Bagian 3
Pecahan JiwaDewi Bunga Ambaramurni pergi karena tak sanggup melihat hukuman yang amat keji. Satu demi satu petir menyambar tubuh Dewi Hara hingga nantinya genap sampai seribu. Padahal tidak pernah ada sejarahnya yang berdaya menghadapi hukuman itu. Jelas sekali hanya sampai pada cambukan ke tiga puluh tubuh Dewi Hara telah berubah menjadi tembus pandang.Hara melihat tangannya sendiri, perlahan-lahan tubuhnya masih padat lalu lama-lama terasa ringan bahkan ia bisa melihat sehelai daun yang jatuh di atas perutnya. Hara melihat ke arah Arsa yang punggungnya ditusuk pedang.“Suamiku, jaga diri baik-baik. Aku pergi dulu, berbahagialah dalam hidupmu.” Dewi Hara melihat kilatan petir ke 31 yang datang meyambar perutnya.Kemudian tubuhnya menghilang dan berbaur menjadi bintang-bintang kecil di langit. Ada tujuh bintang dengan aneka warna yang ikut berpendar. Bintang itu tidak berkumpul di angkasa, melainkan turun ke bumi tanpa ada yang tahu. Jiwa Dewi Hara pecah menjadi tujuh berkat benda kuno yang masuk ke dalam raganya.Arsa berhasil lepas dari kungkungan dewa api. Meski punggungnya sakit tertancap pedang, ia berlari mencari dan menangkap satu demi satu jiwa Dewi Hara yang masih bisa Arsa raih. Nyatanya, bintang-bintang itu tak mau betah di tangannya. Mereka kembali ke angkasa tempat asalnya.“Hei, bukankah itu artinya kalau jiwa yang berubah menjadi bintang tandanya dia tidak melakukan kesalahan,” ucap salah satu dewi yang didengar oleh Arsa.“Iya, artinya Dewi Hara bukanlah penjahat, lihat begitu terang angkasa karena kebaikan dari hatinya,” sahut dewi yang tadi menontong pertarungan dahsyat itu.“Kalau begitu artinya raja dan ratu langit salah menghukum orang?” tanya dewi yang lain.“Shuuuh, sudah, sudah, kita jangan ikut campur. Ayo, kita pergi dari sini.” Semua dewi itu pergi ketika melihat Arsa menatap mereka dengan sangat dalam.Sang dewa perang memperhatikan satu demi satu bintang dari jiwa istrinya yang kini tinggal di angkasa. Bintag yang amat sangat terang, bahkan penduduk bumi bersorak dan menganggap hari itu adalah hari keberutungan.“Sudah, kurung Dewa Arsa dan akan aku pikirkan hukuman apa yang pantas untuknya.” Raja langit berdiri dan meninggalkan aula langit yang porak-poranda akibat pertarungan besar beberapa waktu lalu.Tiga dewa itu mengikat tubuh Arsa dengan rantai besi. Sang dewa perang pasrah tapi tak rela. Lagi pula tenaganya sudah tidak cukup untuk melawan lagi. Arsa dibawa ke dalam penjara di dekat bibir jurang neraka. Penjara yang sangat panas. Semakin Arsa melawan, semakin besar api yang akan meyambar dirinya.“Pada akhirnya, semua yang telah aku lakukan demi kejayaan kerajaan langit, sia-sia saja. Istriku tewas, sebentar lagi kedudukanku pasti akan digantikan. Lalu tak lama lagi aku akan diusir dari langit.” Arsa memejamkan matanya. Dua tangan dan kakinya diikat menggantung di sisi jurang. Rasa-rasanya tak pantas seorang dewa perang memperoleh perlakuan seperti itu.“Jangan kalian pikir aku akan diam saja. Tidak! Aku seorang dewa perang. Sekarang aku kalah, tapi akan aku pastikan kalian akan menerima balasannya. Akan aku cari siapa yang telah memfitnah istriku. Akan aku balaskan dendanmu, Hara. Tunggu saja, sampai akhirnya jiwaku bisa bersamamu di angkasa.” Arsa akhirnya tak sadarkan diri. Ia lelah dan sakit akibat menutup portal iblis dan bertempur melawan sahabat-sahabatnya sendiri.***Dunia IblisRaja iblis—Dewa Kuwara, terkurung di dalam portal akibat kunci yang dibuat oleh Dewa Arsa. Namun, ia masih bisa menyaksikan pertempuran maha dahsyat yang mengakibatkan jiwa Dewi Hara pecah menjadi ribuan.Kuwara tersenyum, lalu kemudian terbatuk, ia kesakitan akibat peperangan selama sepuluh tahun dengan Dewa Arsa. Dahulunya Kuwara adalah penjaga gerbang langit, tetapi berkat perseteruan dan ketidak patuhannya dengan aturan, Kuwara pun diusir dan dikutuk oleh Raja langit sebagai iblis sampai dunia berakir.“Sayang sekali, dewi secantik dirimu harus berakhir menjadi bintang di langit. Padahal kau bisa saja menjadi istriku dan kita bisa memporak-porandakan langit.” Kuwara mengelurkan kundai dari dalam jubahnya. Kundai itu milik Dewi Hara, ia cium dan hirup aroma kebaikan yang begitu abadi dan menenangkan jiwanya.“Bahkan iblis sepertiku butuh ditenangkan oleh wanita secantik dirimu, Dewi Hara. Aku tahu kau tidak bersalah, sayangnya suamimu mengurungku di sini. Andai ada yang bisa aku lakukan untuk menghidupkanmu kembali.” Kuwara menyimpan kundai milik Dewi Hara. Dari mana dia dapatkan benda itu? Terjatuh dari dalam zirah perang milik Dewa Arsa.Kuwara duduk di singgasananya yang berwarna hitam. Ia tidak sendirian, ada prajurit iblis yang selalu mendampinginya. Meski secara raga mereka terkurung, bukan berarti Kuwara serta bawahannya tidak bisa berbuat apa-apa.“Yang Mulia, aku tahu kegundahan hatimu,” ucap Reksi selaku tangan kanan Kuwara. Dulunya dia seekor anjing yang ada di langit. Lalu dipungut oleh Kuwara dan dibawa serta ke dunia iblis.“Sebagai seekor anjing langit, penciumanmu pasti lebih tajam daripada serigala. Cari tahu apakah masih ada peluang untuk menghidupkan Dewi Hara. Aku tidak peduli walau kau harus berkelana selama ratusan tahun. Jika ada kemungkinan sekecil apa pun untuk menghidupkan wanita itu, rebut dan bawa kemari. Dewi Hara akan mendampingiku, tempat ini adalah tempat di mana dewa dan dewi yang baik dibuang dari langit.” Perintah Kuwara.Reksi memberikan hormat, ia patuh pada perintah tuannya. Lelaki jelmaan anjing langit itu duduk bersila dan bersemedi sejenak. Tak lama kemudian arwahnya keluar. Reksi menembus portal itu, awalnya sulit bahkan petir milik Arsa menyambarnya.Kuwara mengarahkan kundai milik Hara dan petir milik Arsa tak mau menghancurkan benda milik sang dewi kebaikan. Reksi kabur melalui celah paling kecil di dalam portal. Ia akan berkelana baik di langit atau pun di bumi untuk mencari cara menghidupkan Dewi Hara kembali.“Benda ini kecil dan tidak ada kekuatan gaib sama sekali, tapi bisa membuat kekuatan Arsa tak berdaya di hadapannya. Ha ha, sudah kuduga, Dewi Hara bukan sembarang dewi, dia harus bisa dibangkitkan. Jika aku yang membangkitkannya dia akan tunduk padaku. Cepatlah Reksi, kau pasti akan menemukan caranya, aku yakin itu.” Kuwara memandang tusuk konde itu. Kemudian ia menancapkan hiasan rambut dengan ukiran bunga di sebuah perisai ciptaan Arsa.“Aku yakin, kundai milik Dewi Hara bisa menghancurkan perisai tersebut. Setelah itu aku akan menunggu sampai waktunya tiba bagiku untuk menghanguskan kerajaan langit.”Kuwara memperhatikan perisai berbentuk kubah yang tidak menolak kehadiran kundai milik istri Dewi Arsa. Benda itu menancap dengan kuat. Biasanya senjata jenis apa pun akan hangus terbakar karena mantra pelindung dari sang dewa perang.Kuwara terseyum lebar ketika melihat perisai berbentuk kubah itu mulai retak halus.“Menunggu 100 tahun pun tidak jadi soal bagiku,” ucap Kuwara sambil menantikan retakan halus itu menyebar ke seluruh kubah.Bersambung …Dewa Parasurama—dewa yang paling tua di kerajaan langit. Rambutnya sudah memutih semua, sekilas terlihat seperti orang tua lemah. Namun, nyatanya dia masihlah yang paling sakti bahkan mengalahkan raja langit. Dewa Rama, begitu dia kerap dipanggil oleh para dewa yang lain. Ia memang paling jarang menampakkan diri. Dewa Rama lebih suka bersemedi. Terakhir ia bertapa demi menyempurnakan kalung dengan tujuh rasi bintang yang paling kuat. Saat bangun ia dikejutkan oleh pertempuran antara dewa perang serta dewa yang lain. “Sebuah trik adu domba yang sangat dahysat,” ucap Dewa Rama di dalam kediamannya. Kalung tujuh rasi bintang itu ia pandang di atas mejanya. Yang ia lakukan tadi adalah menyelamatkan Dewi Hara. Agar hidup sang dewi tak hanya berakhir menjadi butiran bintang di langit. “Dewa Rama.” Seorang dewa pelayan datang dan membawakan lelaki itu beberapa kitab lama dari pustaka langit. Kitab yang sangat kuno dan usianya sudah ratusan ribu tahun. Memuat berbagai transkrip kejadian
“Lalu kau pikir setelah sampai di langit mereka akan membiarkan kalian hidup bahagia begitu saja? Dan tubuh istrimu itu terbagi menjadi tujuh. Bagaimana kiranya kau akan membawa ketujuhnya ke langit?” Ucapan Dewa Rama membuat Arsa terdiam dan menenangkan diri sejenak. Sang dewa perang merendahkan diri pada dewa kebijaksanaan. Ia memberi hormat tanda membutuhkan bantuan untuk membawa istrinya kembali ke langit. “Duduklah dulu agar kau tenang. Sekalipun ini neraka, tapi aku sudah meredamnya dengan esku.” Dewa Rama duduk begitu juga dengan Dewa Arsa. “Aku sangat mencintainya, Dewa Rama. Sejak dulu aku melihatnya dan menahan diri. Saat itu Hara masih sangat kecil dan belum cukup umur untuk menikah. Setelah besar aku membantunya naik menjadi dewi kebaikan karena dia memang baik dan layak, lalu kami menikah sampai jadi begini.” Arsa melihat tangannya yang akan digenggam Hara ketika tidur di malam hari, atau ketika membutuhkan pertolongan. “Aku tahu, karena itu aku ingin menolongmu. Kala
“Gadis ini tahu bernegosiasi. Dengarkan saja dia dulu, Dewa Arsa. Kalau ketahuan kau tidak akan bisa turun ke langit dengan mudah.” Dewa Rama menenangkan pihak yang hampir berseteru. Lelaki berambut putih itu tahu Dewi Ambar mencintai Dewa Arsa, dan perasaannya tidak terbalas. Jadi kesempatan yang baik selagi Dewi Bunga memegang rahasia sang dewa perang. “Kalian duduk dulu, jangan saling memandang. Kau berikan mereka minum. Nampaknya kedu dewa ini sama-sama keras.” Dewa Rama meminta pelayanya—Rogu, untuk memberikan teh dari bunga lili. “Tidak perlu, aku sudah minum teh tadi. Kita langsung sanja. Kanda Rama, pikirkan lagi aku ada di sini, untuk apa kau mencari Dewi Hara yang sudah musnah, bukankah itu tindakan sia-sia saja.” Dewi Ambar memegang tangan Dewa Arsa, tapi langsung ditepisnya. Dari dulu Arsa tak pernah punya perasaan apa-apa. Kalau memang ada tentu sudah ia pinang Dewi Ambar yang sudah lebih dulu ada di langit. Tapi biasa saja, cantik dan indah memang semua ada pada Dew
Dua orang dewa dari langit turun di bumi. Awalnya mereka pikir jatuh di salah satu tanah atau benda yang keras. Tetapi keduanya langsung tenggelam begitu saja. “Kenapa kita jatuh ke dalam laut?” Dewa Arsa tidak tenggelam, tapi beda dengan Rogu yang ilmunya belum seberapa. Kemudian dewa perang itu menyelamatkan pelayan dewa kebijaksaan. Ia berenang dan menangkap Rogu lalu membawa pemuda itu berenang dengan cepat ke salah satu pulau terpencil yang terdekat. Rogu terbatuk, dan ia muntahkan air asin yang tak sengaja diminum. “Asinnya, bajuku jadi berat.” Rogu melihat jubahnya yang berantakan. “Katakan padaku kenapa kita turun ke tengah laut, bukan bumi?” Dewa Arsa memandang dengan mata dewanya yang sakti. Sepanjang laut itu tidak ada daratan tempat bersandar. Hanya dua buah kapal yang saling berperang saja. “Gunakan kalung tujuh rasi bintang, Dewa Arsa. Cari tahu zodiak apa yang menaungi arwah pertama istrimu, lalu kau harus memahami karakternya seperti apa,” ucap Rogu sambil duduk b
Genggaman tangan Arsa sayangnya terlepas. Adara melemparkan tali dari pinggangnya. Ia berniat untuk menyangkutkan tautan pada salah satu tiang kapal. Tali itu melilit. Sayangnya, kapal perang kembali oleng karena empasan angin dan gelombang dari lautan. Alhasil Adara jatuh lagi. Arsa yang melihat istrinya jatuh terus ke dalam laut sebenarnya bisa saja langsung menghilang, tetapi ia ingat pesan Dewa Rama. “Semuanya harus berjalan alami dan apa adanya, biarkan pecahan arwah istrimu jatuh cinta padamu hingga membuat mereka lebih mudah menyatu. Saat semua berhasil kau taklukkan, percayalah ketika kembali ke langit, tak akan ada yang mampu memisahkan kalian.” Begitu pesan Dewa Rama saat Arsa dan Rogu turun di antara hujan dan kilatan petir. “Baikah, saatnya menyamar menjadi manusia bumi yang lemah dan apa adanya.” Arsa turut menceburkan diri ketika Adara telah jatuh ke laut. Ia sampai ke dalam laut dan terus mencari pecahan arwah istrinya yang berzodiak taurus. Dapat, Arsa dengan muda
Adara masuk dalam bak mandi yang berbusa dan sudah diberi lilin aroma terapi. Kebanyakan perhiasan, wewangian, dan apa pun yang ia dapatkan hasil menjarah dari kapal bajak laut. Jika Adara menyukainya maka akan ia ambil. Sebab tak mungkin mengembalikannya lagi ke pemukiman warga. Gadis bermata hijau rumput laut itu melepas kain tipis yang membalut tubuhnya. Dalam bak mandi itu ia berendam. Pelayannya ingin membantu tapi ia minta keluar. “Aku sedang ingin sendirian. Kau boleh beristirahat,” ucap sang pembasmi bajak laut. “Baik, Nona, makan malam sudah aku siapkan, juga anggur terbaik. Kalau begitu aku permisi dulu.” Riwa menutup pintu kamar mandi sang nona. Adara memejamkan mata setelah ia menenggelamkan kepalanya. Ia terbayang lagi bagaimana lelaki bernama Arsa yang seperti kata Riwa telah menolongnya. “Di antara ketua bajak laut yang telah aku bunuh dan tankap, kau yang paling mudah ditaklukkan. Apa kau punya rencana tertentu padaku?” Adara memainkan busa sabun di tangannya. Ia
“Apa yang kau lakukan di kamarku?” Adara terbangun ketika ia merasa sudah cukup tidur. Ketika mata hijau rumput lautnya terbuka, ia terkejut karena Arsa masih di kamarnya. “Mengawasimu,” jawab dewa perang itu. “Aku tidak butuh diawasi. Aku seorang pembasmi bajak laut.” Adara masih sangat angkuh. Kemudian ia sadar bajunya tersingkap sangat jauh ketika tidur. Tentu Arsa memandangnya semalam suntuk. “Kau manusia biasa. Sibuk mengawasi orang lain, tapi lupa mengawasi diri sendiri.” Mata kuning Arsa tak lepas mengikuti pergerakan pecahan arwah Hara yang lekas merapikan rambut. “Memangnya kau apa? Dewa? Kalau sampai iya, aku akan sujud di kakimu,” cemooh gadis itu. “Pegang kata-katamu, ya, anggap saja aku memang dewa, maka aku akan meminta kau sujud di kakiku.” “Tidak pernah ada dewa yang turun ke bumi. Jangan ngelantur kau jadi orang. Riwa! Riwa!” Gadis berkulit gelap itu memanggil pelayannya. Butuh waktu lama bagi Riwa untuk sampai. Pelayan Adara terkejut ketika melihat ada lelaki
Jangkar telah dijatuhkan ke dalam lautan. Kemudian kapal milik Adara oleng ke kiri. Semua berpindah dengan cepat tanpa perhitungan yang tepat. Alhasil sebagian yang tak punya persiapan jatuh ke dalam samudra dan menjadi santapan putri duyung. Merahnya darah terpapar di sana. “Ganas sekali mereka,” ucap Adara. Ia berpegangan pada layar kapal. Namun, angin laut bertiup kencang. Adara jatuh, Arsa bergerak dan menangkap tangan istrinya. “Sebaiknya kau tunggu di dalam kamar dan jangan ikut campur urusan sesama dewa.” Dewa perang itu mendorong Adara begitu saja. Gadis berkulit gelap tersebut langsung berpindah ke dalam kamar begitu saja. “Bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal seperti ini. Apa dia bukan manusia?” Adara tak melihat satu pun kayu kapal yang rusak akibat dirinya berpindah begitu saja. “Tidak, ini tak masuk akal. Aku harus membantu mereka.” Pembasmi bajak laut itu ingin keluar tapi pintu kamarnya terkunci rapat. “Hei, buka pintu, buka pintunya, aku perintahkkan pada kalia
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling