Rieta memegang sendok di tangannya dan sedang meminum sup. Dia mengangkat matanya untuk melihat Valerio yang duduk di seberangnya. Perlahan, dia meletakkan sendok di tangannya dan memerintahkan pelayan di sampingnya."Siapkan alat makan untuk tuan muda."Tatapan mata Valerio menyalurkan kemarahan. "Jawab pertanyaanku. Kamu meminta seseorang menculik Renata?""Cukup!" Rieta menggebrak meja keras-keras, lalu menjawab geram, "Valerio, kamu masih nggak berubah. Dulu Briella, sekarang Renata. Mereka itu wanita rendahan. Apa kamu akan merusak hubungan kita hanya karena mereka?""Hubungan di antara kita sudah hancur empat tahun yang lalu." Valerio masih menjawab tenang, "Aku tanya untuk terakhir kalinya. Apa kamu yang menculik Renata?""Ya, aku yang melakukannya! Apa yang akan kamu lakukan!" Rieta mengamuk, "Apa kamu akan melemparkanku ke laut untuk memberi makan hiu?""Aku akan melakukannya kalau bukan karena kata-kata ayahku sebelum meninggal." Valerio mencibir, "Bukankah mengubur Briella s
"Bagaimana kamu tahu kalau aku dan mereka bukan cinta sejati?" Valerio menatap Rieta dengan pandangan menghina, "Apa yang kamu sebut cinta sejati itu hanyalah keegoisan dan jelek yang kamu gunakan untuk menutupi kebusukanmu. Nggak ada satu pun kepura-puraan yang bisa mengubah fakta itu."Perkataan Valerio tepat sasaran. Sebelumnya, dia akan menahan diri dengan tidak mengatakan semua ini demi kedamaian yang terlihat di depan mata. Namun, sekarang dia tidak akan melakukannya. Apa yang dilakukan Rieta sudah keterlaluan. Valerio bukan lagi seorang pengecut seperti empat tahun yang lalu, yang bisa dikendalikan oleh Rieta.Wajah Rieta terlihat tidak mengenakan. Dia merasa tengah direndahkan karena penyamaran yang tidak bisa terkuak, yang dia sembunyikan rapat-rapat selama ini terkuak."Apa kamu tahu, Renata sudah bertunangan dengan Klinton dari Keluarga Atmaja. Dengan status ini, dia akan menjadi kakak iparmu. Kamu membela dan melindunginya seperti ini, apa kamu nggak merasa sudah bersikap l
"Beraninya kamu menjawab perkataanku! Kamu berani membantah? Baiklah, kalau begitu aku nggak akan peduli dengan kekacauan ini! Terserah apa yang akan dilakukan Valerio sama Renata. Aku nggak peduli dan aku lepas tangan!""Jangan." Davira berlutut di depan Rieta, meraih tangan Rieta yang memohon dengan getir."Bu Rieta, tolong bantu aku. Aku salah dan nggak akan berani lagi membantah ucapanmu."Davira mengatakan itu sambil menampar kedua pipinya. Para pelayan di rumah tampak tercengang dan saling bertukar pandang."Jangan berbuat gila di depanku!" Rieta melirik Davira dengan jijik. "Tinggal di sini dengan tenang untuk sementara waktu. Aku akan memikirkan cara lain."Sekarang, Rieta sangat membenci Davira. Awalnya, dia berpikir kalau sikap memberontak Davira bisa dia jadikan pion untuk menahan Valerio. Namun, sekarang tampaknya Davira sangat bodoh. Bukan hanya tidak berguna, tetapi malah membuat masalah untuknya.Untuk saat ini, selain menjadikan Davira sebagai perisai untuk melawan Vale
Briella mengganti pakaiannya, yang ternyata sangat pas dengan ukuran pakaian yang sudah disiapkan di kamar ini. Dia membersihkan diri, lalu terdengar ketukan di pintu kamar.Dia mengenakan luaran, lalu berjalan keluar untuk membuka pintu.Seorang pria tampan dengan tinggi badan sekitar 180 senti datang dengan mendorong troli yang berisi makanan. Pria itu mengenakan pakaian pelayan."Nona Renata, saya adalah asisten yang akan melayani Nona di sini. Ini adalah makan malam Anda malam ini. Apa makanan ini sesuai dengan selera Anda? Kalau ada yang kurang Nona sukai, saya akan segera menggantinya."Renata melihat makanan di troli. Itu adalah makanan yang biasa dia makan."Nggak perlu diganti. Keluarlah."Pelayan itu menata makanan yang dia bawa, lalu mendorong trolinya pergi.Briella memang sudah keroncongan sejak tadi. Demi keamanan, sebelum menyantap makanan, dia menelepon Valerio untuk memastikan apakah makanan ini memang disiapkan pihak hotel untuknya.Panggilan tersambung dan suara meng
Keesokan harinya, Briella pergi menemui Moonita sesuai kesepakatan.Pertama kali melihat Moonita, Briella langsung menghela napas haru. Memang benar kalau wanita cantik tidak akan bisa mengalahkan yang namanya usia. Setelah empat tahun, Moonita masih terlihat begitu cantik dan anggun, bahkan memiliki temperamen yang luar biasa. Hanya berada di sisinya, Briella bisa merasa tenang dan damai. Moonita memberikan kesan ramah dan tidak mudah tersinggung.Moonita juga langsung bersikap akrab saat pertemuan pertama mereka, merasa sangat senang dengan kedatangan Briella."Tahu kamu akan datang, jadi aku sengaja mengatur waktu agar kamu bisa keliling pabrik. Pabrik kita ini tidak bisa dimasuki sembarang orang."Moonita mengenakan setelan jas yang pas dengan badan, rambutnya disanggul dengan elegan. Penampilannya menunjukkan seorang pengusaha wanita yang sukses."Kalau begitu aku sangat beruntung." Briella menyambutnya dengan senang hati. Penampilan Briella hari ini juga sangat cantik, dengan ram
Briella mengagumi karya seni di hadapannya. Cahaya matahari yang masuk melalui kaca yang membentang dari lantai ke langit-langit membuat bodi mobil berkilau dengan cahaya terang dan menyilaukan. Rasanya tempat ini seperti langit malam yang dipenuhi bintang."Cantik sekali!" Briella berseru takjub untuk kesekian kalinya, "Bu Moonita benar-benar memberiku kepercayaan diri. Sebelum datang ke mari, banyak orang yang menolak ideku, bahkan mereka yang telah berkecimpung di dunia arsitektur selama bertahun-tahun berpikir kalau ideku terlalu mustahil untuk direalisasikan. Tapi Ibu bisa melakukannya. Aku juga yakin kalau aku bisa melakukan hal yang sama."Moonita merasa tersentuh oleh semangat Briella. "Di dunia ini nggak ada hal yang nggak mungkin buat dilakukan. Selama kamu punya uang dan kemampuan, kamu bisa membuat mimpi menjadi kenyataan."Briella mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa foto mobil tersebut sebagai kenang-kenangan.Moonita menunggu dengan sabar di sampingnya. Setelah
Saat siang, urusan Moonita dan Briella pun selesai. Moonita membawa Briella menuju toko kue milik pasangan itu.Dalam perjalanan, Moonita terlihat tertarik pada Briella dan berbicara tentang kehidupan pribadi."Aku ingat saat bertemu denganmu saat itu, ada seorang pria yang menjagamu. Apa hubungan kalian?""Ini ...." Briella berpikir sejenak, lalu menjawab, "Pacar. Kami akan segera bertunangan.""Bertunangan?" Nada bicara Moonita terdengar sedikit menyayangkan, lalu dia melanjutkan, "Kamu gadis yang hebat dan baik, nggak heran kalau banyak yang mengejarmu. Tapi, pria itu kelihatannya bukan dari keluarga biasa."Briella mengangguk membenarnya. "Keluarganya juga seorang pengusaha, tapi aku nggak memilih dia karena dia punya banyak uang.""Aku mengerti. Gadis sepertimu bisa cari uang sendiri. Kamu juga sangat cantik. Beruntung sekali pria yang bisa menjadikanmu istri."Briella tidak menyangka kesannya terhadap Moonita akan sebaik ini. Entah ini hanya basa-basi atau apa, tetapi rasanya san
Moonita menyadari kalau Briella sepertinya menghindari membicarakan tentang topik pernikahan. Mungkinkah rencana ini tidak sesuai dengan keinginan hatinya? Apa pernikahannya itu bukan sesuatu yang dia inginkan?Mereka berdua turun dari mobil dan berjalan ke depan toko. Senyum merekah di wajah pasangan pemilik toko kue itu setelah melihat kedatangan Briella dan Moonita."Pantas saja pagi tadi ada kicauan burung murai yang terdengar. Ternyata kalian berdua yang akan datang."Briella juga merasa senang melihat kedua orang tua itu. "Lama sekali kita nggak saling bertemu. Nggak disangka kalian masih mengingatku.""Tentu saja aku masih mengingatmu. Aku punya ingatan yang dalam tentangmu. Ayo masuk. Aku akan menyiapkan makanan untuk kalian."Briella dan Moonita menghabiskan makan siang mereka di toko kue. Sebelum pergi, Briella membungkus kue dan berencana untuk membawanya kembali ke Kota Tamar dan membagikannya kepada semua orang.Setelah kembali ke hotel untuk berkemas, Briella pun kembali
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu