"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"
Morgan hanya memandangnya dengan dingin.
"Aku mencarimu." Tegasnya.
Mencariku? Untuk apa?
"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.
Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku.
"Aku yang membakar hutan ini"
Apa ini? Gumam Riku.
Morgan membakar hutan ini? Mengapa?
"Aku membakar hutan ini, sebab kakek tidak mau memberi tahu apapun."
"Jadi, aku menyerangnya dan membakar hutan ini. Memancingmu untuk datang kesini."
Apa? Memancingku? Kenapa ia juga menyerang kakek?
Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap.
"Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."
Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku? Ayahku orang terkutuk?
"Apa maksudmu, Morgan? Bukankah ayahku adalah seorang pahlawan?" Tanya Riku, getir.
Morgan hanya diam, dan bahkan tidak menggubris pertanyaan Riku yang terlihat sudah hancur mentalnya. Morgan menghela nafas.
"Tidakkah kau tahu perbedaan dari kenyataan dan kebohongan? Ya, aku berbohong." Ucap Morgan, tatapannya begitu dingin, ia berkata yang sebenarnya.
Riku semakin lemas dan tertunduk dalam.
Apa katanya? Bohong? Apa berarti selama ini dia berbohong? Semua tentang ayah? Kebohongan?
"Ketua, apa sudah dipastikan mengenai kebenaran anak ini?" Tanya salah seorang pasukan yang bersama Morgan.
"Ya, Moreey. Buktinya adalah jimat di lehernya. Yang merupakan pemberian dari sang Raja Api, tepat saat kematiannya." Ucap Morgan.
"Lihatlah, jimat itu sudah beresonansi dengan si Riku, dia memang anak dari Raja Api Kuri." Jelas Morgan. Moreey menunduk, ia tahu bahwa tidak ada yang dapat diragukan dari ketua pasukannya, kuat, cerdas, dialah sosok ketua ideal bagi pasukan kerajaan.
"Tinggalkan Riku, Morgan!"
"Perdana Menteri tidak berhak untuk mengambilnya." Teriak seseorang dari jauh, itu Yuo, kakek Riku.
"Riku! Pergi!!" Teriak kakek, seraya berlari menyusulnya.
Riku tak mengetahui apa-apa yang terjadi, ia masih terdiam, tertunduk, lemas, pias, dia--tidak tahu harus berbuat apa. Saut-saut pelan terdengar suara kakek di telinganya, ia hanya menoleh, namun tidak menggubrisnya sama sekali, ia tidak peduli. Hanya bisikan-bisikan aneh yang memenuhi kepalanya.
Semua bohong? Ayah bukan pahlawan? Ayah orang terkutuk? Morgan bukan siapa-siapa? Bukankah Morgan adalah orang yang paling peduli padaku?
Lantas, sebenarnya, siapakah aku ini?
"Riku!!"
Kakek terus berteriak memanggilnya, yang kini ia terjebak oleh empat pasukan kerajaan, dan tidak ada jalan lain, kakek harus bertarung.
"Ah, sial." Ucap kakek yang berlari menerjang empat pasukan itu.
Empat pasukan itu mulai mengubah posisi.
"Tanah penjebak"
Serangan pertama. Secara garis lurus tanah mulai hancur dengan cepat seperti gempa bumi, mengarah cepat ke arah Yuo.
Yuo mengangkat tangannya. Serangan tanah itu tertahan, tidak berlanjut, apa yang terjadi?
"Giliranku." Ucap salah satu dari mereka.
"Gerakan ki-"
Dalam satu langkah cepat, Yuo mendekati pasukan tersebut.
"Sihir hampa, area."
Semua terhenti, dalam lingkaran dengan jarak tertentu, semua yang berada di dalamnya, terhenti.
"Ju...rus a...pa ini?!" Ucap salah satu dari mereka yang tertangkap dalam ruang kehampaan.
"Tehnik hampa, pukulan."
Dengan cepat kakek melesat ke arah pasukan tersebut dan memukulnya dengan cepat, puluhan, ratusan, entah berapa banyak pukulan yang ia hantamkan. Namun di dalam kehampaan, pasukan tersebut tidak akan bergerak, tidak setelah tiga detik berlalu.
Kakek melanjutkan serangannya ke pasukan yang lain, meninggalkan salah satunya di dalam area hampa setelah menghajarnya, efeknya akan datang dalam, tiga, dua, satu, dan--bukk, bukk, bukk, bukk, puluhan, ratusan, entah berapa banyak. Pukulan Yuo muncul seperti pukulan kosong yang menghajar habis-habisan pasukan tersebut. Pasukan tersebut terjatuh, terkapar oleh banyaknya pukulan Yuo.
Yuo bergerak cepat, namun dalam sekejap, salah satu pasukan telah hilang, tersisa satu di depan. Melihat celah besar, Yuo merangsek maju dengan cepat, meski sudah tua, dia bukanlah petarung lemah.
Seorang anggota pasukan di depannya, bersiap untuk bertahan, dia nampak tidak menggunakan jurus apapun.
Aku akan menahannya dalam areaku, berhati-hati dia akan menyerang dengan jarak tertentu.
Setelah masuk dalam area, akan ku serang habis-habisan, pikir Yuo.
"Sihir hampa, area."
Cepat saja kemampuan itu bergerak, dalam sesaat, sekelilingnya dalam jarak tertentu, menjadi diam tak bergerak, termasuk salah satu anggota pasukan tadi, dengan posisi bertahannya.
Yuo bergerak cepat mengepalkan tangannya, bersiap menyerang dengan pukulannya. Lalu--
"Cancel"
Tap, pukulan Yuo--tertangkap. Salah satu anggota itu, yang entah bagaimana, berhasil keluar dari sihir area milik Yuo, menangkap tangannya, dan segera mengirimkan pukulan balasan.
Yuo yang tanpa pikir panjang, langsung melepaskan genggaman tangan orang itu dan melompat ke belakang, tepat sebelum pukulan balasan orang tersebut mengenainya, kini dia sudah siap dalam posisi menyerang. Tapi--jleb.
Yuo terdiam, tubuhnya terasa dingin, sebuah perasaan yang tidak begitu asing baginya, dilihatnya ke bawah, ia terkejut, lubang itu, tubuhnya--tertusuk. Tusukan panjang pedang, lebih tepatnya katana, menembus tubuhnya, warnanya merah, merah terang, darahnya menyelimuti pedang itu.
Yuo terjatuh, terkulai lemas, dipandangnya sosok yang menusuknya, yang tidak lain merupakan salah satu anggota yang hilang dari pandangannya tadi.
"Bagaimana bisa?" Tanya Yuo.
Kedua pasukan itu hanya tertawa.
"Kau harus lebih kuat untuk membuat kami bicara." Ucap salah satu dari mereka, dia--yang menusuk Yuo.
Dari jauh, Riku melihat pertarungan itu dengan matanya sendiri. Kondisinya semakin parah dengan melihat kakeknya yang terluka.
Morgan kembali menunduk, berbisik ke telinga Riku.
"Seseorang yang tidak mengenal temannya, maka tidak akan mengenal musuhnya."
Riku tertegun, apa selama ini aku salah?
Morgan kembali menegakkan badannya, menatap kepada pasukannya dan berteriak.
"Ikat dia! Kita akan membawanya ke kerajaan." Lantangnya.
"Dan jangan sampai perdana menteri tahu. Bahwa dua anggota pasukan terhebatnya dikalahkan oleh orang tua yang lemah." Jelas Morgan.
Semua anggota pasukan, terutama dua orang yang berhasil dikalahkan Yuo, buru-buru bangun, tidak ada tempat bagi yang lemah di dalam pasukan kerajaan, jadilah kuat atau pergi dari pasukan.
Sekali lagi, Morgan menatap Riku.
"Riku, atas perintah kerajaan, kau harus ikut kami!" Ucap Morgan, tegas.
Riku tak menghiraukan Morgan, ia nampak tidak peduli, di dalam kepalanya, masih berkecamuk pikiran yang begitu banyak.
Seseorang yang tidak mengenal temannya, maka tidak akan mengenal musuhnya. Begitukah, Morgan?
Riku kini paham, apa yang harus ia lakukan. Secara cepat ia kembali mendapat fokusnya. Nafasnya kembali teratur, bergerak cepat ke arah tenang, bahkan terlalu tenang.
Riku berdiri, kepalanya masih tertunduk. Morgan mengangkat tangannya, isyarat untuk mengikat, menjaga agar Riku tidak melawan.
Selama proses mengikat, Morgan kembali berseru.
"Dengan ini, atas perintah perdana menteri. Kau, Riku, anak dari Raja Api Kuri yang terkutuk, ditahan atas nama hukum kerajaan."
Terkutuk? Iya kah?
Morgan terdiam, ia menatap sekeliling, ada yang aneh. Anggota pasukannya pun merasakan hal yang sama.
Ada sebuah tekanan lain, apa ini? Serangan? Pikir Morgan.
Diantara pasukan yang hebat adalah mereka yang mengetahui bahaya, terlebih mengetahui siapa yang lebih kuat.
Sejenak Morgan sadar apa yang terjadi, diliriknya Riku dengan perlahan, dan--
"Lari!" Dan, bumm!!
Ledakan yang besar, yang dalam sekejap berhasil ditahan oleh Morgan, dia berhasil menyelamatkan diri serta menyelamatkan pasukan, membuat dinding api.
Aku tidak menyadarinya sejak awal, aku bodoh, gumamnya.
Anak itu, benar-benar berbahaya seperti ayahnya. Ini, akan memakan waktu.
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa?"Aku membakar hutan ini, karena kakek tidak mau memberitahu keberadaanmu.""Jadi aku menyerangnya dan membakar hutan ini, memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Tapi, untuk apa? Dan mengapa ia melakukan semua ini?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku?Ayahku orang terkutuk? A
Kepulan asap membuat jarak pandang semakin sempit, itu bukanlah ledakan kecil. Morgan beserta pasukannya masih dalam posisi siap. Mereka tahu ini tidak akan mudah, mengalahkan anak Raja Api? Sama seperti mengalahkan Raja Api itu sendiri. Sesaat setelah kepulan asap itu hilang, di tempat Riku berdiri, tidak ada siapa-siapa. Kemana dia? Pikir Morgan. "Fire...ball." Empat bola api raksasa tiba-tiba datang, bergerak cepat dari atas mereka, menyerang dengan ganas. "Menghindar!" teriak Morgan. "Aarrgghh!" teriak salah satu dari mereka, terhempas jatuh terluka oleh bola api itu. "Satu." Morgan membalikkan tubuhnya, mengambil posisi, dinyalakannya pemantik api miliknya, ia akan menyerang. Dengan cepat ia mengumpulkan sejumlah besar gumpalan api di tangannya, mengarahkannya kepada Riku yang tengah bergerak ke arahnya. Dipadatkannya api itu, besar, lebih besar, dan lebih besar. "Sihir Ap
"Morgan, kau akan mati."Riku mengangkat pedangnya, dia akan membunuh Morgan."Hahaha!!"Riku menahan pedangnya, Morgan--dia tertawa."Apa yang lucu?"Morgan menatap Riku. Sorot matanya, berubah."Yang lucu?""Fakta bahwa kau tidak akan bisa membunuhku.Hahaha!!"Tawanya mengerikan. Morgan, tanpa sadar, kehilangan kendali.Sementara Morgan tertawa. Riku kembali mengangkat pedangnya."Mati lah kau dengan kebodohanmu, Morgan"Pedang itu bergerak cepat ke arah leher Morgan, dan--Bumm!!Ledakan dahsyat tiba-tiba terjadi di sana. Riku terhempas oleh ledakan itu, seluruh tubuhnya terbakar, yang cepat ia padamkan dengan api biru. Api biru membakar api biasa. Riku tidak menyadari serangan itu, ia membentuk kuda-kuda, instingnya merasakan sesuatu akan datang. Matanya terfokus pada arah ledakan tadi, yang tepat mengenai dirinya dan juga Morgan.Musuh, kah?
“Kau tinggal sendiri?”Morgan yang syok melihat orang tuanya terbunuh, hanya diam mematung.“Hei, bocah?”Suara itu memanggilnya lagi. Tapi, nihil, dia masih terguncang dengan semua itu.“Hei, bocah! Kau dengar aku?”Suara itu, tapi percuma. Matanya, Morgan, tampak semakin kosong tiap detiknya. Tatapan ngeri.Tolong, bunuh saja aku, gumamnya. Plakk!Pemilik suara tadi, menampar Morgan. Pukulannya begitu kuat, menyadarkan tatapan Morgan. Kini ia mampu mengenali dan melihat sekitarnya. Dia menatap pria itu.“Apa kau malaikat maut?”Plakk, satu tamparan lagi.“Aduh! Apa sih masalahmu? Bodoh.” Geram Morgan.Siapa orang ini? Yang pasti bukan pembunuh yang tadi, dia terlihat baik.Pria itu berdiri. Tubuhnya gagah bak benteng raksasa, tatapannya tajam menusuk, dan wajahnya, wajah seorang pemimpin
Morgan beserta pasukan kerajaan kembali, Yuo ikut bersama mereka. Tubuhnya diikat kuat, dan itu bukanlah pengikat sembarangan, melainkan alat khusus yang dapat menahan kekuatan sihir dari jimat.Setelah sampai di kerajaan, mereka berjalan sedikit lebih jauh, bergerak ke bagian terburuk di dalam kerajaan ini, penjara kesengsaraan. Yuo pun dilempar dan ditempatkan di sel tersendiri, sebab mereka tahu seberbahaya apa Yuo jika tidak ditekan sekeras ini.“Jadi, inikah penjara kesengsaraan? Tidak begitu buruk.”Yuo hanya diam memperhatikan, masalah seperti ini? Hanya masalah sepele bagi kakek tua ini.“Kau akan tahu setelah ini, kakek tua.”“Atau aku harus membunuhmu sekarang?”Moreey hendak mencabut pedangnya.“Moreey! Tahan dirimu.”Morgan baru sampai, dia baru saja menyampaikan hasil penyerangan ini kepada perdana menteri.Moreey kembali memasukkan pedangnya dan tertundu
“Morgan, kau yakin dengan ini?” orang itu bukan karena tidak percaya, hanya saja, hal ini begitu beresiko, terlebih bagi Morgan. “Ya, aku sangat yakin.” Tidak perlu ada lagi keraguan, hal seperti itu hanya akan menghalangi apapun. Selama kau memiliki rencana,mempertimbangkan semuanya, bahkan sampai kepada keadaan terburuk, maka tidak aan ada masalah, dan lagi, selama kau tidak bermain dengan emosi di dalamnya. “Apa kau ragu?” Morgan bertanya. Orang itu menggeleng. “Tidak.” “Hanya saja, aku berharap kita bisa saling berbagi kesulitan dalam hal ini.” “Karena aku juga bagian dari rencana ini.” Morgan tidak menggubris pernyataan temannya itu. “Maaf, aku tidak bisa.” Orang yang bersamanya nampak heran. “Apa sesulit itu hanya untuk berbagi?” Morgan tersenyum kecil. “Bukan masalah itu.” Morgan menunduk. “Aku hanya tidak ingin menyusahkan siapapun lagi.” “Hanya itu.”  
“Aku pulang.” Ucap orang tersebut seraya masuk ke dalam rumah. Dari jauh, seorang anak kecil berlari cepat menuju arah dari suara itu.“Ayah!” teriaknya yang disambut oleh pelukan ayahnya.“Kamu sudah pulang. Bagaimana tugasmu tadi?” tanya seseorang yang kemudian Nampak datang dari arah dapur, itu istrinya.“Ya cukup aman, Mareta.”“Hanya membereskan sedikit cecunguk yang berteriak Revolusi. Hehe.” Anak kecil itu mendengarkan dengan seksama, walau tidak paham di umurnya yang masih tiga tahun itu, namun melihat bagaimana sang ayah tertawa dan bercerita adalah hal yang keren.“Bagus lah kalau seperti itu, sayangku.” Namun setelahnya sang ayah menundukan kepalanya. Mareta terdiam, ia tahu ada sesuatu yang mengganggunya.“Ada apa sayangku?”Sang ayah menatap Mareta. “Aku rasa, pelakunya masih orang yang sama.”Mareta hanya terdi
Lima belas menit berlalu semenjak Rengga pergi. Teera masih melakukan pemanasan, tubuhnya sudah dibanjiri keringat, namun belum ada tanda Riku sudah menyelesaikan makannya.“Kemana Riku? Padahal hanya makan sayuran, kenapa dia bisa selama ini.”“Apa dia memang selemah ini dengan sayuran?”Setelah menyentuh dua puluh menit, Teera menghembuskan nafas, menyerah.Sepertinya aku terlalu memaksa dia, akan kulihat apakah dia pingsan atau sejenisnya. Gumam Teera.Namun, baru beberapa langkah, Riku datang, dan ya – wajahnya seperti mau mati mencoba menelan banyak sekali sayuran.“Ayo latihan, huekk.” Ucapnya menahan mual.Teera yang melihatnya hanya tertawa ringan.“Telan dulu semua itu, baru kita latihan.”Riku dengan mata yang sudah basah dan keringat dinginnya, langsung menelan semua sayuran hijau itu, huekkk.Selepas membasuh wajah, ia kembali datang ke Teera dan sudah siap untuk latihan. Namun, tidak butuh waktu lama ia menyadari bahwa tidak ada Rengga.“Hei Teera. Dimana kakekmu? Bukanny
“Apa kalian lihat seorang bocah disini?” tanya Morgan. Para pemburu terdiam dengan rasa takut. Mereka sadar siapa yang berdiri di hadapan mereka. Kapten dari Pasukan Kerajaan, terlebih seorang kapten dari pasukan pertama. “Apa yang dilakukan seorang Pasukan Kerajaan di hutan Yooru?” Morgan berjalan maju. Sedangkan, para pemburu mempersiapkan diri, menjaga jarak. “Aku tadi merasakan bocah itu disini. Dimana dia?” Morgan terus mendekat. Diambilnya pemantik api, ia nyalakan api itu. Dengan cepat itu membuat tekanan panas dengan api itu. Morgan mencoba menfokuskan dirinya, perluasan tekanan itu menjadi radar, namun – “Mati kau!! Hahaha!!!” Seseorang meloncat dari kegelapan, mencoba menerjang Morgan dengan sebilah pedang yang dihunuskan kepadanya. Wajahnya – sudah siap membunuh. Morgan dengan cepat membakar sekelilingnya dengan api. Api besar nampak membara mengelilinginya. Orang tadi langsung menghindar. Api Morgan terasa begitu panas, bahkan sebelum orang itu menyentuhnya. “Cih
Pertandingan sudah dimulai. Pertandingan yang dibuat sepihak oleh Riku guna membuat Morgan menyadari kehebatannya.Morgan sendiri hanya mengikuti keinginan Riku.Mungkin tidak apa jika aku ikut permainannya – pikirnya, ini permainan baginya, liburan di masa senggangnya.Morgan sendiri baru saja selesai mendapat buruannya.“Aku rasa ini sudah cukup.” Ucapnya, sedang di hadapannya terdapat seekor Bison yang sudah terkapar.“Semoga ini tidak terlalu berat.” Ia pun berjalan pulang. Diangkatnya bison di pundak.Di tengah perjalanan, Morgan hanya memenuhi kepalanya dengan banyak hal.“Dia begitu menyayangi ayahnya. Kini, ia terbebani dengan betapa kuatnya ia, dan kekecewaan dalam hatinya terhadap apa yang dilakukan Kuri padanya – meninggalkannya.” Perkataan Yuo sebelumnya terlintas.Dan jauh sebelum itu –“Aku serahkan anak itu padamu.”“Anak itu? Siapa dia?!”“Anakku, Riku namanya.”Kenangan lain, ikut terlintas. Morgan hanya tersenyum dalam diamnya.“Bodohnya aku menerima tugas yang merep
“Bagaimana dengan pertandingan!? Aku akan mengalahkanmu, dan menutup mulutmu itu.”Morgan pun berdiri, dan menatap Riku tajam, lalu ia tersenyum.“Baiklah, aku terima. Apa tantangannya?”“Mudah saja, akan ku jelaskan di luar.”*****Riku dan Morgan pun berjalan ke luar rumah, Yuo memperingatkan Morgan.“Jangan dibawa terlalu serius, Morgan. Dia masih anak-anak.” Jelas Yuo.Morgan mendengarnya dan tertawa kecil.“Kau tahu, kakek. Sebagai orang yang terlihat kasar kepada Riku, rupanya kau begitu memperhatikannya.”Kali ini Yuo yang tertawa cukup keras mendengar ucapan Morgan.“Ya, bisa kau sebut itu sebagai naluri orang tua.”“Tenang saja. Aku hanya akan mengajarkan dia apa yang diajarkan kapten kepadaku.” Jelas Morgan.Sesampainya di depan rumah.“Kita akan berburu. Siapa yang membawa buruan terbaik, dia pemenangnya.” Ucap Riku.“Kau yakin malam ini? Bukankah banyak hewan buas yang keluar pada malam hari?”Riku memandangnya dengan tatapan menghina.“Jadi, kau takut?”Demi menghadapi ta
Sementara itu, Riku dan Teera.“Baik. Em…kita mulai dari mana dahulu ya?” tanya Teera.“Kau sendiri yang bilang kalau kau hebat dalam berdiskusi!? Jangan tanya aku.”“Oke, sebentar.”Teera berpikir sejenak.“Oke. Pertama, apa yang diinginkan kerajaan dari dirimu?” tanya Teera.“Em….”“Entahlah Teera, aku pun tidak tahu.” Jelas Riku.“Tidak mungkin tidak ada sesuatu yang penting darimu, yang sampai membuat pasukan kerajaan menyerang.” Tegas Teera, Riku pun hanya menganggukkan kepala.“Kau benar. Bahkan sampai kakek berusaha begitu keras untuk menolongku.” Ucapnya sedih, ia masih memikirkan kakeknya.“Apapun hal itu. Aku yakin kakekmu tahu sesuatu, begitu pula dengan Morgan.”Riku terlihat memadatkan kepalan tangannya, wajahnya mengkerut penuh amarah.“Morgan…” uc
“Bicaralah.” Tegas teman Rengga. “Aku tidak bertanggungjawab jika tubuhmu hancur setelah ini.” Rengga merendahkan tubuhnya, mendekatkan dirinya kepada sosok tersebut. Dengan pukulan yang cukup keras, rupanya sosok tersebut masih sadar, namun nampak terduduk kesakitan dan tidak mampu berdiri. Semakin dekat Rengga memastikan, yang ia lihat hanya sebuah senyum tipis dari sosok tersebut. “Siapa kau? Bicaralah.” Tegas Rengga. Sosok tersebut hanya mengangkat kedua tangannya, dan memperlihatkan seyumnya kepada mereka berdua. Teman Rengga yang tidak suka melihat wajah itu, langsung bergerak menghantamnya. “Tunggu!” teriak Rengga, namun telat. “15 kali.” Pukulan itu pun melesat bebas menghantam sosok tersebut, bumm. Tepat setelah pukulan tersebut kembali diangkat, tidak ada siapapun disana. Kepala Rengga dan temannya seketika terasa begitu pusing, penuh getaran, seperti diputar secara paksa. Hal itu terjadi dalam sekejap saja, setelah itu hilang. “Memang kekuatan yang mengerikan.” R
Lima belas menit berlalu semenjak Rengga pergi. Teera masih melakukan pemanasan, tubuhnya sudah dibanjiri keringat, namun belum ada tanda Riku sudah menyelesaikan makannya.“Kemana Riku? Padahal hanya makan sayuran, kenapa dia bisa selama ini.”“Apa dia memang selemah ini dengan sayuran?”Setelah menyentuh dua puluh menit, Teera menghembuskan nafas, menyerah.Sepertinya aku terlalu memaksa dia, akan kulihat apakah dia pingsan atau sejenisnya. Gumam Teera.Namun, baru beberapa langkah, Riku datang, dan ya – wajahnya seperti mau mati mencoba menelan banyak sekali sayuran.“Ayo latihan, huekk.” Ucapnya menahan mual.Teera yang melihatnya hanya tertawa ringan.“Telan dulu semua itu, baru kita latihan.”Riku dengan mata yang sudah basah dan keringat dinginnya, langsung menelan semua sayuran hijau itu, huekkk.Selepas membasuh wajah, ia kembali datang ke Teera dan sudah siap untuk latihan. Namun, tidak butuh waktu lama ia menyadari bahwa tidak ada Rengga.“Hei Teera. Dimana kakekmu? Bukanny
“Aku pulang.” Ucap orang tersebut seraya masuk ke dalam rumah. Dari jauh, seorang anak kecil berlari cepat menuju arah dari suara itu.“Ayah!” teriaknya yang disambut oleh pelukan ayahnya.“Kamu sudah pulang. Bagaimana tugasmu tadi?” tanya seseorang yang kemudian Nampak datang dari arah dapur, itu istrinya.“Ya cukup aman, Mareta.”“Hanya membereskan sedikit cecunguk yang berteriak Revolusi. Hehe.” Anak kecil itu mendengarkan dengan seksama, walau tidak paham di umurnya yang masih tiga tahun itu, namun melihat bagaimana sang ayah tertawa dan bercerita adalah hal yang keren.“Bagus lah kalau seperti itu, sayangku.” Namun setelahnya sang ayah menundukan kepalanya. Mareta terdiam, ia tahu ada sesuatu yang mengganggunya.“Ada apa sayangku?”Sang ayah menatap Mareta. “Aku rasa, pelakunya masih orang yang sama.”Mareta hanya terdi
“Morgan, kau yakin dengan ini?” orang itu bukan karena tidak percaya, hanya saja, hal ini begitu beresiko, terlebih bagi Morgan. “Ya, aku sangat yakin.” Tidak perlu ada lagi keraguan, hal seperti itu hanya akan menghalangi apapun. Selama kau memiliki rencana,mempertimbangkan semuanya, bahkan sampai kepada keadaan terburuk, maka tidak aan ada masalah, dan lagi, selama kau tidak bermain dengan emosi di dalamnya. “Apa kau ragu?” Morgan bertanya. Orang itu menggeleng. “Tidak.” “Hanya saja, aku berharap kita bisa saling berbagi kesulitan dalam hal ini.” “Karena aku juga bagian dari rencana ini.” Morgan tidak menggubris pernyataan temannya itu. “Maaf, aku tidak bisa.” Orang yang bersamanya nampak heran. “Apa sesulit itu hanya untuk berbagi?” Morgan tersenyum kecil. “Bukan masalah itu.” Morgan menunduk. “Aku hanya tidak ingin menyusahkan siapapun lagi.” “Hanya itu.”  
Morgan beserta pasukan kerajaan kembali, Yuo ikut bersama mereka. Tubuhnya diikat kuat, dan itu bukanlah pengikat sembarangan, melainkan alat khusus yang dapat menahan kekuatan sihir dari jimat.Setelah sampai di kerajaan, mereka berjalan sedikit lebih jauh, bergerak ke bagian terburuk di dalam kerajaan ini, penjara kesengsaraan. Yuo pun dilempar dan ditempatkan di sel tersendiri, sebab mereka tahu seberbahaya apa Yuo jika tidak ditekan sekeras ini.“Jadi, inikah penjara kesengsaraan? Tidak begitu buruk.”Yuo hanya diam memperhatikan, masalah seperti ini? Hanya masalah sepele bagi kakek tua ini.“Kau akan tahu setelah ini, kakek tua.”“Atau aku harus membunuhmu sekarang?”Moreey hendak mencabut pedangnya.“Moreey! Tahan dirimu.”Morgan baru sampai, dia baru saja menyampaikan hasil penyerangan ini kepada perdana menteri.Moreey kembali memasukkan pedangnya dan tertundu