"Gimana, Pak? Nilam sudah ketemu?" Bu Rosidah langsung menghampiri suaminya yang baru saja datang. Wajah pria itu sangat kusut, ia hanya menatap istrinya sekilas lalu pergi ke kamar sembari mengusap wajahnya dengan mengucap istigfar beberapa kali.Gerakan mata Bu Rosidah seakan mengikuti laju Pak Wahyu. Ia hendak mengejar, tetapi Nur menarik tangan ibunya supaya memberi waktu pada Pak Wahyu untuk istirahat sejenak. Kegiatan pencarian dari pagi sampai sore pasti sangat melelahkan. Harapan satu-satunya adalah jawaban dari Bagas. Bu Rosidah sampai mencecar banyak pertanyaan pada menantunya itu, seakan tidak memberi kesempatan pada Bagas untuk berbicara barang sedikit pun. "Bu, nanti dulu atuh. Kan, Bapak sama Aa baru sampe rumah," jawab Nur. Perasaannya mengatakan jika tidak ada kabar baik sama sekali dari Nilam, itu terlihat dari wajah-wajah kecewa serta desah napas yang berat dari para pria yang baru saja datang. Namun, Bagus paham akan kekhawatiran Bu Rosidah, ia langsung mengajak
Setelah salat Magrib, suasana rumah Pak Wahyu tampak hening. Pak Wahyu dan istrinya masih berada di kamar, sedangkan Nur, Indah, serta Bagas berada di meja makan. Karena suasana duka, mereka sampai lupa makan. Perut baru bisa terisi setelah Bagas membeli makanan di luar. "Ibu sama Bapak udah makan, Neng?" tanya Bagas sembari menyuap satu sendok nasi dengan lauk tempe orek."Ini mau Neng anterin, A. Sok Aa makan dulu yang banyak. Mau ke kantor desa lagi, kan?" Pertanyaan itu diangguki oleh Bagas. Pria itu fokus makan, sedangkan Nur dan Indah menata nasi di piring dengan menu yang apa adanya, terpenting kedua orang tuanya mau makan. Setelah makan rencana Bagas akan pergi, pria itu melarang Pak Wahyu untuk ikut lagi."Biar aku yang anter ke kamar, Teh. Teteh temenin A Bagas aja." Nampan yang sudah berisi dua piring nasi beserta dua gelas air putih itu dibawa oleh Indah ke kamar. Tak lupa Nur meminta adiknya untuk menyuapi ibunya kalau perlu, sekalian memijat kaki. Merasa perutnya tida
Sudah tiga hari lamanya pencarian Nilam terus dilakukan. Untuk menghindari warga yang kelelahan, Pak Lurah sampai mengatur jadwal layaknya jadwal ronda. Begitu juga Bah Karsun, setiap malam beliau mencoba berzikir agar bisa berinteraksi dengan 'mereka' yang membawa Nilam, sayangnya mereka belum ingin terbuka. Bu Rodiah terlihat lebih kurus, seharian ia hanya duduk di teras—menatap jalanan, berharap semoga anaknya segera datang. Untung saja Nur dan Indah bersedia bulak-balik dari desa mereka ke Desa Wangunsari untuk mengurus Bu Rodiah. Untuk Pak Wahyu, beliau sudah tidak terlalu menunjukan kesedihannya, bahkan masih ikut aktif mencari. Pagi-pagi sekali Indah sudah datang membawa beberapa sayuran mentah untuk dimasak di rumah ibunya. Wanita berjilbab segitiga merah itu memarkirkan motornya di halaman, lantas menyalami Bu Rodiah yang masih duduk di teras. Kantung matanya tampak turun, akibat kurang istirahat. "Ibu, masuk, yuk. Teh Indah bawa bubuk cokelat, oleh-oleh dari A Hafiz. Past
Sebelum Bu Rahayu bercerita tentang kejadian semalam, Ela sadar dari pingsannya. Cepat-cepat Teh Rita membantu gadis itu berdiri lalu merebahkan badannya terlebih dahulu di ranjang agar lebih baikan. Tak lupa Bu Rahayu meminta putrinya membuatkan teh manis hangat untuk Ela. "Makanya, jangan ngelamun. Harus banyak istigfar," ucap Bu Rahayu sembari memijat kaki Ela. "Gak usah dipijat atuh Bu. Ela teh gak enak sama Ibu kalo kayak gini," ucap gadis itu berusaha bangkit dari posisi berbaringnya, tetapi Bu Rahayu menahan supaya Ela tetap diam. "Kamu udah Ibu anggap anak sendiri. Jangan ada bahasa gak enak segala. Sok diem sekarang mah. Namanya orang kesurupan, sebadan-badan sakit." Bu Rahayu beranjak dari ranjang, lantas berjalan ke arah nakas untuk mengambil minyak cengkeh di laci. Beliau dan Teh Rita selalu punya minyak itu untuk menghilangkan masuk angin dan juga pegal di badan. Tak berapa lama, Teh Rita datang membawa segelas air yang masih mengepul, ia menyimpan air tersebut di nak
Kedatangan Hafiz dan dua orang asing di jam malam itu disambut oleh keluarga Pak Wahyu. Nur sampai menyimpan ponsel milik Nilam di tempat paling aman. Tadinya, ia ingin langsung mencari nomor Putri, tetapi waktunya sangat kurang tepat. Nur dan Bu Rosidah dibuat saling pandang ketika melihat penampilan salah satu tamunya. Pria itu memiliki rambut putih dan panjang sampai pundak. Ia memakai ikat kepala batik, bajunya serba hitam, ditambah segala macam aksesoris dari batu-batuan membuatnya terlihat begitu ramai. Belum lagi janggut tangannya sibuk mengusap janggut yang senada dengan warna rambut. "Pak, Bu," ucap Hafiz sembari menyalami mertuanya dengan takzim. "Perkenalkan, ini namanya Abah Padri, beliau akan membantu kita untuk mencari Nilam."Ada senyum keterpaksaan dari Pak Wahyu. Bukan tidak senang, ia bersyukur banyak orang baik yang ingin menolong, apalagi ini menantunya sendiri. Hanya saja, ia tidak mau menambah beban dengan melibatkan lagi orang luar. "Silakan duduk dulu," ucap
Semua orang seolah membeku ketika seseorang memanggil dari luar. Gegas Nur berlari ke arah pintu lalu membukanya. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan ketika mengetahui siapa yang datang saat ini. Yaitu Teh Rita. Memang tidak dipungkiri, suara Teh Rita dan Nilam memiliki kemiripan.Ada desah kecewa dari Bu Rosidah. Wanita itu menjatuhkan diri di sofa, merasakan ulu hatinya sakit, juga asam lambung yang kembali naik akibat cemas berlebihan. Kalau sudah seperti ini, kakinya ikut mendadak lemas. Indah yang melihat wajah pucat ibunya buru-buru menghampiri. "Assalamualaikum. Maaf kalau saya teh sudah menganggu malam-malam. Sebenarnya saya tidak enak, tapi saya lihat lampu rumah ini masih menyala. Jadi, terpaksa saya ke sini buat nganterin ini." Teh Rita membuka tote bag yang ia bawa lalu menyerahkan kebaya putih dan kain milik Nilam yang diantar secara gaib. "Waalaikumsallam." Dahi Nur mengernyit, ia menatap pakaian yang dipakai oleh adiknya terakhir kali saat dia pergi. Bu Rosidah langsung
Tepatnya sekitar 44 tahun yang lalu, saat itu Rahayu berumur 16 tahun. Namun, keterbelakangan status sosial membuat anak pada zaman itu menikah di usia dini. Umur 16 tahun dianggap sudah sangat matang untuk berumah tangga.Rasa bahagia tentunya tengah menyelimuti perasaan Rahayu karena sang kekasih yang bernama Jaya, datang melamar. Dengan lantang Jaya meminta Rahayu pada Abah Yusman dan Mak Dasimah, pria itu ingin mempersunting Rahayu dengan segera."Abah mah gimana Rahayu saja. Kalau putri Abah mau, ya, silakan," ucap Abah Yusman sembari menghisap cerutu. Bau tembakau menguar, asapnya memenuhi rumah dengan dinding bilik tersebut. Rahayu tampak malu-malu di samping sang ibu ketika abah dan emaknya menatap ke arah Rahayu, seakan meminta jawaban. Perasaan cinta untuk Jaya terlampau besar, rasanya Rahayu sudah sangat mantap untuk menjalani hari-hari sebagai istri. Gadis berkebaya cokelat dengan motif bunga kecil itu mengangguk, membuat Jaya tersenyum bahagia. Pekerjaan sebagai buruh t
Langkahnya terhenti kala ia melihat Kusuma memeluk Jaya begitu erat. Tak ada kata yang keluar, hati Rahayu seperti teriris belati. Bibirnya bergetar, bebarengan dengan telapak tangan yang dingin dan berkeringat. Kedua insan itu berdiri di jalan setapak yang memisahkan ladang kanan dan kiri. Sementara itu, Rahayu langsung bersembunyi di sebelah kanan, tetapi masih bisa menyaksikan pemandangan mesra di depan sana. "Kenapa Akang malah mau nikah dengan Rahayu? Padahal, selama ini Akang tahu kalau Kusuma cinta sama Akang," ucap Kusuma, suaranya terdengar bergetar, tetapi masih ada desah manja yang keluar. Tangan Rahayu langsung mengepal di dada, merasa degup jantungnya mengencang. Ia tidak menyangka, padahal selama ini Kusuma terkesan mendukung hubungannya dengan Jaya. Jika saja Kusuma bilang, mungkin pantang bagi Rahayu untuk membuka hati. "Kita itu bagai bumi dan langit. Nyai anak Juragan, sementara saya hanya buruh tani. Tidak mungkin akan ada kisah cinta seperti dongeng. Nyai Kusum
Keluarga Pak Wahyu hanya berdiri di depan pintu kamar Nilam, di mana dari dalam terdengar suara-suara aneh dan mengerikan. Mereka tampak pasrah, sebab Nilam kembali mengamuk sampai tali di tangan dan kakinya terlepas. Pilihan terakhir adalah mengunci pintu, membiarkan gadis itu sendirian.Knop pintu terlihat diputar-putar dari dalam. Suara gedoran yang ekstrim membuat pintu itu sedikit mengalami kerusakan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengaji dari luar kamar. Begitu yang dilakukan Bu Rosidah dan Nur. Sementara Pak Wahyu hanya duduk di sofa ruang keluarga, matanya fokus menatap dinding bercat putih.Hal yang sama juga dialami oleh Indah. Wanita itu mengurung diri di kamar karena Hafiz tidak memberinya kabar. Hari-harinya disibukkan mengecek ponsel, berharap ada notifikasi dari suaminya. Indah kerap kali menelepon, hanya saja laporan selalu sama, bahwa nomor Hafiz di luar jangkauan.Seburuk-buruknya seorang suami, Indah tetaplah mencemaskan keberadaan Hafiz saat ini. Setidaknya,
Obrolan Jajang dan Ki Gendeng seketika terhenti kala mereka mendengan suara langkah kaki dari luar ruangan. Keduanya terdiam cukup lama, memastikan tidak salah dengar. Jari telunjuk Ki Gendeng terangkat, seakan memberi tanda untuk tetap diam. "Kayaknya teh ada yang ngikutin kamu, Jang," bisi Ki Gendeng. Kepalanya dimiringkan pada arah pintu masuk. Jajang terdiam sejenak, mencoba menerka siapa yang berani mengikutinya. Feelingnya tertuju pada Basir karena tadi ia sempat berpapasan dengan pria itu. Tidak menutup kemungkinan juga, sebab Basir orang yang nekatan, juga terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. "Sepertinya, saya tahu siapa orangnya, Ki. Jadi, saya harus melakukan apa?" Yang ditanya malah terkekeh, lalu ia menjawab, "Biarkan saja. Sudah Aki bilang, yang masuk akan sulit keluar. Tadi Aki membuat jalan tipuan. Dia akan tersesat. Sekarang kita keluar dengan tenang." Setelah Jajang mengangguk, keduanya keluar dari ruangan sempit itu—menelusuri lorong demi lorong yang ha
"Punten, Ki, saya baru datang," ucap Jajang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat pada pria tua yang tubuhnya sudah sangat bongkok itu.Namanya Ki Gendeng. Ia berasal dari desa sebelah—Desa Patapaan. Sesuai namanya, Gendeng, orang-orang menganggapnya tidak waras karena terlalu banyak belajar ilmu hitam. Kerap kali Ki Gendeng bicara seorang diri. Namun, Tak jarang pula ia kedatangan pasien yang meminta petunjuk agar bisa melakukan pesugihan ataupun menyantet orang lain.Ki Gendeng mengangguk. Ia mengajak Jajang untuk masuk, sebab ada ritual yang sedari kemarin Jajang minta, tetapi belum bisa dilaksanakan karena syarat belum memenuhi. Keduanya berjalan menuju lorong gue, di mana di bagian paling dalam terdapat sebuah ruangan yang dulu sering dipakai oleh para sesepuh desa.Ruangan tersebut berukuran kecil, di atasnya terdapat bebatuan yang menonjol ke bawah. Menurut Ki Gendeng, orang yang sembarang masuk, akan susah kembali lagi karena gua dijaga oleh para pengikutnya. Dalam arti
Sepulang dari pencarian, Basir memilih untuk tidak pulang ke rumah, melainkan berbelok arah menuju rumah Darsan. Sebelum Bagas datang, ia harus jadi orang pertama yang mengetahui apa yang terjadi pada Darsan. Jika ia simak obrolan Bagas tadi, pria itu menjadi salah satu orang yang dicurigai.Sepanjang jalan, pria itu menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang peduli akan langkah kakinya. Beberapa memang berpapasan, bertanya Basir mau pergi ke mana. Pria itu hanya menjawab, mau ke perkebunan.Awan di langit sudah tak seputih kapas, berumah menjadi jingga kemerahan. Basir semakin mempercepat langkahnya karena waktu Ashar akan segera berkahir. Beberapa meter dari tempatnya kini, sudah terlihat rumah Darsan yang dindingnya masih berupa bilik bambu. Dari luar, tampak begitu sepi.Setelah sampai, Basir mengetuk pintu perlahan seraya mengucapkan salam, "Assalamualaikum."Hening, belum ada jawaban. Yang terdengar hanya geresak-gerusuk langkah kaki dari dalam. Kembali Basir mengucap s
Bu Rahayu yang sudah mendekati Teh Rita dibuat terkejut ketika pintu tiba-tiba menutup dengan begitu kencang. Wanita yang memakai abaya hitam itu masih berdiri di belakang, memberi jarak kalau-kalau terjadi sesuatu. Tak berapa lama, Teh Rita menoleh dengan raut wajah datar, bawah matanya menghitam. Tanpa rasa gentar, Bu Rahayu bertanya, "Ada apa kau ke sini, Kusuma?" Gerakan spontan Teh Rita saat berdiri sedikit membuat Bu Rahayu tersentak. Kusuma seakan sengaja menggunakan tubuh Teh Rita untuk membuat Bu Rahayu lemah. Sampai-sampai, wanita yang masih memakai mukena itu dibawa merayap di dinding. "Hentikan, Kusuma!" bentak Bu Rahayu, ia takut jika Nyai Kusuma sengaja menjatuhkan Teh Rita dari atas langit kamar. "Urusan kita belum selesai, Rahayu!" Suara serak dan berat itu menggema, seperti sebuah ruangan kosong yang menghasilkan pantulan. "Matinya manusia sama dengan menyelesaikan urusan dunia. Jadi, sudah tidak ada lagi yang perlu diselesaikan. Pulanglah dengan tenang Kusuma."
"Duduk dulu, Kang, tenang. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Wahyu pada Basir, di mana pria itu terus saja menanyai masalah hilangnya Karim. Suara lembut dari Pak Wahyu sedikit memberi pendinginan pada Basir. Ia pun mengajak dua pria lain yang ikut untuk duduk di sofa. Basir juga meminta Bagas untuk menghubungi Pak Lurah agar ada penindakan pada kasus yang sudah dua kali terjadi ini. Karena Bagas masih dalam keadaan lelah, ia pun sampai kebingungan mencari ponselnya. Akhirnya, Ridwan menghubungi bapaknya agar segera datang ke kediaman Pak Wahyu. Untung saja di jam seperti ini, Pak Lurah sudah bangun untuk menunaikan salat sunah. Dalam posisi duduk, Pak Wahyu meminta semua untuk beristigfar dahulu agar menemukan titik terangnya, sebab ia masih merasa bingung kenapa Basir bisa ngotot menyalahkan hilangnya Karim adalah ulah dari keluarga Pak Wahyu.Basir pun menceritakan semuanya. Dari awal mulai mereka janji bertemu, satu panggilan masuk, hingga cerita Siti yang menyebutkan bahwa s
Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l
Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj
Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu