Makan malam terasa begitu panjang, dan selesai saat menyentuh tengah malam. Morgan dan Teera menginap untuk malam itu. Teera tidur bersama Riku, dan Morgan tidur sendiri, dia selalu punya tempat untuk kembali, karena ini juga rumahnya.
Sebab kebahagian yang memuncak, Riku tertidur lebih pulas, sehingga ia bangun lebih pagi esoknya. Keluar rumah, membawa semua hadiahnya semalam, jimat--yang kini ia ikatkan menjadi kalung di lehernya--dan busur barunya yang diberikan oleh Teera.
"Baiklah, waktunya mencoba." Sebab langit masih sangat gelap, maka Riku akan mencoba berlatih untuk mengetahui kekuatan jimatnya. Mengetahui jimat ini menerimanya, dan lagi, ini adalah peninggalan ayahnya, ia tak sabar sekali untuk mencobanya. Ia berusaha mengingat apa yang dijelaskan oleh Morgan semalam.
"Dalam mengaktifkan kekuatan Jimat. Banyak sekali prosesnya, Riku. Em...maksudnya, banyak sekali pemicu."
"Bisa ketika berlatih, bertapa menfokuskan diri, terlibat pertarungan, bahkan kadang muncul disaat-saat yang genting." Jelas Morgan tadi malam.
Riku memperhatikan dan mengangguk.
"Kau sendiri bagaimana, Teera?" Tanya Riku tadi malam, sesaat setelah Morgan menjelaskan.
"Em...seingatku, mungkin bisa disebut pertarungan."
"Saat aku baru pulang dari hutan, kakek tiba-tiba menyerangku dari jauh dengan sihir Jimatnya,"
"Aku yang saat itu tengah kesal, tidak memperdulikannya. Tiba-tiba, tanganku tertutup selaput angin dan spontan menangkis serangannya. Seingatku, seperti itu, Riku." Jelas Teera.
"Kalau aku…" Morgan bicara.
"...menggunakan cara tradisional, ya dengan duduk diam memfokuskan diri, merasakan aliran kekuatan dan mengeluarkan semuanya keluar."
"Saat membuka mataku, aku lihat sihir jimatku memenuhi seluruh tubuhku." Jelas Morgan.
"Tidakkah berbahaya, Morgan? Terlebih kalau melihat jenis sihir jimatmu?" Tanya Riku.
"Pengetahuan dasar, Riku. Pemilik sihir tidak akan terluka oleh sihirnya. Tubuhnya bisa rusak karena kelelahan atau sejenisnya."
"Tapi, sihirmu sendiri tidak akan berasa melukaimu, seperti itu." Riku kembali mengangguk, berusaha mencatat hal-hal penting tersebut di kepalanya.
"Kalau kakek? Seperti apa?" Tanya Morgan.
Kakek yang sudah pikun, mencoba mengingat masa-masa dulu.
"Kalau kakek, sepertinya karena terdesak." Ia coba mengingat.
"Saat kakek bermain di hutan, dan lupa kalau tidak boleh berada di padang rumput, semua bison datang mengejar kakek."
"Untuk sesaat kakek pikir akan mati, ternyata sihir kakek keluar, dan mereka semua seketika tidak bergerak. Lalu, kakek hanya berjalan pulang dengan santai"
Semua hanya diam memperhatikan, berbahaya kakek tua ini, gumam Riku dan Teera. Morgan sendiri terlihat bingung, tapi tidak kaget, hanya tertawa, hahaha.
Setelah semua membagikan pengalamannya tadi malam. Kini, Riku menimbang cara apa dulu yang harus dia coba.
Apa mungkin memfokuskan diri ya? Itu sepertinya agak mudah. Latihan? Bisa juga, sudah keseharianku. Saat-saat genting? Aku harap tidak, terlalu berbahaya, pikir Riku
"Baik, aku akan mencoba dengan yang bertapa." Ucapnya seraya duduk, memposisikan dirinya sedemikian nyaman, berusaha menarik nafas yang panjang, disusul dengan mengaturnya secara perlahan.
Dimulai sudah, proses pencarian kekuatan jimat Riku. Mencari fokus adalah hal yang sulit bagi banyak orang, membutuhkan waktu, membutuhkan latihan yang lama. Tapi, hal itu tidak berlaku bagi Riku.
Hidup bertahun-tahun di hutan yang sunyi. Melatih diri untuk berburu seumur hidupnya, kemampuannya dalam memanah, tidak mungkin didapatkan jika ia bukanlah orang yang tenang. Fokus, ketenangan, sudah menjadi bagian dari dirinya. Hal yang sulit disini adalah untuk merasakan kekuatan dari sihir tersebut, dan mendorongnya untuk keluar.
Lima belas menit berlalu, langit pun masih terlihat gelap. Riku masih dalam posisi yang sama. Tingkat ketenangan dan fokus yang luar biasa. Dia terus mencari titik kekuatan di alam bawah sadarnya.
Tiga puluh menit berlalu. Waktu yang masih sedikit untuk mencapai titik tersebut. Tapi, sekali lagi, itu bukan masalah bagi Riku, dengan segenap keteguhannya, yang bisa disebut bahwa dia memang seorang anak yang diberi anugerah, ya--dia berhasil menemukan titik itu.
Kini ia mencoba untuk menyebarkan seluruh energi yang terbatas itu, menuju seluruh tubuhnya, dan bagian ini akan memakan waktu lagi.
Sementara Riku memfokuskan diri. Langit mulai bergerak, menyikap mentari di balik awan-awan, menerangi seluruh benua. Teera baru saja bangun, kaget melihat Riku yang sudah tidak ada ditempatnya, merangsek berdiri, mencari Riku. Dia pergi ke dapur, Riku tidak ada. Dia pergi ke kamar mandi, Riku tidak ada. Setelah puas mencari di dalam rumah, ia berniat mencari Riku di luar, dan--
"Riku? Apa yang kau lakukan?" Tanya Teera yang terkejut melihat Riku sudah berkeringat dengan beberapa luka, dan pohon-pohon di depannya, terbakar, hitam legam habis terbakar.
"Aku? Latihan." Ucap Riku dengan wajah kumuhnya saat melirik Teera.
"Itu latihan apa bodoh? Lihatlah, kau membakar semua hutan itu!?" Geram Teera, ini bukan latihan baginya, hanya permainan Riku.
"Itu latihan, Teera." Teera melihat kebelakang, itu Morgan yang berbicara.
"Dan itu lebih dari latihan, itu berkah." Lanjut Morgan yang berjalan menuju Teera dan memegang kepalanya dengan bersahabat.
"Latihan apa Morgan? Meski itu Riku, aku tidak suka mereka yang merusak pepohonan." Jelas Teera.
Riku tidak menghiraukan mereka, tubuhnya penuh keringat, ia gemetar, beberapa seperti kotor dan luka kecil, nafasnya sedikit memburu, dia tengah menenangkannya.
"Bagaimana Riku? Sudah kau dapatkan?"
Teera hanya terdiam, bingung, sudah kau dapatkan? Apa? Kebakaran?!
Riku hanya tertawa ringan sambil melirik ke arah Morgan, "Mau dicoba?"
Teera yang tidak memahami apa yang tengah terjadi hanya diam dan berteriak.
"Apa yang dicoba?! Hey?!"
Teera yang tidak memahami apa yang tengah terjadi hanya diam dan berteriak."Apa yang dicoba?! Hey?!"Morgan hanya tersenyum, dan--splash. Morgan melesat cepat, yang kini, secara tiba-tiba, sudah berada di atas Riku. Teera tercengang dengan pergerakan Morgan.Inikah pergerakan seorang anggota pasukan kerajaan? Gumam Teera.Dalam gerak lambatnya di atas Riku, Morgan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Riku mengambil posisi, memperhatikan apa yang keluar dari sakunya Morgan, itu--Riku terdiam, bingung, pemantik api?Morgan menyalakan pemantik api, dan dalam sekejap semua api dari pemantik tersebut seperti ditarik keluar dan berputar memadati salah satu tangannya yang teracung ke bawah, mengarah tepat ke Riku."Sihir api." Ucapnya."Fire...ball!"Selepas kata itu disebut, gumpalan
Malam setelah Riku mendapat kekuatannya, ia terbangun setelah kelelahan tadi sore. Ia pergi ke ruang makan, perutnya lapar setelah seharian berlatih dengan Morgan.Sesaat setelah sampai, kakek tengah duduk sendirian di meja makan. Riku duduk, dan langsung mengambil makan, tak memperdulikan kakeknya."Kau kelelahan? Dasar lemah!? Hehe." Ucap kakeknya, membuat Riku menahan suapannya, waktunya membalas."Bilang saja kau iri, heh. Sekarang aku sudah kuat, dan setelah berlatih menjadi lebih kuat, aku akan pergi dari sini.""Berkelana jauh, menuju tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Tempat dimana kau tidak bisa memarahiku.""Lalu--" ucapnya tertahan."Pergi mencari ayah." Ucap Riku, dan melanjutkan makan.Kakek hanya memandangnya diamDia sudah tumbuh secepat ini hah? Hehe. Lihat lah Kur
Setelah panjang menjelaskan bagaimana kehidupan Ayah Riku. Kakek pun melanjutkan pembicaraan.“Kekuatanmu persisi seperti ayahmu, kekuatan api murni." Ucap Kakek.Riku yang mendengar kata itu pun masih bingung, ia tidak paham mengenai dasar-dasar kekuatan dan sejenisnya.“Jika aku pemilik api murni, apakah artinya ada pemilik kekuatan api yang tidak murni? Dan apa yang membedakan keduanya, kakek?” Ucap Riku.Kakek melihat keingintahuan Riku, sepertinya ia harus menjawab semua hal yang ingin ditanyakan Riku malam ini.“Mudahnya, kekuatan murni adalah kekuatan dimana pemiliknya dapat mengeluarkan sihir tersebut tanpa perlu pemantik atau sesuatu sejenisnya…” Jelas kakek.“Sebagai contoh kekuatan api-mu. Kau bisa langsung mengeluarkan kekuatan tersebut bukan? Berbeda dengan Morgan yang menggunakan pemantik api, ja
Riku baru saja sampai di rumah pohon. Ia perhatikan dengan seksama temannya yang satu ini. Teman tak bernyawa yang telah menemaninya pada masa-masa awal kehidupan bermainnya. Tempat berteduh, tempat belajar, tempat berlindung, tempat untuk kembali. Ia tarik nafas yang dalam, dan mulai memanjat naik ke atas.Dilihatnya apa-apa yang ada disana, seluruh proyeksi kehidupannya, gambaran perkembangan dirinya. Dibukanya semua catatannya, disana lah semua kebahagian, keluh kesah yang ia miliki tercurahkan. Ia baca sekali lagi dan ia tutup buku tersebut, ia tak akan membawa buku itu, ia sudah bertekad untuk pergi dan menjadi dirinya, semua hal yang akan membuatnya rindu kembali, akan ia tinggalkan.Dia ambil beberapa buku disana, ia baca kembali sebelum ia masukkan ke dalam tas. Apapun yang terjadi nantinya, ia akan menggunakan semua yang ia pahami untuk berjuang di tempat selanjutnya. Ia membaca dan terus mengulang bacaan tersebut sampai
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dengan dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa ini? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa? "Aku membakar hutan ini, sebab kakek tidak mau memberi tahu apapun.""Jadi, aku menyerangnya dan membakar hutan ini. Memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Kenapa ia juga menyerang kakek?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku? Ayahku orang terkutuk?"Apa maksudmu, Morgan? Bukankah ayahku adal
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa?"Aku membakar hutan ini, karena kakek tidak mau memberitahu keberadaanmu.""Jadi aku menyerangnya dan membakar hutan ini, memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Tapi, untuk apa? Dan mengapa ia melakukan semua ini?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku?Ayahku orang terkutuk? A
Kepulan asap membuat jarak pandang semakin sempit, itu bukanlah ledakan kecil. Morgan beserta pasukannya masih dalam posisi siap. Mereka tahu ini tidak akan mudah, mengalahkan anak Raja Api? Sama seperti mengalahkan Raja Api itu sendiri. Sesaat setelah kepulan asap itu hilang, di tempat Riku berdiri, tidak ada siapa-siapa. Kemana dia? Pikir Morgan. "Fire...ball." Empat bola api raksasa tiba-tiba datang, bergerak cepat dari atas mereka, menyerang dengan ganas. "Menghindar!" teriak Morgan. "Aarrgghh!" teriak salah satu dari mereka, terhempas jatuh terluka oleh bola api itu. "Satu." Morgan membalikkan tubuhnya, mengambil posisi, dinyalakannya pemantik api miliknya, ia akan menyerang. Dengan cepat ia mengumpulkan sejumlah besar gumpalan api di tangannya, mengarahkannya kepada Riku yang tengah bergerak ke arahnya. Dipadatkannya api itu, besar, lebih besar, dan lebih besar. "Sihir Ap
"Morgan, kau akan mati."Riku mengangkat pedangnya, dia akan membunuh Morgan."Hahaha!!"Riku menahan pedangnya, Morgan--dia tertawa."Apa yang lucu?"Morgan menatap Riku. Sorot matanya, berubah."Yang lucu?""Fakta bahwa kau tidak akan bisa membunuhku.Hahaha!!"Tawanya mengerikan. Morgan, tanpa sadar, kehilangan kendali.Sementara Morgan tertawa. Riku kembali mengangkat pedangnya."Mati lah kau dengan kebodohanmu, Morgan"Pedang itu bergerak cepat ke arah leher Morgan, dan--Bumm!!Ledakan dahsyat tiba-tiba terjadi di sana. Riku terhempas oleh ledakan itu, seluruh tubuhnya terbakar, yang cepat ia padamkan dengan api biru. Api biru membakar api biasa. Riku tidak menyadari serangan itu, ia membentuk kuda-kuda, instingnya merasakan sesuatu akan datang. Matanya terfokus pada arah ledakan tadi, yang tepat mengenai dirinya dan juga Morgan.Musuh, kah?
“Apa kalian lihat seorang bocah disini?” tanya Morgan. Para pemburu terdiam dengan rasa takut. Mereka sadar siapa yang berdiri di hadapan mereka. Kapten dari Pasukan Kerajaan, terlebih seorang kapten dari pasukan pertama. “Apa yang dilakukan seorang Pasukan Kerajaan di hutan Yooru?” Morgan berjalan maju. Sedangkan, para pemburu mempersiapkan diri, menjaga jarak. “Aku tadi merasakan bocah itu disini. Dimana dia?” Morgan terus mendekat. Diambilnya pemantik api, ia nyalakan api itu. Dengan cepat itu membuat tekanan panas dengan api itu. Morgan mencoba menfokuskan dirinya, perluasan tekanan itu menjadi radar, namun – “Mati kau!! Hahaha!!!” Seseorang meloncat dari kegelapan, mencoba menerjang Morgan dengan sebilah pedang yang dihunuskan kepadanya. Wajahnya – sudah siap membunuh. Morgan dengan cepat membakar sekelilingnya dengan api. Api besar nampak membara mengelilinginya. Orang tadi langsung menghindar. Api Morgan terasa begitu panas, bahkan sebelum orang itu menyentuhnya. “Cih
Pertandingan sudah dimulai. Pertandingan yang dibuat sepihak oleh Riku guna membuat Morgan menyadari kehebatannya.Morgan sendiri hanya mengikuti keinginan Riku.Mungkin tidak apa jika aku ikut permainannya – pikirnya, ini permainan baginya, liburan di masa senggangnya.Morgan sendiri baru saja selesai mendapat buruannya.“Aku rasa ini sudah cukup.” Ucapnya, sedang di hadapannya terdapat seekor Bison yang sudah terkapar.“Semoga ini tidak terlalu berat.” Ia pun berjalan pulang. Diangkatnya bison di pundak.Di tengah perjalanan, Morgan hanya memenuhi kepalanya dengan banyak hal.“Dia begitu menyayangi ayahnya. Kini, ia terbebani dengan betapa kuatnya ia, dan kekecewaan dalam hatinya terhadap apa yang dilakukan Kuri padanya – meninggalkannya.” Perkataan Yuo sebelumnya terlintas.Dan jauh sebelum itu –“Aku serahkan anak itu padamu.”“Anak itu? Siapa dia?!”“Anakku, Riku namanya.”Kenangan lain, ikut terlintas. Morgan hanya tersenyum dalam diamnya.“Bodohnya aku menerima tugas yang merep
“Bagaimana dengan pertandingan!? Aku akan mengalahkanmu, dan menutup mulutmu itu.”Morgan pun berdiri, dan menatap Riku tajam, lalu ia tersenyum.“Baiklah, aku terima. Apa tantangannya?”“Mudah saja, akan ku jelaskan di luar.”*****Riku dan Morgan pun berjalan ke luar rumah, Yuo memperingatkan Morgan.“Jangan dibawa terlalu serius, Morgan. Dia masih anak-anak.” Jelas Yuo.Morgan mendengarnya dan tertawa kecil.“Kau tahu, kakek. Sebagai orang yang terlihat kasar kepada Riku, rupanya kau begitu memperhatikannya.”Kali ini Yuo yang tertawa cukup keras mendengar ucapan Morgan.“Ya, bisa kau sebut itu sebagai naluri orang tua.”“Tenang saja. Aku hanya akan mengajarkan dia apa yang diajarkan kapten kepadaku.” Jelas Morgan.Sesampainya di depan rumah.“Kita akan berburu. Siapa yang membawa buruan terbaik, dia pemenangnya.” Ucap Riku.“Kau yakin malam ini? Bukankah banyak hewan buas yang keluar pada malam hari?”Riku memandangnya dengan tatapan menghina.“Jadi, kau takut?”Demi menghadapi ta
Sementara itu, Riku dan Teera.“Baik. Em…kita mulai dari mana dahulu ya?” tanya Teera.“Kau sendiri yang bilang kalau kau hebat dalam berdiskusi!? Jangan tanya aku.”“Oke, sebentar.”Teera berpikir sejenak.“Oke. Pertama, apa yang diinginkan kerajaan dari dirimu?” tanya Teera.“Em….”“Entahlah Teera, aku pun tidak tahu.” Jelas Riku.“Tidak mungkin tidak ada sesuatu yang penting darimu, yang sampai membuat pasukan kerajaan menyerang.” Tegas Teera, Riku pun hanya menganggukkan kepala.“Kau benar. Bahkan sampai kakek berusaha begitu keras untuk menolongku.” Ucapnya sedih, ia masih memikirkan kakeknya.“Apapun hal itu. Aku yakin kakekmu tahu sesuatu, begitu pula dengan Morgan.”Riku terlihat memadatkan kepalan tangannya, wajahnya mengkerut penuh amarah.“Morgan…” uc
“Bicaralah.” Tegas teman Rengga. “Aku tidak bertanggungjawab jika tubuhmu hancur setelah ini.” Rengga merendahkan tubuhnya, mendekatkan dirinya kepada sosok tersebut. Dengan pukulan yang cukup keras, rupanya sosok tersebut masih sadar, namun nampak terduduk kesakitan dan tidak mampu berdiri. Semakin dekat Rengga memastikan, yang ia lihat hanya sebuah senyum tipis dari sosok tersebut. “Siapa kau? Bicaralah.” Tegas Rengga. Sosok tersebut hanya mengangkat kedua tangannya, dan memperlihatkan seyumnya kepada mereka berdua. Teman Rengga yang tidak suka melihat wajah itu, langsung bergerak menghantamnya. “Tunggu!” teriak Rengga, namun telat. “15 kali.” Pukulan itu pun melesat bebas menghantam sosok tersebut, bumm. Tepat setelah pukulan tersebut kembali diangkat, tidak ada siapapun disana. Kepala Rengga dan temannya seketika terasa begitu pusing, penuh getaran, seperti diputar secara paksa. Hal itu terjadi dalam sekejap saja, setelah itu hilang. “Memang kekuatan yang mengerikan.” R
Lima belas menit berlalu semenjak Rengga pergi. Teera masih melakukan pemanasan, tubuhnya sudah dibanjiri keringat, namun belum ada tanda Riku sudah menyelesaikan makannya.“Kemana Riku? Padahal hanya makan sayuran, kenapa dia bisa selama ini.”“Apa dia memang selemah ini dengan sayuran?”Setelah menyentuh dua puluh menit, Teera menghembuskan nafas, menyerah.Sepertinya aku terlalu memaksa dia, akan kulihat apakah dia pingsan atau sejenisnya. Gumam Teera.Namun, baru beberapa langkah, Riku datang, dan ya – wajahnya seperti mau mati mencoba menelan banyak sekali sayuran.“Ayo latihan, huekk.” Ucapnya menahan mual.Teera yang melihatnya hanya tertawa ringan.“Telan dulu semua itu, baru kita latihan.”Riku dengan mata yang sudah basah dan keringat dinginnya, langsung menelan semua sayuran hijau itu, huekkk.Selepas membasuh wajah, ia kembali datang ke Teera dan sudah siap untuk latihan. Namun, tidak butuh waktu lama ia menyadari bahwa tidak ada Rengga.“Hei Teera. Dimana kakekmu? Bukanny
“Aku pulang.” Ucap orang tersebut seraya masuk ke dalam rumah. Dari jauh, seorang anak kecil berlari cepat menuju arah dari suara itu.“Ayah!” teriaknya yang disambut oleh pelukan ayahnya.“Kamu sudah pulang. Bagaimana tugasmu tadi?” tanya seseorang yang kemudian Nampak datang dari arah dapur, itu istrinya.“Ya cukup aman, Mareta.”“Hanya membereskan sedikit cecunguk yang berteriak Revolusi. Hehe.” Anak kecil itu mendengarkan dengan seksama, walau tidak paham di umurnya yang masih tiga tahun itu, namun melihat bagaimana sang ayah tertawa dan bercerita adalah hal yang keren.“Bagus lah kalau seperti itu, sayangku.” Namun setelahnya sang ayah menundukan kepalanya. Mareta terdiam, ia tahu ada sesuatu yang mengganggunya.“Ada apa sayangku?”Sang ayah menatap Mareta. “Aku rasa, pelakunya masih orang yang sama.”Mareta hanya terdi
“Morgan, kau yakin dengan ini?” orang itu bukan karena tidak percaya, hanya saja, hal ini begitu beresiko, terlebih bagi Morgan. “Ya, aku sangat yakin.” Tidak perlu ada lagi keraguan, hal seperti itu hanya akan menghalangi apapun. Selama kau memiliki rencana,mempertimbangkan semuanya, bahkan sampai kepada keadaan terburuk, maka tidak aan ada masalah, dan lagi, selama kau tidak bermain dengan emosi di dalamnya. “Apa kau ragu?” Morgan bertanya. Orang itu menggeleng. “Tidak.” “Hanya saja, aku berharap kita bisa saling berbagi kesulitan dalam hal ini.” “Karena aku juga bagian dari rencana ini.” Morgan tidak menggubris pernyataan temannya itu. “Maaf, aku tidak bisa.” Orang yang bersamanya nampak heran. “Apa sesulit itu hanya untuk berbagi?” Morgan tersenyum kecil. “Bukan masalah itu.” Morgan menunduk. “Aku hanya tidak ingin menyusahkan siapapun lagi.” “Hanya itu.”  
Morgan beserta pasukan kerajaan kembali, Yuo ikut bersama mereka. Tubuhnya diikat kuat, dan itu bukanlah pengikat sembarangan, melainkan alat khusus yang dapat menahan kekuatan sihir dari jimat.Setelah sampai di kerajaan, mereka berjalan sedikit lebih jauh, bergerak ke bagian terburuk di dalam kerajaan ini, penjara kesengsaraan. Yuo pun dilempar dan ditempatkan di sel tersendiri, sebab mereka tahu seberbahaya apa Yuo jika tidak ditekan sekeras ini.“Jadi, inikah penjara kesengsaraan? Tidak begitu buruk.”Yuo hanya diam memperhatikan, masalah seperti ini? Hanya masalah sepele bagi kakek tua ini.“Kau akan tahu setelah ini, kakek tua.”“Atau aku harus membunuhmu sekarang?”Moreey hendak mencabut pedangnya.“Moreey! Tahan dirimu.”Morgan baru sampai, dia baru saja menyampaikan hasil penyerangan ini kepada perdana menteri.Moreey kembali memasukkan pedangnya dan tertundu