Share

Bukan Hara

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Lalu kau pikir setelah sampai di langit mereka akan membiarkan kalian hidup bahagia begitu saja? Dan tubuh istrimu itu terbagi menjadi tujuh. Bagaimana kiranya kau akan membawa ketujuhnya ke langit?” Ucapan Dewa Rama membuat Arsa terdiam dan menenangkan diri sejenak.

Sang dewa perang merendahkan diri pada dewa kebijaksanaan. Ia memberi hormat tanda membutuhkan bantuan untuk membawa istrinya kembali ke langit.

“Duduklah dulu agar kau tenang. Sekalipun ini neraka, tapi aku sudah meredamnya dengan esku.” Dewa Rama duduk begitu juga dengan Dewa Arsa.

“Aku sangat mencintainya, Dewa Rama. Sejak dulu aku melihatnya dan menahan diri. Saat itu Hara masih sangat kecil dan belum cukup umur untuk menikah. Setelah besar aku membantunya naik menjadi dewi kebaikan karena dia memang baik dan layak, lalu kami menikah sampai jadi begini.” Arsa melihat tangannya yang akan digenggam Hara ketika tidur di malam hari, atau ketika membutuhkan pertolongan.

“Aku tahu, karena itu aku ingin menolongmu. Kalau tidak akan kubiarkan saja Hara bersama Kuwara. Dia memang raja iblis, tapi hatinya lebih murni daripada raja langit.”

“Tidak akan kubiarkan, meskipun Hara lahir ribuan kali sebagai orang lain, akan aku bawa dia ke langit menjadi istriku!” Tangan Arsa terkepal kuat.

“Bagaimana kalau langit menolak kalian?”

“Aku dewa perang, jangan menantangku atau aku porak-porandakan langit beserta kerajaannya!” ancam Arsa.

“Baiklah, aku hanya bertanya. Aku tahu kalau hatimu itu teguh, karena itu tak butuh tubuhmu yang turun ke bumi, cukup arwahmu saja, biarkah tubuhmu terikat di neraka. Jadi tidak akan ada kecurigaan atau pengejaran. Ingat, Arsa, kau butuh ketenangan dan kekuatan untuk menemukan tujuh pecahan arwah istrimu. Mereka semua lahir dengan karakter, nama, dan zaman yang berbeda. Mereka nanti bukanlah Hara yang lemah lembut lagi. Panjang sekali perjalananmu, apa kau siap?” tanya dewa kebijaksanaan.

“Tentu saja aku siap, tapi kala—”

Belum selesai dewa perang yang gagah itu bicara, api neraka telah kembali berkobar dan menggelegak. Dewa Rama melepaskan mantranya. Arsa didorong sangat kuat hingga tubuhnya kembali terikat dengan rantai besi yang sangat besar.

“Apa-apaan ini?” Arsa memberontak, tapi saat itu juga titik tengah dahinya ditekan oleh Dewa Rama. Dewa perang itu membeku sesaat dan lelaki berambut putih tersebut menarik arwahnya keluar dari raga kasar Arsa. Sang dewa perang melihat tubuhnya sendiri yang agak halus.

“Ayo, kita keluar dari sini, sekarang juga!” Dewa Rama menarik terbang arwah Dewa Arsa.

Pelayan dewa kebijaksanaan juga turut pergi. Mereka melesat dengan cepat dan tepat waktu ketika para penjaga langit telah kembali kesadarannya. Pendek kata, Arsa masih ada di istana langit tanpa membawa apa pun.

“Dewa Rama, bagaimana kalau kita ketahuan?” tanya pelayannya.

“Tugasmu berjaga di luar. Dan curikan untukku satu pil ragawi, untuknya, sekarang!” pinta lelaki itu.

“Apa? Mana mungkin?”

“Sekarang!” desak dewa kebijaksanaan. Arsa masih memandang dirinya yang tak punya pantulan bayangan di cermin.

“Pada saatnya nanti kalau kau bertemu dengan pecahan jiwa istrimu, mereka tak akan punya ingatan sama sekali dengan kehidupan di langit. Hara lupa denganmu, bahkan dia lupa dirinya sendiri. Dia menjadi putri orang lain, bahkan menjadi istri orang lain. Tolong kau ingat itu dan jangan marah karenanya. Saat dia menerima cintamu sepenuh hati meski ingatannya tak kunjung kembali, maka tugasmu selesai, kau harus mencari Hara-Hara yang lain.” Dewa Rama duduk di kursinya. Dewa Arsa memperhatikan penjelasan seniornya.

“Lalu saat ketujuh pecahan arwah istrimu telah menerimamu apa adanya, satukan mereka menggunakan kalung rasi bintang. Kalung tersebut yang akan membimbingku ke arah mana harus melangkah. Kau tak boleh berpisah darinya. Benda kuno itu mudah rapuh, bahkan kau harus menjaganya lebih daripada Hara. Dia hilang, selesai sudah harapan kalian untuk hidup bersama.”

“Baik, Dewa Rama aku mendengarkan penjelasanmu. Jadi kapan aku bisa pergi?” tanya Arsa.

“Sabarlah, kau harus meminum pil ragawi. Kalau kau turun ke bumi seperti ini, kau hanya akan menjadi arwah gentayangan saja. Masalahnya pil ragawi dijaga oleh …” Dewa Rama mengembuskan napas panjang.

“Dewi bunga Ambaramurni. Di sebelah pil bunga untuk musim semi. Di sana, dia pernah memberitahukan padaku, entah untuk apa.” Arsa duduk di depan Dewa Rama.

“Dia menyukaimu, jangan bilang kau tak sadar. Bahkan dia itu lebih cantik daripada Hara, namanya juga dewi yang mengatur bunga bermekaran.”

“Aku tahu, tapi aku tak cinta dengannya. Hara adalah segalanya bagiku.” Arsa memegang kepalanya. Tusuk konde milik Hara ada di sana, tapi bisa tidak ada. Mungkin terjatuh saat perang atau berada di tempat yang tidak aman.

“Tungg saja. Siapa tahu pelayanku bisa mencurinya.”

Waktu terus berlalu di kediaman Dewa Rama. Sang pelayan berhasil memasuki tempat tinggal dewi bunga yang sedang sibuk mengatur pesta bunga dan buah untuk esok hari. Kediaman yang amat sangat penuh dengan bunga bermekaran. Aroma semerbak yang menguar bisa membuat lelaki lupa diri.

Dengan kekuatannya, pelayan Dewa Ram mencari di mana pil ragawi disimpan. Salah satu laci yang terbuat dari kayu cendana dan wangi luar biasa bergetar kuat. Di sana benda itu disimpan, tepat berada di sebelah pil warna-warni sesuai musimnya.

Pelayan Dewa Rama mencuri pil ragawi sebutir kemudian membawanya pergi. Ia tak sadar dari tadi ada bunga melati yang memperhatikan dan memberitahukan pada Dewi Ambar.

Dewi bunga yang memendam perasaan begitu lama pada Dewa Arsa memiliki firasat tak baik. Ia letakkan semua pil yang bisa membuat bunga bermekaran dengan indah dan pergi mengendap-endap menuju kediaman Dewa yang sudah seratus tahun tak pernah terlihat.

Dewi Ambar sampai dan terbang melayang hingga kain suteranya berkibar dengan indah. Seharusnya alasan itu cukup membuat Arsa menggilainya. Nyatanya beda mata beda cita rasa. Rasa cinta Arsa jatuh keada sosok dewi yang sederhana.

“Kanda Arsa, aku tidak salah lihat, bukan?” Dewi Ambar memejam dan membuka mata berkali-kali. Iya, di depannya ada sosok yang seharusnya menjalani hukuman di jurang neraka.

“Bagaimana bisa?” Dewi bunga bertanya-tanya. Ia masih tak habis pikir. Kalaulah Dewa Arsa lari dari jurang neraka tentu akan tertangkap basah.

“Terima kasih Dewa Rama. Akan aku ingat selalu kebaikanmu. Aku akan pergi mengumpulkan pecahan arwah istriku.” Suara Arsa terdengar oleh Ambar.

“Pecahan Arwah,” gumam Ambar. “Hah, jadi, mereka, tidak, tidak boleh, masih ada aku di sini untuk apa harus mencari Hara lagi.” Ambar tak terima kalau Hara naik lagi ke langit.

“Eh, aku belum selesai.” Dewa Rama mencegah kepergian Dewa Arsa. Sayangnya ada seorang wanita cantik yang menghadangnya.

“Kalian tak akan bisa keluar dari sini.” Dewi bunga membuka dua tangannya lebar-lebar.

“Minggir!” gertak Dewa Arsa. Terluka hati Ambar dibentak seperti itu. Tak pernah ada dewa yang berani kasar dengannya, sekalipun raja langit.

“Akan aku laporkan perbuatan kalian pada raja dan ratu, kau tak akan bisa menghalangiku.” Ambar masih tak mau menurunkan tangannya.

“Aku tak segan melawan siapa saja di depanku.” Arsa memunculkan pedang petirnya. Sekali tebas juga Dewi Ambar akan jatuh dan tersungkur.

“Kecuali, Kanda Arsa mau melakukan satu hal untukku, bagaimana? Akan aku biarkan kau pergi dengan aman dan damai untuk mencari arwah Dewi Hara.” Dewi bunga cukup lihai seperti bibinya Ratu Langit Dewi Senandika.

Bersambung …

Bab terkait

  • Roh Dewa Perang   Turun ke Bumi

    “Gadis ini tahu bernegosiasi. Dengarkan saja dia dulu, Dewa Arsa. Kalau ketahuan kau tidak akan bisa turun ke langit dengan mudah.” Dewa Rama menenangkan pihak yang hampir berseteru. Lelaki berambut putih itu tahu Dewi Ambar mencintai Dewa Arsa, dan perasaannya tidak terbalas. Jadi kesempatan yang baik selagi Dewi Bunga memegang rahasia sang dewa perang. “Kalian duduk dulu, jangan saling memandang. Kau berikan mereka minum. Nampaknya kedu dewa ini sama-sama keras.” Dewa Rama meminta pelayanya—Rogu, untuk memberikan teh dari bunga lili. “Tidak perlu, aku sudah minum teh tadi. Kita langsung sanja. Kanda Rama, pikirkan lagi aku ada di sini, untuk apa kau mencari Dewi Hara yang sudah musnah, bukankah itu tindakan sia-sia saja.” Dewi Ambar memegang tangan Dewa Arsa, tapi langsung ditepisnya. Dari dulu Arsa tak pernah punya perasaan apa-apa. Kalau memang ada tentu sudah ia pinang Dewi Ambar yang sudah lebih dulu ada di langit. Tapi biasa saja, cantik dan indah memang semua ada pada Dew

  • Roh Dewa Perang   Pembasmi Bajak Laut

    Dua orang dewa dari langit turun di bumi. Awalnya mereka pikir jatuh di salah satu tanah atau benda yang keras. Tetapi keduanya langsung tenggelam begitu saja. “Kenapa kita jatuh ke dalam laut?” Dewa Arsa tidak tenggelam, tapi beda dengan Rogu yang ilmunya belum seberapa. Kemudian dewa perang itu menyelamatkan pelayan dewa kebijaksaan. Ia berenang dan menangkap Rogu lalu membawa pemuda itu berenang dengan cepat ke salah satu pulau terpencil yang terdekat. Rogu terbatuk, dan ia muntahkan air asin yang tak sengaja diminum. “Asinnya, bajuku jadi berat.” Rogu melihat jubahnya yang berantakan. “Katakan padaku kenapa kita turun ke tengah laut, bukan bumi?” Dewa Arsa memandang dengan mata dewanya yang sakti. Sepanjang laut itu tidak ada daratan tempat bersandar. Hanya dua buah kapal yang saling berperang saja. “Gunakan kalung tujuh rasi bintang, Dewa Arsa. Cari tahu zodiak apa yang menaungi arwah pertama istrimu, lalu kau harus memahami karakternya seperti apa,” ucap Rogu sambil duduk b

  • Roh Dewa Perang   Putri Lautan

    Genggaman tangan Arsa sayangnya terlepas. Adara melemparkan tali dari pinggangnya. Ia berniat untuk menyangkutkan tautan pada salah satu tiang kapal. Tali itu melilit. Sayangnya, kapal perang kembali oleng karena empasan angin dan gelombang dari lautan. Alhasil Adara jatuh lagi. Arsa yang melihat istrinya jatuh terus ke dalam laut sebenarnya bisa saja langsung menghilang, tetapi ia ingat pesan Dewa Rama. “Semuanya harus berjalan alami dan apa adanya, biarkan pecahan arwah istrimu jatuh cinta padamu hingga membuat mereka lebih mudah menyatu. Saat semua berhasil kau taklukkan, percayalah ketika kembali ke langit, tak akan ada yang mampu memisahkan kalian.” Begitu pesan Dewa Rama saat Arsa dan Rogu turun di antara hujan dan kilatan petir. “Baikah, saatnya menyamar menjadi manusia bumi yang lemah dan apa adanya.” Arsa turut menceburkan diri ketika Adara telah jatuh ke laut. Ia sampai ke dalam laut dan terus mencari pecahan arwah istrinya yang berzodiak taurus. Dapat, Arsa dengan muda

  • Roh Dewa Perang   Secawan Anggur

    Adara masuk dalam bak mandi yang berbusa dan sudah diberi lilin aroma terapi. Kebanyakan perhiasan, wewangian, dan apa pun yang ia dapatkan hasil menjarah dari kapal bajak laut. Jika Adara menyukainya maka akan ia ambil. Sebab tak mungkin mengembalikannya lagi ke pemukiman warga. Gadis bermata hijau rumput laut itu melepas kain tipis yang membalut tubuhnya. Dalam bak mandi itu ia berendam. Pelayannya ingin membantu tapi ia minta keluar. “Aku sedang ingin sendirian. Kau boleh beristirahat,” ucap sang pembasmi bajak laut. “Baik, Nona, makan malam sudah aku siapkan, juga anggur terbaik. Kalau begitu aku permisi dulu.” Riwa menutup pintu kamar mandi sang nona. Adara memejamkan mata setelah ia menenggelamkan kepalanya. Ia terbayang lagi bagaimana lelaki bernama Arsa yang seperti kata Riwa telah menolongnya. “Di antara ketua bajak laut yang telah aku bunuh dan tankap, kau yang paling mudah ditaklukkan. Apa kau punya rencana tertentu padaku?” Adara memainkan busa sabun di tangannya. Ia

  • Roh Dewa Perang   Pusaran Laut.

    “Apa yang kau lakukan di kamarku?” Adara terbangun ketika ia merasa sudah cukup tidur. Ketika mata hijau rumput lautnya terbuka, ia terkejut karena Arsa masih di kamarnya. “Mengawasimu,” jawab dewa perang itu. “Aku tidak butuh diawasi. Aku seorang pembasmi bajak laut.” Adara masih sangat angkuh. Kemudian ia sadar bajunya tersingkap sangat jauh ketika tidur. Tentu Arsa memandangnya semalam suntuk. “Kau manusia biasa. Sibuk mengawasi orang lain, tapi lupa mengawasi diri sendiri.” Mata kuning Arsa tak lepas mengikuti pergerakan pecahan arwah Hara yang lekas merapikan rambut. “Memangnya kau apa? Dewa? Kalau sampai iya, aku akan sujud di kakimu,” cemooh gadis itu. “Pegang kata-katamu, ya, anggap saja aku memang dewa, maka aku akan meminta kau sujud di kakiku.” “Tidak pernah ada dewa yang turun ke bumi. Jangan ngelantur kau jadi orang. Riwa! Riwa!” Gadis berkulit gelap itu memanggil pelayannya. Butuh waktu lama bagi Riwa untuk sampai. Pelayan Adara terkejut ketika melihat ada lelaki

  • Roh Dewa Perang   Menagih Janji

    Jangkar telah dijatuhkan ke dalam lautan. Kemudian kapal milik Adara oleng ke kiri. Semua berpindah dengan cepat tanpa perhitungan yang tepat. Alhasil sebagian yang tak punya persiapan jatuh ke dalam samudra dan menjadi santapan putri duyung. Merahnya darah terpapar di sana. “Ganas sekali mereka,” ucap Adara. Ia berpegangan pada layar kapal. Namun, angin laut bertiup kencang. Adara jatuh, Arsa bergerak dan menangkap tangan istrinya. “Sebaiknya kau tunggu di dalam kamar dan jangan ikut campur urusan sesama dewa.” Dewa perang itu mendorong Adara begitu saja. Gadis berkulit gelap tersebut langsung berpindah ke dalam kamar begitu saja. “Bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal seperti ini. Apa dia bukan manusia?” Adara tak melihat satu pun kayu kapal yang rusak akibat dirinya berpindah begitu saja. “Tidak, ini tak masuk akal. Aku harus membantu mereka.” Pembasmi bajak laut itu ingin keluar tapi pintu kamarnya terkunci rapat. “Hei, buka pintu, buka pintunya, aku perintahkkan pada kalia

  • Roh Dewa Perang   Detak Jantung

    “Apa yang kau lakukan di kamarku.” Adara mencoba lepas dari cengkeraman Arsa, tapi apa daya tenaganya kalah jauh. Seorang manusia biasa melawan dewa perang, ya, jelas tidak sebanding. “Aku menagih janjimu.” Arsa menatap mangsa di depan matanya dengan penuh harap. Harapan agar Adara mengingat jati dirinya yang dulu, dan tidak perlu ada pemaksaan di dalamnya. Namun, ingatan masa lalu telah terhapus sepenuhnya. “Sudah aku berikan kamar, pakaian, makanan, termasuk Riwa. Apa kau tak mengambil jamuannya, Tuan.” Pergelangan tangan Adara sakit. “Sudah aku ambil semunya, kecuali Riwa. Aku tak mau dia.” “Jadi? Di sini tidak ada perempuan lain lagi selain dia,” ujar sang pembasmi bajak laut. Tiba-tiba saja Arsa melepas cengkeramannya. Namun, bukan berarti Adara bisa lepas begitu saja. Dewa perang tersebut menarik kursi kayu dan duduk di hadapan pecahan arwah istrinya. “Jelas sekali ada. Aku sedang melihatnya denngan mataku sekarang.” “Mimpi itu boleh, tapi jangan ketinggian. Memangnya ka

  • Roh Dewa Perang   Rasa yang Asing

    Adara terdiam sesaat ketika jarak wajah mereka begitu dekat. Hanya beberapa inchi saja bahkan lebih dekat daripada keberadaaan desir angin laut yang tak pernah hilang di samudra. Tidak, sekarang bahkan tak berjarak. Tangan Adara di dalam bak sampai menggenggam air. Apa yang dilakukan oleh Arsa telah membuat jantung pembasmi bajak laut itu berdetak sangat kencang seperti ketika ia menabuhkan peperangan pada para perompak. Sang kapten tak hendak melawan. Justru matanya memejam seperti halnya Arsa. Pikirannya mulai berkelana. Apakah lelaki yang tengah mengecupnya kini adalah benar seorang dewa dan dia dulu dewi. Lalu mengapa terpisahkan? Apakah semudah itu sebuah hubungan hancur. Lebih anehnya lagi Adara yang dulu keras bahkan melebihi batu, tak melawan sama sekali. Justru ia menikmati gejolak rasa yang pertama kali datang dalam dirinya. Seperti itu ternyata rasanya didekati lelaki. “Kau tak ada pengalaman sama sekali ternyata, kaku.” Tiba-tiba saja Arsa menjauh dari bibir yang baru

Bab terbaru

  • Roh Dewa Perang   107. Rubah yang Angkuh

    Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el

  • Roh Dewa Perang   106. Sepasang Kekasih?

    Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen

  • Roh Dewa Perang   105. Gunung Api & Es

    Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat

  • Roh Dewa Perang   104. Ramalan

    Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m

  • Roh Dewa Perang   103. Rubah Ekor Tujuh

    Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb

  • Roh Dewa Perang   102

    Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.

  • Roh Dewa Perang   Pilar Langit

    “Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand

  • Roh Dewa Perang   Arti Sebuah Nama

    Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc

  • Roh Dewa Perang   Air Embun Langit

    “Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling

DMCA.com Protection Status