Briella menoleh ke arah pria yang memanggilnya, merasa kalau dia pernah melihat wajah itu di suatu tempat.Dia berpikir sejenak, lalu teringat kalau pernah melihat karya pria itu di sebuah buku pelajaran.Samuel Baskara, seorang perancang arsitektur modern yang merupakan pendiri gaya Keluarga Baskara, yang tidak ada duanya di negara ini. Dia menggunakan sebuah karyanya untuk membuat namanya dikenal luas dalam kompetisi desain arsitektur dunia dan mendapatkan juara pertama, sekaligus mencetak sejarah baru.Barusan, dialah orang yang sedang bersulang bersama dengan Valerio.Briella menatap pria itu, wajahnya memancarkan sedikit keterkejutan. "Permisi, apa Tuan barusan memanggilku?""Ya, dengan Nona Renata?" Mata Samuel mengamati tubuh Renata, menyiratkan sedikit rasa hormat yang bercampur dengan rasa ingin tahu.Seberapa tinggi status wanita yang bisa berhubungan dengan orang-orang seperti Valerio, Klinton dan Rieta? Apalagi, barusan dia juga menyaksikan kejadian di mana Briella menggert
Mahasiswa itu ketakutan dan mundur tanpa sadar. Belum sempat dia berdiri dengan benar, sebuah tamparan dilayangkan ke wajahnya.Rieta berjalan mendekat bersama Davira. Rieta menunjuk ke arah mahasiswi itu dan berkata dengan marah, "Beraninya kamu merayu pria beristri di depan umum! Apa kamu nggak menganggap serius yang namanya pernikahan? Berlutut dan tampar dirimu seratus kali lagi."Mahasiswi itu ketakutan setengah mati, berlutut di lantai dan menarik-narik ujung jas Valerio. Dia terus menangis dan memohon belas kasihan."Pak Valerio, selamatkan aku. Aku nggak sengaja melakukannya. Aku melihatmu sendiri dan nggak punya teman wanita, jadi aku mendekatimu. Pak Valerio, tolong selamatkan aku."Valerio menyapu pandangannya ke arah ketiga wanita yang berada di depannya, lalu tatapannya terhenti pada sosok Davira.Wanita itu ahli dalam membuat masalah. Bisa dikatakan kalau situasi ini tidak terlepas dari campur tangannya.Sementara Rieta, dia sudah bisa disimpulkan sebagai dalang dari semu
Setelah mengatakan itu, Valerio membuka pintu mobil dan mengemudikannya, meninggalkan Nathan dengan debu dari lesatan mobilnya.Nathan berdiri diam dan menyaksikan mobil sport mewah Valerio menghilang dari pandangan. Matanya menyipit, kilatan kebingungan melintas di wajahnya.Pertanyaan apakah Renata dan Briella adalah orang yang sama telah berubah. Dari yang awalnya sebuah keyakinan, setelah malam ini menjadi sebuah tanda tanya besar.Tidak, pasti ada detail yang terlewatkan olehnya."Bu Rieta, terima kasih sudah menolongku malam ini. Mahasiswi itu terus berlutut dan memohon belas kasihan dariku. Aku bahkan melucuti pakaiannya dan memperingatkannya buat nggak mendekati Valerio lagi."Pesta telah usai dan Davira masuk ke dalam mobil Rieta. Dia tidak kunjung mendapati Valerio menjemputnya dari kediaman Keluarga Atmaja. Dia hanya bisa menggunakan kesempatan malam ini untuk menjilat Rieta dan mencari cara untuk kembali ke kediaman Keluarga Regulus bersamanya.Rieta bersandar di mobil dan
Davira kembali memikirkan kejadian malam itu dan tiba-tiba sesuatu terbesit di dalam benaknya. Seketika, wajahnya terlihat ketakutan."Kalau benar seperti yang aku pikirkan, itu berarti Renata sangat menakutkan. Tapi nggak ada bekas luka tembakan di tubuhnya.""Aku sudah bilang, Renata jauh lebih pintar dari Briella. Mana mungkin dia akan mengungkapkan dirinya dengan mudah? Lagipula, teknologi kedokteran sekarang ini sudah sangat maju, mengubah wajah saja bukan hal yang sulit, apalagi hanya bekas luka kecil?"Davira menelan ludah dengan susah payah. "Bu Rieta benar. Sebentar, biarkan aku berpikir sebentar ....""Oh ya. Aku menyadari sesuatu yang aneh. Awalnya Kakak mau aku pilihkan gaun buat Renata, tapi pas Renata datang, dia menjadi sangat pemilih. Bukan cuma menolak semua gaun yang aku pilihkan, dia juga bilang nggak suka sama semua gaun yang aku pilihkan ...."Rieta mengangguk. "Pasti ada alasan kenapa dia sangat berhati-hati. Sekarang kita nggak tahu alasannya. Tapi dari kejadian
Begitu mendengar nama Zayden Dominic, muncul sebuah gambaran seorang remaja laki-laki yang dingin dan sulit diatur dalam benak Briella.Zayden adalah anak pertama Valerio.Kenapa Nathan tiba-tiba menyebutkan nama Zayden?Dia tidak membalas pesan itu dan meletakkan ponselnya di samping. Dia tidak tahu trik macam apa lagi yang tengah dimainkan Nathan. Bagaimanapun juga, Briella harus menghindari kontak dengan Nathan. Kalau tidak, pasti akan sesuatu yang tidak baik yang akan terjadi.Tidak lama setelah itu, ponselnya kembali berdering, yang juga merupakan pesan dari Nathan."Kalau kamu tertarik, mau mendengarku bicara tentang Zayden?"Briella agak kesal dan langsung membalasnya."Nggak tertarik dan nggak ada waktu."Nathan membalas dengan cepat, "Apa kamu benar-benar melupakan hubunganmu dengan Zayden? Kalian sudah melalui banyak hal bersama, tapi kalian malah jadi seperti orang asing. Apa menurutmu hal ini nggak akan menyakiti Zayden?"Briella menatap pesan ini untuk waktu yang lama dan
Klinton menyalakan mobil dan melirik Briella sekilas, ekspresinya samar-samar terlihat gelisah.Dia memang menyembunyikan banyak hal dari Briella tentang Zayden. Dia pernah berjanji akan membawa Briella kembali agar mereka bisa bertemu sebagai ibu dan anak.Namun, sekarang dia punya keegoisan sendiri. Briella mengalami amnesia, jadi kenapa dia tidak bisa melupakan keterikatan itu? Kalau Zayden bersama Briella, apa yang bisa Briella berikan kepada Zayden akan berbeda sangat jauh dengan apa yang bisa Valerio berikan. Kalau Briella bersama Zayden, itu juga akan memperlihatkan celah akan identitasnya.Sekarang, Zayden bisa dikatakan hanya menjadi beban. Jadi, kenapa harus memberi tahu Briella semua itu? Itu adalah sesuatu yang tidak diperlukan.Pria itu mengangkat tangannya dan mengusap kepala Briella. "Kalau kamu sudah nggak sibuk, dua hari lagi aku akan membawamu ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan."Briella bertanya bingung, "Melakukan pemeriksaan buat apa?""Kamu mengalami kerus
Celine tidak terima saat mendengar orang lain menceramahinya. Dia adalah gadis yang menjadi idola kampus dan langsung tidak terima saat dituding oleh Briella seperti ini.Setelah itu, Celine membanting alat rias di tangannya dengan keras ke wastafel, berbalik ke samping dan berhadapan dengan Briella."Kenapa memangnya kalau aku mau mencurahkan fokusku sama seorang presdir? Aku masih muda dan jauh lebih menarik darimu. Kamu bilang begitu pasti karena cemburu dan iri kepadamu. Aku sering bertemu orang sepertimu! Kamu yang nggak mampu tapi malah iri sama orang lain! Lucu sekali!"Briella hanya bisa menggelengkan kepalanya saat mendengarkan ucapan Celine. Gadis ini benar-benar sudah tidak tertolong.Dia merapikan rambut panjangnya, tidak ingin menyia-nyiakan perkataannya untuk seorang gadis kecil ini. Jadi, dia berbalik dan keluar dari kamar mandi.Briella menginjak sepatu hak tingginya saat berjalan menyusuri koridor. Sosoknya yang ramping bergoyang pelan saat berjalan, memperlihatkan kel
Valerio berbicara di telinga Briella, meniupkan napas panas ke telinga Briella yang terasa menggelitik.Briella menggigit bibirnya, matanya terasa panas."Jadi, apa ini karena campur tangan Pak Valerio?""Kalau aku nggak bilang apa-apa, kamu pasti sudah menjadi hidangan terlezat di atas meja makan yang kamu dan Samuel santap malam ini. Jadi, sebaiknya pikirkan baik-baik, mau makan malam dengan Samuel atau denganku."Briella berpikir kalau pria ini sangat keji, mempermainkan orang sesuka hati atas dasar hak istimewa yang dia miliki."Kamu mengancamku! Menyebalkan sekali!"Valerio tertawa pelan, suaranya terdengar jahat."Bagaimana lagi? Sekarang aku sangat menginginkanmu."Briella merasa dirinya jatuh ke dalam perangkap yang telah dipasang Valerio. Bahaya menyelimuti dirinya, membuatnya tidak bisa melarikan diri.Terdengar suara seseorang berjalan di luar, itu adalah para gadis yang Briella temui di toilet barusan.Suara sombong Celine terdengar melalui pintu darurat, "Dengan penampilan
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu