Share

Kepanikan Keluarga

Author: Dini Lisdianti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Langit kian pekat, ditemani lolongan anjing serta cuitan para binatang malam. Desau angin menciptakan suasana hening di Desa Mekarwangi. Cahaya bulan purnama seakan mengundang pasang-pasang tak kasat mata untuk memperhatikan laju delman yang menyelusup dalam kabut malam di antara rindangnya pepohonan.

Nilam masih belum menyadari apa-apa. Tangannya diselipkan pada lengan Aris yang sedingin es. Meski terbalut jas hitam tebal dan terhalang kebaya tipis, ia bisa merasakan betapa dinginnya kulit seputih pualam itu. Nilam menyandarkan kepalanya di bahu Aris, merasa tubuhnya lemah dan sangat mengantuk.

Aris masih menatap jalanan yang hanya bisa dilalui oleh kereta kencananya. Suara seringai kuda terkadang memecah kesunyian. Roda kian berputar, membelah jalan di antara pohon bambu yang menjorok ke dalam—seakan berperan menjadi terowongan—menembus dunia yang sulit terjangkau manusia.

Pria itu menoleh ke arah Nilam, membelai pipinya yang halus. Dengkuran halus mulai terdengar, menandakan gadis bermata sipit itu sudah terlelap dalam kedamaian. "Memang seharusnya kamu tidur, jangan melihat jalanan yang akan kita lalui nanti," bisiknya, membuat Nilam sedikit bergerak untuk menyamankan posisinya.

Semakin lama, delman yang dihias sangat indah itu menghilang ditelan kabut tanpa meninggalkan jejak-jejak keberadaannya.

Sementara itu, Teh Rita yang sudah menutup telepon langsung terduduk lemas di bangku bekas ia menghias Nilam tadi. Wanita bertubuh gempal itu hanya menyampaikan bela sungkawa pada si penelepon lalu berjanji akan mengabari keluarga mempelai wanita secara pelan-pelan. Namun, ia tidak menceritakan apa yang terjadi barusan dikediaman Nilam.

"Kenapa, Teh?" tanya asisten Teh Rita yang bernama Ela. Tentu ia panik melihat wajah pucat atasannya. Apalagi pundak Teh Rita sampai naik turun. Melihat sesuatu tidak kondusif, buru-buru Ela menyodorkan segelas air yang langsung diteguk hingga tak bersisa.

"Begini kalau apa-apa gak sesajen dulu, La. Kacau jadinya," bisik Teh Rita masih dengan wajah panik dan pias.

Ela yang tidak sabar dengan cerita Teh Rita, buru-buru duduk di samping wanita itu. Ia mengguncang lengan sang atasan, berharap kalimatnya tidak menyiratkan bencana. Perasaan Ela sedari awal memang sudah tidak enak, apalagi saat melihat proses rias tadi yang memakan waktu cukup banyak karena kendala-kendala yang tidak terduga.

"Sesajen? Setahu Ela mah, keluarga Nilam ziarah dulu da Teh. Ela lihat beberapa hari yang lalu. Terus tadi juga ada sesajen di dapur," ucap Ela yakin. Desa Mekarwangi memang masih kental dengan adat dan budaya yang diterapkan leluhur zaman dulu, meski sebagian dari mereka sudah menentang jika perbuatan yang dilakukan termasuk syirik.

"Ya tapi, kan, ganti hari seenaknya, La. Barusan Teteh dapet kabar, katanya keluarga Aris kecelakaan tadi Magrib di tol." Teh Rita masih memelankan suaranya, sebab ia memikirkan kata-kata yang nanti akan disampaikan pada Bu Rodiah dan Pak Wahyu.

"Hah?"

"Sttt ...." Teh Rita menutup mulut asistennya yang masih berstatus gadis itu. Ia meminta agar Ela tidak bersuara kencang.

Ela sampai menelan ludahnya sendiri, bulu kuduknya meremang seketika. "Terus, yang bawa Nilam siapa atuh Teh?" tanyanya. Kini bukan hanya wajah Teh Rita yang pias, begitu juga wajah Ela. Tangannya meraba-raba tengkuk yang dingin.

Mau tak mau, siap tak siap, Teh Rita langsung berdiri dari tempat duduknya sambil menggenggam ponsel milik Nilam. Ia meminta Ela untuk menemaninya pergi ke ruang tengah, tetapi sebelumnya, mereka membiarkan pihak di luar keluarga menyelesaikan acara makan-makan.

Setelah suasana kondusif, sebagian tetangga pun sudah pulang, bahkan Bu Rosidah sudah terlihat berbaur dengan yang lain, buru-buru kedua wanita itu menghampiri keluarga yang masih duduk di atas karpet yang digelar. Tangan Teh Rita mendadak dingin, degup jantungnya sulit sekali dikontrol, perutnya pun mulas.

"Teh Rita, ada apa? Makan dulu atuh, kelihatannya kok pucet," ucap Bu Rosidah sembari menyodorkan piring.

"Enggak usah, Bu. Saya teh ke sini cuma mau ngabarin berita, mungkin bukan berita baik. Tapi gimana pun harus saya sampaikan," ucap Teh Rita. Dua tangannya memegangi ponsel Nilam kuat-kuat.

Seketika suasana menjadi hening. Tawa tadi berubah menjadi tatapan tajam. Semua orang yang berkumpul mendadak bisu. Darsan dan Hasim yang tengah makan di bangku plastik—di teras rumah—sejenak menghentikan dulu aktivitas mereka. Kedua pria itu saling pandang lalu memposisikan diri untuk mencuri dengar.

"Begini, Bu, Pak. Ini HP Nilam ketinggalan di kamar. Barusan pas saya baru masuk ada telepon, katanya ... katanya ... rombongan pria mengalami kecelakaan di tol."

"Astagfirullah hal adzim!" seru semua orang. Jerit tangis dari Bu Rosidah membuka keheningan. Suaranya melengking memanggil nama Nilam. Kakak-kakak Nilam berusaha menenangkan ibunya, memeluk dari belakang, meminta mengucap istigfar. Dalam hitungan detik, wanita bertubuh sedikit berisi itu akhirnya pingsan. Padahal, Teh Rita belum menyelesaikan ucapannya.

Merasa semua harus tuntas, Teh Rita menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Pak Wahyu yang masih berusaha tegar. Meski wajahnya terlihat tegang, tetapi beliau masih tetap menjaga kewarasan.

"Pak, punten. Ada masalah lain sebenarnya," ucap Teh Rita, suasana kembali hening dibarengi tatapan penuh penasaran.

"Ada apa lagi Teh?" tanya Nur, kakak Nilam yang nomor satu.

"Rombongan teh kecelakaannya sekitar Magrib. Entahlah, saya sulit menjelaskan dengan logika, Pak. Tapi begitulah kabar yang saya terima."

Suasana kembali riuh. Tentu saja mereka ketakutan. Isi kepala mereka dipenuhi seribu pertanyaan. Kalau mempelai pria mengalami kecelakaan, lantas siapa yang tadi datang membawa Nilam?

Ada yang buru-buru pulang karena takut, ada juga yang masih menunggu di sana untuk mendengar lebih jelas kabar yang beredar. Salah seorang langsung lari ke rumah Bah Karsun—pria yang dituakan di desa. Sementara itu Pak Wahyu yang sedari tadi berusaha tegar, akhirnya terkapar lemas, untung saja di belakang ada orang yang menahan tubuhnya.

Indah, kakak Nilam yang kedua pun ikut pingsan, badannya ditahan oleh para ibu-ibu yang masih berkumpul. Suasana rumah semakin mencekam. Puluhan mulut seolah berspekulasi, menarik kesimpulan masing-masing.

Di tengah kericuhan, Bah Karsun datang tergopoh-gopoh, dituntun oleh putranya. Ia mencoba menanyakan apa yang terjadi, meski sudah diceritakan secara singkat oleh yang menyusulnya. Akhirnya Teh Rita kembali menceritakan kejadian tadi, meski bulu kuduknya selalu meremang saat bercerita.

"Sudah saya duga, rombongan tadi bukan manusia, Bah. Masa iya dari Sukabumi ke sini gak pake mobil," sela Darsan, sebab ialah orang yang pertama kali merasakan keanehan ini.

"Betul, Bah. Suasana tadi juga kayak aneh banget. Duh Gusti, kenapa saya teh kudu salaman sama makhluk halus!" Hasim bergedik ngeri, apalagi ia masih ingat wajah-wajah pucat keluarga Aris.

Salah satu pria pun turut bicara. "Apa Nilam dibawa sama arwah suami dan keluarganya?"

"Hus, gak mungkin. Mana ada orang meninggal bisa bawa orang hidup ke alam sana. Ngaur, Kang." Kali ini ibu-ibu menimpali.

"Sudah-sudah, jangan bikin suasana semakin gak enak. Bah, saya harus gimana? Tolong adik saya Bah." Nur anak paling tua berusaha untuk paling kuat menghadapi masalah ini. Kalau sampai keluarganya tumbang semua, lantas siapa yang akan mencarikan jalan keluar?

Bah Karsun yang sudah duduk bersampingan dengan Pak Lurah yang baru datang juga, menarik napas panjang. Beliau tidak mau gegabah dalam melihat peristiwa. Pria yang sudah sangat tua itu akhirnya berkata, "Jangan panik dulu. Sekarang mah, mending cari tahu keadaan sebenarnya. Siapa tahu, ada orang yang iseng."

Semua orang mengangguk, merasa ucapan abah ada benarnya. Darsan dan Hasim saling pandang, seperti memberi kode satu sama lain. Langsung Darsan duduk di lantai, menyeimbangi tamu yang lain. "Ya sudah, kalau begitu, saya sama Hasim mau ke lokasi kejadian. Teh Rita punten, tanya di mana rumah sakit atau polsek mana yang harus kami datangi."

Teh Rita pun langsung mengangguk karena memang si penelepon memberi rincian alamat, kalau-kalau pihak Nilam memang akan datang. Setelah mendapat secarik kertas berisi alamat, Darsan dan Hasim segera keluar menuju rumah Darsan. Rencananya, mereka akan pergi menggunakan motor milik Darsan.

"Kang, kejadian ini teh, mirip yang diceritain Emak saya puluhan tahun yang lalu. Di desa kita, kan, pernah ada pengantin yang hilang," ucap Hasim.

"Justru saya juga ngelamunin itu. Cerita ini sudah jadi legenda di desa kita. Jangan-jangan, masa lalu teh keulang lagi, Kang. Mudah-mudahan jangan sampe, ya. Ngeri." Darsan menimpali.

Sebenarnya rahasia apa yang tersimpan di desa.

Related chapters

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Banyak Keanehan

    Hasim dan Darsan sudah sampai di rumah sakit yang kebetulan berada di kota mereka. Sesuai arahan dari Teh Rita, juga berbekal berita terupdate di internet, kedua pria itu akhirnya bertemu dengan pihak keluarga Aris. Karena semua masih diselimuti kesedihan, keduanya tidak berani bertanya macam-macam. Turut berduka. Hanya kalimat itu yang mereka sampaikan sebagai perwakilan dari keluarga pihak mempelai wanita. Hasim dan Darsan pun masih belum bisa menjelaskan keadaan di rumah Nilam, sebab kejadian malam ini seperti di luar ekspetasi. para korban yang berjumlah sepuluh orang tersebut masih dalam proses autopsi. Kedua pria itu hanya mengatakan pada keluarga korban jika keluarga Nilam sedang dalam keadaan kacau, maka kedatangannya diwakilkan. Karena memang sedang sama-sama berduka, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka lebih fokus pada urusan keluarga masing-masing. Hasim dan Darsan duduk berselonjor di halaman rumah sakit, menghadap ke arah jalan. Tubuh mereka lemas seketika set

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Mimpi Aneh

    Beberapa orang masih bertahan di rumah Nilam sembari menunggu azan Subuh. Sebagian lagi memutuskan pulang dan menunggu saja kabar baiknya besok pagi dengan harapan cahaya matahari membawa sinar kebahagiaan pada warga Desa Wangunsari. Terutama kabar tentang kepulangan Nilam. Bah Karsun akan berusaha memanggil Nilam dengan zikir ketika detik-detik menjelang azan di mesjid nanti. Kalau sampai fajar datang gadis itu tak kembali, maka jalan selanjutnya adalah menyisir wilayah desa. Apalagi Sungai Niskala terkenal sebagai gerbang menuju alam lain. Karena waktu masih tersisa beberapa jam, warga mendesak Pak Wahyu untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Pantrangan apa yang sudah dilanggar? Atau mungkin proses mana yang terlewat ketika hari pernikahan. Aturan desa cukup ketat untuk calon pengantin, bahkan sang pengantin wajib menyucikan diri di sungai dekat makam keramat. Konon, untuk membuang sial.Sementara itu, Pak Wahyu terkenal sebagai orang yang tak acuh pada aturan desa. Maka, b

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Peringatan Kecil

    Beberapa saat setelah Nilam pingsan, akhirnya gadis itu mulai tersadar. Matanya mengerjap, tangannya memegangi kepala. Di ujung ranjang ada Bu Rosidah yang tengah memijat kaki Nilam, sedangkan Pak Wahyu berdiri di ambang pintu. Saat melihat Nilam menoleh, dengan cepat pria itu mendekat. "Pak, Bu," panggilnya dengan suara lemah.Dengan cekatan Bu Rosidah menyodorkan teh manis yang sudah tidak terlalu hangat. Tangannya yang sebelah membantu mengangkat kepala Nilam, yang sebelahnya lagi mendekatkan gelas agar memudahkan Nilam meneguk air meski hanya sedikit. "Neng teh gak apa-apa, kan?" tanya Bu Rosidah khawatir, sedangkan Pak Wahyu menarik bangku plastik yang berada di depan meja rias. "Gak apa-apa, Bu. Cuma agak pusing aja. Memangnya kenapa Bu?" Nilam sedikit memundurkan badannya, mencari posisi terbaik agar bisa bersandar pada tumpukan bantal. "Tadi teh kamu pingsan pas pagi nari. Kata Ibu, kamu belum makan dari pagi. Jaga kesehatan atuh, Neng. Jangan bikin Bapak khawatir," ucap

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Gerbang Dunia Lain

    Cerita Pak Wahyu tentang peristiwa aneh di rumahnya pun berakhir karena waktu azan Subuh telah berkumandang. Pak Lurah memberi intruksi agar warga salat terlebih dahulu. Nanti, sekitar pukul 08.00, diharap berkumpul di depan kantor kelurahan untuk menyisir kawasan desa. Satu per satu dari mereka pulang. Pria bernama Agus itu pun berpamitan pada Pak Wahyu, begitu juga Bah Karsun yang akan pergi ke mesjid bersama anaknya. Yang tersisa di rumah hanya tinggal Pak Wahyu, Nur, juga suami-suami mereka. Bu Rosidah dan Indah masih ditenangkan oleh tetangga di kamar. "Bapak gak nyembunyiin apa-apa dari Nur, kan?" tanya Nur memperhatikan wajah bapaknya yang tampak kacau. "Nyembunyiin apa Teh? Jangan bikin suasana tambah kacau," jawab Pak Wahyu. Punggungnya ia sandarkan ke tembok, matanya sibuk menatap langit-langit ruangan. "Lebih baik kamu pikirkan cara ngomong ke Ibu. Apalagi Ibu teh punya asam lambung akut, gak boleh stres." "Pak ...." Pundak Nur dirangkul dari belakang oleh Bagas, suami

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Dendam di Atas Pusara

    Pukul 07.35, sebagian warga sudah berkumpul di halaman kantor kelurahan. Sambil menunggu intruksi dan kehadiran warga yang lain, mereka berbincang-bincang dengan beberapa kubu. Sudah bisa dipastikan, yang jadi topik adalah hilangnya Nilam.Ada yang menebak jika Nilam dibawa penunggu Hutan Ireng, ada juga yang bilang dibawa oleh penghuni Sungai Niskala yang kebetulan berada di bawah tebing makam keramat. Calon pengantin harus mutih dan menyepi dulu satu malam si sana, mungkin pada saat itu si penunggu jatuh cinta pada Nilam, pikir warga. Tidak ada yang salah. Harus diakui bahwa Nilam adalah gadis sederhana yang cantik. Memiliki kulit eksotis dengan bibir tipis. Alisnya tebal simetris, bulu mata lentik, mata sipit, serta hidung bangir. Pipinya agak cubby, dagunya sedikit menyusut. Para pria mengakui Nilam masuk dalam kategori wanita berwajah manis. "Menurut kalian, apa si Nilam akan balik lagi? Atau malah kayak yang sudah-sudah?" tanya Alit pada rekan di depannya. Mereka tengah duduk

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Kerinduan yang Tak Tertahan

    Pasang-pasang kaki menelusuri tempat yang jarang terjamah oleh warga. Mereka menapaki bukit, makam, sungai, dan juga curug. Dari pagi hingga sore hari, nama Nilam terus dipanggil, terkadang diselingi dengan seruan azan, berharap ada hal baik yang datang. Kelelahan membuat mereka beristirahat sejenak di area sungai. Ada juga yang menelusuri sampai ujung, guna memastikan tak ada yang terlewat. Bahkan Pak Wahyu sudah ikhlas, jika yang ditemukan berupa mayat. Yang penting, Nilam terlihat raganya. Karena sampai pukul 15.00 belum membuahkan hasil, rombongan pertama dibubarkan, diganti dengan rombongan kedua yang nantinya akan mencari sampai malam. Bah Karsun bilang, mencarilah di area yang pertama disisir, beliau tetap yakin bahwa Nilam tidak jauh. "Pak, mending pulang dulu. Bapak harus makan," ucap Bagas, suaranya sedikit dibesarkan karena gemuruh air sungai cukup membuat suasana bising. "Bapak belum tenang, sok aja kamu yang pulang. Kasian Nur, kerjaan kamu juga ketunda, kan?" "Gak a

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Gurat Bumi

    "Gimana, Pak? Nilam sudah ketemu?" Bu Rosidah langsung menghampiri suaminya yang baru saja datang. Wajah pria itu sangat kusut, ia hanya menatap istrinya sekilas lalu pergi ke kamar sembari mengusap wajahnya dengan mengucap istigfar beberapa kali.Gerakan mata Bu Rosidah seakan mengikuti laju Pak Wahyu. Ia hendak mengejar, tetapi Nur menarik tangan ibunya supaya memberi waktu pada Pak Wahyu untuk istirahat sejenak. Kegiatan pencarian dari pagi sampai sore pasti sangat melelahkan. Harapan satu-satunya adalah jawaban dari Bagas. Bu Rosidah sampai mencecar banyak pertanyaan pada menantunya itu, seakan tidak memberi kesempatan pada Bagas untuk berbicara barang sedikit pun. "Bu, nanti dulu atuh. Kan, Bapak sama Aa baru sampe rumah," jawab Nur. Perasaannya mengatakan jika tidak ada kabar baik sama sekali dari Nilam, itu terlihat dari wajah-wajah kecewa serta desah napas yang berat dari para pria yang baru saja datang. Namun, Bagus paham akan kekhawatiran Bu Rosidah, ia langsung mengajak

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Manusia Pilihan

    Setelah salat Magrib, suasana rumah Pak Wahyu tampak hening. Pak Wahyu dan istrinya masih berada di kamar, sedangkan Nur, Indah, serta Bagas berada di meja makan. Karena suasana duka, mereka sampai lupa makan. Perut baru bisa terisi setelah Bagas membeli makanan di luar. "Ibu sama Bapak udah makan, Neng?" tanya Bagas sembari menyuap satu sendok nasi dengan lauk tempe orek."Ini mau Neng anterin, A. Sok Aa makan dulu yang banyak. Mau ke kantor desa lagi, kan?" Pertanyaan itu diangguki oleh Bagas. Pria itu fokus makan, sedangkan Nur dan Indah menata nasi di piring dengan menu yang apa adanya, terpenting kedua orang tuanya mau makan. Setelah makan rencana Bagas akan pergi, pria itu melarang Pak Wahyu untuk ikut lagi."Biar aku yang anter ke kamar, Teh. Teteh temenin A Bagas aja." Nampan yang sudah berisi dua piring nasi beserta dua gelas air putih itu dibawa oleh Indah ke kamar. Tak lupa Nur meminta adiknya untuk menyuapi ibunya kalau perlu, sekalian memijat kaki. Merasa perutnya tida

Latest chapter

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Orang Gila

    Keluarga Pak Wahyu hanya berdiri di depan pintu kamar Nilam, di mana dari dalam terdengar suara-suara aneh dan mengerikan. Mereka tampak pasrah, sebab Nilam kembali mengamuk sampai tali di tangan dan kakinya terlepas. Pilihan terakhir adalah mengunci pintu, membiarkan gadis itu sendirian.Knop pintu terlihat diputar-putar dari dalam. Suara gedoran yang ekstrim membuat pintu itu sedikit mengalami kerusakan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengaji dari luar kamar. Begitu yang dilakukan Bu Rosidah dan Nur. Sementara Pak Wahyu hanya duduk di sofa ruang keluarga, matanya fokus menatap dinding bercat putih.Hal yang sama juga dialami oleh Indah. Wanita itu mengurung diri di kamar karena Hafiz tidak memberinya kabar. Hari-harinya disibukkan mengecek ponsel, berharap ada notifikasi dari suaminya. Indah kerap kali menelepon, hanya saja laporan selalu sama, bahwa nomor Hafiz di luar jangkauan.Seburuk-buruknya seorang suami, Indah tetaplah mencemaskan keberadaan Hafiz saat ini. Setidaknya,

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Sakitnya Kehilangan

    Obrolan Jajang dan Ki Gendeng seketika terhenti kala mereka mendengan suara langkah kaki dari luar ruangan. Keduanya terdiam cukup lama, memastikan tidak salah dengar. Jari telunjuk Ki Gendeng terangkat, seakan memberi tanda untuk tetap diam. "Kayaknya teh ada yang ngikutin kamu, Jang," bisi Ki Gendeng. Kepalanya dimiringkan pada arah pintu masuk. Jajang terdiam sejenak, mencoba menerka siapa yang berani mengikutinya. Feelingnya tertuju pada Basir karena tadi ia sempat berpapasan dengan pria itu. Tidak menutup kemungkinan juga, sebab Basir orang yang nekatan, juga terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. "Sepertinya, saya tahu siapa orangnya, Ki. Jadi, saya harus melakukan apa?" Yang ditanya malah terkekeh, lalu ia menjawab, "Biarkan saja. Sudah Aki bilang, yang masuk akan sulit keluar. Tadi Aki membuat jalan tipuan. Dia akan tersesat. Sekarang kita keluar dengan tenang." Setelah Jajang mengangguk, keduanya keluar dari ruangan sempit itu—menelusuri lorong demi lorong yang ha

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Keadaan Nilam di Alam Sana

    "Punten, Ki, saya baru datang," ucap Jajang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat pada pria tua yang tubuhnya sudah sangat bongkok itu.Namanya Ki Gendeng. Ia berasal dari desa sebelah—Desa Patapaan. Sesuai namanya, Gendeng, orang-orang menganggapnya tidak waras karena terlalu banyak belajar ilmu hitam. Kerap kali Ki Gendeng bicara seorang diri. Namun, Tak jarang pula ia kedatangan pasien yang meminta petunjuk agar bisa melakukan pesugihan ataupun menyantet orang lain.Ki Gendeng mengangguk. Ia mengajak Jajang untuk masuk, sebab ada ritual yang sedari kemarin Jajang minta, tetapi belum bisa dilaksanakan karena syarat belum memenuhi. Keduanya berjalan menuju lorong gue, di mana di bagian paling dalam terdapat sebuah ruangan yang dulu sering dipakai oleh para sesepuh desa.Ruangan tersebut berukuran kecil, di atasnya terdapat bebatuan yang menonjol ke bawah. Menurut Ki Gendeng, orang yang sembarang masuk, akan susah kembali lagi karena gua dijaga oleh para pengikutnya. Dalam arti

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Kala Hati Tersakiti

    Sepulang dari pencarian, Basir memilih untuk tidak pulang ke rumah, melainkan berbelok arah menuju rumah Darsan. Sebelum Bagas datang, ia harus jadi orang pertama yang mengetahui apa yang terjadi pada Darsan. Jika ia simak obrolan Bagas tadi, pria itu menjadi salah satu orang yang dicurigai.Sepanjang jalan, pria itu menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang peduli akan langkah kakinya. Beberapa memang berpapasan, bertanya Basir mau pergi ke mana. Pria itu hanya menjawab, mau ke perkebunan.Awan di langit sudah tak seputih kapas, berumah menjadi jingga kemerahan. Basir semakin mempercepat langkahnya karena waktu Ashar akan segera berkahir. Beberapa meter dari tempatnya kini, sudah terlihat rumah Darsan yang dindingnya masih berupa bilik bambu. Dari luar, tampak begitu sepi.Setelah sampai, Basir mengetuk pintu perlahan seraya mengucapkan salam, "Assalamualaikum."Hening, belum ada jawaban. Yang terdengar hanya geresak-gerusuk langkah kaki dari dalam. Kembali Basir mengucap s

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Pengakuan Nyai Kusuma

    Bu Rahayu yang sudah mendekati Teh Rita dibuat terkejut ketika pintu tiba-tiba menutup dengan begitu kencang. Wanita yang memakai abaya hitam itu masih berdiri di belakang, memberi jarak kalau-kalau terjadi sesuatu. Tak berapa lama, Teh Rita menoleh dengan raut wajah datar, bawah matanya menghitam. Tanpa rasa gentar, Bu Rahayu bertanya, "Ada apa kau ke sini, Kusuma?" Gerakan spontan Teh Rita saat berdiri sedikit membuat Bu Rahayu tersentak. Kusuma seakan sengaja menggunakan tubuh Teh Rita untuk membuat Bu Rahayu lemah. Sampai-sampai, wanita yang masih memakai mukena itu dibawa merayap di dinding. "Hentikan, Kusuma!" bentak Bu Rahayu, ia takut jika Nyai Kusuma sengaja menjatuhkan Teh Rita dari atas langit kamar. "Urusan kita belum selesai, Rahayu!" Suara serak dan berat itu menggema, seperti sebuah ruangan kosong yang menghasilkan pantulan. "Matinya manusia sama dengan menyelesaikan urusan dunia. Jadi, sudah tidak ada lagi yang perlu diselesaikan. Pulanglah dengan tenang Kusuma."

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Ketakutan Darsan

    "Duduk dulu, Kang, tenang. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Wahyu pada Basir, di mana pria itu terus saja menanyai masalah hilangnya Karim. Suara lembut dari Pak Wahyu sedikit memberi pendinginan pada Basir. Ia pun mengajak dua pria lain yang ikut untuk duduk di sofa. Basir juga meminta Bagas untuk menghubungi Pak Lurah agar ada penindakan pada kasus yang sudah dua kali terjadi ini. Karena Bagas masih dalam keadaan lelah, ia pun sampai kebingungan mencari ponselnya. Akhirnya, Ridwan menghubungi bapaknya agar segera datang ke kediaman Pak Wahyu. Untung saja di jam seperti ini, Pak Lurah sudah bangun untuk menunaikan salat sunah. Dalam posisi duduk, Pak Wahyu meminta semua untuk beristigfar dahulu agar menemukan titik terangnya, sebab ia masih merasa bingung kenapa Basir bisa ngotot menyalahkan hilangnya Karim adalah ulah dari keluarga Pak Wahyu.Basir pun menceritakan semuanya. Dari awal mulai mereka janji bertemu, satu panggilan masuk, hingga cerita Siti yang menyebutkan bahwa s

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   KABUR!

    Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Manusia Tanpa Otak

    Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Derita Karim

    Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu

DMCA.com Protection Status