Dewi pelangi memasuki kamar Dewi Ambar yang sedang kena gangguan pikiran. Dewi bunga itu sedang tidak baik-baik saja setelah ditolak terlalu kasar oleh Arsa. Bahkan sejak saat ia dilempar Arsa semua bunga baik yang di langit atau bumi jadi layu karena tak ada pancaran kebahagiaan dari Ambar. Gadis itu duduk bertapa dalam kamarnya tanpa melakukan apa-apa. Hati yang hampa dan pikiran yang kalut membuatnya tak peduli siapa pun yang menerobos masuk. Bukan hanya dewi pelangi saja, tapi yang lain sudah pernah menerobos. “Ternyata semudah ini melakukannya,” ucap Dewi Pelangi hijau yang membuka tempat penyimpanan milik Ambar. Ada satu buah guci yang apabila disentuh rasanya sangat sejuk dan menenangkan. “Ini pasti mata air surga, tak apa aku ambil tiga tetes saja, ya.” Ambar memindahkan sedikit air dalam guci ke cawan pemberian Arsa. Setelahnya ia pun pergi. Ambar masih tak bergerak sama sekali. Walau nyawa hilang mungkin ia sudah pasrah juga. “Dewa Arsa, ini.” Dewi pelangi hijau kembali
Dunia berjalan seperti biasa ketika panas tak lagi menyengat sampai ke daging. Arsa ketika datang melihat Hira tergeletak di kamar mandi. Ia menolong dengan cepat dan memberikan minum yang cukup banyak. Gadis itu sadar dan kembali merasa terhutang budi padanya, padahal hutang-hutang yang lain juga belum lunas. Setelahnya mereka berdua menolong warga yang kebingungan ada di rumah Arsa. Yang selamat diberi tahu untuk pulang, yang meninggal dunia diserahkan pada keluarga. Tak terhitung lagi berapa kerugian yang diderita. Jalanan serta properti yang hancur termasuk emas juga yang melebur. Hira memandang langit yang meneteskan air hujan. Fenomena alam yang terjadi cukup unik. Pelangi melengkung di atas hujan, sayangnya … “Kok, nggak ada warna hijau, ya?” gumam Sahira. Arsa ikut melihat pelangi. Tak ia sangka dewi pelangi hijau akan jadi korban karenanya. Sebenarnya bukan hanya dewi pelangi saja, Dewi Anjas juga belum lepas sampai sekarang karena Arsa tidak tahu kejadiannya sama sekali
“Tunggulah di sini, aku akan kembali,” ucap Arsa sembari menatap Hira yang rebahan di kasur. “Terus kuliahku gimana, Say? Nggak sedikit loh uangku habis banting tulang siang malam demi dapat uang.” “Soal uang? Ambil saja dalam lemari, semuanya ada.” Berbinar mata Hira mendengar ucapan Arsa. Hidupnya beruntung ketemu om-om yang mau membiayai dirinya. “Oke, hati-hati di jalan, jangan lupa jalan pulang, ya.” Gadis itu melambaikan tangan pada Arsa. Dewa perang menghampiri pecahan arwah keenam. Ia mengecup kening gadis itu setelahnya menghilang. Hira terkejut dibuatnya. “Berarti dia bukan manusia biasa? Atau werewolf, atau hantu, hiih, jadi aku tidur sama siapa?” Merinding Hira dibuatnya. Ia tutup tubuhnya dengan selimut selama beberapa menit. Namun, gadis itu memang merasa ada yang aneh dengan Pak Dewa. Sejak pertama kali bertemu di pentas teater. Lalu berlanjut ada ledakan di udara. Pertemuan dengan Samara hingga Arsa sama sekali tak memperlihatkan wajahnya. Cuaca panas dan pelangi
Arsa mengikuti arah pergerakan cahaya dari Dewi Leo. Namun, dewa perang itu justru tersesat di satu tempat yang tak terlihat apa pun di depan matanya. “Ini tidak mungkin. Siapa yang berani bermain-main denganku.” Dewa perang itu mempertajam mata batinnya. Ia lihat sekeliling tapi lagi-lagi kosong. Kalau pun ada yang terlihat hanya asap putih yang tebal dan setelah ia masuki ternya benar tidak ada apa-apanya. “Rogu, Rogu,” panggil Arsa berulang kali. Namun, yang dibutuhkan bantuannya tak juga datang. Dewa perang kembali terbang ke angkasa yang lebih tinggi. Dengan mata kuningnya ia memandang jejak hilangnya cahaya dari Dewi Leo, ternyata tidak ada apa-apanya lagi. “Siapa pun yang berani menghalangiku membawah Arwah Hara, aku tidak segan-segan untuk membunuhnya.” Suara Arsa terdengar menggelagar di atas langit. Tapi tidak ada yang menjawab panggilannya. “Sepertinya kalian main-main denganku.” Pedang petir Arsa keluar. Dewa perang itu lemparkan ke arah kabut putih tebal terbentuk.
Bagian 88 Taksaka—manusia harimau kuning yang menjaga takhta di istana kerajaan putih bangkit dari tapanya. Ia langsung menuju kamarnya. Di sana istri tercinta, gadis yang dulu ia jaga dengan bertaruh nyawa sedang memandang cermin dengan penuh kehampaan. Saka menghampiri Cahaya. “Kenapa?” tanya lelaki yang sudah lama menjadi raja di istana itu. “Dia datang, tak jauh lagi dia akan sampai.” Aya yang biasanya ceria berubah muram sejak melahirkan Arira. Tahun demi tahun ia habiskan dengan penuh kerisauan. “Kapan dia sampai ke sini?” Saka pun bingung, sebab ia juga menyembah Dewa Perang Arsa. “Nggak lama lagi, tunggu aja.” “Arira mana?” “Ada di kamarnya. Mungkin dia udah tahu dan memilih diam. Tapi aku yang nggak rela.” Cahaya menghela napas sejenak. Mata birunya jelas sekali mengisyaratkan ketakutan. “Kita amankan tempat ini. Arira tidak boleh dibawa pergi.” Saka pun enggan kehilangan si bungsu yang lahir dengan mata berbeda. “Kang Mas.” Aya berdiri dari duduknya. Sang ratu yang
Arsa tak perlu menggunakan zirah perangnya sebab lawannya kali ini seorang wanita yang sebenarnya tidak ingin ia sakiti sama sekali. Tapi tantangan harus tetap dipenuhi. Ratu Cahaya bahkan mempersiapkan semua senjata. Cahaya dijaga oleh ratusan peri dengan sayap elang. Peri-peri itu menyerang Arsa bergantin dan keroyokan. Awal mula Dewa Arsa masih tidak ingin membunuh. Namun, satu di antara pera peri itu mengigit dan nyaris merobek telinga dengan menggunakan taringnya. Hingga dengan terpaksa sang dewa mengunuskan pedang petir menembus perut sang peri. Makhluk itu tewas dan berubah menjadi burung elang yang jatuh di tanah. Ratu Cahaya berduka menyaksikan kematian rakyatnya yang amat setia padanya. Sang Ratu tak punya cara lain, walau harus meregang nyawa sekali pun, ia tak akan mau Arira dibawa pergi. “Ratu Cahaya, apa kau benar-benar ingin semua yang ada di sini mati.” Dewa Arsa menarik pedang dari perut peri terakhir. Semua telah mati di tangannya. Hanya tersisa dia dan sang rat
Bagian 90 Saka mengejar Dewa Arsa yang ingin menghancurkan atap istana miliknya. Dewa perang itu merasakan kuku tertancap di betisnya. Ia tak ingin buang-buang waktu tapi yang ini juga tidak bisa didiamkan.Dewa Arsa menghantam Saka yang menghalanginya. Namun, tak mudah juga menumbangkan sang raja. Saka manusia harimau yang sudah banyak berpetualang. Dua lelaki yang sama-sama bermata kuning itu saling menatap dengan peluh dan darah yang berceceran di lantai. Tidak ada yang berani melerainya. Suara pertarungan mereka masuk sampai ke telinga Ratu Cahaya yang masih berbaring lemah. “Ratuku, jangan pergi ke mana-mana, aku tidak akan kuat melawannya.” Peri capung menahan tangan Ratu Cahaya. “Aku tidak bisa membiarkan suamiku bertarung seorang diri. Biar aku menolongnya.” Cahaya menerobos keamanan yang menjaganya. Wanita bermata biru itu berlarian dan melihat bagaimana keadaan di istanah bawah. Dewa Arsa dan Taksaka sama-sama berubah menjadi harimau ganas. Namun, ukuran tubuh Arsa jauh
Dewa Arsa melompat hendak menyambar Arira yang terus mencemoohnya. Namun, gadis dengan dua bola mata beda warna itu bukanlah manusia biasa. Ia bisa terbang menembus atap istana sebelum ditangkap oleh lekaki yang katanya suaminya. “Kau pikir aku akan menyerah,” ucap Arira sambil melayang indah di atas kerajaannya. “Yang seperti ini sudah pernah aku hadapi sebelumnya. Aku hanya perlu mengulang lagi dan bersabar saja.” Maksud Arsa adalah Adara dan Nira. “Kalau begitu tinggal saja dengan mereka. Kau tak perlukan aku lagi. Aku lebih menyayangi kedua orang tuaku daripada gelar dewi di langit.” Tangan kanan Arira menggenggam sesuatu. Sebuah akar pohon berduri serupa cambuk muncul di tangannya. Dewa perang itu mengerti kalau Arira tidak bisa diajak tawar menawar. Maka pemaksaan adalah satu-satunya cara. “Kau yakin? Peperangan di antara kita akan menghancurkan sebagian wilayah milik orang tuamu,” tanya Arsa. Di tangannya juga kini keluar pedang petir. “Kau takut?” “Tidak. Aku dewa peran
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling