Dewi Anjas masuk ke dalam ruangan tempat ia menyimpan obat-obatan. Ia tahu apa yang harus dilakukan pada lelaki berjubah hitam tersebut. Hanya saja Anjas jadi terdiam sejenak. “Apakah Arsa baik-baik saja? Kalau perisai ini lemah bukankah artinya dia terluka?” gumamnya ketika menemukan obat yang dicari. “Ah, nanti saja aku cari tahu bagaimana keadaan Arsa, sudah lama sekali aku tak bertemu dengan mereka, Hara juga. Apa kabar mereka, ya?” Dewi Anjasmara masuk ke dalam kamar di mana Kuwara berbaring tanpa bergerak sama sekali. Tanda hitam di tubuh raja iblis itu hampir menghancurkan lambungnya. Dengan cepat Dewi Anjas memaksa pil masuk ke dalam tenggorokan Kuwara. Awalnya ditolak dan keluar lagi. Kemudian dengan tenaga dalam milik Anjas pil itu tertelan oleh raja iblis. “Aku yakin yang menyerangmu juga bukan dewa sembarangan. Terserahlah, itu urusan kalian, aku hanya menolong yang di depan mataku saja. Nanti tanda hitam ini akan hilang pelan-pelan, serta napas dan peredaran darahmu a
Kuwara telah membaik, tubuhnya tak lagi menghitam setelah Dewi Anjas menolongnya dari ambang maut. Seharusnya dia berterima kasih, etikanya begitu pada sesama dewa. Namun, sudah sejak lama Kuwara tak menjadi dewa. Ia terusir dari kerajaan langit karena fitnah yang lain juga. “Jadi Dewi itu tadi temannya Arsa.” Kuwara bangun dan memakai jubahnya. Kediaman Dewi Anjas kini tak ubahnya seperti sarang iblis. Hawa hitam pekat di mana-mana dan kekejian begitu tergambar jelas. “Benar, Tuan, tapi dia juga yang menolongmu.” Reksi datang menyambut kembali tuannya. “Dan sekarang dia turun menolong Arsa, bukan? Menolong Arsa sama saja mengobarkan peperangan padaku.” “Tuan, dia hanya seorang dewi biasa. Ilmunya tidak akan sebanding denganmu.” “Reksi, kau masih terlalu muda. Jangan menilai seseorang yang biasa-biasa saja tidak berbahaya. Justru dewi seperti dia akan membuat Arsa kuat. Persahabatan yang terjalin begitu lama tidak akan goyah karna harta dan takhta.” “Jadi, apa yang akan Tuan la
Ratu Marry berduka atas tewasnya Charles di tangan lelaki asing. Sang ratu meratapi jasad anaknya yang mati dengan mata terbuka. Kematian pangeran menjadi bukti bahwa Arsa tak main-main dengan siapa pun yang menyakiti pecahan arwah Dewi Hara. “Dia ini aku lihat kadang kejam, tapi tak pernah aku lihat berbuat baik,” ucap Lira dari balik dinding. Permasalahan tidak berhenti di sana saja. Ratu Marry menjerit dan meminta siapa saja untuk membunuh dewa perang yang masih berdiri dengan angkuhnya. “Siapa pun yang bisa membunuhnya akan aku berikan kedudukan sebagai perdana menteri.” Terang saja tawaran menggiurkan itu langsung disambut para kesatria. Bahkan mereka mengeluarkan senjata termasuk prajurit masing-masing. Meriam, bedil, bom, granat, dalam sekejap mata telah sampai di depan mata Arsa. “Yang Mulia Ratu, ayo, kita menyingkir dulu. Bisa mati kita di tengah peperangan.” Dua orang pelayan menarik paksa tubuh Ratu Marry. Sedangkan Charles tak dipedulikan. Semua bisa menilai bahwa A
“Ini aku?” Lira memandang dirinya di depan cermin. Ia tampak sangat anggun dan layak menjadi seorang ratu. Itulah rencana Arsa pada salah satu pecahan arwah Hara. “Iya, kau terlihat sama dengannya.” Mata kuning dewa perang itu bahkan tak berkedip memandang saking rindunya pada Hara yang dulu. “Dengan siapa? Hara? Dia siapamu?” Lira mendekat, Arsa mundur karena terlalu gugup. “Berhenti di sana. Suatu hari nanti kau akan tahu siapa Hara. Kau sudah cukup cantik dan kau siap untuk hari ini?” Lelaki tegap dan kekar itu memegang jantungnya yang berdegup kencang. Tidak bisa dibiarkan, Lira terlalu sama persis dengan Dewi Hara. “Untuk apa?” Lira sama sekali tak diberi tahu apa rencana Arsa. “Maaf, Tuan dan Nyonya, tapi semua orang penting termasuk para orang suci telah menunggu di aula. Mereka menanti kedatangan kalian berdua.” Seorang pelayan datang dan berbicara dengan menunduk. Begitulah etika berbicara dengan seorang penguasa, dengan dewa lebih jauh lagi harus disembah. “Baik, kami
Suara ketukan di pintu membuat Ratu Lira bangun dari tidurnya. Gadis itu lekas bangkit dari ranjang dan membuka pintu. Beberapa pelayan datang membawakan air cuci muka untuknya. “Mana dia?” tanya Lira pada pelayan. “Dia siapa, Yang Mulia Ratu.” “Itu, Dewa Arsa, lelaki yang dari kemarin ada bersamaku,” tunjuk Lira di tempat Arsa berbaring di sisinya kemarin malam. “Maaf, Ratuku, tapi kami tidak tahu apa-apa soal itu. Pintu kamar tertutup rapat dan kami tidak ada yang berani masuk. Sekarang ganti baju tidur dengan yang ini. Kita memiliki jadwal untuk bertemu dengan perdana menteri beserta jajarannya. Kau harus terlihat cantik dan memukau, Yang Mulia.” “Haa, perdana menteri serta jajarannya. Aku harus tampil cantik. Tunggu dulu, tapi dia di mana, aku tak bisa kalau tak ada dia.” Lira bahkan mencari di bawah kolong ranjang, dalam lemari serta di balik tirai jendela. Tapi dewa perang itu memang sedang tidak ada di tempat. “Yang Mulia, kita kehabisan waktu nanti. Sebaiknya cepat, dan
“Tuan, kau di sini.” Ratu Lira bangun agak sedikit kaget ketika Arsa memperhatikannya dengan tatapan sendu. “Iya, aku di sini belum berencana pergi,” jawab dewa perang itu sembari menyembunyikan pedangnya. “Pergi, pergi ke mana?” Lira sangka lelaki dengan bola mata kuning itu akan menemani dirinya sampai kapan pun. “Nanti, tiba saatnya aku akan pergi, tenanglah aku belum dipanggil.” Hanya jawaban oh saja yang bisa Lira berikan. Lagi pula siapa dia yang bisa mencegah seseorang pergi, begitu pikir Lira. Hari masih larut malam ketika Arsa kembali dari tengah laut. Lelaki itu berpikir keras, satu tahun lebih sudah perjalanan yang ia tempuh dan baru empat pecahan arwah yang ia temukan. Sisa tiga lagi dan tak tahu kapan akan selesai. Waktu terus berjalan ke depan tanpa peduli dengan rasa lelahnya. Iya, dewa juga perlu tenang dan istirahat sejenak. Arsa memejamkan mata dan tertidur di kursi goyang milik sang ratu. Lira bangkit dan menggerakkan lima jemarinya di wajah Arsa. Tidak ada r
Lira terbangun di atas ranjang dengah tubuh tertutup selimut. Iya, tadi malam mereka berdua melewati malam penuh romansa setelah Ratu Lira benar-benar terpesona oleh seorang dewa. “Apakah dia pergi begitu saja tanpa bicara padaku?” Lira tak mau ditinggal tanpa pesan oleh Arsa walau ia tahu lelaki itu akan tetap pergi. Pintu kamarnya diketuk, kalang kabut sang ratu menggunakan pakaian agar tak diketahui para pelayan apa yang telah ia lalui berdua bersama Arsa tadi malam. Meski secara umum orang-orang sudah tahu kedekatan mereka dan tak mungkin tak terjadi sesuat, tetap saja Lira malu. “Ehm.” Tepat waktu Lira memakai semua bajunya ketika pelayan masuk. Kakinya menutupi pakaian dalam yang tak sempat ia gunakan. “Yang Mulia Ratu, hari ini engkau akan mandi dengan aroma bunga apa?” tanya pelayan. Hidung Lira mencium aroma yang tidak sedap.“Kau sendiri sudah mandi?” tanya balik sang ratu. Para pelayan itu hanya menggeleng saja. Sudah tradisi turun temurun para raja, ratu, bangsawan, k
Setelah menunggu satu pekan lamanya, akhirnya panggilan dari zodiak sagitarius datang juga. Arsa tersenyum, tapi tidak dengan Lira. “Kupikir kebersamaan kita akan terasa lebih lama, ternyata kau memang harus pergi juga,” ucap Lira lalu duduk di ranjang. Akhir-akhir ini ia tak tahan untuk berdiri terlalu lama. “Sudah kukatakan dari awal, bukan?” “Iya, aku tahu, aku hanya belum siap saja. Aku inginnya kau ada di sini terus, berat sekali jadi ratu, seminggu lagi ada parade militer pula. Aku takut tak kuat bangun.” Lira mengembuskan napas perlahan. “Kau baik-baik saja?” Arsa memegang dahi Lira, tapi tak terasa panas apa pun. “Mungkin kelelahan. Hari ini aku ingin berbaring di kamar seharian, jangan bukakan pintu, ya, walau mereka mengantar makanan dan kalau kau akan berangkat, setidaknya katakan sesuatu padaku.” Kemudian setelah itu Lira berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Padahal musim sedang panas-panasnya, sang ratu merasa kedinginan. Arsa mengembuskan napas. Sedikit b
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling