Karena jarak yang cukup jauh, mereka baru sampai saat matahari sudah benar-benar tenggelam, dan malam baru saja datang.
Dari jauh, pintu rumah nampak berbeda dengan adanya satu alas kaki yang berbeda, tamu? Pikir Riku.
"Kakek, aku pu-" suara Riku terhenti, ada sesuatu disana, dilihatnya tamu tersebut, dia tahu orang itu, dan tidak ada orang yang lebih dicintai Riku, selain orang itu. Riku pun merangsek berlari memeluknya.
"Halo Riku, kau tambah besar ya, haha." Ucap orang itu, Morgan.
"Kenapa kau kesini, Morgan?"
"Kakek bilang dia butuh teman, kesepian dia. Jadi, memintaku bermain sebentar."
Kakek datang dari dapur, dengan tangannya yang penuh dengan hidangan berbau sedap.
"Aku tidak mengganggu dinasmu, bukan?" Tanya Kakek.
"Tidak kek. Lagi pula, hanya kalian keluargaku sekarang, sudah kewajibanku untuk berkunjung." Riku pun masih memeluknya tidak percaya.
Morgan merupakan salah seorang petarung terbaik negeri, dan kini ia menjadi bagian dari petarung kerajaan, pasukan elit di benua Meera, pasukan kerajaan.
Mengurusi banyak hal tentunya, membantu rakyat, patroli rutin, dan yang paling penting adalah membasmi kejahatan.
"Hai Teera, bagaimana kabar kakekmu?" Tanya kakek sesaat setelah melihat Teera.
"Baik, kakek. Oh iya, kakekku menitip salam 'Jaga cucuku, Yuo!?'. Begitu, katanya, hehe."
Kakek hanya tersenyum, lantas pergi ke dapur untuk mengambil makanan lainnya.
"Hey, bocah! Cepat mandi sana, baumu macam tikus hutan." Teriak kakek dari dapur.
Riku hanya mendengus kesal, melepas pelukannya dari Morgan dan pergi meninggalkan semuanya di ruang makan, pergi mandi.
Kakek baru saja kembali, Teera dan Morgan sudah mengambil tempat di meja makan, kakek setelahnya.
"Maafkan kebiasaan dia ya, Morgan." Ucap kakek.
"Tidak apa lah, dia sudah kuanggap sebagai adik sendiri." Balas Morgan.
Morgan, yang menjadi yatim piatu sebab perang pada masa sebelumnya, diangkat dan dilatih oleh Kuri, ayah Riku.
Dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Bagi Riku sendiri, Morgan adalah seorang kakak hebat yang mengajarkannya banyak hal.
Kalian ingat satu-satunya buku Riku? Itu adalah pemberian Morgan.
Riku pun datang, langsung mengambil tempat duduk di meja makan, dan mereka pun mulai makan.
"Kakek tua, tumben sekali kau mengajak mereka berdua, kenapa?" Tanya Riku.
"Dasar bocah! Bukankah kau senang mereka main kesini? Cobalah bersosialisasi, temanmu itu hanya hewan dan pohon!?"
Riku hanya mendengus kesal. Tapi, dia memang senang karena mereka datang.
"Jangan bilang kalau kau lupa hari ini?" Tanya kakek.
Riku hanya meneruskan makannya sambil berpikir, hari apa? Pikirnya.
"Hari ini? Bukahkah hari liburku?" Jelas Riku, yang disusul tawa Morgan dan Teera, adapun kakek hanya menghela nafas, sudah kuduga, gumamnya.
Morgan berinisiatif menjelaskan. "Malam ini, kau akan punya buku baru, Riku"
Riku sejenak berpikir, buku? Baru? Hehh!!
"Tunggu dulu. Buku baru? Tunggu sebentar, aku ulang tahun? Malam ini?" Tanya Riku tak percaya, matanya menatap Teera.
Teera hanya tersenyum menunjukkan jimatnya, "Giliran kau, teman, hehe."
"Lima belas? Malam ini?" Ditatapnya Morgan, yang sedari tadi hanya tertawa kecil melihat Riku.
"Tunggu dulu, berarti kau sudah berumur 15, Teera?" Tanya Riku.
Teera hanya menghembuskan nafas, kecewa, memang asli bodohnya temanku ini.
"Iya, Riku. Umurku memang lebih tua beberapa bulan darimu, bodoh."
Riku menatap Morgan dan kakek tidak percaya. Umur 15 tahun adalah hari-hari yang dinantikan oleh tiap anak, di umur inilah mereka akan mendapatkan jimat mereka.
Namun, belum jelas bagaimana cara mendapatkannya, karena setiap orang memiliki cara ataupun pemicu tertentu dalam mendapatkan jimat tersebut.
Morgan yang sedari tadi sudah menghentikan makannya, seperti mengambil sesuatu dari sakunya. Riku, yang melihat hal tersebut, mulai tidak sabaran, buku apa ya?
Sesaat yang begitu menegangkan, Morgan mengangkat tangannya. Semua tercengang, itu bukan buku, itu hanyalah sesuatu yang kecil, namun sangat indah, batu kecil, itu--jimat.
"Aku tidak tahu apakah Jimat ini memang cocok bagimu, atau kau akan mendapatkan yang lain,"
"Tapi, yang perlu kau tahu adalah bahwa ini pemberian dari guruku, Kuri. Pemberian ayahmu, untukmu." Ucap Morgan seraya memberikannya kepada Riku.
"Jadi, tidak ada buku untuk malam ini, maaf."
Riku hanya diam termenung, yang bahkan tidak peduli pada permintaan maaf Morgan.
Apakah benar ini dari ayah? Gumamnya.
Dia hampir tidak mempercayai apa yang ada di depannya. Tapi, dia yakin semua yang dikatakan oleh Morgan adalah benar adanya. Maka, tanpa ragu ia julurkan tangannya untuk mengambil permata itu.
"Aku ambil." Ucapnya setelah mengambil dan melihatnya lekat-lekat. Ia pandang Morgan.
"Terimakasih." Yang disambut bahagia oleh Morgan.
"Sama-sama."
Tiba-tiba cahaya keluar dari batu itu, warnanya yang terang menghiasi gelapnya rumah serta hutan. Lihatlah, jimat itu beresonansi, jimat itu--menerima Riku.
"Ya, kurasa kau tak perlu mencari Jimat yang lain." Ucap Morgan, disusul senyumnya yang khas.
Riku tahu apa yang terjadi, dan dia merasa bahwa ini bukanlah kebetulan. Tentu, pasti ini ada hubungan dengan ayahnya yang meninggalkan jimat ini padanya.
Terimakasih, ayah, gumamnya.
Kini giliran Teera yang mengeluarkan bawaannya, dikeluarkan barang itu dari tasnya, agak besar sepertinya, dan itu bukan lah hal yang asing bagi Riku.
"Ini dia, busur panah. Ini buatan kakekku, untuk bahannya, kami menggunakan kayu dari pohon Taji tertua di kebun kami, 500 tahun seingatku." Ucap Teera, berusaha menjelaskan.
"Ya, kau tahu kan? Kayu terkuat di negeri ini, hehe." Jelasnya, seraya menyerahkannya kepada Riku.
Riku sekali lagi tertegun. Pohon Taji sendiri memang terkenal sebagai kayu terkuat di benua Meera, yang bahkan untuk mengolahnya memiliki tingkat kesulitan tertinggi di benua ini.
"Tak kusangka kau punya kebun Taji di rumahmu, sampai ada yang berumur 500 tahun? Hebat sekali." Ucap kakek, ikut tertegun.
Riku tak peduli hal tersebut, dari mana pun dan dari apapun, tidak masalah, yang terpenting ini adalah pemberian temannya.
Busur itu begitu indah, mengkilap di setiap incinya, nampak begitu kekar dan kuat, keindahan yang hanya berasal dari kayu Taji dengan kualitas terbaik. Hadiah ini, begitu indah.
"Terimakasih, Teera. Dengan ini, sekali panah, semua hewan di hutan akan tumbang, hehe." Ucap Riku.
"Sama-sama. Kutunggu hasil buruanmu." Balas Teera.
Meja makan terasa begitu menyenangkan malam ini. Dengan semua orang-orang terpenting dalam hidup Riku berkumpul, merayakan ulang tahunnya yang bahkan ia tak ingat. Lalu, semua hadiah itu, adalah momen terbaik dalam hidup Riku.
"Sepertinya tinggal aku yang belum memberikan hadiah ya." Ucap kakek.
Riku kini terdiam kembali melihat ke arah kakek, apa yang akan ia berikan?
"Ya, kurasa aku sudah memberikannya lebih awal. Tapi, kau tak sadar."
Riku memandang kakeknya, bingung, sudah? Tunggu dulu, hadiah apa?
Kakek yang melihat wajah bingung Riku hanya tertawa. Sejenak ia mengangkat tangannya dan menunjuk Teera serta Morgan.
"Itu dia hadiahku, hehe."
Riku yang terdiam perlahan mulai tersenyum dan tertawa, diikuti tawa seluruhnya. Ya, hadiah dari kakeknya adalah menghadirkan mereka semua.
Teera yang baru boleh bepergian jauh sebab sudah berumur 15. Lalu, Morgan dengan hari liburnya, adalah suatu hal yang jarang terjadi bagi pasukan kerajaan.
Kini, Riku paham dan secara tanpa sadar ia mulai menunduk dan menangis, menangis pelan, menangis bahagia.
"Te..terimakasih, kakek." Dan semua tersenyum bahagia melihat anak kecil itu, yang kini sudah beranjak dewasa.
Makan malam terasa begitu panjang, dan selesai saat menyentuh tengah malam. Morgan dan Teera menginap untuk malam itu. Teera tidur bersama Riku, dan Morgan tidur sendiri, dia selalu punya tempat untuk kembali, karena ini juga rumahnya. Sebab kebahagian yang memuncak, Riku tertidur lebih pulas, sehingga ia bangun lebih pagi esoknya. Keluar rumah, membawa semua hadiahnya semalam, jimat--yang kini ia ikatkan menjadi kalung di lehernya--dan busur barunya yang diberikan oleh Teera. "Baiklah, waktunya mencoba." Sebab langit masih sangat gelap, maka Riku akan mencoba berlatih untuk mengetahui kekuatan jimatnya. Mengetahui jimat ini menerimanya, dan lagi, ini adalah peninggalan ayahnya, ia tak sabar sekali untuk mencobanya. Ia berusaha mengingat apa yang dijelaskan oleh Morgan semalam. "Dalam mengaktifkan kekuatan Jimat. Banyak sekali prosesnya, Riku. Em...maksudnya, banyak sekali pemicu." "Bisa
Teera yang tidak memahami apa yang tengah terjadi hanya diam dan berteriak."Apa yang dicoba?! Hey?!"Morgan hanya tersenyum, dan--splash. Morgan melesat cepat, yang kini, secara tiba-tiba, sudah berada di atas Riku. Teera tercengang dengan pergerakan Morgan.Inikah pergerakan seorang anggota pasukan kerajaan? Gumam Teera.Dalam gerak lambatnya di atas Riku, Morgan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Riku mengambil posisi, memperhatikan apa yang keluar dari sakunya Morgan, itu--Riku terdiam, bingung, pemantik api?Morgan menyalakan pemantik api, dan dalam sekejap semua api dari pemantik tersebut seperti ditarik keluar dan berputar memadati salah satu tangannya yang teracung ke bawah, mengarah tepat ke Riku."Sihir api." Ucapnya."Fire...ball!"Selepas kata itu disebut, gumpalan
Malam setelah Riku mendapat kekuatannya, ia terbangun setelah kelelahan tadi sore. Ia pergi ke ruang makan, perutnya lapar setelah seharian berlatih dengan Morgan.Sesaat setelah sampai, kakek tengah duduk sendirian di meja makan. Riku duduk, dan langsung mengambil makan, tak memperdulikan kakeknya."Kau kelelahan? Dasar lemah!? Hehe." Ucap kakeknya, membuat Riku menahan suapannya, waktunya membalas."Bilang saja kau iri, heh. Sekarang aku sudah kuat, dan setelah berlatih menjadi lebih kuat, aku akan pergi dari sini.""Berkelana jauh, menuju tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Tempat dimana kau tidak bisa memarahiku.""Lalu--" ucapnya tertahan."Pergi mencari ayah." Ucap Riku, dan melanjutkan makan.Kakek hanya memandangnya diamDia sudah tumbuh secepat ini hah? Hehe. Lihat lah Kur
Setelah panjang menjelaskan bagaimana kehidupan Ayah Riku. Kakek pun melanjutkan pembicaraan.“Kekuatanmu persisi seperti ayahmu, kekuatan api murni." Ucap Kakek.Riku yang mendengar kata itu pun masih bingung, ia tidak paham mengenai dasar-dasar kekuatan dan sejenisnya.“Jika aku pemilik api murni, apakah artinya ada pemilik kekuatan api yang tidak murni? Dan apa yang membedakan keduanya, kakek?” Ucap Riku.Kakek melihat keingintahuan Riku, sepertinya ia harus menjawab semua hal yang ingin ditanyakan Riku malam ini.“Mudahnya, kekuatan murni adalah kekuatan dimana pemiliknya dapat mengeluarkan sihir tersebut tanpa perlu pemantik atau sesuatu sejenisnya…” Jelas kakek.“Sebagai contoh kekuatan api-mu. Kau bisa langsung mengeluarkan kekuatan tersebut bukan? Berbeda dengan Morgan yang menggunakan pemantik api, ja
Riku baru saja sampai di rumah pohon. Ia perhatikan dengan seksama temannya yang satu ini. Teman tak bernyawa yang telah menemaninya pada masa-masa awal kehidupan bermainnya. Tempat berteduh, tempat belajar, tempat berlindung, tempat untuk kembali. Ia tarik nafas yang dalam, dan mulai memanjat naik ke atas.Dilihatnya apa-apa yang ada disana, seluruh proyeksi kehidupannya, gambaran perkembangan dirinya. Dibukanya semua catatannya, disana lah semua kebahagian, keluh kesah yang ia miliki tercurahkan. Ia baca sekali lagi dan ia tutup buku tersebut, ia tak akan membawa buku itu, ia sudah bertekad untuk pergi dan menjadi dirinya, semua hal yang akan membuatnya rindu kembali, akan ia tinggalkan.Dia ambil beberapa buku disana, ia baca kembali sebelum ia masukkan ke dalam tas. Apapun yang terjadi nantinya, ia akan menggunakan semua yang ia pahami untuk berjuang di tempat selanjutnya. Ia membaca dan terus mengulang bacaan tersebut sampai
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dengan dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa ini? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa? "Aku membakar hutan ini, sebab kakek tidak mau memberi tahu apapun.""Jadi, aku menyerangnya dan membakar hutan ini. Memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Kenapa ia juga menyerang kakek?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku? Ayahku orang terkutuk?"Apa maksudmu, Morgan? Bukankah ayahku adal
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa?"Aku membakar hutan ini, karena kakek tidak mau memberitahu keberadaanmu.""Jadi aku menyerangnya dan membakar hutan ini, memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Tapi, untuk apa? Dan mengapa ia melakukan semua ini?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku?Ayahku orang terkutuk? A
Kepulan asap membuat jarak pandang semakin sempit, itu bukanlah ledakan kecil. Morgan beserta pasukannya masih dalam posisi siap. Mereka tahu ini tidak akan mudah, mengalahkan anak Raja Api? Sama seperti mengalahkan Raja Api itu sendiri. Sesaat setelah kepulan asap itu hilang, di tempat Riku berdiri, tidak ada siapa-siapa. Kemana dia? Pikir Morgan. "Fire...ball." Empat bola api raksasa tiba-tiba datang, bergerak cepat dari atas mereka, menyerang dengan ganas. "Menghindar!" teriak Morgan. "Aarrgghh!" teriak salah satu dari mereka, terhempas jatuh terluka oleh bola api itu. "Satu." Morgan membalikkan tubuhnya, mengambil posisi, dinyalakannya pemantik api miliknya, ia akan menyerang. Dengan cepat ia mengumpulkan sejumlah besar gumpalan api di tangannya, mengarahkannya kepada Riku yang tengah bergerak ke arahnya. Dipadatkannya api itu, besar, lebih besar, dan lebih besar. "Sihir Ap
“Apa kalian lihat seorang bocah disini?” tanya Morgan. Para pemburu terdiam dengan rasa takut. Mereka sadar siapa yang berdiri di hadapan mereka. Kapten dari Pasukan Kerajaan, terlebih seorang kapten dari pasukan pertama. “Apa yang dilakukan seorang Pasukan Kerajaan di hutan Yooru?” Morgan berjalan maju. Sedangkan, para pemburu mempersiapkan diri, menjaga jarak. “Aku tadi merasakan bocah itu disini. Dimana dia?” Morgan terus mendekat. Diambilnya pemantik api, ia nyalakan api itu. Dengan cepat itu membuat tekanan panas dengan api itu. Morgan mencoba menfokuskan dirinya, perluasan tekanan itu menjadi radar, namun – “Mati kau!! Hahaha!!!” Seseorang meloncat dari kegelapan, mencoba menerjang Morgan dengan sebilah pedang yang dihunuskan kepadanya. Wajahnya – sudah siap membunuh. Morgan dengan cepat membakar sekelilingnya dengan api. Api besar nampak membara mengelilinginya. Orang tadi langsung menghindar. Api Morgan terasa begitu panas, bahkan sebelum orang itu menyentuhnya. “Cih
Pertandingan sudah dimulai. Pertandingan yang dibuat sepihak oleh Riku guna membuat Morgan menyadari kehebatannya.Morgan sendiri hanya mengikuti keinginan Riku.Mungkin tidak apa jika aku ikut permainannya – pikirnya, ini permainan baginya, liburan di masa senggangnya.Morgan sendiri baru saja selesai mendapat buruannya.“Aku rasa ini sudah cukup.” Ucapnya, sedang di hadapannya terdapat seekor Bison yang sudah terkapar.“Semoga ini tidak terlalu berat.” Ia pun berjalan pulang. Diangkatnya bison di pundak.Di tengah perjalanan, Morgan hanya memenuhi kepalanya dengan banyak hal.“Dia begitu menyayangi ayahnya. Kini, ia terbebani dengan betapa kuatnya ia, dan kekecewaan dalam hatinya terhadap apa yang dilakukan Kuri padanya – meninggalkannya.” Perkataan Yuo sebelumnya terlintas.Dan jauh sebelum itu –“Aku serahkan anak itu padamu.”“Anak itu? Siapa dia?!”“Anakku, Riku namanya.”Kenangan lain, ikut terlintas. Morgan hanya tersenyum dalam diamnya.“Bodohnya aku menerima tugas yang merep
“Bagaimana dengan pertandingan!? Aku akan mengalahkanmu, dan menutup mulutmu itu.”Morgan pun berdiri, dan menatap Riku tajam, lalu ia tersenyum.“Baiklah, aku terima. Apa tantangannya?”“Mudah saja, akan ku jelaskan di luar.”*****Riku dan Morgan pun berjalan ke luar rumah, Yuo memperingatkan Morgan.“Jangan dibawa terlalu serius, Morgan. Dia masih anak-anak.” Jelas Yuo.Morgan mendengarnya dan tertawa kecil.“Kau tahu, kakek. Sebagai orang yang terlihat kasar kepada Riku, rupanya kau begitu memperhatikannya.”Kali ini Yuo yang tertawa cukup keras mendengar ucapan Morgan.“Ya, bisa kau sebut itu sebagai naluri orang tua.”“Tenang saja. Aku hanya akan mengajarkan dia apa yang diajarkan kapten kepadaku.” Jelas Morgan.Sesampainya di depan rumah.“Kita akan berburu. Siapa yang membawa buruan terbaik, dia pemenangnya.” Ucap Riku.“Kau yakin malam ini? Bukankah banyak hewan buas yang keluar pada malam hari?”Riku memandangnya dengan tatapan menghina.“Jadi, kau takut?”Demi menghadapi ta
Sementara itu, Riku dan Teera.“Baik. Em…kita mulai dari mana dahulu ya?” tanya Teera.“Kau sendiri yang bilang kalau kau hebat dalam berdiskusi!? Jangan tanya aku.”“Oke, sebentar.”Teera berpikir sejenak.“Oke. Pertama, apa yang diinginkan kerajaan dari dirimu?” tanya Teera.“Em….”“Entahlah Teera, aku pun tidak tahu.” Jelas Riku.“Tidak mungkin tidak ada sesuatu yang penting darimu, yang sampai membuat pasukan kerajaan menyerang.” Tegas Teera, Riku pun hanya menganggukkan kepala.“Kau benar. Bahkan sampai kakek berusaha begitu keras untuk menolongku.” Ucapnya sedih, ia masih memikirkan kakeknya.“Apapun hal itu. Aku yakin kakekmu tahu sesuatu, begitu pula dengan Morgan.”Riku terlihat memadatkan kepalan tangannya, wajahnya mengkerut penuh amarah.“Morgan…” uc
“Bicaralah.” Tegas teman Rengga. “Aku tidak bertanggungjawab jika tubuhmu hancur setelah ini.” Rengga merendahkan tubuhnya, mendekatkan dirinya kepada sosok tersebut. Dengan pukulan yang cukup keras, rupanya sosok tersebut masih sadar, namun nampak terduduk kesakitan dan tidak mampu berdiri. Semakin dekat Rengga memastikan, yang ia lihat hanya sebuah senyum tipis dari sosok tersebut. “Siapa kau? Bicaralah.” Tegas Rengga. Sosok tersebut hanya mengangkat kedua tangannya, dan memperlihatkan seyumnya kepada mereka berdua. Teman Rengga yang tidak suka melihat wajah itu, langsung bergerak menghantamnya. “Tunggu!” teriak Rengga, namun telat. “15 kali.” Pukulan itu pun melesat bebas menghantam sosok tersebut, bumm. Tepat setelah pukulan tersebut kembali diangkat, tidak ada siapapun disana. Kepala Rengga dan temannya seketika terasa begitu pusing, penuh getaran, seperti diputar secara paksa. Hal itu terjadi dalam sekejap saja, setelah itu hilang. “Memang kekuatan yang mengerikan.” R
Lima belas menit berlalu semenjak Rengga pergi. Teera masih melakukan pemanasan, tubuhnya sudah dibanjiri keringat, namun belum ada tanda Riku sudah menyelesaikan makannya.“Kemana Riku? Padahal hanya makan sayuran, kenapa dia bisa selama ini.”“Apa dia memang selemah ini dengan sayuran?”Setelah menyentuh dua puluh menit, Teera menghembuskan nafas, menyerah.Sepertinya aku terlalu memaksa dia, akan kulihat apakah dia pingsan atau sejenisnya. Gumam Teera.Namun, baru beberapa langkah, Riku datang, dan ya – wajahnya seperti mau mati mencoba menelan banyak sekali sayuran.“Ayo latihan, huekk.” Ucapnya menahan mual.Teera yang melihatnya hanya tertawa ringan.“Telan dulu semua itu, baru kita latihan.”Riku dengan mata yang sudah basah dan keringat dinginnya, langsung menelan semua sayuran hijau itu, huekkk.Selepas membasuh wajah, ia kembali datang ke Teera dan sudah siap untuk latihan. Namun, tidak butuh waktu lama ia menyadari bahwa tidak ada Rengga.“Hei Teera. Dimana kakekmu? Bukanny
“Aku pulang.” Ucap orang tersebut seraya masuk ke dalam rumah. Dari jauh, seorang anak kecil berlari cepat menuju arah dari suara itu.“Ayah!” teriaknya yang disambut oleh pelukan ayahnya.“Kamu sudah pulang. Bagaimana tugasmu tadi?” tanya seseorang yang kemudian Nampak datang dari arah dapur, itu istrinya.“Ya cukup aman, Mareta.”“Hanya membereskan sedikit cecunguk yang berteriak Revolusi. Hehe.” Anak kecil itu mendengarkan dengan seksama, walau tidak paham di umurnya yang masih tiga tahun itu, namun melihat bagaimana sang ayah tertawa dan bercerita adalah hal yang keren.“Bagus lah kalau seperti itu, sayangku.” Namun setelahnya sang ayah menundukan kepalanya. Mareta terdiam, ia tahu ada sesuatu yang mengganggunya.“Ada apa sayangku?”Sang ayah menatap Mareta. “Aku rasa, pelakunya masih orang yang sama.”Mareta hanya terdi
“Morgan, kau yakin dengan ini?” orang itu bukan karena tidak percaya, hanya saja, hal ini begitu beresiko, terlebih bagi Morgan. “Ya, aku sangat yakin.” Tidak perlu ada lagi keraguan, hal seperti itu hanya akan menghalangi apapun. Selama kau memiliki rencana,mempertimbangkan semuanya, bahkan sampai kepada keadaan terburuk, maka tidak aan ada masalah, dan lagi, selama kau tidak bermain dengan emosi di dalamnya. “Apa kau ragu?” Morgan bertanya. Orang itu menggeleng. “Tidak.” “Hanya saja, aku berharap kita bisa saling berbagi kesulitan dalam hal ini.” “Karena aku juga bagian dari rencana ini.” Morgan tidak menggubris pernyataan temannya itu. “Maaf, aku tidak bisa.” Orang yang bersamanya nampak heran. “Apa sesulit itu hanya untuk berbagi?” Morgan tersenyum kecil. “Bukan masalah itu.” Morgan menunduk. “Aku hanya tidak ingin menyusahkan siapapun lagi.” “Hanya itu.”  
Morgan beserta pasukan kerajaan kembali, Yuo ikut bersama mereka. Tubuhnya diikat kuat, dan itu bukanlah pengikat sembarangan, melainkan alat khusus yang dapat menahan kekuatan sihir dari jimat.Setelah sampai di kerajaan, mereka berjalan sedikit lebih jauh, bergerak ke bagian terburuk di dalam kerajaan ini, penjara kesengsaraan. Yuo pun dilempar dan ditempatkan di sel tersendiri, sebab mereka tahu seberbahaya apa Yuo jika tidak ditekan sekeras ini.“Jadi, inikah penjara kesengsaraan? Tidak begitu buruk.”Yuo hanya diam memperhatikan, masalah seperti ini? Hanya masalah sepele bagi kakek tua ini.“Kau akan tahu setelah ini, kakek tua.”“Atau aku harus membunuhmu sekarang?”Moreey hendak mencabut pedangnya.“Moreey! Tahan dirimu.”Morgan baru sampai, dia baru saja menyampaikan hasil penyerangan ini kepada perdana menteri.Moreey kembali memasukkan pedangnya dan tertundu