"Siapkan mobil, pergi ke rumah sakit." Valerio mengabaikan perkataan Rieta dan mengambil jasnya dari sofa dan bersiap-siap untuk pergi.Dia melihat ponselnya. Briella dibawa pergi, tetapi tidak ada informasi apa pun yang muncul di ponselnya. Dia dikurung oleh Rieta di Kediaman Keluarga Regulus selama beberapa hari terakhir, jadi tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar!Wajah Valerio dingin saat melihat akan Rieta menghentikannya untuk pergi. Dia menepis tangan Rieta dan berkata dengan marah, "Apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa aku nggak dapat satu kabar pun dari siapa pun?"Rieta langsung menjawab dengan lantang, tanpa berniat menyembunyikannya, "Sejak awal, aku memang nggak berniat menyembunyikannya darimu. Tujuannya sangat sederhana, aku melarangmu membatalkan pernikahan dengan Keluarga Atmaja. Aku cuma mau mengakui Davira sebagai menantuku. Mengenai wanita pengganti itu, sebaiknya kamu putuskan hubunganmu dengannya. Kalau nggak, aku punya banyak cara buat memutuskan hubungan kal
"Valerio, aku akan terus terang. Kalau kamu berani menemui Briella, aku akan menggali kedua makam di Kota Hebar! Kalau kamu mencari wanita pengganti itu, makam kakek dan nenekmu nggak akan ada lagi. Aku mau lihat, apa kamu masih bisa bertemu dengan ibu kandungmu!"Rieta menyelesaikan kemarahannya dan kembali ke kamar. Dia membanting pintu kamar dengan keras.Valerio berdiri di tempatnya dan hatinya bergejolak. Dia bisa berkuasa di dunia bisnis dan membuat keputusan yang menentukan, tetapi dia ragu-ragu dalam masalah yang terkait dengan beberapa wanita ini.Dia bukan dewa dan bukan seseorang yang bisa melakukan segalanya. Sekarang, dia seperti jenderal tak bersenjata, tidak berdaya di medan perang dan menjadi lemah di segala lini.Pria itu merasakan ketidak berdayaan yang kuat.Hati Pak Rinto pun turut merasakan ketidak berdayaan itu. Kalau hal semacam ini terjadi kepadanya, mungkin dia tidak akan sanggup menanggungnya.Waktu terus berjalan. Valerio yang masih berdiri akhirnya duduk di
Lampu di dalam ruangan tidak dinyalakan dan jendela ditutup gorden yang menjulang dari lantai ke langit-langit. Jadi, Briella tidak bisa melihat sekeliling dengan jelas. Namun, dia yakin kalau ini bukan rumah sakit.Sepuluh menit yang lalu, Klinton membawanya ke kamar ini dan langsung menguncinya di dalam tanpa mengatakan sepatah kata pun.Briella tidak berani bergerak karena takut akan tersandung dan membuat kondisi fisiknya makin parah."Pak Klinton, dokter kandungannya di mana?"Dari luar pintu terdengar suara seorang wanita, lalu Klinton menjawab, "Di dalam."Pintu dibuka dari luar dan Klinton menyalakan lampu, diikuti oleh seorang wanita yang masuk di belakangnya."Nona Briella, silakan berbaring di tempat tidur, saya akan memeriksa keadaan Nona."Wanita itu menginstruksikan Briella sambil mempersiapkan peralatannya di samping tempat tidur.Briella menatap wanita itu dan melihat kalau wanita itu terlihat seperti seorang dokter profesional. Briella mengusap perutnya dan berbaring d
Setelah berbaring di tempat tidur untuk beberapa saat, Klinton kembali dan membawa pelayan, dia seorang wanita tua."Minumlah obat ini. Buat menguatkan kandungan."Klinton meletakkan obat itu di depan Briella. "Kalau butuh sesuatu, panggil Bi Siti saja. Dia sudah berpengalaman merawat wanita hamil, jadi akan menjagamu dengan baik."Briella tidak ingin berbicara. Dia bahkan tidak bisa membuka matanya, hanya berbaring di sana dengan bingung. Dia sangat lelah dan tertidur tanpa disadari.Ketika terbangun lagi, Briella melihat Bi Siti sendirian. Dia sedang duduk di samping tempat tidur dan menjaga Briella. Briella mendapatkan kembali energinya dan menunjuk ke arah obat di atas meja. "Aku mau minum obat."Bi Siti langsung beranjak dan mengambil secangkir air hangat. Dia mengambilkan obat Briella, menyodorkan obat tersebut ke mulut Briella bersama dengan airnya.Briella meminum obat itu dengan susah payah dan berbaring di tempat tidur lagi. Dari jendela bisa dilihat kalau hari sudah terang.
Pak Rinto memikirkannya dengan sangat hati-hati, lalu memutuskan, "Entah Pak Klinton mau melepaskan Nona Briella atau nggak, setidaknya kita harus mencari tahu dulu. Pak Valerio meminta saya untuk menjaga Nona Briella, tapi saya malah membiarkan Nona Briella dibawa pergi oleh orang lain di depan mata saya sendiri. Ini kesalahan saya. Kalau terjadi sesuatu dengan mereka berdua karena kesalahan saya, saya akan menyesal seumur hidup."Pak Rinto berkata sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Dia menjulurkan kepalanya keluar dan menatap Adrian yang masih berdiri di luar. "Maaf karena sudah membuat Pak Adrian nggak beristirahat semalaman. Biar saya saja yang urus sisanya."Adrian melirik ke arah gerbang Kediaman Keluarga Regulus yang tertutup dan kemudian menatap Pak Rinto. Dia mengibaskan rambutnya tanpa daya dan melangkah masuk ke dalam mobil.Adrian dan Pak Rinto duduk di dalam mobil yang sama dan keduanya terlihat serius, menyadari tingkat kesulitan dan keseriusan situasi ini."A
Pak Rinto menjelaskan kepada Resti dan Herman, "Sejujurnya Pak Valerio juga nggak bisa keluar dari rumah. Saya pun tengah mencari penyelesaiannya, jadi sampai datang ke mari.""Aneh. Apa hubungan Valerio nggak bisa keluar rumah sama keluarga kita?""Kalian berdua mungkin belum tahu. Semalam Pak Klinton datang ke Galapagos dan membawa kabur Nona Briella, Pak Valerio dan kami sedang cemas.""Galapagos? Nona Briella?" Resti bergumam pelan dan tiba-tiba teringat akan sesuatu, "Sekretaris yang disembunyikan Valerio? Bagaimana mungkin Klinton melakukan hal seperti itu!"Resti tercengang dan berkata sambil menggoyangkan lengan Herman, "Hubungi anak kita dan minta dia pulang sekarang juga. Aku mau tanya langsung, kenapa dia berhubungan dengan wanita yang nggak bermoral seperti itu!"Herman melambaikan tangannya ke arah Pak Rinto dan Adrian ketika melihat emosi istrinya. "Aku mau kalian pergi dalam tiga detik! Jangan memancing emosi istriku! Dia sedang mengonsumsi obat dan nggak bisa diprovokas
Begitu Pak Rinto mendengar Adrian mengatakan hal ini, dia mengalihkan perhatiannya pada penampilan Zayden. Dia pun menganggukkan kepala tanda setuju, "Memang. Anak ini sangat mirip dengan Pak Valerio. Mereka yang nggak tahu akan mengira kalau dia anak Pak Valerio. Pak Valerio juga sangat menyukai tuan muda Zayden dan menyayanginya layaknya anak kandung sendiri."Adrian mengelus dagunya sambil berpikir sejenak, tiba-tiba menoleh ke arah Pak Rinto, "Apa kalian nggak pernah melakukan tes DNA kepada anak ini?"Pak Rinto terdiam sejenak dan menimpali bingung, "Pak Adrian, maksudnya tes DNA buat menentukan kecocokan hubungan darah?""Apa lagi memangnya?" Adrian menatap Pak Rinto seperti sedang melihat orang bodoh. "Anak kecil ini bisa dibilang seperti tiruan Valerio. Apa kamu nggak curiga?""Curiga?" Pak Rinto terkejut, "Saya hanya pelayan di rumah ini, yang terkadang sedikit kewalahan dalam mengurus pekerjaan saya. Mana mungkin punya waktu luang untuk mencari tahu privasi majikan saya?"Adr
Adrian menyimpan rambut yang baru saja dia cabut dan menatap Zayden yang perlahan membuka mata dan menatapnya. Zayden merasa cukup asing dengan Adrian, jadi langsung bersikap waspada.Adrian beranjak dan melangkah mundur, mencoba menjaga jarak aman.Pria itu bersedekap dan tersenyum sinis seperti biasanya."Bagaimana keadaanmu, nak?"Zayden mengerjapkan matanya yang lebar. Saat akan berbicara, dia merasa kalau tenggorokannya terasa panas dan terasa sakit kalau berbicara.Adrian membuka tutup botol air mineral dan menyodorkannya ke mulut Zayden. "Kamu lagi demam, jadi wajar kalau tenggorokanmu kering dan serak. Jangan khawatir, minum air ini, nanti juga baikan."Zayden melakukan apa yang diperintahkan Adrian, mengambil botol air yang pria itu sodorkan dan meminumnya. Zayden yang sedang sakit itu benar-benar seperti anak kecil. Dia patuh dan lucu, memegang botol air minum di tagannya. Tatapan cerah dan jernihnya menatap Adrian lekat.Adrian juga menatap Zayden yang berbaring di ranjang.