Syena masih ingin menanyakan sesuatu, namun Liane sudah lebih dulu menutup teleponnya.Syena jadi panik."Panti asuhan? Buat apa dia pergi ke panti asuhan? Tadi katanya urusan kantor?"Sebagai putri angkat, Syena paling takut kalau ada orang lain yang menggantikannya. Liane bisa meninggalkannya demi anak lain.Syena langsung menelepon asistennya."Suruh orang periksa apa kesibukan ibuku belakangan ini."Di ujung telepon, asisten Syena bertanya dengan hati-hati, "Maksud Nona itu Treya atau Bu Liane?"Syena langsung membentaknya, "Ya Liane lah! Treya itu nggak pantas jadi ibuku! Hati-hati ya kalau bicara!""Ya, baik."Asisten itu menutup telepon dan menyindir dalam hati.Kejam sekali hati Syena, dia bahkan tidak mengakui ibu kandungnya.Namun itu wajar, siapa suruh Liane lebih berkuasa dan kaya?Liane bisa memiliki anak sebanyak apa pun yang dia inginkan.Asisten Syena pun menyuruh orang menyelidiki Liane. Syena khawatir Liane akan mengadopsi anak lain dari panti asuhan....Saat ini di
Maxime tidak marah dengan ucapan Reina. Sinar bulan yang dingin malam ini menyinari tubuh Maxime, membuat sosoknya terlihat makin kesepian."Apa yang harus kulakukan supaya kamu mau meninggalkan Kota Simaliki? Dua triliun cukup?"Karena akan segera dioperasi, Maxime pikir lebih baik kalau keluarga kecilnya tidak ada di sini.Reina tersenyum menyindir saat mendengar lagi-lagi Maxime pikir bisa membelinya dengan uang. "Kamu pikir aku ini siapa? Sudah kubilang, aku nggak akan pergi. Aku akan tinggal di Kota Simaliki dan kerja di Grup Rajawali."Reina ingin tahu apa tujuan Maxime menceraikannya.Kalau Maxime punya simpanan, Reina tentu tidak akan melepaskan Maxime begitu saja.Reina tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung balik badan masuk ke rumah.Maxime sudah menduga Reina akan begitu keras kepala, dia pun tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Reina masuk kembali ke rumah, Ekki pun langsung datang menghampiri, "Gimana Bos?""Dia nggak setuju," jawab Maxime.Ekki sudah menduga Reina tid
"Nggak masalah kalau gagal, kamu nggak perlu menyalahkan diri sendiri, yang penting kamu sudah melakukan yang terbaik."Maxime tampak tenang, seolah dia tidak takut dengan apa yang akan terjadi.Jovan mengangguk sungguh-sungguh, "Aku pasti akan melakukan yang terbaik."...Di rumah sakit lain, Syena menunggu kedatangan Liane semalaman. Tapi keesokan harinya Liane masih belum kembali juga.Malah asistennya yang datang."Nona Syena.""Gimana? Sudah dapat informasi apa?" Syena buru-buru bertanya.Asistennya menjawab, "Menurut informan kita, Bu Liane sedang mencari putri kandungnya di panti asuhan."Hati Syena menegang.Dia tahu, selama ini Liane terus mencari keberadaan putri kandungnya. Sejak Syena beranjak dewasa, Liane sudah mulai mencari.Sekarang, lebih dari 20 tahun kemudian, Liane masih mencari!"Setelah selama ini, Liane masih mencari putrinya? Terus dia anggap aku apa!" Syena mengepalkan tangannya. "Demi dia, aku mau mutusin hubungan sama ibu kandungku. Kenapa dia nggak bisa mela
Syena buru-buru kembali berbaring di kasurnya, dia sengaja tidak merias wajah sedikit pun supaya terlihat pucat dan menyedihkan."Syena, gimana kondisimu?"Liane buru-buru masuk ke kamar rawat Syena dan bertanya dengan begitu cemas.Syena menjawab dengan lemah, "Sudah jauh lebih baik, nggak terlalu sakit lagi. Barusan kupikir aku akan mati."Syena memasang tampang sedih dan berkata, "Kalau aku mati, gimana nasib Ibu sendirian?"Syena langsung memeluk Liane.Liane menepuk pundak Syena dan menghiburnya, "Sudah, nggak apa-apa. Mana mungkin putriku mati?"Syena yang masih terisak pun menjawab, "Barusan aku mikir, coba aja adikku masih ada. Aku jadi nggak perlu khawatir karena meski aku mati, dia bisa menemani Ibu."Liane awalnya khawatir Syena tidak senang hati kalau dia mencari putri kandungnya, namun dengan Syena berujar seperti ini, Liane tidak ingin lagi menyembunyikan hal ini dari Syena."Syena, Ibu nggak pernah menyerah mencari adikmu. Tuhan nggak tidur, Ibu pasti bisa menemukannya."
Barusan Treya mimpi buruk, Anthony menolak memaafkannya dan semua orang meninggalkannya.Waktu Treya terbangun, dia memeluk lututnya dan termenung.Ternyata itu semua bukan mimpi, ini semua fakta karena sekarang Treya memang sendirian, tidak ada seorang pun di sisinya."Duar!"Suara petir yang menggelegar membuat Treya melihat ke langit di luar jendela dan entah mengapa malah merasa sangat bersemangat.Treya menyelesaikan syal yang belum rampung dirajutnya, lalu memasukkan semua peninggalan yang dia siapkan ke dalam kotak besar.Treya juga menulis sebuah surat.Setelah melakukan semua ini, dia kembali berbaring di kasur.Rasa sakit di perutnya mulai kambuh, seolah ada jutaan pisau mengaduk-aduk perutnya. Treya tidak bisa mengungkapkan rasa sakitnya, dia ingin memanggil dokter, namun tidak ada yang datang.Treya sadar, malam ini adalah malam terakhirnya.Treya bahkan tidak punya kekuatan untuk membalikkan tubuh. Dia tidak ingin mati sendirian begini, dia sangat takut.Dia ingin seseoran
"Ibu!"Waktu Diego melihat tubuh Treya yang sudah membujur kaku dan dingin, dia langsung berteriak dan matanya memerah.Meski dia tidak peduli pada Treya karena selalu pilih kasih pada Syena, sekarang Diego sungguh merasa kehilangan sosok ibu."Ibu! Kenapa Ibu meninggal? Ibu!" Diego berteriak sambil menangis.Reina hanya berdiri di samping kasur, entah mengapa tenggorokannya terasa sakit.Meski Treya bukan ibu kandungnya dan tidak pernah memperlakukannya seperti anaknya, mereka berdua sudah melewati hidup bersama lebih dari belasan tahun.Reina tidak ingin melihat pemandangan menyesakkan ini, jadi dia keluar dari kamar mayat itu.Dia berjongkok di koridor dan membenamkan kepalanya dalam pelukannya sendiri.Tiba-tiba, cahaya di depannya terhalang sesuatu dan Reina merasa ada seseorang berdiri di hadapannya.Reina mengangkat kepalanya perlahan dan melihat Morgan yang memakai jas berdiri di hadapannya, "Kamu nggak apa-apa?"Reina langsung membuang muka supaya Morgan tidak melihat matanya
Reina tidak ingin surat itu, jadi dia menolaknya. Namun, dia langsung merebut surat itu dari tangan Reina."Kak, biar aku yang lihat ya apa yang ibu katakan."Diego sudah tahu bahwa Treya memenangkan gugatan perceraian dan menerima harta gono gini dalam jumlah besar.Diego membuka surat itu dengan penuh semangat, namun ternyata yang ada di dalam surat itu semua hanya tentang Reina."Nana, maaf. Aku tahu pembelaan apa pun yang kuberikan sekarang nggak ada gunanya, tapi aku tetap mau minta maaf. Aku bukan manusia, aku nggak pantas jadi ibumu. Tapi untungnya aku memang bukan ibumu ...."Diego merasa ada yang janggal saat membaca surat ini.Apa maksudnya untung dia bukan ibu Reina?Namun, Diego tidak berpikiran macam-macam.Dia terus membaca isi permintaan maaf Treya dan akhirnya pada beberapa kalimat terakhir, Diego melihat informasi yang dia inginkan."Aku sudah mempercayakan semua asetku pada seorang pengacara, semua harta itu untukmu."Kalimat ini seketika membuat kepala Diego berdengu
Sebelum Morgan sempat menjawab, Diego sudah menyindir lebih dulu, "Kamu sebagai putri kandung 'kan nggak berniat datang, jadi tentu Kak Morgan yang statusnya baru calon menantu yang datang. Jangan pikir semua orang itu nggak punya hati kayak kamu."Sebuah sinar dingin melintas di mata Syena setelah ditegur Diego di depan banyak orang."Diego, kamu pikir kamu siapa berani ngajarin aku? Kalau bukan karena aku, mana mungkin Morgan mau bantuin kamu?"Diego tersedak.Syena melihat sekeliling dan tidak melihat Treya.Suster yang baik hati sepertinya paham maksud Syena, dia berkata, "Nyonya Treya ada di kamar mayat. Kalau Nona mau lihat, mari kuantar.""Siapa juga yang mau melihat orang mati? Nggak lihat apa aku lagi hamil? Kamu mau bikin aku tertimpa sial ya?" Wajah Syena penuh dengan rasa jijik.Suster itu seketika tidak bisa berkata-kata.Syena melihat sebuah kotak kardus yang di letakkan di lantai, isinya ada syal dan sarung tangan rajut. Syena pun menendang kotak itu dengan jijik."Kenap
Hanna menghilang di balik ambang pintu.Reina sedikit membeku.Putranya, Leo, mendongakkan kepalanya dan berkata pada Reina dengan suara menggemaskan, "Ibu, sudah lima."Reina kembali tersadar dan melihat ke bawah, melihat bahwa bidak hitam Leo sudah penuh, yaitu lima bidak."Sayang kamu menang, luar biasa." Reina langsung memberikan pujian beruntun.Leo tersenyum bahagia.Di sisi lain, Liam sedikit cemburu saat melihat ibunya memuji kakaknya.Dia berjalan ke arah Reina dan memeluk lengan Reina. "Mama."Reina sedikit tidak berdaya, menyentuh kepala kecilnya. "Liam juga hebat."Joanna merasakan gejolak kecil di dalam hatinya saat melihat ini.Dia mengulurkan tangannya. "Ayo, sini peluk Nenek."Liam dan Leo berbeda dengan Riki dan Riko. Mereka tumbuh bersama Joanna dan memiliki perasaan mendalam kepada neneknya ini, tidak kurang dari perasaan mereka kepada Reina.Mereka berdua berlari mendekati Joanna, ingin dipeluk.Joanna sangat gembira dan berkata kepada Reina sambil tersenyum, "Lihat
Ines berdecak, "Bukannya aku keberatan karena dia miskin, tapi keluarga yang berbeda, kelas yang berbeda, konsep hidup yang berbeda, pandangan dalam hidup pun akan berbeda.""Sekarang, darahnya sedang menggebu-gebu. Tapi, setelah darah itu mengalir ke kepalanya, dia akan lebih tenang. Saat itulah dia akan menyadari kalau dia dan Adrian berbeda."Setelah itu, Ines menoleh ke arah Reina."Nana, bukankah begitu?"Wajah Reina menegang.Dia terkejut kenapa Ines melemparkan pertanyaan itu kepadanya?"Hmm, memang benar akan ada konflik di kemudian hari, ketika kesenjangan antara status keduanya terlalu besar," kata Reina.Setelah mengatakan itu, dia mengubah topik pembicaraan, "Tapi, aku pikir kalau mereka benar-benar saling mencintai, mereka seharusnya bisa saling menemani hingga tua bersama."Dia mengatakan persetujuan untuk kedua belah pihak, jadi tidak menyinggung perasaan Hanna dan ibunya.Sejujurnya, Reina bahkan tidak tahu bagaimana Hanna dan Adrian bisa bersatu.Kalau di ingat tahun l
Setelah permintaan Tommy kepada pengawal tidak membuahkan hasil, dia kembali ke ruang kelas dengan marah.Dia memelototi Alfian. "Jangan berpikir kalau aku nggak bisa melakukan apa pun kepadamu. Setelah pulang nanti, aku akan bilang Kakek agar perusahaanmu nggak bisa bergerak di pasaran."Saat membahas masalah perusahaan, sikap tegas Alfian berubah, dia pun menjadi khawatir.Dia hanya anak kecil, Tommy mungkin hanya akan melakukan sesuatu kepadanya. Namun, terkait perusahaan ....Jika ibu dan ayah tahunya tentang hal itu, mereka pasti akan menyalahkannya.Kemarahan Alfian barusan perlahan memudar. Dia hendak mengaku kalah, tetapi Riko tiba-tiba bicara, "Tommy, selain mengancam orang lain, apa lagi yang bisa kamu lakukan?"Tommy menatapnya dengan keterkejutan."Aku ... aku ...."Dia menjawab terbata-bata.Mata sedingin es Riko tertuju pada wajahnya. "Aku kasih saran, kalau kamu ingin belajar dengan tenang di kelas ini, lebih baik nggak usah buat masalah."Tommy menatap Riko seperti seek
Riko bahkan tidak menatap Tommy dan menjawab ringan, "Nggak perlu, terima kasih."Tangan Tommy yang terangkat membeku."Riko, kamu yakin nggak mau? Aku pernah lihat kalau kamu punya banyak konsol game di kamarmu. Ini yang terbaru, apa kamu nggak mau main?""Main?" Riko menatapnya, lalu melanjutkan, "Apa kamu salah paham? Konsol-konsol di kamarku bukan buat dimainkan, tapi buat dibongkar pasang."Dibongkar pasang?Benak Tommy dipenuhi dengan kebingungan, tidak mengerti mengapa Riko harus membongkar konsol game yang bagus seperti ini.Riko tidak ingin menjelaskan, menundukkan kepalanya dan terus menulis sesuatu.Melihat hal ini, Tommy tidak punya pilihan selain menarik tangannya dan datang ke depan Riki.Bahkan sebelum dia bisa membuka mulutnya, Riki menguap dengan malas, kemudian berkata kepadanya dengan sorot mata dingin, "Singkirkan konsol game mu. Aku nggak mau."Sudut mulut Tommy bergerak pelan.Dia memaksa dirinya untuk menahan amarah di dalam hatinya dan berpura-pura tidak peduli.
Harus diakui bahwa di dunia ini, uang adalah satu-satunya hal yang paling berpengaruh.Melihat gadis yang duduk di samping Alfian berasal dari keluarga biasa-biasa saja, guru itu berjalan menghampiri dan berkata kepada gadis itu dengan suara hangat, "Nak, Tommy anak baru, jadi bolehkah kursimu diberikan kepadanya?"Mata gadis itu terlihat berair setelah mendengar ini.Dia tidak berani mengatakan tidak, hendak beranjak dan pindah meja.Namun, Alfian tidak bisa duduk diam."Pak, masih banyak kursi kosong di kelas, kenapa dia harus duduk di meja Lily?"Wajah guru yang bernama Amar terlihat kaku. Dia tidak dalam posisi yang tepat untuk memberi tahu Alfian tentang dunia orang dewasa dan pentingnya menghindari bahaya."Alfian, Lily saja nggak keberatan, kenapa kamu keberatan?"Alfian menatap Lily. "Lily, bukannya kamu sudah bilang bakal duduk denganku terus?"Ketika Lily mendengar Alfian mengatakan ini, matanya memerah dan dia menggosok matanya."Tapi ...."Suaranya tercekat.Alfian melindun
Es mencair dan sudah waktunya sekolah dimulai.Riko dan Riki sudah duduk di bangku sekolah dasar, mereka berdua berada di sekolah yang sama.Meskipun mereka sudah menjalani satu semester, Riki masih merasa baru dalam segala hal."Kakak, kenapa menekuk wajahmu begitu? Di sekolah bisa dapat teman banyak, apa kamu nggak senang?" Riki bertanya dengan penuh curiga.Riko duduk tegak dan menatapnya. "Apa yang membuatmu senang?"Baginya, pergi ke sekolah dasar terlalu membosankan dan tidak menantang.Namun, Mama bilang bahwa di usianya sekarang, lebih baik mencari teman.Sesampainya di pintu masuk sekolah, sopir menatap kepergian keduanya."Hati-hati, Tuan Muda Riki dan Riko."Riko dan Riki berjalan masuk ke dalam sekolah secara berdampingan, langsung menarik perhatian banyak gadis.Sosok kecil yang tidak asing melambaikan tangan ke arah mereka. "Riko, Riki."Orang yang berbicara itu adalah keponakan Alana, Alfian.Setelah tidak bertemu dengannya selama liburan, berat badannya bertambah.Dia b
Setelah tiba, Maxime langsung berjalan ke rumah dan langsung mempercepat langkahnya saat melihat Reina dan anak-anak."Nana."Reina langsung merasa nyaman saat melihat kedatangannya.Joanna yang duduk di sampingnya langsung bertanya, "Bukankah kamu bilang hari ini cukup sibuk dan akan pulang telat? Kenapa pulang lebih cepat dari biasanya?""Istirahat sebentar," jawab Maxime, kemudian duduk di sebelah Reina.Joanna memandangi keduanya, hatinya terasa sedikit masam.Putranya ini benar-benar sangat protektif terhadap istrinya.Maxime merendahkan suaranya dan bertanya pada Reina, "Apa yang terjadi?"Reina mengeluarkan ponselnya dan mengetik, lalu mengirimkannya kepadanya."Kita bicarakan setelah pulang nanti."Maxime juga menyadari bahwa Morgan masih ada di sini. Dia mengirim Emoji mengiakan, tidak lupa dengan Emoji peluk.Dia awalnya tidak memiliki Emoji ini di ponselnya. Itu semua karena Reina yang sering mengirimkannya, jadi dia mulai terbiasa.Reina melihat pelukan yang Maxime kirimkan
Morgan melangkah lebih dekat ke arah Reina."Nana, apa kamu sudah lupa kalau Syena mengirim seseorang untuk mencelakai anakmu, Riko? Aku melakukan ini karena ingin memberinya balasan yang setimpal, agar dia bisa merasakan rasa sakit ketika anak disakiti. Tapi ...."Ekspresi di wajah Morgan sedikit berubah. "Nggak disangka waktu itu bahkan nggak peduli sama anaknya sendiri. Mengerikan sekali."Mendengar Morgan bicara seperti ini, Reina malah berpikir bahwa Morgan jauh lebih mengerikan."Morgan, kamu benar-benar sangat menakutkan."Dia menarik napas dalam-dalam dan bergegas melewatinya, kembali masuk ke dalam rumah.Morgan berdiri diam, tubuh rampingnya begitu ringkih.Setelah berdiri diam untuk beberapa saat, dia kembali masuk ke dalam rumah.Di ruang tamu.Beberapa anak kecil sedang bermain-main.Reina duduk di samping, Joanna juga duduk di sofa, sesekali menggoda anak-anak.Melihat Morgan masuk, Joanna memintanya untuk duduk."Morgan, kamu baru sembuh, kenapa malah keluar? Di luar san
Setelah keluar dan melihat langit yang cerah, Reina tidak tahu apa yang terjadi di dalam hatinya.Apa yang dikatakan Syena padanya benar-benar menembus persepsinya.Awalnya, dia mengira Morgan sudah cukup gila, tetapi dia tidak menyangka bahwa semua yang terjadi di masa lalu hanyalah puncak dari gunung esnya.Dia menarik napas dalam-dalam, tidak tahu bagaimana cara memberitahu Sisca tentang hal ini.Panggilan Sisca datang tidak lama kemudian.Reina menimbang kata-katanya sebelum mengatakannya secara perlahan.Setelah Sisca mendengarnya, dia juga terdiam cukup lama sebelum berkata dengan tidak percaya, "Morgan terlihat seperti orang yang lembut, bagaimana bisa dia melakukan hal seperti itu?""Entahlah, pokoknya mulai sekarang, kamu nggak perlu menyelidiki ayah kandung Talitha lagi. Besarkanlah Talitha dengan baik. Dengan adanya kamu, dia akan hidup dengan sangat bahagia."Sisca pun memahami hal ini.Untuk bisa melakukan hal seperti itu, pastilah ayah kandung Talitha bukanlah orang baik.