Klinton mengatur seorang aktor dengan kualitas rendah. Itu karena dia terlalu terburu-buru."Papa, Mama, Tante baru menempuh perjalanan panjang, jadi nggak sempat beristirahat dengan baik setelah sampai di sini. Kita makan dulu saja, biar Tante bisa istirahat lebih awal malam ini."Resti dan Herman mengangguk setuju. "Ya. Habis menempuh penerbangan panjang lebih dari dua puluh jam memang butuh istirahat. Ayo kita makan dulu."Pada saat itu, Davira menjentikkan jarinya dan memanggil pelayan yang menyajikan makanan. "Kemari sebentar. Aku mau pesan makanan tambahan."Pelayan datang dan membungkuk dengan hormat ke arah Davira. Dia pun menyerahkan buku menu dengan sopan ke tangan Davira."Nyonya mau tambah hidangan yang mana?"Alih-alih melihat menu, Davira langsung mengatakan, "Mau Pan Fried Foie Gras, masing-masing orang satu, ya.""Baik, kami akan menyiapkannya."Briella menoleh ke arah Davira yang meletakkan tangannya di atas meja. Davira mengetuk-ngetukkan jari-jarinya dan menatap Brie
Davira menggerutu kesal, tetapi tidak berani membantah. Dia terpaksa menjawab dengan berat hati, "Aku mengerti. Nanti aku akan makan dua porsi! Nggak seru, aku mau ke toilet sebentar. Kalian makan dulu saja."Katanya sambil berdiri dan melangkah ke toilet.Briella berbasa-basi dengan Resti dan Herman untuk mengalihkan perhatian semua orang dari Erna, lalu berdiri sambil membawa tasnya. "Permisi, aku mau ke toilet juga sebentar."Briella melangkah keluar dan berjalan menuju toilet. Dia berdiri di ambang pintu dan mendengar Davira berbicara."Aku berani bertaruh kalau Renata itu palsu! Katanya dia tumbuh besar di Negara Jerius, orang tuanya punya bisnis di Negara Jerius dan punya aset di sana? Semua itu bohong! Barusan, keluarga kami makan malam sama ibunya Renata. Ibunya bahkan nggak tahu apa itu hati angsa. Dia malah bilang suka makan hati ayam! Ya ampun, sungguh lucu! Aku sampai tertawa terbahak-bahak!"Tatapan Briella menunduk, sedikit khawatir kalau Davira akan curiga kepadanya. Lal
"Bagaimana kamu ... bisa tahu?" Davira bergumam sedikit tidak jelas, bahkan otaknya terlambat memahami situasi. "Bukan! Mana mungkin aku punya anak lain? Aku cuma punya Queena, anak kandungku dan Rio. Apa maksudmu dengan daerah Permata? Aku saja nggak pernah dengar nama itu."Briella menyipitkan matanya, tatapannya yang tajam mengamati Davira. Dia melangkah lebih dekat, memaksa Davira makin bersentuhan dengan marmer yang dingin."Aku tanya lagi. Apa kamu dan Elbert melakukan sesuatu yang memalukan?""Gila!" Tangan Davira mendorong bahu Briella, tetapi Briella langsung mencengkeram pergelangan tangannya."Ah!" Davira mengatupkan giginya, lalu menepis tangan Briella dengan kesal. "Kalau kamu bersikap seperti ini kepadaku, aku akan bilang sama Papa Mama. Aku peringatkan, sebaiknya kamu nggak macam-macam denganku. Kalau nggak, setelah kamu menikah dengan kakakku, aku nggak akan segan-segan mengganggumu tanpa ampun!"Tatapan Renata tiba-tiba membeku. Dia mengangkat tangannya dan menekan dag
Di dalam toilet, kedua wanita itu masih bertengkar. Tiba-tiba, terdengar ketukan tajam di depan pintu.Suara Klinton terdengar, "Renata, Davira, apa yang kalian lakukan di dalam?"Briella dan Davira berhenti bertengkar dan melihat ke arah pintu.Briella melepaskan cengkeramannya di leher Davira dan mendorongnya ke belakang dengan gerakan santai.Davira tersandung ke belakang, hingga bagian belakang kepalanya membentur dinding yang dingin dan keras. Saat menyentuhnya dengan tangan, ternyata kepalanya berdarah.Briella mencuci tangannya dan merapikan lipstiknya. Dia melirik Davira dengan tatapan dingin. Saat ini, di dalam hatinya ada semacam perasaan lega saat melihat penampilan menyedihkan Davira.Dia merapikan lipatan-lipatan di gaunnya, lalu membuka pintu yang tidak terkunci. Setelah pintu terbuka, Briella melihat wajah Klinton di depan pintu."Kenapa kalian lama sekali? Apa yang terjadi?""Aku baik-baik saja. Kamu seharusnya mengkhawatirkan adikmu."Briella berkata dengan tenang, ber
Briella menanggapi kekhawatiran Resti dengan santai dan menjawab dengan tenang."Nggak apa-apa, Tante. Kalau kalian mengkhawatirkan putri kalian, silahkan saja memeriksanya. Ibu juga sudah lelah karena menempuh penerbangan yang panjang. Setelah menemani Ibu makan, kami akan kembali untuk beristirahat."Klinton berkata dengan suara pelan sambil mengisi piring Briella dengan makanan."Kamu adalah bintang utama acara malam ini. Kedua keluarga kita ada di sini untuk membahas pertunangan.""Aku masih belum siap." Briella berbisik di telinga Klinton, "Ada beberapa hal yang belum aku pastikan."Tangan Klinton yang sedang menyantap makanannya berhenti sejenak, lalu melirik Briella. "Sebaiknya kamu nurut atau kamu yang akan dirugikan sendiri nantinya."Mendengar ini, Briella sedikit, merasa tidak terima dengan sikap Klinton yang memaksa."Aku nggak punya niat tunangan denganmu secepat ini. Kenapa kamu masih nggak ngerti?""Makanlah dulu." Klinton mengambilkan lebih banyak makanan ke dalam pirin
Erna ikut menoleh, lalu bertanya pada Briella, "Briella, siapa pria itu? Apa kamu mengenalnya?"Briella memberikan kartu lift dan kunci kamar kepada Erna. "Ibu turun dulu dan tunggu aku di rumah."Erna mengambil barang-barangnya dan membuka pintu mobil untuk keluar. Dia bertatapan dengan Valerio sambil sedikit bertanya-tanya di dalam hati.Dia benar-benar tidak menyangka kalau kemampuan gadis yang dia pungut dari hutan sangat hebat. Para pria yang mendekatinya lebih tampan dari pria lain. Bukan hanya tampan, tetapi juga terlihat seperti orang kaya.Tatapan tajam Valerio tertuju pada sosok Erna, yang diwarnai dengan rasa penasaran."Apa hubunganmu dengan dia?" Saat pertanyaan pria itu terlontar, terdengar seperti nada bicara seorang pria yang punya jabatan tinggi. Nadanya seperti yang biasa dia gunakan saat berbicara dengan bawahannya."Dia ibuku." Briella turun dari mobil dan menjawab pertanyaan Valerio menggantikan Erna.Valerio yang mendengar ini pun mengulurkan tangannya kepada Erna
"Mungkin kamu melewatkan sesuatu." Valerio mengingatkan, "Aku nggak percaya kalau orang yang selalu berada di sisimu, Klinton, juga terlepas dari masalah ini.""Apa yang akan kamu lakukan kalau aku menemukan bukti Davira lah yang membunuh anak itu?" Briella bertanya sambil menatap mata pria itu lekat-lekat.Davira adalah istri Valerio, yang sudah memberi Valerio seorang anak perempuan yang cantik dan manis. Briella hanya ingin tahu apakah pria itu tega melihat Davira dihukum atas perbuatannya.Valerio melangkah maju, membuat jarak keduanya begitu dekat. Bahkan mereka hampir bisa merasakan hembusan napas satu sama lain.Mata pria itu berubah muram dan simpul seksi di tenggorokannya bergulir. Dia bertanya dengan suara yang dalam, "Apa yang kamu inginkan?"Mata Briella menyalurkan kekejaman yang dalam. "Aku ingin dia membayar dengan nyawanya."Valerio mengaitkan bibirnya membentuk senyuman. "Lakukan saja."Briella tersenyum sinis. "Pak Valerio, sepertinya kamu tega melakukan itu."Pria it
Melihat kedua pria itu hendak berkelahi lagi, Briella menghentikannya dengan teriakan keras, "Sudah, kalian berdua sudah cukup! Kalau kalian mau berkelahi, pergilah ke tempat lain! Jangan berkelahi di depan rumahku! Aku nggak akan bisa tanggung jawab kalau ada yang terbunuh."Briella menatap Valerio dan Klinton bergantian, lalu berbalik dan berjalan menuju rumahnya tanpa menoleh ke belakang.Valerio melihat Klinton seperti melihat musuh. Dengan mata merah, dia mencengkeram leher Klinton dan menyematkan pria itu ke kap mobil."Klinton, aku tanya! Apa yang terjadi dengan bayi Briella?"Saat itu, Klinton menyembunyikan Briella dan berbohong kepadanya dengan mengatakan kalau bayi Briella sudah meninggal. Sekarang, apa yang Valerio tahu tidak sesederhana yang dia pikirkan. Setelah tahu kalau Klinton yang menjadi penyebabnya, Valerio bahkan punya keinginan untuk menghabisinya.Klinton terjepit di mobil, wajahnya terdorong keras oleh Valerio. Dia berusaha keras untuk membebaskan diri kari jer
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu