Matahari belum beranjak, dan Riku sudah berlatih di halaman. Melatih bela dirinya di tengah sunyinya pagi.
Begitu pun melatih seni senjatanya, diantara kesukaannya adalah panah dan tongkat panjang.
Hal-hal demikian juga menjadi penentu dalam sebuah pertarungan bukan?
Jika kau bersenjata dan ahli menggunakannya, itu akan memudahkanmu mengalahkan lawan, meningkatkan serangan, bahkan jangkauan juga.
Lalu bela diri, seni pertarungan jalanan yang bisa digunakan untuk bertarung ataupun bertahan, bagi seorang petarung di zaman ini, bela diri adalah pakaian, hanya orang bodoh yang tidak mempelajarinya.
"Semangat sekali kau, bocah!" Kakek tua itu keluar, terdapat kapak di pundaknya, ia pasti akan mencari kayu.
"Kalau mau mencari kayu, tebang lah pohon yang tua, jangan yang muda. Yang tua memang sudah jatahnya mati." Ucap Riku.
"Hey, kau menyindirku untuk cepat mati ya?!" Balas kakek.
"Bukan seperti itu, pak tua. Mereka tunas baru yang bertumbuh, biarkan saja. Kalau yang tua memang sudah waktunya ditebang,"
"Hanya saranku, terserah kau mau menerima atau tidak." Riku pun melanjutkan latihannya.
"Ya, akan ku dengarkan saranmu, bocah. Tapi, kau harus mengobati pinggangku nanti." Ucapnya seraya pergi ke hutan.
Riku melanjutkan latihannya hingga tengah hari, lalu mengistirahatkan tubuhnya sejenak.
Hari ini adalah hari tenang baginya, kakek mencari kayu, dan daging sisa kemarin masih lah cukup untuk makan hari ini, waktunya istirahat.
Riku bersiap-siap, mandi dan membawa beberapa perlengkapan di tas kulitnya. Menghampiri meja makan untuk sarapan, daging sisa semalam.
"Ternyata masakanku memang enak, hehe."
Setelah siap semua, ia kunci pintu dan pergi menuju hutan. Bertahun-tahun dia hidup, hutan bukan hanya menjadi tempat bermain, tapi sekaligus menjadi rumahnya, halaman rumah yang begitu luas terbentang.
Tidak jauh di dalam hutan, tentu berada di arah yang berbeda dari arah kakeknya tadi, disanalah tujuan Riku, pohon terbaik disana, entah dalam hal apa, tetapi pohon itu begitu menarik baginya, bahkan bagi hewan-hewan di situ, terdapat di dahannya yang tinggi, sesuatu yang tidak asing lagi, dia sudah membuatnya dalam beberapa tahun belakangan ini, iya--rumah pohon.
Selama beberapa tahun ini, ia sudah membangunnya seperti bangunan mewah, tempat bersantai baginya, melupakan beban di dalam dirinya, masalah makan, kakek, dan tentu masa lalunya.
Semua lengkap disana, semua jenis makanan ada, daging, ikan, sayuran, dan buah. Ada pula tungku api untuk memasak, serta dedaunan untuk membuat teh.
Saatnya memeriksa semua bawaan Riku. Meski menjadi seorang petarung handal, tidak ada di dunia ini yang dapat mencegahnya melakukan hal yang ia sukai, yaitu membaca.
Tepat saat ia membuka tas kulitnya, buku besar muncul. Buku yang berisikan sejarah mengenai dunianya, hadiah pemberian dari seseorang.
Ditambah dengan catatan pribadinya dan semua hal-hal penting miliknya. Riku haus akan ilmu, bertahan hidup adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, begitu juga ilmu, adalah bagian dari kehidupan baginya.
Benua Meera adalah benua besar yang terpisah jauh dari benua-benua lainnya, yang disebutkan ada, namun belum pernah ada yang tahu.
Benua Meera adalah benua sihir, sebab di seluruh penjuru benua dipenuhi oleh penyihir, semua manusia di benua ini adalah penyihir, sebab semua berasal dari nenek moyang yang sama, sang ahli sihir legendaris, sang absolut, Cigam.
Dia adalah cikal bakal yang membelah benua, yang dahulunya satu, menjadi banyak.
Lalu ia memilih benua Meera untuk ditinggali, ia membawa kekasihnya, dan tinggal disana bersama para pengikutnya yang setia hingga akhir hayatnya.
Namun, sebelum ia wafat, nalurinya berkata bahwa ada kekacauan besar yang akan datang menimpa dunia ini, tidak lain disebabkan oleh seorang pengikutnya yang berkhianat, dan ia tidak tahu siapa orang tersebut.
Atas dasar itu, ia memecah kekuatannya yang begitu besar, memecahnya menjadi jutaan, bahkan milyaran sel sihir, yang wujudnya berupa batu kecil yang disebut jimat.
Ia berharap bahwa semua sihir tersebut akan menjadi berkah bagi masyarakat nantinya.
Meski akan ada banyak pertempuran, tetapi ia percaya bahwa cahaya keadilan yang ia titipkan di tiap-tiap bongkahan itu, akan bangkit oleh seseorang yang terpilih, dia yang mengetahui pahitnya pertempuran, yang berjuang paling keras dalam menuntut keadilan, dia yang akan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran.
Begitulah kisah dunia ini tertulis di buku Riku, benua ini adalah benua sihir, dan semua manusia di dalamnya berhak atas kekuatan tersebut, setidaknya berdasarkan ketentuan tertentu, seperti umur, minat, keyakinan, bahkan nasab.
Tidak banyak catatan yang terdapat di buku tersebut. Dia pernah meminta kepada kakeknya untuk mengajaknya ke kota, menuju perpustakaan kota. Tapi, kakek melarang, entah karena alasan tertentu, pergi ke kota merupakan larangan terbesar baginya.
Namun Riku sangat ingin membaca buku, sebab buku begitu mahal di masa ini, dan sayangnya, kakek adalah orang bodoh yang tidak suka baca buku.
Setelah puas membaca buku tersebut--buku yang sama selama beberapa tahun ini--dia merebahkan tubuhnya, menatap langit, mulai berpikir.
"Sang ahli sihir, pengkhianat, batu sihir. Kira-kira seperti apa ya sihirku?" Gumamnya.
"Kuharap, sihirku sama seperti sihir ayah, hehe." Riku tersenyum.
Begitu lah saat-saat senggang Riku yang tidak ingin diganggu, terlebih oleh kakeknya yang mengesalkan.
Dia terus membaca bacaan yang sama, melihat catatan pribadinya, terus seperti itu hingga senja datang, baru ia bergegas pulang.
Tidak jauh dari rumah pohonnya, baru saja ia pergi dari sana, tiba-tiba suara yang cukup besar terdengar, dumm.
Seperti ledakan, tetapi bukan bahan peledak. Jarang sekali suara ini terdengar di tempatnya, ini membuat Riku tertarik, tanpa pikir panjang dia pun pergi kesana untuk memeriksa.
Apa? Atau siapakah ini?
Bumm, suara itu begitu keras terdengar. Riku, yang berada tidak jauh, bergegas cepat memastikan, apa? Atau siapakah itu?Jikalau pun ada ledakan, biasanya adalah ledakan bahan peledak.Sebagai tempat yang cukup tertutup dan jarang diketahui, hutan Yooru menyimpan banyak sekali spesies tumbuhan ataupun hewan yang langka, dimana proses pelestarian diserahkan kepada kakek, sekaligus diantara hal-hal yang terlarang untukku adalah memetik tumbuhan atau memburu hewan langka tersebut.Disini lah para pemburu ilegal mengambil kesempatan, dan secara aneh, mereka memang sering menggunakan peledak sebagai cara cepat untuk membunuh hewan-hewan tersebut, yang nantinya langsung mereka jual mahal, tentunya secara ilegal.Jika itu memang mereka, maka Riku pun bertugas untuk mencegah dan menangkap mereka jika perlu.Bumm, suara itu terdengar lagi, letaknya agak jauh, hampir di sisi terluar hutan yang mengarah ke sungai Mazz.Meski terlampau ag
Karena jarak yang cukup jauh, mereka baru sampai saat matahari sudah benar-benar tenggelam, dan malam baru saja datang. Dari jauh, pintu rumah nampak berbeda dengan adanya satu alas kaki yang berbeda, tamu? Pikir Riku."Kakek, aku pu-" suara Riku terhenti, ada sesuatu disana, dilihatnya tamu tersebut, dia tahu orang itu, dan tidak ada orang yang lebih dicintai Riku, selain orang itu. Riku pun merangsek berlari memeluknya."Halo Riku, kau tambah besar ya, haha." Ucap orang itu, Morgan."Kenapa kau kesini, Morgan?""Kakek bilang dia butuh teman, kesepian d
Makan malam terasa begitu panjang, dan selesai saat menyentuh tengah malam. Morgan dan Teera menginap untuk malam itu. Teera tidur bersama Riku, dan Morgan tidur sendiri, dia selalu punya tempat untuk kembali, karena ini juga rumahnya. Sebab kebahagian yang memuncak, Riku tertidur lebih pulas, sehingga ia bangun lebih pagi esoknya. Keluar rumah, membawa semua hadiahnya semalam, jimat--yang kini ia ikatkan menjadi kalung di lehernya--dan busur barunya yang diberikan oleh Teera. "Baiklah, waktunya mencoba." Sebab langit masih sangat gelap, maka Riku akan mencoba berlatih untuk mengetahui kekuatan jimatnya. Mengetahui jimat ini menerimanya, dan lagi, ini adalah peninggalan ayahnya, ia tak sabar sekali untuk mencobanya. Ia berusaha mengingat apa yang dijelaskan oleh Morgan semalam. "Dalam mengaktifkan kekuatan Jimat. Banyak sekali prosesnya, Riku. Em...maksudnya, banyak sekali pemicu." "Bisa
Teera yang tidak memahami apa yang tengah terjadi hanya diam dan berteriak."Apa yang dicoba?! Hey?!"Morgan hanya tersenyum, dan--splash. Morgan melesat cepat, yang kini, secara tiba-tiba, sudah berada di atas Riku. Teera tercengang dengan pergerakan Morgan.Inikah pergerakan seorang anggota pasukan kerajaan? Gumam Teera.Dalam gerak lambatnya di atas Riku, Morgan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Riku mengambil posisi, memperhatikan apa yang keluar dari sakunya Morgan, itu--Riku terdiam, bingung, pemantik api?Morgan menyalakan pemantik api, dan dalam sekejap semua api dari pemantik tersebut seperti ditarik keluar dan berputar memadati salah satu tangannya yang teracung ke bawah, mengarah tepat ke Riku."Sihir api." Ucapnya."Fire...ball!"Selepas kata itu disebut, gumpalan
Malam setelah Riku mendapat kekuatannya, ia terbangun setelah kelelahan tadi sore. Ia pergi ke ruang makan, perutnya lapar setelah seharian berlatih dengan Morgan.Sesaat setelah sampai, kakek tengah duduk sendirian di meja makan. Riku duduk, dan langsung mengambil makan, tak memperdulikan kakeknya."Kau kelelahan? Dasar lemah!? Hehe." Ucap kakeknya, membuat Riku menahan suapannya, waktunya membalas."Bilang saja kau iri, heh. Sekarang aku sudah kuat, dan setelah berlatih menjadi lebih kuat, aku akan pergi dari sini.""Berkelana jauh, menuju tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Tempat dimana kau tidak bisa memarahiku.""Lalu--" ucapnya tertahan."Pergi mencari ayah." Ucap Riku, dan melanjutkan makan.Kakek hanya memandangnya diamDia sudah tumbuh secepat ini hah? Hehe. Lihat lah Kur
Setelah panjang menjelaskan bagaimana kehidupan Ayah Riku. Kakek pun melanjutkan pembicaraan.“Kekuatanmu persisi seperti ayahmu, kekuatan api murni." Ucap Kakek.Riku yang mendengar kata itu pun masih bingung, ia tidak paham mengenai dasar-dasar kekuatan dan sejenisnya.“Jika aku pemilik api murni, apakah artinya ada pemilik kekuatan api yang tidak murni? Dan apa yang membedakan keduanya, kakek?” Ucap Riku.Kakek melihat keingintahuan Riku, sepertinya ia harus menjawab semua hal yang ingin ditanyakan Riku malam ini.“Mudahnya, kekuatan murni adalah kekuatan dimana pemiliknya dapat mengeluarkan sihir tersebut tanpa perlu pemantik atau sesuatu sejenisnya…” Jelas kakek.“Sebagai contoh kekuatan api-mu. Kau bisa langsung mengeluarkan kekuatan tersebut bukan? Berbeda dengan Morgan yang menggunakan pemantik api, ja
Riku baru saja sampai di rumah pohon. Ia perhatikan dengan seksama temannya yang satu ini. Teman tak bernyawa yang telah menemaninya pada masa-masa awal kehidupan bermainnya. Tempat berteduh, tempat belajar, tempat berlindung, tempat untuk kembali. Ia tarik nafas yang dalam, dan mulai memanjat naik ke atas.Dilihatnya apa-apa yang ada disana, seluruh proyeksi kehidupannya, gambaran perkembangan dirinya. Dibukanya semua catatannya, disana lah semua kebahagian, keluh kesah yang ia miliki tercurahkan. Ia baca sekali lagi dan ia tutup buku tersebut, ia tak akan membawa buku itu, ia sudah bertekad untuk pergi dan menjadi dirinya, semua hal yang akan membuatnya rindu kembali, akan ia tinggalkan.Dia ambil beberapa buku disana, ia baca kembali sebelum ia masukkan ke dalam tas. Apapun yang terjadi nantinya, ia akan menggunakan semua yang ia pahami untuk berjuang di tempat selanjutnya. Ia membaca dan terus mengulang bacaan tersebut sampai
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dengan dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa ini? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa? "Aku membakar hutan ini, sebab kakek tidak mau memberi tahu apapun.""Jadi, aku menyerangnya dan membakar hutan ini. Memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Kenapa ia juga menyerang kakek?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku? Ayahku orang terkutuk?"Apa maksudmu, Morgan? Bukankah ayahku adal
“Apa kalian lihat seorang bocah disini?” tanya Morgan. Para pemburu terdiam dengan rasa takut. Mereka sadar siapa yang berdiri di hadapan mereka. Kapten dari Pasukan Kerajaan, terlebih seorang kapten dari pasukan pertama. “Apa yang dilakukan seorang Pasukan Kerajaan di hutan Yooru?” Morgan berjalan maju. Sedangkan, para pemburu mempersiapkan diri, menjaga jarak. “Aku tadi merasakan bocah itu disini. Dimana dia?” Morgan terus mendekat. Diambilnya pemantik api, ia nyalakan api itu. Dengan cepat itu membuat tekanan panas dengan api itu. Morgan mencoba menfokuskan dirinya, perluasan tekanan itu menjadi radar, namun – “Mati kau!! Hahaha!!!” Seseorang meloncat dari kegelapan, mencoba menerjang Morgan dengan sebilah pedang yang dihunuskan kepadanya. Wajahnya – sudah siap membunuh. Morgan dengan cepat membakar sekelilingnya dengan api. Api besar nampak membara mengelilinginya. Orang tadi langsung menghindar. Api Morgan terasa begitu panas, bahkan sebelum orang itu menyentuhnya. “Cih
Pertandingan sudah dimulai. Pertandingan yang dibuat sepihak oleh Riku guna membuat Morgan menyadari kehebatannya.Morgan sendiri hanya mengikuti keinginan Riku.Mungkin tidak apa jika aku ikut permainannya – pikirnya, ini permainan baginya, liburan di masa senggangnya.Morgan sendiri baru saja selesai mendapat buruannya.“Aku rasa ini sudah cukup.” Ucapnya, sedang di hadapannya terdapat seekor Bison yang sudah terkapar.“Semoga ini tidak terlalu berat.” Ia pun berjalan pulang. Diangkatnya bison di pundak.Di tengah perjalanan, Morgan hanya memenuhi kepalanya dengan banyak hal.“Dia begitu menyayangi ayahnya. Kini, ia terbebani dengan betapa kuatnya ia, dan kekecewaan dalam hatinya terhadap apa yang dilakukan Kuri padanya – meninggalkannya.” Perkataan Yuo sebelumnya terlintas.Dan jauh sebelum itu –“Aku serahkan anak itu padamu.”“Anak itu? Siapa dia?!”“Anakku, Riku namanya.”Kenangan lain, ikut terlintas. Morgan hanya tersenyum dalam diamnya.“Bodohnya aku menerima tugas yang merep
“Bagaimana dengan pertandingan!? Aku akan mengalahkanmu, dan menutup mulutmu itu.”Morgan pun berdiri, dan menatap Riku tajam, lalu ia tersenyum.“Baiklah, aku terima. Apa tantangannya?”“Mudah saja, akan ku jelaskan di luar.”*****Riku dan Morgan pun berjalan ke luar rumah, Yuo memperingatkan Morgan.“Jangan dibawa terlalu serius, Morgan. Dia masih anak-anak.” Jelas Yuo.Morgan mendengarnya dan tertawa kecil.“Kau tahu, kakek. Sebagai orang yang terlihat kasar kepada Riku, rupanya kau begitu memperhatikannya.”Kali ini Yuo yang tertawa cukup keras mendengar ucapan Morgan.“Ya, bisa kau sebut itu sebagai naluri orang tua.”“Tenang saja. Aku hanya akan mengajarkan dia apa yang diajarkan kapten kepadaku.” Jelas Morgan.Sesampainya di depan rumah.“Kita akan berburu. Siapa yang membawa buruan terbaik, dia pemenangnya.” Ucap Riku.“Kau yakin malam ini? Bukankah banyak hewan buas yang keluar pada malam hari?”Riku memandangnya dengan tatapan menghina.“Jadi, kau takut?”Demi menghadapi ta
Sementara itu, Riku dan Teera.“Baik. Em…kita mulai dari mana dahulu ya?” tanya Teera.“Kau sendiri yang bilang kalau kau hebat dalam berdiskusi!? Jangan tanya aku.”“Oke, sebentar.”Teera berpikir sejenak.“Oke. Pertama, apa yang diinginkan kerajaan dari dirimu?” tanya Teera.“Em….”“Entahlah Teera, aku pun tidak tahu.” Jelas Riku.“Tidak mungkin tidak ada sesuatu yang penting darimu, yang sampai membuat pasukan kerajaan menyerang.” Tegas Teera, Riku pun hanya menganggukkan kepala.“Kau benar. Bahkan sampai kakek berusaha begitu keras untuk menolongku.” Ucapnya sedih, ia masih memikirkan kakeknya.“Apapun hal itu. Aku yakin kakekmu tahu sesuatu, begitu pula dengan Morgan.”Riku terlihat memadatkan kepalan tangannya, wajahnya mengkerut penuh amarah.“Morgan…” uc
“Bicaralah.” Tegas teman Rengga. “Aku tidak bertanggungjawab jika tubuhmu hancur setelah ini.” Rengga merendahkan tubuhnya, mendekatkan dirinya kepada sosok tersebut. Dengan pukulan yang cukup keras, rupanya sosok tersebut masih sadar, namun nampak terduduk kesakitan dan tidak mampu berdiri. Semakin dekat Rengga memastikan, yang ia lihat hanya sebuah senyum tipis dari sosok tersebut. “Siapa kau? Bicaralah.” Tegas Rengga. Sosok tersebut hanya mengangkat kedua tangannya, dan memperlihatkan seyumnya kepada mereka berdua. Teman Rengga yang tidak suka melihat wajah itu, langsung bergerak menghantamnya. “Tunggu!” teriak Rengga, namun telat. “15 kali.” Pukulan itu pun melesat bebas menghantam sosok tersebut, bumm. Tepat setelah pukulan tersebut kembali diangkat, tidak ada siapapun disana. Kepala Rengga dan temannya seketika terasa begitu pusing, penuh getaran, seperti diputar secara paksa. Hal itu terjadi dalam sekejap saja, setelah itu hilang. “Memang kekuatan yang mengerikan.” R
Lima belas menit berlalu semenjak Rengga pergi. Teera masih melakukan pemanasan, tubuhnya sudah dibanjiri keringat, namun belum ada tanda Riku sudah menyelesaikan makannya.“Kemana Riku? Padahal hanya makan sayuran, kenapa dia bisa selama ini.”“Apa dia memang selemah ini dengan sayuran?”Setelah menyentuh dua puluh menit, Teera menghembuskan nafas, menyerah.Sepertinya aku terlalu memaksa dia, akan kulihat apakah dia pingsan atau sejenisnya. Gumam Teera.Namun, baru beberapa langkah, Riku datang, dan ya – wajahnya seperti mau mati mencoba menelan banyak sekali sayuran.“Ayo latihan, huekk.” Ucapnya menahan mual.Teera yang melihatnya hanya tertawa ringan.“Telan dulu semua itu, baru kita latihan.”Riku dengan mata yang sudah basah dan keringat dinginnya, langsung menelan semua sayuran hijau itu, huekkk.Selepas membasuh wajah, ia kembali datang ke Teera dan sudah siap untuk latihan. Namun, tidak butuh waktu lama ia menyadari bahwa tidak ada Rengga.“Hei Teera. Dimana kakekmu? Bukanny
“Aku pulang.” Ucap orang tersebut seraya masuk ke dalam rumah. Dari jauh, seorang anak kecil berlari cepat menuju arah dari suara itu.“Ayah!” teriaknya yang disambut oleh pelukan ayahnya.“Kamu sudah pulang. Bagaimana tugasmu tadi?” tanya seseorang yang kemudian Nampak datang dari arah dapur, itu istrinya.“Ya cukup aman, Mareta.”“Hanya membereskan sedikit cecunguk yang berteriak Revolusi. Hehe.” Anak kecil itu mendengarkan dengan seksama, walau tidak paham di umurnya yang masih tiga tahun itu, namun melihat bagaimana sang ayah tertawa dan bercerita adalah hal yang keren.“Bagus lah kalau seperti itu, sayangku.” Namun setelahnya sang ayah menundukan kepalanya. Mareta terdiam, ia tahu ada sesuatu yang mengganggunya.“Ada apa sayangku?”Sang ayah menatap Mareta. “Aku rasa, pelakunya masih orang yang sama.”Mareta hanya terdi
“Morgan, kau yakin dengan ini?” orang itu bukan karena tidak percaya, hanya saja, hal ini begitu beresiko, terlebih bagi Morgan. “Ya, aku sangat yakin.” Tidak perlu ada lagi keraguan, hal seperti itu hanya akan menghalangi apapun. Selama kau memiliki rencana,mempertimbangkan semuanya, bahkan sampai kepada keadaan terburuk, maka tidak aan ada masalah, dan lagi, selama kau tidak bermain dengan emosi di dalamnya. “Apa kau ragu?” Morgan bertanya. Orang itu menggeleng. “Tidak.” “Hanya saja, aku berharap kita bisa saling berbagi kesulitan dalam hal ini.” “Karena aku juga bagian dari rencana ini.” Morgan tidak menggubris pernyataan temannya itu. “Maaf, aku tidak bisa.” Orang yang bersamanya nampak heran. “Apa sesulit itu hanya untuk berbagi?” Morgan tersenyum kecil. “Bukan masalah itu.” Morgan menunduk. “Aku hanya tidak ingin menyusahkan siapapun lagi.” “Hanya itu.”  
Morgan beserta pasukan kerajaan kembali, Yuo ikut bersama mereka. Tubuhnya diikat kuat, dan itu bukanlah pengikat sembarangan, melainkan alat khusus yang dapat menahan kekuatan sihir dari jimat.Setelah sampai di kerajaan, mereka berjalan sedikit lebih jauh, bergerak ke bagian terburuk di dalam kerajaan ini, penjara kesengsaraan. Yuo pun dilempar dan ditempatkan di sel tersendiri, sebab mereka tahu seberbahaya apa Yuo jika tidak ditekan sekeras ini.“Jadi, inikah penjara kesengsaraan? Tidak begitu buruk.”Yuo hanya diam memperhatikan, masalah seperti ini? Hanya masalah sepele bagi kakek tua ini.“Kau akan tahu setelah ini, kakek tua.”“Atau aku harus membunuhmu sekarang?”Moreey hendak mencabut pedangnya.“Moreey! Tahan dirimu.”Morgan baru sampai, dia baru saja menyampaikan hasil penyerangan ini kepada perdana menteri.Moreey kembali memasukkan pedangnya dan tertundu