"Kalau mau kebenarannya, beri aku dua puluh miliar."Pesan balasan dari orang itu membuat Briella ragu. Dua puluh miliar? Bukankah ini pemerasan?"Bagaimana aku bisa percaya dengan apa yang kamu katakan?""Anakmu dianggap meninggal saat dilahirkan. Itu karena ada seseorang yang sengaja melakukannya. Yang bisa aku katakan adalah, saat ini anakmu masih hidup dengan sehat. Aku tahu lebih banyak hal lainnya. Selama kamu percaya padaku, beri aku dua puluh miliar. Ingat, jangan hubungi polisi atau kamu nggak akan pernah bertemu dengan anakmu lagi. "Briella menatap email itu sambil mengerutkan kening.Siapa orang ini sebenarnya? Yang lebih penting lagi, dia mengetahui kebenaran saat itu. Dia mengatakan kalau ada orang yang mengatur semua itu. Jadi, kemungkinan besar orang itu juga terlibat dengan apa yang terjadi saat itu.Briella ragu, merasa kalau adalah pemerasan. Orang itu menginginkan uangnya, tetapi juga sangat berhati-hati karena hanya berani menggunakan email anonim ini untuk menghub
Briella menghela napas dalam, lalu menutup laptop di depannya. Dia menoleh ke arah Klinton dan bertanya dengan sungguh-sungguh."Apa aku benar-benar bisa mengatakan tentang apa pun kepadamu ? Apa kamu benar-benar orang yang bisa aku percaya sepenuhnya?"Mata Klinton sedikit tertunduk, diikuti dengan senyuman ringan."Tentu saja, bodoh. Kita sudah melalui banyak hal bersama. Aku juga orang yang ada di sisimu saat kamu berada di ambang hidup dan mati. Apakah kamu masih meragukanku?"Briella menatap mata Klinton dengan tenang. Tatapan Klinton terlihat sangat tulus, membuat Briella tidak bisa menemukan sesuatu yang mengganjal di dalamnya.Namun, justru itulah yang membuatnya takut.Briella tidak mungkin bisa memberitahu Klinton tentang email anonim yang dia terima. Begitu Briella mengatakannya, kecurigaan akan muncul di dalam hatinya. Dia tidak ingin merusak hubungan di antara mereka berdua, jadi memilih untuk menahan diri untuk saat ini.Namun, ini bukan berarti Briella tidak memiliki sik
"Kalau nggak ada sesuatu, apa aku nggak boleh menemuimu?""Kamu nggak sekurang kerjaan itu.""Dari sikapmu ini, sepertinya kamu benar-benar marah padaku. Meskipun aku nggak bisa jadi ibu tirimu, kita masih bisa berteman.""Itu nggak sopan.""Baiklah, kita langsung saja. Tante mencarimu karena ingin minta tolong kepadamu."Zayden terpengaruh dengan perkataan Briella. "Nggak perlu bilang kata tolong di antara kita.""Aku tahu kamu nggak akan mengabaikanku begitu saja." Briella menatap Zayden, alisnya terangkat menunjukkan senyum lembut. "Aku dengar dari Queena kalau kamu anak genius, yang sangat pintar mengotak-atik komputer. Aku mencarimu karena ingin kamu membantuku memeriksa sesuatu."Alis Zayden yang berkerut terangkat, lalu bertanya pada Briella, "Apa yang ingin kamu periksa?""Masuk ke mobil dulu. Kita bicarakan di rumahku."Keduanya kembali ke rumah Briella. Briella menceritakan kepada Zayden tentang email anonim yang dia terima."Jadi, kamu ingin aku membantumu melacak informasi
Setelah mengetahui alamat orang yang mengirim email anonim, keesokan harinya Briella pergi menemui orang itu.Dia berdiri di ambang pintu, memikirkan alasan kedatangannya ke mari. Saat sedang ragu, dia mendengar suara tangisan anak kecil di dalam rumah.Kemudian, terdengar seorang wanita membujuk anak itu, "Sayang, jangan nangis. Sudah, jangan nangis, ya. Tante akan ajak kamu jalan-jalan dan cari teman buat main bareng, ya."Pintu terbuka. Seorang wanita yang menggendong anak itu melangkah keluar dan langsung bertatapan dengan Briella yang berdiri di depan pintu.Wanita itu menggendong anak itu dengan hati-hati dan bertanya kepada Briella, "Cari siapa?"Briella melihat pakaian wanita itu yang seperti pengasuh anak. Setelah melirik anak itu, Briella melirik ke dalam rumah. "Mencari pemilik rumah ini.""Pemiliknya rumah ini nggak di rumah. Kamu punya hubungan apa sama pemilik rumah ini?"Briella menjawab dengan tenang, "Kami berteman."Pengasuh itu setengah yakin. "Teman? Kamu cari tuan
Di dalam ruangan pribadi itu bukan hanya ada Klinton seorang diri. Orang tua Klinton, Davira bahkan Erna pun ada di dalam.Resti dan Herman sedang mengobrol hangat dengan Erna, sambil sesekali menyunggingkan tawa bahagia. Percakapan mereka berjalan dengan baik, bahkan suasana yang tercipta pun terlihat menyenangkan.Melihat Briella yang hanya berdiri di ambang pintu, semua orang yang ada di dalam ruangan mengalihkan perhatian mereka kepadanya.Erna menoleh dan melihat Briella. Dia melambaikan tangan dan berkata sambil tersenyum, "Renata, masuk. Jangan cuma berdiri saja."Briella tersentak kaget, lalu mengamati sosok ibu asuhnya yang sudah duduk di sana.Kenapa tiba-tiba ibu asuhnya mengubah panggilannya dan memanggilnya Renata? Melihat pakaian yang dikenakan Erna hari ini, dia terlihat berwibawa dan kaya. Rambutnya disanggul dan dihiasi dengan jepit rambut mutiara, sangat mirip dengan gaya wanita bangsawan dari keluarga kaya dan terkemuka.Penampilannya ini sangat berbeda dari gayanya
Klinton mengatur seorang aktor dengan kualitas rendah. Itu karena dia terlalu terburu-buru."Papa, Mama, Tante baru menempuh perjalanan panjang, jadi nggak sempat beristirahat dengan baik setelah sampai di sini. Kita makan dulu saja, biar Tante bisa istirahat lebih awal malam ini."Resti dan Herman mengangguk setuju. "Ya. Habis menempuh penerbangan panjang lebih dari dua puluh jam memang butuh istirahat. Ayo kita makan dulu."Pada saat itu, Davira menjentikkan jarinya dan memanggil pelayan yang menyajikan makanan. "Kemari sebentar. Aku mau pesan makanan tambahan."Pelayan datang dan membungkuk dengan hormat ke arah Davira. Dia pun menyerahkan buku menu dengan sopan ke tangan Davira."Nyonya mau tambah hidangan yang mana?"Alih-alih melihat menu, Davira langsung mengatakan, "Mau Pan Fried Foie Gras, masing-masing orang satu, ya.""Baik, kami akan menyiapkannya."Briella menoleh ke arah Davira yang meletakkan tangannya di atas meja. Davira mengetuk-ngetukkan jari-jarinya dan menatap Brie
Davira menggerutu kesal, tetapi tidak berani membantah. Dia terpaksa menjawab dengan berat hati, "Aku mengerti. Nanti aku akan makan dua porsi! Nggak seru, aku mau ke toilet sebentar. Kalian makan dulu saja."Katanya sambil berdiri dan melangkah ke toilet.Briella berbasa-basi dengan Resti dan Herman untuk mengalihkan perhatian semua orang dari Erna, lalu berdiri sambil membawa tasnya. "Permisi, aku mau ke toilet juga sebentar."Briella melangkah keluar dan berjalan menuju toilet. Dia berdiri di ambang pintu dan mendengar Davira berbicara."Aku berani bertaruh kalau Renata itu palsu! Katanya dia tumbuh besar di Negara Jerius, orang tuanya punya bisnis di Negara Jerius dan punya aset di sana? Semua itu bohong! Barusan, keluarga kami makan malam sama ibunya Renata. Ibunya bahkan nggak tahu apa itu hati angsa. Dia malah bilang suka makan hati ayam! Ya ampun, sungguh lucu! Aku sampai tertawa terbahak-bahak!"Tatapan Briella menunduk, sedikit khawatir kalau Davira akan curiga kepadanya. Lal
"Bagaimana kamu ... bisa tahu?" Davira bergumam sedikit tidak jelas, bahkan otaknya terlambat memahami situasi. "Bukan! Mana mungkin aku punya anak lain? Aku cuma punya Queena, anak kandungku dan Rio. Apa maksudmu dengan daerah Permata? Aku saja nggak pernah dengar nama itu."Briella menyipitkan matanya, tatapannya yang tajam mengamati Davira. Dia melangkah lebih dekat, memaksa Davira makin bersentuhan dengan marmer yang dingin."Aku tanya lagi. Apa kamu dan Elbert melakukan sesuatu yang memalukan?""Gila!" Tangan Davira mendorong bahu Briella, tetapi Briella langsung mencengkeram pergelangan tangannya."Ah!" Davira mengatupkan giginya, lalu menepis tangan Briella dengan kesal. "Kalau kamu bersikap seperti ini kepadaku, aku akan bilang sama Papa Mama. Aku peringatkan, sebaiknya kamu nggak macam-macam denganku. Kalau nggak, setelah kamu menikah dengan kakakku, aku nggak akan segan-segan mengganggumu tanpa ampun!"Tatapan Renata tiba-tiba membeku. Dia mengangkat tangannya dan menekan dag
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu