Brigitta membelalak tidak percaya.Di matanya, Ethan bersikap biasa. Tidak suka juga tidak benci.Apalagi awalnya Ethan tidak pernah menyatakan cinta padanya. Pria itu juga tidak pernah membelikan hadiah atau memberikan apa pun padanya seperti pasangan lain yang sedang jatuh cinta.Apa maksudnya cuma mau menikah hanya dengannya?ibu Ethan melihat Brigitta seperti tidak memercayainya.Dia menghela napas."Brigitta, aku nggak bohong. Kamu pikir aja sendiri. Waktu keluargamu bangkrut, sebenarnya Keluarga Yusdwindra bisa membatalkan pertunangan kalian."Tangan Brigitta menegang.ibu Ethan melanjutkan, "Meski keluarga kami akan ikut malu juga, tapi setidaknya kami nggak rugi apa-apa. Masalahnya, Ethan nggak mau dan bilang cuma akan menikah kalau sama kamu. Kami nggak bisa mengaturnya, makanya kami hanya bisa mengizinkan Ethan menikahimu.""Waktu itu dia benar-benar keras kepala, bahkan berlutut lama sekali."Brigitta tidak menyangka Ethan akan memohon pada orangtua untuk bisa menikahinya.B
Keduanya kembali ke dalam rumah bersama.Ethan dan ayahnya sedang duduk di ruang tamu sambil minum teh. Ketika melihat kedua wanita itu kembali, Ethan langsung berdiri.Ibu Ethan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku putranya yang seolah takut istrinya sudah ditindas mertua.Ibu Ethan pun memanggil suaminya, "Ayo kita pulang, jangan ganggu mereka pasangan muda."Ayah Ethan berdiri dan tersenyum."Oke."Saat hendak pergi, ayah Ethan menepuk pundak putranya."Rukun ya sama Brigitta, jangan bertengkar."Kata-kata seperti ini tidak berbeda dengan apa yang diucapkan orang tua pada umumnya pada anak-anaknya.Setelah orangtua Ethan pergi, hanya Ethan dan Brigitta yang tersisa di ruang tamu."Ibu nggak bilang sesuatu yang keterlaluan, 'kan?" Ethan bertanya dengan cemas.Brigitta bisa melihat begitu besar perhatian Ethan padanya. Brigitta menatap Ethan lekat-lekat, pria yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun."Ibu cuma ngomongin harta keluarga."Setelah berkata demiki
Ini adalah pertama kalinya wajah Syena ditampar seperti ini.Napas Syena terasa berat, dia terkejut bukan main. Sepupu yang dulu begitu patuh padanya sekarang berani menindasnya!"Vior, tunggu pembalasanku!"Vior menyilangkan tangan di dada dan menatap Syena dengan tatapan merendahkan, "Tunggu? Tunggu apa lagi? Berapa umurmu waktu nanti keluar penjara? Kamu pikir kecantikanmu itu nggak memudar?"Syena terkesiap dan tidak bisa menyahut."Aku nggak akan masuk penjara. Pasti ada orang yang bakal menyelamatkanku.""Oh, siapa?" Vior bertanya.Syena terdiam.Sebenarnya Vior adalah harapan terakhir Syena, tapi ternyata dia gagal.Melihat Syena diam membisu, Vior pun melayangkan sebuah pisau tajam lain untuk menusuk hati Syena, "Aku mau cerita, belakangan ini 'kan aku nganggur, jadi aku nyuruh orang menyelidiki Morgan. Kamu tahu nggak sekarang dia lagi ngapain?"Pupil mata Syena gemetar saat Vior menyebutkan nama Morgan, pria yang begitu kejam."Memang dia ngapain?""Dia pergi kencan buta ke m
Morgan sudah mendengar kabar tentang Reina yang baru saja dioperasi dan Liane dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatan yang memburuk.Morgan menurunkan kaca jendelanya dan menatap ke dalam rumah sakit. Tatapannya terlihat sangat tenang.Morgan mengambil ponselnya dan membuka kontak Reina, tapi dia tidak kunjung menelepon. Malah pada akhirnya, dia tidak jadi menelepon Reina.Morgan hendak pergi saat tiba-tiba melihat Reina berjalan dengan seorang pria. Ya, siapa lagi kalau bukan Maxime.Maxime melindungi Reina dan berjalan dengan hati-hati.Morgan mempererat cengkeramannya pada kemudi.Seolah kesurupan, Morgan malah melajukan mobilnya ke arah kedua orang itu.Baik Maxime maupun Reina sama-sama tidak sadar. Mereka hendak pergi keluar untuk belanja makanan saat tiba-tiba ada mobil yang melaju ke arah mereka.Maxime langsung melindungi Reina.Reina juga terkejut. Bahkan sebelum dirinya sempat bereaksi, mobil itu berhenti satu sentimeter dari keduanya.Jantungnya berdebar kencang, di
Saat ini, di dalam sebuah bar.Sandy menutup telepon, wajahnya nampak lesu.Teman-teman baik di sampingnya bertanya, "Pak Sandy, kenapa nih?"Sandy menyalakan rokok."Maxime minta aku mengakhiri kerja sama dengan Morgan.""Hah? Kenapa? Bukannya Morgan itu saudaranya?"Sebelum Sandy sempat menjawab, salah seorang temannya sudah menjawab lebih dulu, "Ya namanya juga keluarga kaya, mana ada sih yang namanya saudara? Mereka berdua tuh rival.""Oh begitu."Entah mengapa, Sandy jadi kesal. Dia bahkan menepis tangan wanita yang berbaik hati menuangkan anggur untuknya."Keluar semua!"Begitu dibentak, para wanita itu pun langsung menjinjing pakaian masing-masing dan buru-buru pergi.Mereka semua tahu siapa itu Sandy.Pria ini tidak pandang bulu sedang berhadapan dengan pria atau wanita. Masih ingat Christy? Putri keluarga kaya itu saja mati mengenaskan di tangan Sandy."Pak Sandy nggak usah marah-marah, mereka berdua 'kan sepupumu, kamu tinggal putuskan saja mau bantuin siapa."Sandy tentu saj
Jess menjawab jujur, "Pak Morgan mencariku dan tanya kapan aku balik."Pak Morgan ...."Morgan?" tanya Erik."Ya." Jess mengangguk.Erik terlihat kesal. Mungkin karena agak mabuk, dia pun bersandar pada Jess, "Dia itu cuma atasanmu."Erik terdengar sangat tidak senang.Jess sedikit bingung, "Kenapa? Kan itu cuma sebuah panggilan?"Erik mengernyit, "Nggak.""Tapi aku sudah terbiasa," sahut Jess."Kalau begitu di depanku, kamu panggil nama aja, oke?" pinta Erik.Jess tidak ragu-ragu, "Oke, kalau kamu nggak suka, aku nggak akan manggil seperti itu lagi di depanmu."Keduanya sudah bertunangan dan Jess tahu Erik akan jadi orang terdekatnya mulai sekarang. Mereka harus mempertimbangkan perasaan satu sama lain.Erik jelas tidak menyangka Jess akan langsung setuju. Dia tersenyum, memeluk Jess, menunduk dan mencium pipinya, "Memang Jess-ku yang terbaik."Jess mematung, diam tertegun.Tubuhnya kaku seperti batang kayu, pipinya panas seperti terbakar.Erik juga bisa merasakan seluruh tubuh Jess m
Erik tidak mengerti mengapa Jess menolaknya. Erik mempererat genggamannya dan berkata, "Kita 'kan bakal menikah sebentar lagi, nggak apa-apa. Lagian, aku ini pria terhormat."Hm, mana ada pria terhormat bisa dengan lantang mengakui diri.Jess menghela napas."Nggak deh, aku tinggal di sini setelah kita nikah saja," ucap Jess.Jess memang agak konservatif karena tumbuh besar dengan neneknya.Erik baru paham kekhawatiran Jess, dia pun menghargai keputusan Jess, "Kalau gitu aku antar kamu dan nenek pulang.""Oke, terima kasih." Jess menjawab sopan."Aku ini tunanganmu, berhentilah ngomong terima kasih sama aku oke?" Erik terlihat tidak senang lagi, lalu meraih tangan Jess, "Mulai sekarang, kamu bisa minta aku antar jemput kamu dan kamu nggak usah bilang terima kasih, ngerti?"Jess merasa Erik benar-benar menjadi orang yang berbeda saat mabuk, pria ini jadi agak centil.Entah mengapa, detak jantung Jess berdebar cepat. Dia menatap Erik sepersekian detik dan langsung membuang muka lagi."Iy
Keesokan paginya, Jess mengucapkan selamat tinggal pada neneknya dan kembali ke Kota Simaliki.Erik sedang menunggunya di pintu.Semalam dia masih mabuk dan saat ini kepalanya masih pusing, tapi dia sangat bahagia.Setelah Jess keluar, Erik langsung menghampiri dan mengambil barang bawaan Jess dengan sopan, "Sini aku bawain.""Ter ...." Jess hendak mengucapkan terima kasih, tapi begitu teringat ucapan Erik kemarin, dia langsung berubah pikiran dan berkata, "Oke."Erik tersenyum dan memasukkan barang bawaan Jess ke bagasi.Kemudian Erik membantu Jess naik mobil.Sopir awalnya ingin membantu, tapi Erik langsung menghentikannya dengan lirikan tajam.Sopir langsung paham, bosnya ini ingin terlihat seperti pria sejati di hadapan calon istrinya.Begitu masuk ke dalam mobil, Jess menerima pesan yang ternyata dari Morgan."Kapan sampai?"Jess hendak menjawab.Erik di sampingnya pun angkat bicara, "Jess, aku nggak sengaja lihat layar ponselmu."Jess menatap Erik dengan bingung."Yah, nggak apa-
Seketika, penilaian Malik terhadap Adrian langsung berubah."Kamu yakin?"Jika perjanjian itu ditandatangani, di masa depan, keuangan milik Keluarga Sunandar benar-benar tidak terkait dengan Adrian. Kalaupun dia menikahi Hanna, dia tidak akan mendapatkan keuntungan sepeser pun. Jika suatu saat dia bercerai dengan Hanna, dia juga tidak akan mendapatkan harta gono-gini.Adrian mengangguk berat. "Aku yakin, asalkan Om mau menikahkan Hanna denganku, aku akan memenuhi semua syarat yang kalian minta.""Selain itu, kalau Om mau percaya padaku, aku akan berbakti kepada Om dan Tante." Adrian berkata dengan sungguh-sungguh.Malik terdiam.Bukannya tidak bersedia, dia hanya masih ragu.Dia adalah seorang pengusaha, jadi dia tahu bahwa hati manusia itu jahat."Sudahlah, kamu dan Hanna bisa menjalin hubungan. Kalau tahun ini hubungan kalian masih baik-baik saja dan kariermu melesat, aku akan merestui hubungan kalian." Malik menambahkan, "Tentu saja, sebelum kalian menikah, kamu harus tanda tangan p
Hati Hanna langsung cemas saat mendengar bahwa ayahnya menyuruh Adrian datang."Kenapa Ayah minta kamu datang?"Hanna khawatir ayahnya akan mempermalukan Adrian dan mengatakan sesuatu yang buruk.Adrian menggeleng. "Entahlah, katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan denganku.""Baiklah."Hanna berbicara sedikit tidak enak hati, "Kalau nanti Ayah bicara aneh-aneh, kamu jangan marah."Adrian tidak bisa menahan senyumnya."Jangan khawatir, aku nggak akan marah nggak peduli semenyakitkan apa pun perkataannya."Sebagai seorang pria, jika dia memiliki seorang anak perempuan dan akan diambil oleh orang lain, apalagi pria itu orang miskin, dia juga tidak akan menyukainya.Sebagai orang tua, siapa yang tidak ingin anaknya memiliki kehidupan yang baik?"Hmm."Ketika mereka berdua sedang berbicara, Malik dan Ines tiba.Mereka mendorong pintu dan melihat sikap manis keduanya, sedikit canggung.Malik berjalan menghampiri mereka, melewati Adrian dan mendekati putrinya."Kenapa dekat-dekat begitu s
Begitu mendengar Ines memberi izin, Hanna langsung memeluknya dan tersenyum terharu. "Ibu baik sekali, terima kasih."Reina menyaksikan adegan intim antara ibu dan anak perempuannya dari samping, entah kenapa dia merasa sedikit iri.Seandainya saja ibunya masih ada di dunia ini.Ines menepuk-nepuk punggung Hanna dengan lembut. "Sudah, semoga kamu nggak menyesal."Hanna tersenyum, lalu menjawab dengan serius."Ibu, aku nggak bisa menjamin itu. Yang namanya orang nggak bisa ditebak, aku juga nggak bisa jamin kalau dia bakal selalu baik padaku. Aku juga nggak bisa jamin kalau aku nggak akan menyesal."Dia melepaskan pelukan ibunya, lalu melanjutkan, "Tapi, aku bisa jamin kalau sekarang dia memperlakukanku dengan sangat baik, aku juga sangat bahagia sekarang."Mendengar putrinya mengatakan bahwa dia bahagia, apa lagi yang bisa Ines katakan?Setelah menjadi seorang ibu, siapa yang tidak ingin putrinya bahagia?"Ya, bagus kalau begitu. Habiskan makananmu, nanti keburu dingin.""Ya." Hanna me
"Nana, aku nggak tahu harus ngapain lagi. Tolong bujuk Hanna." Ines tahu bahwa Hanna dan Reina sangat dekat.Reina tidak tahu kalau Hanna mengalami kecelakaan mobil.Dia mengangguk. "Aku akan melihatnya. Kalau nggak bisa juga, tolong jangan salahkan aku.""Kamu ini bicara apa. Tante sudah berterima kasih karena kamu mau membantu." Ines menatap Reina masuk ke dalam bangsal.Hanna merasa lapar dan berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam, tidak bisa tidur sama sekali.Ketika mendengar seseorang masuk, dia langsung mengerutkan kening dan berseru, "Keluar, aku nggak mau makan.""Hanna, ini aku." Reina membuka mulutnya.Mendengar suara Reina, Hanna segera membuka matanya. Ketika melihat wajah Reina, dia langsung menyingkirkan sikap waspadanya."Kak Nana ...."Reina berjalan cepat ke arahnya. "Apa yang terjadi?"Hanna menceritakan semuanya.Reina mendengarkan dalam diam sebelum berkata, "Meskipun begitu, kamu nggak boleh melewatkan makan."Sejujurnya, Reina hanya pernah melihat trik in
Keheningan yang mematikan menyelimuti ruangan.Adrian mengepalkan tangannya. "Saat itu ada beberapa hal yang masih belum aku selesaikan."Sebenarnya, baru beberapa bulan dia dan Hanna menjalin hubungan bersama, jadi belum lama.Ines mendengus dingin. "Benarkah? Kamu tahu 'kan kalau masa muda seorang wanita itu berharga. Hanna sudah nggak muda lagi, kalau dia tunggu kamu satu tahun lagi, apa yang akan dia lakukan kalau kamu nggak mencapai apa-apa?"Sekali lagi, Adrian tidak tahu harus berkata apa.Dia memahami keprihatinan dan kekhawatiran orang tua terhadap anaknya. Dia juga tahu bahwa semua yang dilakukan Ines adalah demi kebaikan putrinya.Baginya yang seorang yatim piatu dan tidak memiliki apa-apa, rasanya hanya khayalan semacam jika dia ingin bersama dengan putri mereka, Hanna."Sekarang aku nggak punya apa-apa, jadi aku nggak tahu bagaimana akan meyakinkan kalian."Adrian menjawab dengan jujur."Kalau begitu, lepaskan Hanna dan lanjutkan hidupmu," kata Ines.Malik juga berkata, "S
Adrian terdiam sejenak, lalu mendapatkan kembali ketenangannya dan berkata kepada mereka, "Om, Tante, silakan masuk."Kedua orang tua itu awalnya mengira bahwa ketika Adrian melihat mereka, dia tidak akan berani meminta mereka masuk. Namun, tidak disangka Adrian begitu terbuka.Namun, makin terbuka sikap seorang pria, mereka harus makin waspada.Putri mereka saja bukan lawan pria ini.Keduanya masuk ke dalam rumah. Mereka melihat sekeliling dan ternyata rumah ini sangat bersih dan rapi.Dua kamar, satu ruang tamu, satu dapur dan dua kamar mandi.Ines paling memperhatikan kamar tidur.Dia memperhatikan bahwa kedua kamar ditutupi dengan selimut, kamar tidur utama memiliki selimut merah muda dan beberapa mainan kecil yang disukai Hanna.Kamar tidur kedua tampak sederhana, hanya dengan dua selimut, beberapa buku dan sebuah komputer desktop."Kalian nggak tidur bareng?" Ines bertanya tanpa basa-basi.Malik meringis dan terbatuk-batuk beberapa kali.Adrian mengangguk pelan. "Nggak, Tante. Ha
Hanna terbaring di ranjang rumah sakit, membuka matanya dengan lelah, "Ah, sakit."Ines duduk di sampingnya. "Salahmu sendiri karena nggak hati-hati. Kamu bukan anak kecil lagi, apa kamu nggak tahu melompat keluar dari mobil itu bahaya?""Itu karena kalian membawaku dengan paksa," jawab Hanna dengan dingin.Ines menghela napas. "Aku dan ayahmu melakukan ini demi kebaikanmu. Kalau kamu sampai hamil, hidupmu bakal hancur."Hanna sangat lelah mendengarkan alasan klise ini."Ibu itu nggak ngerti."Pertama-tama, Adrian bukanlah pria seperti itu. Lalu, hal paling intim yang pernah mereka lakukan sampai saat ini hanya ciuman."Ya, Ibu nggak ngerti. Garam yang Ibu makan jauh lebih banyak dari nasi yang kamu makan. Kalau kamu nggak percaya apa yang Ibu katakan sekarang, kamu bakal nyesel nanti." Ines mengatakan hal umum yang sering dikatakan orang tua kepada anaknya."Ya, sudah cukup. Aku pusing, aku mau istirahat."Hanna memejamkan matanya.Melihat Hanna bersikap seperti itu, Ines tidak punya
Adrian samar-samar merasakan ada yang tidak beres. Dia meninggalkan pekerjaannya dan pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, dia tidak melihat Hanna.Dengan cemas, dia mengambil ponselnya dan menghubungi Reina.Dia mendapatkan nomor Reina dari Hanna.Jika terjadi situasi khusus, di mana Adrian tidak bisa menghubunginya, dia bisa menghubungi Reina. Tidak disangka, situasi khusus ini benar-benar terjadi.Reina sedang bekerja dan tiba-tiba melihat ada panggilan dari nomor asing. Dia ragu-ragu cukup lama, tetapi tetap menjawabnya."Halo? Dengan siapa ini?""Aku Adrian, pacar Hanna. Apa ini dengan Nona Reina?" Adrian mengatakan siapa dia sebelum bertanya pada Reina.Reina sedikit bingung mengapa Adrian meneleponnya."Ya, ini aku, ada apa?" tanya Reina."Hanna nggak ada, jadi aku mau tanya, apa dia ada bersamamu?" tanya Adrian.Reina terkejut saat mendengar ini. Dia nggak di sini. Kenapa dia bisa hilang?""Aku juga nggak tahu. Perusahaan tempatnya bekerja meneleponku, katanya dia nggak masuk
Hanna sebenarnya pergi dari rumah bukan karena semata-mata ingin hidup bersama Adrian.Dia tidak tahan dengan suasana rumah yang menyesakkan.Orang tuanya selalu mendesaknya untuk menikah atau menceritakan betapa hebatnya anak-anak dari keluarga lain, bagaimana mereka memiliki cucu dan seterusnya.Sekarang, setelah pindah, tinggal bersama Adrian dan mulai bekerja dengan pekerjaan yang normal, dia merasa jauh lebih santai.Dia merebahkan diri dan kembali tidur, tidak tahu bahwa orang tuanya tidak bisa tidur.Malik menghentakkan kakinya dengan tidak sabar. "Lihatlah anak perempuanmu itu."Ines memutar bola matanya. "Jangan lupa kalau dia juga putrimu."Malik tersedak."Kita harus apa lagi sekarang? Kita nggak mungkin diam saja saat melihat putri kita dihancurkan sama Adrian," kata Malik.Ines menghela napas, tidak tahu harus berbuat apa."Kamu tahu sendiri kalau Hanna sangat keras kepala dan nggak akan mau mengubah keputusannya." Ines memandang ke luar pada malam yang gelap. "Apa kita ha