Obrolan Jajang dan Ki Gendeng seketika terhenti kala mereka mendengan suara langkah kaki dari luar ruangan. Keduanya terdiam cukup lama, memastikan tidak salah dengar. Jari telunjuk Ki Gendeng terangkat, seakan memberi tanda untuk tetap diam. "Kayaknya teh ada yang ngikutin kamu, Jang," bisi Ki Gendeng. Kepalanya dimiringkan pada arah pintu masuk. Jajang terdiam sejenak, mencoba menerka siapa yang berani mengikutinya. Feelingnya tertuju pada Basir karena tadi ia sempat berpapasan dengan pria itu. Tidak menutup kemungkinan juga, sebab Basir orang yang nekatan, juga terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. "Sepertinya, saya tahu siapa orangnya, Ki. Jadi, saya harus melakukan apa?" Yang ditanya malah terkekeh, lalu ia menjawab, "Biarkan saja. Sudah Aki bilang, yang masuk akan sulit keluar. Tadi Aki membuat jalan tipuan. Dia akan tersesat. Sekarang kita keluar dengan tenang." Setelah Jajang mengangguk, keduanya keluar dari ruangan sempit itu—menelusuri lorong demi lorong yang ha
Keluarga Pak Wahyu hanya berdiri di depan pintu kamar Nilam, di mana dari dalam terdengar suara-suara aneh dan mengerikan. Mereka tampak pasrah, sebab Nilam kembali mengamuk sampai tali di tangan dan kakinya terlepas. Pilihan terakhir adalah mengunci pintu, membiarkan gadis itu sendirian.Knop pintu terlihat diputar-putar dari dalam. Suara gedoran yang ekstrim membuat pintu itu sedikit mengalami kerusakan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengaji dari luar kamar. Begitu yang dilakukan Bu Rosidah dan Nur. Sementara Pak Wahyu hanya duduk di sofa ruang keluarga, matanya fokus menatap dinding bercat putih.Hal yang sama juga dialami oleh Indah. Wanita itu mengurung diri di kamar karena Hafiz tidak memberinya kabar. Hari-harinya disibukkan mengecek ponsel, berharap ada notifikasi dari suaminya. Indah kerap kali menelepon, hanya saja laporan selalu sama, bahwa nomor Hafiz di luar jangkauan.Seburuk-buruknya seorang suami, Indah tetaplah mencemaskan keberadaan Hafiz saat ini. Setidaknya,
Rombongan Pengantin dari Alam Gaib"Kenapa seserahannya harus malem, Neng?" tanya perias pengantin pada Nilam, gadis yang akan menikah hari ini. Gadis berumur 20 tahun itu sudah sangat cantik, menggunakan singer Sunda serta kebaya putih. Ronceng melati di sebelah kanan tergerai ke depan menutupi brokat sederhana, di mana baju itu warisan dari ibunya. "Gak tahu, Teh. Permintaan dari keluarga A Aris. Lagipula, cuma ijab qabul, pestanya mah belakangan kalau urusan Aa di kota sudah selesai," jawab Nilam sambil terus mengulum senyum. Tidak masalah untuk Nilam menikah tanpa pesta, toh lebih cepat tentu lebih baik. "Denger-denger teh, harusnya minggu depan, kan, ya, Neng Nilam nikahnya?" "Iya, Teh. Cuma A Aris minta tanggal dimajukan. Beliau ada kerjaan di luar kota, jadi kalau udah nikah, Nilam bisa diajak juga. Ada yang ngurus Aa di sana." Wajah Nilam mulai memerah, ia tersipu malu membayangkan betapa indahnya mahligai rumah tangga yang akan dijalani bersama pria yang ia cintai.Teh Rit
Langit kian pekat, ditemani lolongan anjing serta cuitan para binatang malam. Desau angin menciptakan suasana hening di Desa Mekarwangi. Cahaya bulan purnama seakan mengundang pasang-pasang tak kasat mata untuk memperhatikan laju delman yang menyelusup dalam kabut malam di antara rindangnya pepohonan. Nilam masih belum menyadari apa-apa. Tangannya diselipkan pada lengan Aris yang sedingin es. Meski terbalut jas hitam tebal dan terhalang kebaya tipis, ia bisa merasakan betapa dinginnya kulit seputih pualam itu. Nilam menyandarkan kepalanya di bahu Aris, merasa tubuhnya lemah dan sangat mengantuk. Aris masih menatap jalanan yang hanya bisa dilalui oleh kereta kencananya. Suara seringai kuda terkadang memecah kesunyian. Roda kian berputar, membelah jalan di antara pohon bambu yang menjorok ke dalam—seakan berperan menjadi terowongan—menembus dunia yang sulit terjangkau manusia. Pria itu menoleh ke arah Nilam, membelai pipinya yang halus. Dengkuran halus mulai terdengar, menandakan gad
Hasim dan Darsan sudah sampai di rumah sakit yang kebetulan berada di kota mereka. Sesuai arahan dari Teh Rita, juga berbekal berita terupdate di internet, kedua pria itu akhirnya bertemu dengan pihak keluarga Aris. Karena semua masih diselimuti kesedihan, keduanya tidak berani bertanya macam-macam. Turut berduka. Hanya kalimat itu yang mereka sampaikan sebagai perwakilan dari keluarga pihak mempelai wanita. Hasim dan Darsan pun masih belum bisa menjelaskan keadaan di rumah Nilam, sebab kejadian malam ini seperti di luar ekspetasi. para korban yang berjumlah sepuluh orang tersebut masih dalam proses autopsi. Kedua pria itu hanya mengatakan pada keluarga korban jika keluarga Nilam sedang dalam keadaan kacau, maka kedatangannya diwakilkan. Karena memang sedang sama-sama berduka, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka lebih fokus pada urusan keluarga masing-masing. Hasim dan Darsan duduk berselonjor di halaman rumah sakit, menghadap ke arah jalan. Tubuh mereka lemas seketika set
Beberapa orang masih bertahan di rumah Nilam sembari menunggu azan Subuh. Sebagian lagi memutuskan pulang dan menunggu saja kabar baiknya besok pagi dengan harapan cahaya matahari membawa sinar kebahagiaan pada warga Desa Wangunsari. Terutama kabar tentang kepulangan Nilam. Bah Karsun akan berusaha memanggil Nilam dengan zikir ketika detik-detik menjelang azan di mesjid nanti. Kalau sampai fajar datang gadis itu tak kembali, maka jalan selanjutnya adalah menyisir wilayah desa. Apalagi Sungai Niskala terkenal sebagai gerbang menuju alam lain. Karena waktu masih tersisa beberapa jam, warga mendesak Pak Wahyu untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Pantrangan apa yang sudah dilanggar? Atau mungkin proses mana yang terlewat ketika hari pernikahan. Aturan desa cukup ketat untuk calon pengantin, bahkan sang pengantin wajib menyucikan diri di sungai dekat makam keramat. Konon, untuk membuang sial.Sementara itu, Pak Wahyu terkenal sebagai orang yang tak acuh pada aturan desa. Maka, b
Beberapa saat setelah Nilam pingsan, akhirnya gadis itu mulai tersadar. Matanya mengerjap, tangannya memegangi kepala. Di ujung ranjang ada Bu Rosidah yang tengah memijat kaki Nilam, sedangkan Pak Wahyu berdiri di ambang pintu. Saat melihat Nilam menoleh, dengan cepat pria itu mendekat. "Pak, Bu," panggilnya dengan suara lemah.Dengan cekatan Bu Rosidah menyodorkan teh manis yang sudah tidak terlalu hangat. Tangannya yang sebelah membantu mengangkat kepala Nilam, yang sebelahnya lagi mendekatkan gelas agar memudahkan Nilam meneguk air meski hanya sedikit. "Neng teh gak apa-apa, kan?" tanya Bu Rosidah khawatir, sedangkan Pak Wahyu menarik bangku plastik yang berada di depan meja rias. "Gak apa-apa, Bu. Cuma agak pusing aja. Memangnya kenapa Bu?" Nilam sedikit memundurkan badannya, mencari posisi terbaik agar bisa bersandar pada tumpukan bantal. "Tadi teh kamu pingsan pas pagi nari. Kata Ibu, kamu belum makan dari pagi. Jaga kesehatan atuh, Neng. Jangan bikin Bapak khawatir," ucap
Cerita Pak Wahyu tentang peristiwa aneh di rumahnya pun berakhir karena waktu azan Subuh telah berkumandang. Pak Lurah memberi intruksi agar warga salat terlebih dahulu. Nanti, sekitar pukul 08.00, diharap berkumpul di depan kantor kelurahan untuk menyisir kawasan desa. Satu per satu dari mereka pulang. Pria bernama Agus itu pun berpamitan pada Pak Wahyu, begitu juga Bah Karsun yang akan pergi ke mesjid bersama anaknya. Yang tersisa di rumah hanya tinggal Pak Wahyu, Nur, juga suami-suami mereka. Bu Rosidah dan Indah masih ditenangkan oleh tetangga di kamar. "Bapak gak nyembunyiin apa-apa dari Nur, kan?" tanya Nur memperhatikan wajah bapaknya yang tampak kacau. "Nyembunyiin apa Teh? Jangan bikin suasana tambah kacau," jawab Pak Wahyu. Punggungnya ia sandarkan ke tembok, matanya sibuk menatap langit-langit ruangan. "Lebih baik kamu pikirkan cara ngomong ke Ibu. Apalagi Ibu teh punya asam lambung akut, gak boleh stres." "Pak ...." Pundak Nur dirangkul dari belakang oleh Bagas, suami