Zayden menjawab tanpa pikir panjang, "Benar, tapi nggak sepenuhnya benar."Valerio berkata dengan raut wajah dingin, "Benar atau nggak? Aku tanya dan kamu harus jawab dengan pasti. Nggak boleh bohong dan jawab asal."Zayden mengangkat bahunya dan menjawab tidak berdaya, "Mamaku, memang Briella, tapi aku datang ke perusahaan untuk bertemu denganmu, bukan Mama."Alis dingin Valerio sedikit terangkat, lalu dia bertanya bingung, "Bertemu denganku? Kenapa?""Aku mencarimu karena aku melihat wajahmu di berita." Zayden berdiri dan menepuk-nepuk Rony yang duduk di kursi depan, "Om, lihat. Aku sama Pak Valerio sangat mirip, 'kan?"Rony tidak berani mengeluarkan suara, hanya mengangkat pandangannya untuk melihat bocah kecil di dalam mobil melalui kaca spion, lalu tersenyum gemas.Sejak Valerio menggendong anak itu ke dalam mobil, dia menyadari kalau anak itu terlihat sangat mirip dengan Valerio. Dia sempat beranggapan kalau Pak Valerio menyembunyikan anaknya dengan sangat rapat, sampai sudah seb
Zayden sudah punya perkiraan sendiri di dalam hatinya. Dari apa yang dikatakan Valerio, Mama menitipkannya di rumah Ibu, sementara Mama sendiri tinggal di rumah pria lain!"Karena Mama Briella tinggal di rumah Pak Valerio, maaf karena sudah merepotkan. Aku akan menjemput Mama hari ini."Zayden bersedekap seperti orang dewasa dengan tubuh kecilnya. Dia menunjukkan sikap yang hampir sama persis dengan pria yang duduk di sampingnya. Mama pasti mengalami kesulitan karena tinggal di rumah orang lain. Di saat seperti ini, sebagai satu-satunya pria di keluarga, dia harus mengambil sikap."Jemput?" Valerio mengangkat alis dan melirik anak laki-laki yang duduk di sampingnya, yang wajahnya saat ini terlihat seperti pahatan yang sempurna. "Di saat masalah belum jelas, jangan harap kamu dan Mama mu bisa pergi.""Apanya yang belum jelas?" Pikiran Zayden sudah menebak jawabannya, tetapi dia tidak mengatakannya di depan Valerio.Intinya Valerio ingin membawanya untuk melakukan tes DNA, untuk memastik
Sejak mengambil alih perusahaan, Valerio diberi tahu kalau setiap kata dan tindakannya mewakili perusahaan, setiap kata yang dia ucapkan dapat dibenarkan. Jadi, dia selalu mematikan sakelar perasaan di dalam dirinya.Hingga setelah hubungannya dengan Briella berakhir, Valerio merasakan emosi yang berbeda, emosi yang membuatnya tidak tahu harus mengungkapkannya dengan kata-kata apa. Dia tidak bisa tidur sepanjang malam dan selalu memikirkan saat-saat yang dia habiskan bersama Briella. Mereka begitu harmonis di tempat tidur. Valerio terpesona dengan tubuh Briella, tetapi dia lebih merindukan jiwanya, yang tidak bisa dia gapai."Kamu sama seperti Mama mu, keras kepala."Valerio mulai mendidik Zayden layaknya seorang ayah, "Kamu sangat pintar, anak genius yang langka, tapi kepribadianmu seperti ini. Kalau kamu nggak berubah, kamu yang akan rugi suatu saat nanti.""Pak Valerio, aku naik mobilmu bukan karena ingin mendengarkan ceramahmu yang bertele-tele. Bukannya kita lagi bahas Mama? Singk
"Aku juga nggak yakin apakah dia dalang di balik semua ini, tapi aku yakin kalau Davira juga turut terlibat."Briella mengernyitkan keningnya. Hari yang dia habiskan di penjara benar-benar kelam. Sampai saat ini pun Briella masih merasa takut saat memikirkannya. Mungkin rasa takutnya ini akan menyisakan trauma yang mendalam.Yang lebih parahnya, Briella hampir dipaksa masuk ke meja operasi untuk melakukan aborsi.Jadi, setelah mengalami semua itu, apa yang harus dilakukan Briella agar bisa hidup damai dengan kedua orang itu?Menghela napas panjang dan keras, Briella merasa kalau ini adalah masalah yang tidak dapat dipecahkan. Jadi, dia hanya bisa mengambil satu langkah pada satu waktu. Yang terpenting saat ini adalah melindungi dirinya sendiri dan kedua anaknya agar tidak terluka. Lebih baik lagi kalau Briella tidak menempatkan dirinya dalam posisi pasif.Valerio membawa Zayden ke Galapagos. Ketika dia menggendong Zayden masuk ke dalam vila, Davira langsung mengenali Zayden. Seketika,
Briella dan Nathan muncul bersamaan di ambang pintu vila Galapagos dan mata Zayden langsung berbinar saat melihat kedatangan mereka. Dia masih dalam gendongan Valerio, jadi meronta sambil berteriak, "Mama, Papa, tolong aku!"Gendongan Valerio pada Zayden makin menguat, tidak berniat akan melepaskannya.Nathan melangkah mendekat dan naik ke tangga, mengadang di depan Valerio. Karena takut melukai Zayden, dia tidak mencoba merebutnya dari gendongan Valerio. Dia hanya mencegah Valerio membawa Zayden masuk ke kamar."Dia bukan anakmu, jadi lebih baik pergi dari sini dan jangan ikut campur!""Baiklah, tapi aku akan bawa Briella dan Zayden pergi dari sini."Valerio berdiri tegak, tatapannya melihat Briella yang berada di lantai bawah, lalu berkata pelan kepada Nathan, "Dia wanitaku, jangan mimpi bisa membawanya pergi.""Sepertinya kamulah yang mimpi sambil jalan." Nathan kembali melanjutkan, "Beraninya kamu menculik anak orang lain di siang bolong! Kamu melanggar hukum. Kalau aku lapor polis
"Nathan, maafkan aku karena merepotkanmu lagi hari ini."Briella dan Nathan berjalan melewati halaman vila. Mobil Nathan diparkir di luar Galapagos, yang memang agak jauh dari vila. Mereka berjalan keluar dengan langkah pelan."Jangan bilang begitu. Kamu itu pacarku, jadi sudah jadi kewajibanku buat melindungimu.""Lebih baik kita perjelas saja semuanya." Briella menangkupkan kedua tangannya dan berkata dengan tidak enak hati, "Terima kasih karena selalu memperlakukanku sebagai pacarmu. Kamu selalu menjagaku dengan baik, terutama terkait dukungan finansial untuk ibuku yang sakit. Tapi, karena semua inilah aku nggak bisa memperlakukanmu sebagai pacarku."Nathan menghentikan langkah kakinya dan menatap Briella dengan raut wajah terkejut. Dia bertanya, "Kenapa bilang begitu?""Bagiku, dibandingkan dengan hubungan terkait perasaan, kamu adalah seorang penolong. Kalau masalah perasaan antara pria dan wanita, mungkin masih ada yang kurang dari kita untuk bisa mencapai hubungan itu."Briella
"Muncul di depanku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Apa kamu hantu?""Heh." Suara pria itu rendah dan dalam. Dia mengangkat tangannya dan melingkarkannya di pinggang ramping Briella, mencubitnya dengan pelan "Kalau hantu, orang pertama yang akan kumakan pasti kamu."Pinggang Briella terasa geli. Dia menggerakkan pinggangnya mencoba menghindar dan merasa sedikit takut.Di dunia ini, hantu lebih berakal daripada manusia. Briella memang cukup takut pada Valerio. Sebenarnya, itu karena dia memang orang yang penakut, apalagi Briella merasakan sendiri kekejaman pria ini setelah hubungan keduanya berakhir. Mungkin rasa takut ini sudah mengakar di dalam hatinya dan menimbulkan trauma mendalam."Kamu nggak perlu jadi hantu buat memakanku. Aku orang yang pernah mati, apa lagi yang harus aku takuti?"Valerio mengaitkan bibirnya, lalu menggunakan tangannya untuk mengatur rambut Briella yang jatuh di sekitar telinganya. Dia bertanya dengan penuh minat. "Oh, setelah mati sekali, kamu jadi hantu m
Melihat emosi Davira yang tidak terkendali, Briella sedikit khawatir hal itu akan berdampak buruk pada Zayden. Jadi, dia menutupi mata Zayden dan mengatakan, "Nak, pergilah bermain di tempat lain sebentar. Mama akan menemuimu nanti.""Mama, kenapa Mama nggak tanya apa yang terjadi?"Zayden tidak terlihat takut sama sekali, malah terlihat berseri-seri dengan bangga, seperti seorang jenderal besar yang baru saja kembali dari pertempuran dan mendapatkan kemenangan penuh."Bagaimanapun juga, hal seperti mendorong seseorang untuk bunuh diri seharusnya nggak dilakukan oleh anak berusia lima tahun."Valerio memasang tampang muram, dingin dan tegas. Tubuh Zayden sedikit meringkuk, lalu senyum di wajahnya menghilang begitu saja.Zayden takut pada Valerio. Meskipun dia melakukan itu untuk pertahanan diri dan melindungi Mama nya, dia tetap merasa takut saat menghadapi pria yang serius dengan aura yang kuat."Mama, Tante yang marah-marah dulu. Karena itulah aku pergi ke kamarnya dan berdandan sepe
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu