Sebelum Morgan sempat menjawab, Diego sudah menyindir lebih dulu, "Kamu sebagai putri kandung 'kan nggak berniat datang, jadi tentu Kak Morgan yang statusnya baru calon menantu yang datang. Jangan pikir semua orang itu nggak punya hati kayak kamu."Sebuah sinar dingin melintas di mata Syena setelah ditegur Diego di depan banyak orang."Diego, kamu pikir kamu siapa berani ngajarin aku? Kalau bukan karena aku, mana mungkin Morgan mau bantuin kamu?"Diego tersedak.Syena melihat sekeliling dan tidak melihat Treya.Suster yang baik hati sepertinya paham maksud Syena, dia berkata, "Nyonya Treya ada di kamar mayat. Kalau Nona mau lihat, mari kuantar.""Siapa juga yang mau melihat orang mati? Nggak lihat apa aku lagi hamil? Kamu mau bikin aku tertimpa sial ya?" Wajah Syena penuh dengan rasa jijik.Suster itu seketika tidak bisa berkata-kata.Syena melihat sebuah kotak kardus yang di letakkan di lantai, isinya ada syal dan sarung tangan rajut. Syena pun menendang kotak itu dengan jijik."Kenap
Reina bersandar di sofa dan meringkuk sendirian.Dia benar-benar ingin mengobrol dengan seseorang, dia merasa kesepian.Sayangnya ... tidak ada ....Wajah Maxime spontan muncul di benaknya, tapi Reina langsung menghapusnya.Maxime sudah menceraikannya.Detik demi detik terasa sulit dan berat. Reina tidak bisa tidur, dia membuka ponselnya dan melihat tidak ada seorang pun yang mengiriminya pesan.Reina merasa tertekan, dia menelusuri daftar kontak dan tanpa sadar menyentuh nama Maxime.Entah apa yang merasuki dirinya, Reina menelepon nomor itu.Di rumah sakit.Besok, Maxime akan dioperasi. Maxime dengar ponselnya berdering, namun dia menahan diri dan mematikan panggilan itu.Melihat panggilannya diputus, cahaya di hati Reina pun pupus.Dia langsung memasukkan kontak Maxime ke daftar hitam.Maxime tidak tahu kalau Treya meninggal. Dia berbaring di ranjang rumah sakit untuk menenangkan diri. Di mulut dia memang bilang tidak takut, namun bohong kalau hatinya tidak merasa takut.Hati keciln
Alana melirik perut Reina dan berkata, "Kamu sudah periksa kondisi kandungan? Gimana kabar si dedek bayi? Sudah mulai bergerak belum?"Alana mengelus perut Reina.Reina tersenyum, "Ya belum lah, masih kecil dia.""Oh gitu." Alana bersandar di bahu Reina dan berkata, "Dua hari ini aku temenin kamu tidur ya? Nggak keberatan, 'kan?""Ya nggak dong." Saat ini Reina memang sangat membutuhkan seseorang menemaninya.Karena kalau dia sendirian, pikirannya akan melantur ke mana-mana."Oke, aku minta orang antarin bajuku.""Oke."Setelah Alana datang, rumah Reina jadi terasa dihuni manusia.Tidak lama kemudian, Gaby pun pulang. Seketika rumah itu jadi ramai dan hangat, menghilangkan hawa dingin yang meliputi Reina.Saat ini, Riko dan Riki sama-sama mengkhawatirkan kondisi mamanya.Riko bertanya pada Riki, "Kenapa pria bajingan itu tiba-tiba minta cerai?""Ngapain nanya? Sudah pasti karena dia punya simpanan di luar."Sebenarnya sebelum mereka pulang ke kota ini, Riko sudah menyelidiki Maxime. Di
Riko pun melakukan panggilan video dengan Jovan.Jovan masih mendiskusikan operasi otak untuk Maxime besok dengan sekelompok ahli medis dan mengernyit saat melihat Riko meneleponnya.Karena saat ini Jovan sedang menampilkan layar ponselnya, semua orang pun bisa melihat saat notifikasi telepon masuk. 'Bocah nakal penagih hutang kehidupan sebelumnya', inilah nama Riko yang tersimpan di ponsel Jovan.Jovan langsung menghentikan tampilan layarnya, keluar ruangan dan menjawab telepon itu. Tidak lama, wajah tampan Riko yang besar pun muncul di depan mata Jovan."Ada apa?" Jovan cemburu saat menatap wajah tampan Riko.Riko memperhatikan lingkungan di belakang Jovan, "Om Jovan sekarang lagi di Maldina?"Jovan tidak tahu kalau Riko sedang menyelidikinya, jadi dia dengan santai berbohong."Iya, kenapa? Kakek nyariin aku?"Riko memperhatikan taman yang ada di belakang Jovan, semua pohon itu adalah ciri khas Kota Simaliki, bukan Negara Maldina.Seperti biasa, Jovan ini memang ceroboh."Nggak, Tant
"Bagus Riko! Cih, aku nggak mau hadiah dari dia. Lagian dia tuh ya, kalau ngasih sesuatu pasti ada udang dibalik batu." Alana langsung memuji Riko."Ya." Riko mengangguk berulang kali.Riki memperhatikan kakaknya yang berbohong.Kurang ajar. Riki bisa dengan mudah tahu saat orang lain berbohong, tapi kemampuan kakaknya ini sangat luar biasa sampai Riki saja tidak tahu kalau kakaknya berbohong.Apa kakaknya pernah membohonginya? Entahlah."Oke, kalian cepat mandi, terus tidur ya.""Oke."Kedua anak itu menjawab dengan serempak.Setelah mengatur anak-anak supaya tidur, Reina, Gaby dan Alana pun makan sambil mengobrol di sofa.Reina merasa mengantuk, jadi dia pamit tidur duluan.Alana pun bertanya pada Gaby, "Gaby, gimana hubunganmu sama Ekki?"Di mata Alana, Ekki adalah pria yang kaku dan tidak komunikatif, membuat para gadis takut untuk mendekatinya."Ya, baik-baik aja," jawab Gaby."Kalau gitu apa Ekki pernah cerita tentang Maxime belakangan ini? Aku beneran nggak ngerti kenapa Maxime
Alana itu orang yang ceroboh. Riko dan Riki mengenakan pakaian yang persis sama hari ini."Riki, sekarang waktunya kita uji kemampuan aktingmu yang luar biasa itu," kata Riko dengan serius."Jangan khawatir, nggak akan ada masalah."Riki menjawab dengan nada manja.Kalau bukan karena hanya Alana seorang diri di rumah, Riko tidak mungkin menggunakan cara ini untuk menyelinap dari rumah. Karena begitu dia melihat Riki, dia langsung tahu kalau Riki berbeda darinya."Ya sudah, aku pergi dulu."Riki meraih lengan Riko dan berkata, "Nanti kasih tahu aku ya apa yang terjadi."Riki sangat penasaran sebenarnya apa yang terjadi pada ayah berengseknya."Oke, jangan khawatir." Riko menarik tangan kecilnya dan menyelinap keluar melalui pintu belakang.Tidak lama setelah Riko pergi, Alana datang dan mengetuk pintu, "Riko, Riki, ayo turun, makan buah."Riki keluar kamar sambil memasang wajah serius, "Tante Alana, Riki lagi tidur. Biar aku aja yang makan."Alana tertegun sejenak, tapi dia tidak sadar
Setelah turun dari mobil, Riko mulai mencari rumah sakit swasta di Jalan Maple.Riko memang hebat. Titik lokasi yang dia deteksi ternyata sangat akurat. Sesampainya Riko di Jalan Maple, dia langsung menemukan sebuah rumah sakit dengan pintu masuk tersembunyi dan banyak pengawal yang berjaga di sana.Riko menyelinap dengan hati-hati.Tubuhnya yang kecil memudahkannya menyelinap. Para pengawal juga tidak memperhatikan anak kecil.Riko akhirnya sampai di pintu rumah sakit, tapi tidak ada jalan masuk. Riko melihat ke sekeliling dan tidak mendapati adanya pintu belakang."Gimana caranya aku masuk?"Riko bersandar di pohon besar, mengambil arlojinya dan menelepon Jovan.Riko tidak tahu kalau sekarang Jovan dan sekelompok dokter sedang melakukan operasi sehingga mereka tidak membawa ponsel.Teleponnya tidak diangkat.Tiba-tiba Riko melihat dua staf medis, seorang pemuda dan pemudi berjalan masuk ke rumah sakit itu.Riko pun bertaruh dan mengikuti mereka.Benar saja, dia langsung dihentikan pe
"Ponsel siapa sih dari tadi bunyi terus?" tanya seorang suster yang lewat.Riko langsung menutup telepon.Karena dering telepon Jovan berhenti, suster pun tidak jadi memeriksa.Awalnya Riko mau naik ke lantai tiga, tapi semua pintu tertutup. Jangankan dia, lalat saja tak bisa masuk.Riko pun akhirnya menunggu di pojok ruangan lantai dua dan menunggu sampai operasi selesai....Saat ini, di departemen penjualan Grup Rajawali.Sedari tadi Reina merasa tidak nyaman. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi, tapi dia tidak tahu apa itu.Kalau hanya tentang kematian Treya, harusnya dia tidak merasa seperti ini."Bos, Nona Syena memintamu datang." Bawahan Reina mengetuk pintu ruangannya dan menyampaikan pesan.Reina tersadar dari lamunannya dan bertanya, "Sekarang dia ada di mana?""Di ruangan sebelah.""Oke, aku pergi sekarang. Kalian kerja yang baik ya."Reina berdiri dan langsung limbung karena kepalanya pusing. Reina pun menopang diri di sudut meja."Bos, kamu nggak apa-apa?" Bawahan Reina la
Hanna menghilang di balik ambang pintu.Reina sedikit membeku.Putranya, Leo, mendongakkan kepalanya dan berkata pada Reina dengan suara menggemaskan, "Ibu, sudah lima."Reina kembali tersadar dan melihat ke bawah, melihat bahwa bidak hitam Leo sudah penuh, yaitu lima bidak."Sayang kamu menang, luar biasa." Reina langsung memberikan pujian beruntun.Leo tersenyum bahagia.Di sisi lain, Liam sedikit cemburu saat melihat ibunya memuji kakaknya.Dia berjalan ke arah Reina dan memeluk lengan Reina. "Mama."Reina sedikit tidak berdaya, menyentuh kepala kecilnya. "Liam juga hebat."Joanna merasakan gejolak kecil di dalam hatinya saat melihat ini.Dia mengulurkan tangannya. "Ayo, sini peluk Nenek."Liam dan Leo berbeda dengan Riki dan Riko. Mereka tumbuh bersama Joanna dan memiliki perasaan mendalam kepada neneknya ini, tidak kurang dari perasaan mereka kepada Reina.Mereka berdua berlari mendekati Joanna, ingin dipeluk.Joanna sangat gembira dan berkata kepada Reina sambil tersenyum, "Lihat
Ines berdecak, "Bukannya aku keberatan karena dia miskin, tapi keluarga yang berbeda, kelas yang berbeda, konsep hidup yang berbeda, pandangan dalam hidup pun akan berbeda.""Sekarang, darahnya sedang menggebu-gebu. Tapi, setelah darah itu mengalir ke kepalanya, dia akan lebih tenang. Saat itulah dia akan menyadari kalau dia dan Adrian berbeda."Setelah itu, Ines menoleh ke arah Reina."Nana, bukankah begitu?"Wajah Reina menegang.Dia terkejut kenapa Ines melemparkan pertanyaan itu kepadanya?"Hmm, memang benar akan ada konflik di kemudian hari, ketika kesenjangan antara status keduanya terlalu besar," kata Reina.Setelah mengatakan itu, dia mengubah topik pembicaraan, "Tapi, aku pikir kalau mereka benar-benar saling mencintai, mereka seharusnya bisa saling menemani hingga tua bersama."Dia mengatakan persetujuan untuk kedua belah pihak, jadi tidak menyinggung perasaan Hanna dan ibunya.Sejujurnya, Reina bahkan tidak tahu bagaimana Hanna dan Adrian bisa bersatu.Kalau di ingat tahun l
Setelah permintaan Tommy kepada pengawal tidak membuahkan hasil, dia kembali ke ruang kelas dengan marah.Dia memelototi Alfian. "Jangan berpikir kalau aku nggak bisa melakukan apa pun kepadamu. Setelah pulang nanti, aku akan bilang Kakek agar perusahaanmu nggak bisa bergerak di pasaran."Saat membahas masalah perusahaan, sikap tegas Alfian berubah, dia pun menjadi khawatir.Dia hanya anak kecil, Tommy mungkin hanya akan melakukan sesuatu kepadanya. Namun, terkait perusahaan ....Jika ibu dan ayah tahunya tentang hal itu, mereka pasti akan menyalahkannya.Kemarahan Alfian barusan perlahan memudar. Dia hendak mengaku kalah, tetapi Riko tiba-tiba bicara, "Tommy, selain mengancam orang lain, apa lagi yang bisa kamu lakukan?"Tommy menatapnya dengan keterkejutan."Aku ... aku ...."Dia menjawab terbata-bata.Mata sedingin es Riko tertuju pada wajahnya. "Aku kasih saran, kalau kamu ingin belajar dengan tenang di kelas ini, lebih baik nggak usah buat masalah."Tommy menatap Riko seperti seek
Riko bahkan tidak menatap Tommy dan menjawab ringan, "Nggak perlu, terima kasih."Tangan Tommy yang terangkat membeku."Riko, kamu yakin nggak mau? Aku pernah lihat kalau kamu punya banyak konsol game di kamarmu. Ini yang terbaru, apa kamu nggak mau main?""Main?" Riko menatapnya, lalu melanjutkan, "Apa kamu salah paham? Konsol-konsol di kamarku bukan buat dimainkan, tapi buat dibongkar pasang."Dibongkar pasang?Benak Tommy dipenuhi dengan kebingungan, tidak mengerti mengapa Riko harus membongkar konsol game yang bagus seperti ini.Riko tidak ingin menjelaskan, menundukkan kepalanya dan terus menulis sesuatu.Melihat hal ini, Tommy tidak punya pilihan selain menarik tangannya dan datang ke depan Riki.Bahkan sebelum dia bisa membuka mulutnya, Riki menguap dengan malas, kemudian berkata kepadanya dengan sorot mata dingin, "Singkirkan konsol game mu. Aku nggak mau."Sudut mulut Tommy bergerak pelan.Dia memaksa dirinya untuk menahan amarah di dalam hatinya dan berpura-pura tidak peduli.
Harus diakui bahwa di dunia ini, uang adalah satu-satunya hal yang paling berpengaruh.Melihat gadis yang duduk di samping Alfian berasal dari keluarga biasa-biasa saja, guru itu berjalan menghampiri dan berkata kepada gadis itu dengan suara hangat, "Nak, Tommy anak baru, jadi bolehkah kursimu diberikan kepadanya?"Mata gadis itu terlihat berair setelah mendengar ini.Dia tidak berani mengatakan tidak, hendak beranjak dan pindah meja.Namun, Alfian tidak bisa duduk diam."Pak, masih banyak kursi kosong di kelas, kenapa dia harus duduk di meja Lily?"Wajah guru yang bernama Amar terlihat kaku. Dia tidak dalam posisi yang tepat untuk memberi tahu Alfian tentang dunia orang dewasa dan pentingnya menghindari bahaya."Alfian, Lily saja nggak keberatan, kenapa kamu keberatan?"Alfian menatap Lily. "Lily, bukannya kamu sudah bilang bakal duduk denganku terus?"Ketika Lily mendengar Alfian mengatakan ini, matanya memerah dan dia menggosok matanya."Tapi ...."Suaranya tercekat.Alfian melindun
Es mencair dan sudah waktunya sekolah dimulai.Riko dan Riki sudah duduk di bangku sekolah dasar, mereka berdua berada di sekolah yang sama.Meskipun mereka sudah menjalani satu semester, Riki masih merasa baru dalam segala hal."Kakak, kenapa menekuk wajahmu begitu? Di sekolah bisa dapat teman banyak, apa kamu nggak senang?" Riki bertanya dengan penuh curiga.Riko duduk tegak dan menatapnya. "Apa yang membuatmu senang?"Baginya, pergi ke sekolah dasar terlalu membosankan dan tidak menantang.Namun, Mama bilang bahwa di usianya sekarang, lebih baik mencari teman.Sesampainya di pintu masuk sekolah, sopir menatap kepergian keduanya."Hati-hati, Tuan Muda Riki dan Riko."Riko dan Riki berjalan masuk ke dalam sekolah secara berdampingan, langsung menarik perhatian banyak gadis.Sosok kecil yang tidak asing melambaikan tangan ke arah mereka. "Riko, Riki."Orang yang berbicara itu adalah keponakan Alana, Alfian.Setelah tidak bertemu dengannya selama liburan, berat badannya bertambah.Dia b
Setelah tiba, Maxime langsung berjalan ke rumah dan langsung mempercepat langkahnya saat melihat Reina dan anak-anak."Nana."Reina langsung merasa nyaman saat melihat kedatangannya.Joanna yang duduk di sampingnya langsung bertanya, "Bukankah kamu bilang hari ini cukup sibuk dan akan pulang telat? Kenapa pulang lebih cepat dari biasanya?""Istirahat sebentar," jawab Maxime, kemudian duduk di sebelah Reina.Joanna memandangi keduanya, hatinya terasa sedikit masam.Putranya ini benar-benar sangat protektif terhadap istrinya.Maxime merendahkan suaranya dan bertanya pada Reina, "Apa yang terjadi?"Reina mengeluarkan ponselnya dan mengetik, lalu mengirimkannya kepadanya."Kita bicarakan setelah pulang nanti."Maxime juga menyadari bahwa Morgan masih ada di sini. Dia mengirim Emoji mengiakan, tidak lupa dengan Emoji peluk.Dia awalnya tidak memiliki Emoji ini di ponselnya. Itu semua karena Reina yang sering mengirimkannya, jadi dia mulai terbiasa.Reina melihat pelukan yang Maxime kirimkan
Morgan melangkah lebih dekat ke arah Reina."Nana, apa kamu sudah lupa kalau Syena mengirim seseorang untuk mencelakai anakmu, Riko? Aku melakukan ini karena ingin memberinya balasan yang setimpal, agar dia bisa merasakan rasa sakit ketika anak disakiti. Tapi ...."Ekspresi di wajah Morgan sedikit berubah. "Nggak disangka waktu itu bahkan nggak peduli sama anaknya sendiri. Mengerikan sekali."Mendengar Morgan bicara seperti ini, Reina malah berpikir bahwa Morgan jauh lebih mengerikan."Morgan, kamu benar-benar sangat menakutkan."Dia menarik napas dalam-dalam dan bergegas melewatinya, kembali masuk ke dalam rumah.Morgan berdiri diam, tubuh rampingnya begitu ringkih.Setelah berdiri diam untuk beberapa saat, dia kembali masuk ke dalam rumah.Di ruang tamu.Beberapa anak kecil sedang bermain-main.Reina duduk di samping, Joanna juga duduk di sofa, sesekali menggoda anak-anak.Melihat Morgan masuk, Joanna memintanya untuk duduk."Morgan, kamu baru sembuh, kenapa malah keluar? Di luar san
Setelah keluar dan melihat langit yang cerah, Reina tidak tahu apa yang terjadi di dalam hatinya.Apa yang dikatakan Syena padanya benar-benar menembus persepsinya.Awalnya, dia mengira Morgan sudah cukup gila, tetapi dia tidak menyangka bahwa semua yang terjadi di masa lalu hanyalah puncak dari gunung esnya.Dia menarik napas dalam-dalam, tidak tahu bagaimana cara memberitahu Sisca tentang hal ini.Panggilan Sisca datang tidak lama kemudian.Reina menimbang kata-katanya sebelum mengatakannya secara perlahan.Setelah Sisca mendengarnya, dia juga terdiam cukup lama sebelum berkata dengan tidak percaya, "Morgan terlihat seperti orang yang lembut, bagaimana bisa dia melakukan hal seperti itu?""Entahlah, pokoknya mulai sekarang, kamu nggak perlu menyelidiki ayah kandung Talitha lagi. Besarkanlah Talitha dengan baik. Dengan adanya kamu, dia akan hidup dengan sangat bahagia."Sisca pun memahami hal ini.Untuk bisa melakukan hal seperti itu, pastilah ayah kandung Talitha bukanlah orang baik.