju Pak Wahyu. Ia hendak mengejar, tetapi Nur menarik tangan ibunya supaya memberi waktu pada Pak Wahyu untuk istirahat sejenak. Kegiatan pencarian dari pagi sampai sore pasti sangat melelahkan. Harapan satu-satunya adalah jawaban dari Bagas. Bu Rosidah sampai mencecar banyak pertanyaan pada menantunya itu, seakan tidak memberi kesempatan pada Bagas untuk berbicara barang sedikit pun. "Bu, nanti dulu atuh. Kan, Bapak sama Aa baru sampe rumah," jawab Nur. Perasaannya mengatakan jika tidak ada kabar baik sama sekali dari Nilam, itu terlihat dari wajah-wajah kecewa serta desah napas yang berat dari para pria yang baru saja datang. Namun, Bagus paham akan kekhawatiran Bu Rosidah, ia langsung mengajak
Keluarga Pak Wahyu hanya berdiri di depan pintu kamar Nilam, di mana dari dalam terdengar suara-suara aneh dan mengerikan. Mereka tampak pasrah, sebab Nilam kembali mengamuk sampai tali di tangan dan kakinya terlepas. Pilihan terakhir adalah mengunci pintu, membiarkan gadis itu sendirian.Knop pintu terlihat diputar-putar dari dalam. Suara gedoran yang ekstrim membuat pintu itu sedikit mengalami kerusakan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengaji dari luar kamar. Begitu yang dilakukan Bu Rosidah dan Nur. Sementara Pak Wahyu hanya duduk di sofa ruang keluarga, matanya fokus menatap dinding bercat putih.Hal yang sama juga dialami oleh Indah. Wanita itu mengurung diri di kamar karena Hafiz tidak memberinya kabar. Hari-harinya disibukkan mengecek ponsel, berharap ada notifikasi dari suaminya. Indah kerap kali menelepon, hanya saja laporan selalu sama, bahwa nomor Hafiz di luar jangkauan.Seburuk-buruknya seorang suami, Indah tetaplah mencemaskan keberadaan Hafiz saat ini. Setidaknya,
Obrolan Jajang dan Ki Gendeng seketika terhenti kala mereka mendengan suara langkah kaki dari luar ruangan. Keduanya terdiam cukup lama, memastikan tidak salah dengar. Jari telunjuk Ki Gendeng terangkat, seakan memberi tanda untuk tetap diam. "Kayaknya teh ada yang ngikutin kamu, Jang," bisi Ki Gendeng. Kepalanya dimiringkan pada arah pintu masuk. Jajang terdiam sejenak, mencoba menerka siapa yang berani mengikutinya. Feelingnya tertuju pada Basir karena tadi ia sempat berpapasan dengan pria itu. Tidak menutup kemungkinan juga, sebab Basir orang yang nekatan, juga terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. "Sepertinya, saya tahu siapa orangnya, Ki. Jadi, saya harus melakukan apa?" Yang ditanya malah terkekeh, lalu ia menjawab, "Biarkan saja. Sudah Aki bilang, yang masuk akan sulit keluar. Tadi Aki membuat jalan tipuan. Dia akan tersesat. Sekarang kita keluar dengan tenang." Setelah Jajang mengangguk, keduanya keluar dari ruangan sempit itu—menelusuri lorong demi lorong yang ha
"Punten, Ki, saya baru datang," ucap Jajang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat pada pria tua yang tubuhnya sudah sangat bongkok itu.Namanya Ki Gendeng. Ia berasal dari desa sebelah—Desa Patapaan. Sesuai namanya, Gendeng, orang-orang menganggapnya tidak waras karena terlalu banyak belajar ilmu hitam. Kerap kali Ki Gendeng bicara seorang diri. Namun, Tak jarang pula ia kedatangan pasien yang meminta petunjuk agar bisa melakukan pesugihan ataupun menyantet orang lain.Ki Gendeng mengangguk. Ia mengajak Jajang untuk masuk, sebab ada ritual yang sedari kemarin Jajang minta, tetapi belum bisa dilaksanakan karena syarat belum memenuhi. Keduanya berjalan menuju lorong gue, di mana di bagian paling dalam terdapat sebuah ruangan yang dulu sering dipakai oleh para sesepuh desa.Ruangan tersebut berukuran kecil, di atasnya terdapat bebatuan yang menonjol ke bawah. Menurut Ki Gendeng, orang yang sembarang masuk, akan susah kembali lagi karena gua dijaga oleh para pengikutnya. Dalam arti
Sepulang dari pencarian, Basir memilih untuk tidak pulang ke rumah, melainkan berbelok arah menuju rumah Darsan. Sebelum Bagas datang, ia harus jadi orang pertama yang mengetahui apa yang terjadi pada Darsan. Jika ia simak obrolan Bagas tadi, pria itu menjadi salah satu orang yang dicurigai.Sepanjang jalan, pria itu menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang peduli akan langkah kakinya. Beberapa memang berpapasan, bertanya Basir mau pergi ke mana. Pria itu hanya menjawab, mau ke perkebunan.Awan di langit sudah tak seputih kapas, berumah menjadi jingga kemerahan. Basir semakin mempercepat langkahnya karena waktu Ashar akan segera berkahir. Beberapa meter dari tempatnya kini, sudah terlihat rumah Darsan yang dindingnya masih berupa bilik bambu. Dari luar, tampak begitu sepi.Setelah sampai, Basir mengetuk pintu perlahan seraya mengucapkan salam, "Assalamualaikum."Hening, belum ada jawaban. Yang terdengar hanya geresak-gerusuk langkah kaki dari dalam. Kembali Basir mengucap s
Bu Rahayu yang sudah mendekati Teh Rita dibuat terkejut ketika pintu tiba-tiba menutup dengan begitu kencang. Wanita yang memakai abaya hitam itu masih berdiri di belakang, memberi jarak kalau-kalau terjadi sesuatu. Tak berapa lama, Teh Rita menoleh dengan raut wajah datar, bawah matanya menghitam. Tanpa rasa gentar, Bu Rahayu bertanya, "Ada apa kau ke sini, Kusuma?" Gerakan spontan Teh Rita saat berdiri sedikit membuat Bu Rahayu tersentak. Kusuma seakan sengaja menggunakan tubuh Teh Rita untuk membuat Bu Rahayu lemah. Sampai-sampai, wanita yang masih memakai mukena itu dibawa merayap di dinding. "Hentikan, Kusuma!" bentak Bu Rahayu, ia takut jika Nyai Kusuma sengaja menjatuhkan Teh Rita dari atas langit kamar. "Urusan kita belum selesai, Rahayu!" Suara serak dan berat itu menggema, seperti sebuah ruangan kosong yang menghasilkan pantulan. "Matinya manusia sama dengan menyelesaikan urusan dunia. Jadi, sudah tidak ada lagi yang perlu diselesaikan. Pulanglah dengan tenang Kusuma."
"Duduk dulu, Kang, tenang. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Wahyu pada Basir, di mana pria itu terus saja menanyai masalah hilangnya Karim. Suara lembut dari Pak Wahyu sedikit memberi pendinginan pada Basir. Ia pun mengajak dua pria lain yang ikut untuk duduk di sofa. Basir juga meminta Bagas untuk menghubungi Pak Lurah agar ada penindakan pada kasus yang sudah dua kali terjadi ini. Karena Bagas masih dalam keadaan lelah, ia pun sampai kebingungan mencari ponselnya. Akhirnya, Ridwan menghubungi bapaknya agar segera datang ke kediaman Pak Wahyu. Untung saja di jam seperti ini, Pak Lurah sudah bangun untuk menunaikan salat sunah. Dalam posisi duduk, Pak Wahyu meminta semua untuk beristigfar dahulu agar menemukan titik terangnya, sebab ia masih merasa bingung kenapa Basir bisa ngotot menyalahkan hilangnya Karim adalah ulah dari keluarga Pak Wahyu.Basir pun menceritakan semuanya. Dari awal mulai mereka janji bertemu, satu panggilan masuk, hingga cerita Siti yang menyebutkan bahwa s
Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l
Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj
Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu