Bagian 2
Penjara Petir“Turun! Kita selesaikan baik-baik! Tak sadarkah kalian bisa membuat raja dan ratu marah?” tanya Dewi Bunga Ambaramurni. Arsa dan Jayamurcita turun dan menapaki kaki di kerajaan langit.“Ikut aku Dewa Arsa, kalau begini terus aku khawatir hukuman mati atas istrimu bisa jauh lebih cepat.” Jayamurcita mengingatkan.“Atas dasar apa kalian menangkap istriku. Dia itu dewi kebaikan, tidak mungkin berbuat yang tidak baik.”“Kanda Arsa, lebih baik ikuti saja dulu Jayamurcita. Aku yakin semua bisa dijelaskan.” Ambaramurni ingin membersihkan luka di pelipis Arsa, tapi dewa perang itu menolak.“Baik, aku akan ikut, tapi kalau sampai sesatu terjadi pada istriku, kerajaan langit ini akan aku obrak-abrik sampai hancur berantakan.” Dewa Perang Arsa menyimpan pedangnya. Ia ikut dengan Jayamurcita, tapi tak mau tangannya diikat.Dewa perang itu pergi dengan penuh wibawa diikuti oleh dewa dan dewi dibawah naungannya. Ambaramurni hanya bisa memandang saja, dewi bunga itu pun tak habis pikir mengapa seorang dewi kebaikan bisa berperilaku sangat keji. Yang seharusnya Hara menjadi contoh bagi yang lain.Aula biru menjadi sangat sepi. Bunga lili dan peony yang ditanam Hara layu begitu saja karena tidak ada kehidupan lagi di dalamnya. Pohon yang dipupuk oleh Arsa dan Hara juga mengering daunnya. Mereka merasakan apa yang sudah terjadi dan ikut berduka. Entah sampai kapan, tidak ada yang tahu.***Aula Putih Kerajaan LangitDewa penjaga gerbang langit datang membawa Dewa perang, keduanya menunduk dan memberi hormat pada raja dan ratu langit yang sudah menunggu dari tadi. Sepasang suami istri yang telah memerintah selama puluhan ribu tahun di istana langit.Seharusnya sudah ada pergantian kekuasaan, tetapi mereka sangat betah di sana. Ya, bagaimana tidak. Memimpin kerajaan langit membuat dipuja-puji oleh semua penduduk bumi. Keduanya menggunakan sutera terbaik berwarna putih dengan makhota dan perhiasan yang amat mewah. Dua orang dayang terbaik juga di sisi kiri dan kanan mereka.“Dewa Perang Arsa, kau sudah tahu kesalahan istrimu?” tanya Ratu Senandika sebagai istri dari raja langit.“Tidak tahu, Yang Mulia Ratu, aku pergi selama sepuluh tahun dan terkurung di portal iblis,” jawab Arsa tanpa rasa takut sama sekali. “Karena itulah, selama kau pergi kami yang mendisiplinkannya. Dewi Hara telah mencuri pil surgawi yang bisa meningkatkan kemampuan. Pil yang aku ekstrak sendiri dari energi murni serta tumbuhan di kerajaan langit. Kau pikir itu perbuatan terpuji?” Masih sang ratu yang berbicara.“Yang Mulia, aku rasa sebagai dewi kebaikan, istriku tidak mungkin berbuat seperti itu.” Arsa mengelak membenarkan perbuatan istrinya yang tidak ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.“jadi kau menganggapku sebagai pembohong?” Tangan kanan sang ratu menggenggam erat siggasananya.“Bukan begitu, Yang Mulia Ratu.”“Arsa, ribuan tahun sudah kau tinggal di sini, dan ratusan tahun sudah kau menikahi Hara. Kalau sekadar mencuri pil surgawi masih bisa kami maafkan. Tapi istrimu, dia kedapatan meyembah dan bersekongkol dengan iblis yang menjebakmu di dalam portal. Kau pikir kesalahan sebesar itu bisa diampuni?” Raja langit kini berbicara, Maha Dewa Wanudara membuka kedua tangannya lebar-lebar.“Maaf, Yang Mulia Raja, tapi aku tetap tidak percaya,” ujar Arsa.“Kami tahu, matamu yang sakti itu sudah tertutup cinta buta. Dia bukanlah dewi kebaikan tapi dewi kejahatan. Seharusnya tahu terima kasih karena diberikan tempat tinggal di lingkungan yang paling dekat dengan istanaku.” Ratu langit memperhatikan dan menyentuh cincin emas putihnya yang indah.“Jayamurcita, bawa Hara ke mari!” perintah raja langit.Dewa penjaga gerbang langit itu mengangguk. Ia pun menghilang dan muncul di depan Hara. Sepuluh tahun sudah dewi kebaikan itu di penjara, tidak ada jeruji besi atau kayu. Namun, petir yang dahsyat telah cukup menjadi penghalang kebebasannya. Sedikit saja Hara sentuh, maka hangus terbakar sudah sekujur tubuhnya.“Dewi Hara,” panggil Jayamurcita.Segel petir yang ia buat itu kemudian dibuka. Hara yang duduk bersila membuka matanya. Sanggul rambut acak-acakan, wajah tanpa polesan dan tak ada sutera indah melekat di tubuhnya lagi. Bahkan penampilannya lebih buruk daripada sekadar tukang kebun di kerajaan langit.“Aku bukan pencuri dan penyembah iblis,” jawab dewi kebaikan itu tanpa diminta.“Keluarlah, suamimu sudah pulang. Raja dan ratu langit sendiri yang akan menyelesaikan masalahmu.”Mendengar nama suaminya disebut Hara langsung berdiri. Dewi kebaikan itu berlari, tetapi Jayamurcita melemparkan rantai besi hingga leher sang dewi terikat. Hara jatuh, ia sesak napas karena tercekik.“Kau harus sadar kau masih tawanan.” Jayamurcita—lelaki dengan kumis tebal itu mengikat tangan sang dewi kebaikan yang berparas ayu tanpa perasaan. Keduanya berjalan menuju aula putih. Jayamurcita memegang rantai yang mengikat leher Hara.Arsa menyaksikan kedatangan istrinya. Namun, seketika senyum sang dewa perang itu luntur. Bagaimana ia bisa baik-baik saja ketika Hara diperlakukan bak seekor anjing.“Kau, beraninya!” Arsa melompat.Dewa perang itu mencabut pedangnya dan menebas rantai yang melilit leher, tangan, serta kaki Hara. Arsa memeluk erat istrinya. Hara menangis karena selama sepuluh tahun ia merindu ditambah menanggung malu akibat fitnah atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan.“Sudahi mesra-mesraannya, pisahkan mereka!” Perintah Dewi Senandika.Empat orang dewa langsung bergerak menahan Arsa karena jika sudah marah, ia bisa menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Termasuk pula Hara yang biasanya lemah lembut. Dewi kebaikan itu benar-benar diperlakukan sangat kasar.“Berlutut!” perintah sang ratu langit. Arsa dan Hara dipaksa dan terpaksa melakukannya.“Dewa Keadilan, bacakan hukuman yang akan dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh Dewi Hara.” Raja langit duduk dengan angkuh di singgasananya, sang ratu hanya menyeringai.Dari jauh Dewi Bunga Ambaramurni datang sambil memegang selendangnya. Ia juga ingin dengar apa kelanjutan dari kasus yang menimpa Dewi Hara. Dewi yang telah merenggut cinta sejatinya.“Atas kejahatan yang dilakukan oleh Dewi Hara selaku istri dari Dewa Perang, mencuri pil surgawi untuk diberikan kepada raja iblis, juga untuk diri sendiri, serta perbuatannya menjebak Dewa Arsa hingga terkunci di dalam portal iblis selama sepuluh tahun. Atas dasar pertimbangan kebaikan yang sudah dilakukan Dewi Hara selama ini, tapi juga raja dan ratu langit dituntut harus adil, maka selaku Dewa Keadilan, aku menjatuhkan hukuman cambuk seribu petir ke tubuh Dewi Hara. Hukuman yang sudah disetujui oleh raja langit.”Pembacaaan hukuman oleh dewa keadilan membuat Dewi Hara terjatuh lemas. Arsa kemudian memegang tangan istrinya. Ia mengajak Hara berdiri, apa pun kesalahan yang dituduhkan pada dewi yang wajah ayunya mengalahkan bunga itu, ia tak percaya sama sekali.“Yang Mulia raja dan ratu, jangankan cambuk seribu petir, satu kali pun aku tidak akan rela jika ada yang melukai istriku.” Arsa memberanikan diri, dia adalah dewa perang. Tidak satu pun pertarungan yang ia takuti.“Aku tahu, dengan ini artinya kau membangkang. Tangkap Dewa Arsa dan setelah itu jatuhkan hukuman cambuk untuk istrinya di depan matanya sendiri.” Raja langit memejamkan mata. Lalu ribuan pasukan langit yang dipimpin oleh dewa-dewa lain datang menghandang kepergian Arsa dan Hara.Bersambung …Mata tajam Arsa begitu awas melihat kedatangan empat orang dewa yang sama kuat seperti dirinya. Pun dengan Hara yang memegang erat tangan suaminya. Sangat mudah diprediksi jika sebentar lagi akan pecah pertarungan besar. Empat lawan satu, sudah jelas siapa yang akan menang. Sebab lawan Arsa sama tangguhnya. “Suamiku, sudah, relakan saja kalau memang aku harus dicambuk. Sepertinya hukuman ini tidak akan pernah bisa aku elakkan, walau bukan aku pelakunya.” Tubuh Hara gemetar ketika melihat empat dewa besar itu mengeluarkan masing-masing pedangnya. “Bagaimana kalau kita mati bersama saja, Istriku.” Arsa tersenyum. Lalu dari tangan kanannya muncul sebuah pusaran energi berwarna biru dan lama-lama membentuk sebuah pedang dengan ukuran yang lebih besar. Pedang itu yang ia gunakan untuk menutup portal iblis. “Tidak. Kau dewa perang, kau sangat penting bagi umat manusia. Tidak denganku yang hanya dewi kecil.” Tiba-tiba saja tubuh lembut Hara terbang dan mendarat di satu tempat. Sang dewa
Bagian 3Pecahan Jiwa Dewi Bunga Ambaramurni pergi karena tak sanggup melihat hukuman yang amat keji. Satu demi satu petir menyambar tubuh Dewi Hara hingga nantinya genap sampai seribu. Padahal tidak pernah ada sejarahnya yang berdaya menghadapi hukuman itu. Jelas sekali hanya sampai pada cambukan ke tiga puluh tubuh Dewi Hara telah berubah menjadi tembus pandang.Hara melihat tangannya sendiri, perlahan-lahan tubuhnya masih padat lalu lama-lama terasa ringan bahkan ia bisa melihat sehelai daun yang jatuh di atas perutnya. Hara melihat ke arah Arsa yang punggungnya ditusuk pedang. “Suamiku, jaga diri baik-baik. Aku pergi dulu, berbahagialah dalam hidupmu.” Dewi Hara melihat kilatan petir ke 31 yang datang meyambar perutnya. Kemudian tubuhnya menghilang dan berbaur menjadi bintang-bintang kecil di langit. Ada tujuh bintang dengan aneka warna yang ikut berpendar. Bintang itu tidak berkumpul di angkasa, melainkan turun ke bumi tanpa ada yang tahu. Jiwa Dewi Hara pecah menjadi tujuh be
Dewa Parasurama—dewa yang paling tua di kerajaan langit. Rambutnya sudah memutih semua, sekilas terlihat seperti orang tua lemah. Namun, nyatanya dia masihlah yang paling sakti bahkan mengalahkan raja langit. Dewa Rama, begitu dia kerap dipanggil oleh para dewa yang lain. Ia memang paling jarang menampakkan diri. Dewa Rama lebih suka bersemedi. Terakhir ia bertapa demi menyempurnakan kalung dengan tujuh rasi bintang yang paling kuat. Saat bangun ia dikejutkan oleh pertempuran antara dewa perang serta dewa yang lain. “Sebuah trik adu domba yang sangat dahysat,” ucap Dewa Rama di dalam kediamannya. Kalung tujuh rasi bintang itu ia pandang di atas mejanya. Yang ia lakukan tadi adalah menyelamatkan Dewi Hara. Agar hidup sang dewi tak hanya berakhir menjadi butiran bintang di langit. “Dewa Rama.” Seorang dewa pelayan datang dan membawakan lelaki itu beberapa kitab lama dari pustaka langit. Kitab yang sangat kuno dan usianya sudah ratusan ribu tahun. Memuat berbagai transkrip kejadian
“Lalu kau pikir setelah sampai di langit mereka akan membiarkan kalian hidup bahagia begitu saja? Dan tubuh istrimu itu terbagi menjadi tujuh. Bagaimana kiranya kau akan membawa ketujuhnya ke langit?” Ucapan Dewa Rama membuat Arsa terdiam dan menenangkan diri sejenak. Sang dewa perang merendahkan diri pada dewa kebijaksanaan. Ia memberi hormat tanda membutuhkan bantuan untuk membawa istrinya kembali ke langit. “Duduklah dulu agar kau tenang. Sekalipun ini neraka, tapi aku sudah meredamnya dengan esku.” Dewa Rama duduk begitu juga dengan Dewa Arsa. “Aku sangat mencintainya, Dewa Rama. Sejak dulu aku melihatnya dan menahan diri. Saat itu Hara masih sangat kecil dan belum cukup umur untuk menikah. Setelah besar aku membantunya naik menjadi dewi kebaikan karena dia memang baik dan layak, lalu kami menikah sampai jadi begini.” Arsa melihat tangannya yang akan digenggam Hara ketika tidur di malam hari, atau ketika membutuhkan pertolongan. “Aku tahu, karena itu aku ingin menolongmu. Kala
“Gadis ini tahu bernegosiasi. Dengarkan saja dia dulu, Dewa Arsa. Kalau ketahuan kau tidak akan bisa turun ke langit dengan mudah.” Dewa Rama menenangkan pihak yang hampir berseteru. Lelaki berambut putih itu tahu Dewi Ambar mencintai Dewa Arsa, dan perasaannya tidak terbalas. Jadi kesempatan yang baik selagi Dewi Bunga memegang rahasia sang dewa perang. “Kalian duduk dulu, jangan saling memandang. Kau berikan mereka minum. Nampaknya kedu dewa ini sama-sama keras.” Dewa Rama meminta pelayanya—Rogu, untuk memberikan teh dari bunga lili. “Tidak perlu, aku sudah minum teh tadi. Kita langsung sanja. Kanda Rama, pikirkan lagi aku ada di sini, untuk apa kau mencari Dewi Hara yang sudah musnah, bukankah itu tindakan sia-sia saja.” Dewi Ambar memegang tangan Dewa Arsa, tapi langsung ditepisnya. Dari dulu Arsa tak pernah punya perasaan apa-apa. Kalau memang ada tentu sudah ia pinang Dewi Ambar yang sudah lebih dulu ada di langit. Tapi biasa saja, cantik dan indah memang semua ada pada Dew
Dua orang dewa dari langit turun di bumi. Awalnya mereka pikir jatuh di salah satu tanah atau benda yang keras. Tetapi keduanya langsung tenggelam begitu saja. “Kenapa kita jatuh ke dalam laut?” Dewa Arsa tidak tenggelam, tapi beda dengan Rogu yang ilmunya belum seberapa. Kemudian dewa perang itu menyelamatkan pelayan dewa kebijaksaan. Ia berenang dan menangkap Rogu lalu membawa pemuda itu berenang dengan cepat ke salah satu pulau terpencil yang terdekat. Rogu terbatuk, dan ia muntahkan air asin yang tak sengaja diminum. “Asinnya, bajuku jadi berat.” Rogu melihat jubahnya yang berantakan. “Katakan padaku kenapa kita turun ke tengah laut, bukan bumi?” Dewa Arsa memandang dengan mata dewanya yang sakti. Sepanjang laut itu tidak ada daratan tempat bersandar. Hanya dua buah kapal yang saling berperang saja. “Gunakan kalung tujuh rasi bintang, Dewa Arsa. Cari tahu zodiak apa yang menaungi arwah pertama istrimu, lalu kau harus memahami karakternya seperti apa,” ucap Rogu sambil duduk b
Genggaman tangan Arsa sayangnya terlepas. Adara melemparkan tali dari pinggangnya. Ia berniat untuk menyangkutkan tautan pada salah satu tiang kapal. Tali itu melilit. Sayangnya, kapal perang kembali oleng karena empasan angin dan gelombang dari lautan. Alhasil Adara jatuh lagi. Arsa yang melihat istrinya jatuh terus ke dalam laut sebenarnya bisa saja langsung menghilang, tetapi ia ingat pesan Dewa Rama. “Semuanya harus berjalan alami dan apa adanya, biarkan pecahan arwah istrimu jatuh cinta padamu hingga membuat mereka lebih mudah menyatu. Saat semua berhasil kau taklukkan, percayalah ketika kembali ke langit, tak akan ada yang mampu memisahkan kalian.” Begitu pesan Dewa Rama saat Arsa dan Rogu turun di antara hujan dan kilatan petir. “Baikah, saatnya menyamar menjadi manusia bumi yang lemah dan apa adanya.” Arsa turut menceburkan diri ketika Adara telah jatuh ke laut. Ia sampai ke dalam laut dan terus mencari pecahan arwah istrinya yang berzodiak taurus. Dapat, Arsa dengan muda
Adara masuk dalam bak mandi yang berbusa dan sudah diberi lilin aroma terapi. Kebanyakan perhiasan, wewangian, dan apa pun yang ia dapatkan hasil menjarah dari kapal bajak laut. Jika Adara menyukainya maka akan ia ambil. Sebab tak mungkin mengembalikannya lagi ke pemukiman warga. Gadis bermata hijau rumput laut itu melepas kain tipis yang membalut tubuhnya. Dalam bak mandi itu ia berendam. Pelayannya ingin membantu tapi ia minta keluar. “Aku sedang ingin sendirian. Kau boleh beristirahat,” ucap sang pembasmi bajak laut. “Baik, Nona, makan malam sudah aku siapkan, juga anggur terbaik. Kalau begitu aku permisi dulu.” Riwa menutup pintu kamar mandi sang nona. Adara memejamkan mata setelah ia menenggelamkan kepalanya. Ia terbayang lagi bagaimana lelaki bernama Arsa yang seperti kata Riwa telah menolongnya. “Di antara ketua bajak laut yang telah aku bunuh dan tankap, kau yang paling mudah ditaklukkan. Apa kau punya rencana tertentu padaku?” Adara memainkan busa sabun di tangannya. Ia
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling