Davira menjadi sedikit emosional di akhir ucapannya.Saat melihat tunangannya memeluk wanita lain di depan matanya sendiri, dia ingin menghampiri dan menampar Briella!Briella seorang pembohong! Dia pantas ditampar!Matanya berlinang dan dia mulai merengek pada Valerio."Aku sudah memberikan hidupku, tapi aku nggak bisa mendapatkan hatimu. Kalau kamu nggak mau menikah denganku, aku akan membuat Briella ....""Diamlah." Valerio menyela perkataan Davira."Aku ingin kamu tahu kalau aku sangat berterima kasih kepadamu karena sudah menyelamatkanku saat di laut. Malam itu, aku juga merampas malam pertamamu. Sudah sepantasnya aku menebusnya."Davira tersenyum getir.Jadi, maksud Valerio tidak ada cinta, tapi hanya kemurahan hati."Bagaimana kalau aku ingin posisi sebagai istrimu? Apa kamu akan memberikannya?"Valerio mengerutkan kening. "Aku nggak suka melakukan hal yang nggak aku inginkan."Saat ini, dia tidak ingin menikahi Davira."Kalau begitu tunangan dulu saja." Davira memalingkan wajah
"Pak Valerio, aku ingin tanya sesuatu.""Katakan." Valerio menyimpan kembali ponselnya."Kenapa kamu ingin aku berpura-pura menjadi anakmu?" Zayden memiringkan kepalanya. "Apa karena kamu nggak mau menikah sama tante itu?"Valerio tersenyum. "Nak, banyak sekali pertanyaanmu.""Ya sudah kalau nggak mau jawab. Aku datang mencarimu karena ingin membicarakan masalah kerja sama.""Kerja sama?" Valerio mengangkat alisnya dengan penuh minat. "Aku sudah menelepon ibumu dua kali untuk memintamu bergabung dengan tim riset di laboratorium penelitianku yang baru didirikan. Tapi sayangnya, ibumu nggak mau kamu bekerja sama denganku.""Nggak, nggak, nggak." Zayden menggoyangkan jarinya. "Aku sudah lima tahun dan bisa memutuskan sendiri tentang berbagai hal.""Apa kamu yakin? Aku nggak akan mempekerjakan orang yang nggak tegas."Zayden menepuk-nepuk dadanya. "Tentu saja aku yakin. Tapi aku punya syarat.""Syarat apa?""Kamu harus merahasiakan ini dari Mama. Kamu nggak boleh memberitahunya.""Kenapa m
"Om, kalau butuh sesuatu jangan telepon Mama. Langsung hubungi aku saja.""Ya."Valerio melirik kartu nama buatan tangan itu. Nilai Zayden di dalam hatinya meningkat satu poin.Jarang sekali ada anak sekecil itu yang serius dan berdedikasi pada apa yang dilakukan. Sangat mirip Briella yang membantunya. Wanita itu melakukan segala sesuatunya dengan sangat teliti, bahkan setiap detailnya dipikirkan dengan baik.Mobil Valerio memasuki permukiman tua dan melaju di jalan-jalan sempit. Setelah mengemudi dengan susah payah, dia akhirnya menemukan daerah Kenaris yang berada di jalan yang penuh dengan restoran kecil."Panggil ibumu keluar buat jemput kamu.""Nggak perlu, Om. Aku bisa pulang sendiri."Zayden membuka pintu mobil dan turun dari kursi samping kemudi. Dia berlari menyeberang jalan dan menghilang di jalanan yang penuh kepulan asap.Valerio memperhatikan Zayden berlari ke daerah sekitar. Dia melihat lingkungan sekitar melalui kaca mobil.Dia ingat kalau rumah yang disewa Briella juga
Siska mendongak dan menatap kosong ke arah pria di depannya. Dia terjebak dalam pesona tampan pria itu sampai melupakan tujuannya melarikan diri adalah untuk menemukan Briella.Nathan merasa kesal karena diganggu oleh seorang wanita yang terus menempel kepadanya. Dia mengerutkan keningnya sambil mendorong wanita itu menjauh lalu menepuk-nepuk bagian tubuh yang disentuh oleh Siska.Siska merasa sangat malu ketika dirinya dianggap menjijikkan oleh seorang pria seperti ini."Permisi, saya mau tanya. Apa Anda melihat pria dan wanita keluar dari ruangan ini? Pria itu sedikit gemuk, yang wanitanya mabuk berat dan pakai baju putih.""Nggak lihat."Nathan menyapu pandangannya ke arah Siska dan berjalan pergi dengan acuh.Siska melihat sekeliling dengan cemas dan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Briella lagi. "Lala, cepat angkat teleponnya ...."Namun, ponsel Briella terus-menerus berada di luar jangkauan.Siska tidak punya pilihan lain selain menelepon polisi.Nathan langsung tertarik ke
Hanya dalam beberapa detik, Valerio muncul di garis pandang Siska. Siska melihat pria itu berjalan ke arahnya dengan diselimuti aura dingin yang mengerikan. Rasanya tekanan udara pun turut menurun dalam jarak beberapa meter karena kehadirannya.Aura Valerio sangat mengintimidasi Siska sampai merinding. Terlihat jelas kalau Valerio sedang kesal."Sejak kapan Bu Briella punya pacar?""Saya ... saya juga baru tahu.""Di mana mereka?""Saya juga nggak tahu, Pak Valerio." Siska tiba-tiba teringat dengan apa yang diceritakan Bu Briella padanya saat makan malam tadi. Valerio benci dengan orang yang tidak tahu apa-apa saat ditanya. Jadi, Siska langsung mengeluarkan ponselnya. "Saya ... saya telepon Bu Briella sekarang juga."Telepon diangkat. "Halo ... Bu Briella ...."Tanpa menunggu Siska selesai bicara, Valerio langsung merebut telepon dari tangan Siska. "Briella, aku perintahkan kamu datang ke sini sekarang juga! Sekarang juga!"Briella terdiam. Dia memstikan nomor telepon yang menghubungin
Briella tidak mendatangi Valerio dan mobil Nathan sudah berhenti di depannya. Briella menarik kembali pandangannya dan masuk ke dalam mobil.Nathan melajukan mobilnya dan melihat ada yang tidak beres dengan ekspresi Briella.Nathan melirik melalui cermin ke arah mata Briella terfokus dan melihat Maybach yang tidak asing untuknya."Valerio?"Briella kembali tersadar dan bertanya dengan tatapan mencari tahu, "Kamu kenal Valerio?"Nathan mengangguk. "Pernah berurusan dengannya.""Bagaimana kalian bisa saling mengenal?""Kamu akan tahu nanti." Nathan tidak menjawab pertanyaan Briella dan mempercepat laju mobilnya. "Pakai sabuk pengamanmu. Aku antar kamu pulang."Briella yang sadar akan situasi itu pun langsung diam. Dia memalingkan wajahnya dan melihat keluar jendela, menatap pemandangan malam yang berlalu dengan cepat.Matanya melirik ke kaca spion mobil dan tiba-tiba menyadari kalau mobil Valerio mengikuti tepat di belakang mobil merekaDia mengucek matanya mencoba memastikan. Ternyata i
"Ke mana?"Valerio memutar balik mobilnya. Briella memiliki firasat buruk dalam hatinya. "Berhenti. Aku mau pulang!""Galapagos.""Aku nggak mau!""Nggak mau biaya perpisahan?"Briella mendengar nada peringatan dalam kata-kata Valerio dan menutup mulutnya dengan enggan.Keheningan menyelimuti sepanjang perjalanan mereka menuju ke tempat tinggal Valerio.Valerio memarkir mobil di tepi pantai. Dia menggendong Briella keluar dari mobil menuju pantai yang gelap."Dingin?"Menatap wanita dalam pelukannya, Valerio mengeratkan pelukannya dan memeluk wanita itu lebih erat.Malam ini dia sangat menginginkan Briella. Dia ingin memeluk Briella seperti ini dan melakukan sesuatu yang indah dengannya.Briella menatap mata hitam pria itu dan menunduk tidak berdaya."Ayo hentikan hubungan ini, ya?""Setelah malam ini, kamu akan bebas."Valerio menggendong Briella ke pinggir pantai, lalu menurunkannya. Telapak tangannya yang besar berada di belakang kepala Briella. Dia menunduk dan mendaratkan ciuman y
"Pulang."Briella menyentak tangan Valerio dan memungut pakaian dalam yang berserakan di karpet, lalu memakainya.Valerio beranjak duduk dan memperhatikan dengan tenang gerakan tangan Briella yang dengan lincah menyentuh punggungnya untuk mengaitkan bra."Malam ini tidur di sini saja. Besok kita ke perusahaan bareng.""Nggak perlu." Briella selesai mengenakan pakaiannya dan berbalik badan dengan tenang. Lalu, dia melanjutkan, "Pak Valerio, setelah pengacara Anda menemui saya besok untuk membahas masalah kompensasi, kita akan menjadi orang asing dan nggak akan saling mengganggu satu sama lain.""Apa harus sampai seperti itu? Briella, cara pikirmu terlalu naif."Cara pikir wanita ini terlalu optimis. Apakah dia benar-benar berpikir bisa berjuang sendirian dengan mudah setelah meninggalkan Perusahaan Regulus?"Kalau setelah ini kamu mengalami kesulitan, kamu bisa meminta bantuanku."Briella tersenyum, lalu mengatakan, "Terima kasih atas kebaikannya, Pak Valerio. Mulai besok, saya ingin me
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu