Glagah dan Diara sedang menikmati bulan madu mereka di Madla, Norwegia, tempat di mana mereka mengakui perasaan mereka masing-masing. Tempat di mana mereka menyatukan hati dalam kemelut yang melibatkan mereka. Bulan madu ini hadiah dari Bintang dan akomodasi di tanggung oleh Laut. Dua orang yang telah bersama mereka belakangan ini karena kemelut yang terjadi.
“Aku tak menyangka kita akan kembali ke sini,” kata Diara saat mereka berada di restoran yang menjadi saksi pertautan hati mereka berdua.
“Aku lebih tak menyangka kamu menjadi istriku sekarang,” balas Glagah membuat Diara cemberut.
“Kenapa? Apa kamu tidak berencana untuk memperistriku?” omel Diara membuat Glagah tertawa.
“Jangan tertawa!” sergah Diara
“Maafkan. Aku tak tahan untuk tidak menggodamu, reaksimu selalu membuatku terhibur,” kata Glagah seraya memegang tangan Diara.
“Gombal.” Diara masih memasang wajah kesal.
Ponsel Glagah berbunyi membuyarkan romansa mereka. Ada sebuah email masuk.
Kalian harus pulang. Aku tak bisa mengatakannya di sini. Akan tetapi ini keadaan gawat. Aku sertakan tiket pesawat untuk besok siang. Ini tentang keluarga kita.
Laut yang mengirim email tersebut. Membuat Glagah dan Diara saling berpandangan tak mengerti. Mereka hanya paham harus segera pulang, Laut orang yang serius .
Mereka menyantap makanan mereka dengan tergesa. Malam ini harus kembali ke Tananger dan besok pagi langsung ke Oslo untuk kembali ke Indonesia. Perasaan campur aduk karena kabar apa yang coba Laut katakan membuat mereka berdiam sepanjang waktu.
Setibanya di rumah Tananger, mereka mengemas barang bawaan yang kemarin baru mereka keluarkan dari koper.
“Kira-kira apa yang terjadi?” tanya Diara seraya memasukkan semua baju mereka.
“Aku juga penasaran. Apakah kita telepon saja Ayah?” usul Glagah disambut anggukkan Diara.
Nada sambung saluran telepon terdengar saat Glagah mencoba menghubungi Darma, Ayahnya. Tidak diangkat. Sekian menit Glagah mencoba kembali, hasilnya sama.
“Sepertinya Laut menyuruh mereka untuk tidak menjawab agar kita tidak kepikiran,” kata Diara.
“Benar, mungkin memang lebih baik kita bersabar sampai kembali ke Jakarta,” ucap Glagah.
“Apa yang terjadi, semoga bukan hal yang buruk,” kata Diara menenangkan.
Glagah menghela napasnya. Pikirannya juga berharap seperti itu, akan tetapi nuraninya berkata lain. Laut tidak pernah memberikan perintah kalau itu tidak penting. Pengalaman bekerja sama dengan Laut dan pertautan darah mereka mengasah instingnya lebih peka satu sama lain.
Mereka akhirnya tertidur setelah menyetel alarm jam tiga pagi karena mereka harus ke Stavanger Lutfhavn agar tidak ketinggalan pesawat ke Oslo. Tiket yang dikirim Laut sangat mendadak.
Sementara itu di Jakarta Laut sedang mondar-mandir di lorong rumah sakit. Darma dan Sari duduk termenung di kursi ruang tunggu kamar operasi.
“Duduklah Le, kamu nanti capek,” tegur Darma.
“Aku akan lebih gelisah jika duduk, Paman,” jawab Laut.
“Ayo, duduklah.” Sari berdiri dan memegang pundak Laut untuk menenangkan.
“Polisi sedang mengusut kejadian ini Bi, aku berharap lusa sudah ada titik terang. Pelaku memanfaatkan kondisi pasar yang ramai dan tidak ada CCTV.” Laut menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Iya Le, kita harap segera terungkap. Ini bukan salahmu kalau Nenek mengalami kejadian seperti ini. Dengan terungkapnya anonimitas beliau sebagai Prana Jiwo memang membuka peluang bagi orang yang mendendam kepada kita untuk bertindak jahat,” kata Darma dengan nada menenangkan.
Laut mengangguk. Tetapi tetap saja perasaan bersalah menghantuinya. Seharusnya dia melakukan penjagaan meskipun Neneknya akan menolak.
“Jangan merasa bersalah,” kata Sari terus mengelus punggung Laut lembut untuk menenangkan keponakannya itu.
Glagah dan Diara sudah mendarat di Jakarta setelah perjalanan panjang. Anak buah Laut sudah menunggu mereka dan membawa mereka langsung ke rumah sakit.
“Kenapa ke sini Mas? Siapa yang sakit?” berondong Glagah.
“Nanti Mas Laut yang menjelaskan Mas. Saya tidak boleh mengatakan apa pun,” kata sopir itu.
Glagah dan Diara berpandangan tak mengerti dan berharap tidak ada yang sedang sakit atau apa.
Laut menunggu mereka di lobi rumah sakit. Dia sedang berbincang dengan Bintang. Dengan raut wajah yang serius. Glagah dan Diara menghampiri mereka. Sopir itu membawa semua barang mereka pulang.
“Ada apa?” tanya Glagah begitu mereka sampai di depan Laut dan Bintang.
“Kita akan berbicara di dalam,” jawab Laut semakin membuat Glagah penasaran.
“Aku akan kembali ke kantor. Nanti aku akan menghubungi kalian,” kata Bintang seraya menepuk pundak Glagah lembut.
“Maaf kami harus menyela bulan madumu,” kata Bintang pada Diara.
“Tidak apa-apa Mas. Aku sekarang lebih khawatir, ada apa sebenarnya?” tanya Diara.
“Laut yang akan menjelaskan, karena ini bukan wewenangku,” kata Bintang sambil berlalu meninggalkan mereka.
Laut kemudian mengajak Glagah dan Diara menuju ruang VVIP.
“Ada apa? Siapa yang sakit? Ayah? Ibu? Nenek?” cecar Glagah membuat Laut jengah.
Dia tak menjawab, membuat Glagah kesal. Tetapi Diara menenangkannya.
Begitu memasuki kamar maka Glagah dan Diara melihatnya. Ratih terbaring dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Darma dan Sari segera menghampiri mereka berdua dan memeluknya bergantian.
“Ada apa ini?” tanya Glagah menuntut penjelasan.
“Ayo duduk sini, Ibu yang akan menjelaskan pada kalian. Laut, kalau kamu masih ada kerjaan, pergilah. Perkembangan Nenek akan aku informasikan. Lalu cari tahu perkembangan di kantor polisi,” kata Sari membuat Laut paham dan meninggalkan ruangan.
“Kantor polisi? Ada apa?” Glagah tak sabar.
Diara mengelus punggung Glagah untuk menenangkan.
“Nenek diserang oleh orang tak dikenal saat kita sedang berbelanja di pasar. Pelaku menusuk Nenek dan berhasil kabur. Nenek mengalami perdarahan, saat ini kondisinya masih koma, kemarin ada tindakan operasi untuk menghentikan perdarahannya,” kata Sari membuat Glagah dan Diara luruh.
Keduanya tak bisa menahan tangis.
“Lalu apakah pelakunya sudah tertangkap?” tanya Glagah geram.
“Polisi masih menyelidiki rekaman CCTV di pasar. Kita masih menunggu hasil investigasinya,” kata Sari.
Glagah mengeretakan giginya geram. Siapa yang tega melakukan ini pada Neneknya? Apakah musuh Prana Jiwo?
“Apakah ada kemungkinan pelaku adalah orang yang tak suka dengan Prana Jiwo?” kata Diara membuat Sari mengangguk.
“Kemungkinan itu ada Nduk, kita hanya berharap polisi atau orang Laut bisa menyelidikinya,” kata Sari.
“Bintang juga sudah mengerahkan orangnya untuk mencari kemungkinan lain,” imbuh Darma.
Glagah mengempaskan tubuhnya ke sofa, mencoba menahan diri untuk tak berteriak tak terima.
Diara merangkulnya, tahu apa yang dirasakan Glagah.
“Kita berdoa semoga Nenek selamat ya,” bisik Diara menenangkan.
Tangan Ratih bergerak, matanya terbuka pelan, dia berada di ruang asing, kepalanya menoleh dan melihat Darma sedang menundukkan wajahnya.
“Le.” Ratih susah payah bersuara.
Darma seketika mendongak, dan gegas mendapati Ratih.
“Ibu,” kata Darma membuat Ratih mengerjapkan matanya.
Glagah seketika berlari keluar untuk mencari dokter.
Diara dan Sari segera mendekati ranjang Ratih. Diara menyusut air matanya, Sari mengelus tangan Ratih dan berusaha tak menangis.
“Le, jangan menangis, semuanya terjadi karena ada sebabnya. Aku ingin bertemu Laut dan Glagah,” kata Ratih melihat semuanya menangis.Diara segera meraih ponselnya dan menghubungi Laut. Glagah kembali bersama dokter dan memeriksa Ratih. Glagah tak melepaskan lagi tangannya dari tangan Ratih.“Mas Laut, Nenek ingin bertemu,” kata Diara setelah teleponnya tersambung.“Baik Mas, kita tunggu.” Diara menutup sambungan dan bergabung di dekat ranjang.“Kondisinya sudah stabil, tetapi kita masih harus mengawasinya. Perdarahan sudah terhenti, tetapi karena lukanya dalam, jadi kemungkinan komplikasi dari operasi juga masih ada,” jelas dokter membuat mereka lega sekaligus waspada.“Terima kasih Dokter,” kata Darma membuat dokter mengangguk dan berlalu.“Nenek, Glagah di sini, harus bertahan ya,” kata Glagah seraya menciumi tangan Ratih.“Kamu ini,” kata Ratih sam
Pemakaman Ratih Prana Jiwo berlangsung khidmat, tak banyak undangan, karena Laut sangat mengantisipasi keadaan.Semua anggota keluarga bahkan belum tahu tentang karangan bunga ganjil itu.Mereka kini berkumpul di ruang tengah, membicarakan langkah selanjutnya, karena kasus ini masih dalam penyelidikan.“Paman, Bibi, sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini sekarang. Akan tetapi, aku rasa, semua harus tahu akan hal ini.” Kata Laut membuka percakapan.“Apa maksudmu?” tanya Glagah.“Ayo ikut aku.” Laut beranjak menuju gudang di sebelah rumah.Karangan bunga anggrek hitam dan mawar merah itu mulai terlihat layu, tapi tulisan jawa itu masih terbaca.Sari menutup mulutnya. Glagah tampak geram. Darma menghela napasnya berat. Sementara Diara, kebingungan dengan reaksi semua orang, dia tak bisa membaca aksara jawa itu. Tapi, melihat semua orang tampak tak suka, membuat Diara berpikir, pasti tulisan itu mengan
Glagah terbangun saat matahari menyusup dari balik tirai. Dia melihat Diara masih terlelap. Dengan pelan, dia beranjak bangun dan segera mengambil laptopnya. Semalam ada notifikasi email masuk dengan prioritas tinggi.Selamat malam,Ini file dari hasil audit PT. Daya Cipta, ada beberapa catatan merah yang perlu digaris bawahi. Tolong di kroscek.Hormat saya,SastraSebuah file disertakan dan Glagah harus membukanya.Sastra adalah salah satu tim auditor anonim Prana Jiwo, dan keakuratannya tidak perlu lagi diragukan.Glagah mengetahuinya dari Laut yang selalu mengandalkan Sastra untuk audit perusahaan besar. Glagah mengikuti instingnya sebagai Prana Jiwo yang selalu berpikir kritis, penuh perhitungan dan jangka panjang.“Apakah ada hal penting? Sehingga kamu tak membangunkanku?” tanya Diara seraya memeluk Glagah dari belakang.“Hm .... Ada lapor
Bintang memasuki ruangan di mana Laut, Glagah dan Diara menunggu.“Maaf, lama menunggu. Ada klien yang insist, dan menyebalkan,” keluh Bintang seraya duduk di kursi.“Mas Bintang bisa kesal juga?” tanya Diara menggoda.“Menurutmu?” Bintang melayangkan pandang sinis, membuat Diara terkekeh.“Besok, aku akan memberimu banyak pekerjaan,” ancam Bintang membuat Glagah tertawa, Diara mati kutu kini.“Belum ada perkembangan apa pun tentang kasus Nenek,” desah Laut membuat ketiga orang itu menoleh padanya.“CCTV pasar tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bibi bahkan tak melihat pelakunya karena ramainya orang di pasar saat itu,” lanjut Laut membuat Glagah mendesah.“Sepertinya, orang ini mempunyai dendam tersendiri kepada kalian, apalagi dengan karangan bunga yang kamu perlihatkan kemarin,” kata Bintang.“Benar, dia bahkan membisikkan kata &lsqu
Selang berapa lama setelah Bintang dan Diara pergi, seseorang mengunjungi Gita. Sepertinya mereka berselisih waktu hingga tak saling bertemu.“Nona Gita, masih betahkah dirimu di sini?” tanyanya, membuat Gita mengerutkan dahinya. Dia tak mengenal orang ini.“Siapa Anda?” tanya Gita mencoba bersopan santun.“Tak perlu kamu tahu siapa aku, di sini kutawarkan sesuatu untukmu. Aku, bisa mengeluarkanmu dari sini, tanpa syarat.” Orang itu tersenyum pada Gita yang kebingungan.“Tanpa syarat? Untuk kepentingan apa?” selidik Gita tak percaya.“Bagus. Ternyata sedikit darah Prana Jiwomu masih aktif.” Orang itu terkekeh, semakin membuat Gita penasaran.“Aku akan mengeluarkanmu, tanpa syarat. Aku menjamin itu. Aku hanya tak ingin melihatmu menderita sendirian dalam kegelapan. Pikirkan. Aku akan kembali untuk beberapa hari lagi,” kata orang itu, kemudian berpamitan pada Gita yang mas
Seseorang sedang menyesap kopinya dalam-dalam. Pertemuannya dengan Gita hari ini sedikit menemui masalah. Gita sedikit sulit untuk diyakinkan.“Apa aku harus terang-terangan mengatakan, bahwa aku adalah adiknya?” Dia menatap lekat pemandangan di depan kafe itu.“Tapi bila aku mengatakannya sekarang, dia mungkin tak menyukaiku,” gumamnya.Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan gelisah. Kepercayaan dirinya sirna. Menguap. Dunia tak semulus yang dibayangkannya.Kemudian dia menghubungi seseorang.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanyanya begitu sambungan telepon direspons seseorang.“Kita harus merunduk. Jangan tergesa. Lakukan sesuai dengan rencana.” Kata-kata orang di seberang sana membuatnya bertambah gundah.Dia semakin tak tahu harus bagaimana, dendamnya yang membara ingin segera dituntaskan, tapi seseorang malah membuatnya harus menahan diri.Dia bukan orang yang
Diara menerima pesan Glagah untuk langsung ke rumah aman.“Ada apa Di?” tanya Bintang melihat Diara mengernyitkan dahinya.“Ehm ... ini kata Glagah kita mau pindah ke rumah aman lagi.” Diara menunjukkan layar ponselnya.“Itu pasti ulah Laut. Aku juga mau ke sana saja, biar rame.” Bintang kemudian mengingat saat mereka sama-sama menghuni rumah aman.“Mas Bintang kan harus nemenin Pak Hardjo,” sergah Diara.“Papa tidak butuh temen, dia sudah banyak temen di rumah,” kata Bintang.“Kita pulang bareng, besok kita langsung ke lembaga pemasyarakatan,” kata Bintang membuat Diara mengangguk lesu.“Kamu gak suka pulang bareng aku?” goda Bintang.“Ih Mas Bintang, bukan gitu. Memangnya Mas Laut kenapa sih menyuruhku dan Glagah untuk tinggal di rumah aman lagi? Kan kasihan Ayah sama Ibu di rumah sendirian,” omel Diara seraya mengikuti langkah pan
Diara terbangun dan mendapati Glagah tak ada di sampingnya, tapi bau harum makanan yang menguar membuat Diara sadar kalau Glagah sedang memasak. Membuatnya menghela nafas lega. Pikiran buruknya kadang membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Mengingat hari ini dia harus menemani Bintang ke lembaga pemasyarakatan, membuatnya bangkit dan ke kamar mandi dengan segera.Sementara Glagah sibuk menyiapkan sarapan. Anton membantunya, walau lebih banyak merepotkan sebenarnya.Nasi goreng ikan jambal tersedia pagi itu untuk sarapan. Laut dan Bintang yang sudah rapi berjajar di meja makan.“Diara mana?” tanya Bintang saat tak melihat Diara.“Mungkin sedang bersiap, Mas,” jawab Glagah seraya membagikan nasi ke goreng ke piring masing-masing.“Aku di sini,” kata Diara dengan tergesa menduduki kursinya.“Cepat di makan, Mas Bintang sepertinya sedang terburu-buru,” bisik Glagah membuat Diara menatap Bintang.
Diara, Bintang, Laut berkumpul di apartemen Anton. Menunggu Glagah kembali dari kantor polisi.Sementara di televisi, media sudah memberitahukan soal penangkapan Randu sebagai pembunuh Ratih Prana Jiwo. Keberadaan Glagah di kantor polisi bahkan tersorot kamera dan memperkuat opini publik tentang hal itu.“Pelaku penusukan Ratih Prana Jiwo ditengarai sudah ditangkap. Seorang wanita muda yang belum diketahui secara detail identitasnya. Beberapa orang juga ikut ditangkap, dan sepertinya hanya sebagai saksi. Bahkan Glagah sendiri yang menangani kasus ini.” Penjelasan pembawa berita itu membuat mereka bertiga saling pandang lalu tersenyum bersamaan.“Suamiku terlihat tampan di televisi.” Diara membanggakan wajah Glagah yang terlihat di sana.Bintang dan Laut seketika mencibir ke arahnya lalu tertawa. “Besok, Ayah dan Ibu ingin berziarah ke makam Nenek. Mas Laut mau ikut?” tanya Diara.“Aku masih harus mengurusi bebe
Gita terkejut dengan keakraban Rana dan Laut.“Paman dalam keadaan sehat saja aku sudah tenang. Aku kira Paman sudah pulang ke kampung, karena tak pernah memberiku kabar.” Laut menepuk pundak Rana.“Aku harus menjaga agar rumah itu tak jatuh ke tangan yang salah,” jawab Rana membuat Laut menganggukkan kepalanya.“Ini, bukti dari kejahatan Randu. Aku memungutnya saat dia membuangnya ke tempat sampah di rumah setelah kejadian itu,” kata Rana.“Dia tidak begitu pintar.” Gita menambahkan informasi yang membuat Laut paham.“Maafkan aku telah membiarkan dia sampai sejauh ini. Kedatangan Non Gita sudah memberiku kekuatan untuk menemuimu,” kata Rana lirih.Selama ini dia berusaha untuk mengekang Randu, terlebih setelah wanita itu pulang ke rumah. Tapi, semua perkataannya tak pernah didengar. Laut menerima pisau yang berada di dalam kantong plastik itu. Bersih.“Dia sudah membersihkanny
[Besok datang dan bawa buktinya ke Heritage]Rana membaca pesan dari nomor asing. Tapi dia menyimpulkan ini Laut, karena Gita sudah menghubungi Laut tadi.Dengan langkah mengendap, Rana menuju kamar Gita. Memastikan Randu tak melihatnya. Dia mengetuk pintu kamar Gita perlahan. Saat Gita membuka sedikit celahnya, Rana mengulurkan ponsel dan menutup pintu. Kembali ke kamarnya.Gita membaca pesan itu, dan mengerti apa yang harus dilakukan. Dia menatap jendela dan langit malam tertangkap oleh matanya. Menatap bulan yang mengantung di sana. Ingatannya melayang kepada Bulan, adik yang dia bunuh dengan tangannya sendiri. Hanya sebuah ambisi. Menuruti keinginan orang yang bahkan tak peduli tentang orang lain.Randu masih tak bisa memejamkan matanya. Dia duduk di tepi ranjangnya. Rencananya tak mengarah ke mana pun, yang menandakan ini akan berhasil. Satu per satu orang yang dia harap bisa menjembatani keinginannya sudah pergi.Keinginannya untuk membantu Daya Cipta
Laut menatap tajam Frasa yang menunduk di depannya. Tak percaya wanita itu sudah membuatnya kelimpungan. Tidak terlihat kalau dia mempunyai kemampuan yang mumpuni. Kecil, tak terawat, walau jelas terlihat gurat kecantikan di sana. Seperti gelandangan yang tak punya rumah.“Siapa yang menyuruhmu?’ Tanpa basa-basi Laut langsung menanyakan hal itu.Frasa terlihat gelisah, jika dia menyebut nama Randu, dia tak tahu apakah Laut akan mengenal wanita itu atau tidak.“Randu, dia yang menyuruhku, karena aku mempunyai hutang budi dengan Ibu angkat dari wanita itu,” kata Frasa pada akhirnya.“Randu?” Laut langsung teringat dengan rumah masa kecilnya yang sudah beralih tangan atas nama Randu.“Bagaimana rupa orang itu?” selidik Laut.“Dia tak lebih tinggi dari aku, berwajah lonjong dan mempunyai mata bulat yang khas,” papar Frasa mencoba mengingat rupa Randu yang hanya ditemuinya sesekali.Kriterianya
“Jebak dia,” kata Laut di ponselnya setelah Glagah membuat harinya bertambah pusing.“Bagaimana? Anton harus menemuinya dan mengonfrontasinya?” tanya Glagah di seberang sana.“Ya, lakukan saja dan buat dia mengaku. Kita harus tahu intensi dia yang sebenarnya,” papar Laut Glagah mengerti, dia mematikan ponsel dan menatap Anton yang masih kebingungan di depan layar.“Temui dia, kita akan mengonfrontasinya,” kata Glagah.Anton menghela napasnya berat dan mengangguk mengerti.Temui aku di kafe dekat kampus.Anton membalas email Frasa singkat. Kemudian dia berdiri, bersiap untuk pergi.“Aku akan mengantarmu, tenang saja, aku tidak akan memperlihatkan diri sebelum waktunya,” kata Glagah.Anton sebenarnya enggan, karena ini akan membuatnya dalam kesulitan. Tapi jika dia tak menuruti keinginan Laut, maka dia melakukan wanprestasi akan kontrak kerja mereka.Glagah mematikan laptopny
Anton sedang mengunyah ayam kare yang Glagah masak saat layar monitornya memberikan tanda ada penyusup. Tangannya secepat kilat meletakkan piring di meja dan menyambar keyboard komputernya untuk membentuk firewall agar penyusup itu tak bisa masuk ke sistemnya.“Ada apa?” tanya Glagah melihat Anton membiarkan makanannya tergelatak di meja.“Sepertinya Frasa mulai beraksi,” desis Anton tanpa mengalihkan wajahnya dari monitor.Glagah pusing melihat kecepatan tangan Anton bermain di keyboard dan menggerakkan tetikus itu.“Sepagi ini sudah melancarkan serangan,” gumam Glagah membuka laptopnya dan melihat email yang masuk untuk Prana Jiwo.Diara keluar dari kamar dan menghampiri Glagah dan mencium kening suaminya itu. “Aku berangkat dulu. Mas Bintang sedang sensitif. Suka mengomel,” kata Diara sambil tersenyum usil.“Anton, selamat pagi,” sapa Diara sambil berlalu.“Ya, Di,” ba
Wira berjalan mondar-mandir, sementara Sangka duduk dengan enggan di kursinya. Kekuatan mereka seperti meluruh.Ponsel Sangka berbunyi, membuyarkan keheningan mereka. Gama. Nama laki-laki itu membuat Sangka mendesah.“Di mana?” tanya Gama tanpa berbasa-basi.“Aku sedang di Jakarta, di Heritage,” jawab Sangka lesu. Sedang tak ingin berbicara panjang lebar.“Tunggu aku sepuluh menit lagi,” jawab Gama membuat Sangka tersentak.“Mau apa?” tanya Sangka seraya menegakkan badannya.“Menyelesaikan masalahmu,” kata Gama menutup saluran. Tinggal Sangka masih bingung memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Gama.“Siapa?” tanya Wira.“Gama,” jawab Sangka.“Ada masalah yang lebih besar daripada pacarmu itu!” geram Wira.Kepalanya sudah pusing dengan kenyataan bahwa mereka berada di ambang kebangkrutan.“Dia bilang akan membantu kita,&r
Suara ketukan pintu membuat Diara beranjak dari balik meja. Setelah membuka pintu kayu berat itu, sepasang laki-laki dan wanita berdiri di depannya, dengan tatapan mengintimidasi.“Saya Sangka dari PT. Daya Cipta, ini Wira, Paman saya.” Wanita itu mengenalkan dirinya. Diara paham dan mempersilakan keduanya masuk. Mata Wira menyapu ruangan dan tak menemukan baik Laut maupun Bintang. Hanya dua wanita, Diara dan Amira.“Silakan duduk. Perkenalkan, saya Diara, sekretaris Bintang Sriwedari, dia Amira, sekretaris Laut Prawirahardja. Mereka berdua akan datang sebentar lagi,” kata Diara memahami raut wajah sangsi dari Wira.Sangka menghela napasnya berat. Melirik jam tangannya, memang mereka berdua datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. “Apa yang akan kita lakukan dengan mereka?” tanya Bintang menatap Laut yang menyetir dengan tenang.“Kita lihat saja dahulu, apa yang mereka tawarkan dan inginkan. Aku tidak ta
Sangka sedang berada di kantor. Persiapan untuk berangkat ke Jakarta sudah siap. Mereka harus segera melobi Prawirahardja untuk mendapatkan dana segar. Wira sudah memaksa.“Paman, apakah ini akan berhasil?” tanya Sangka saat Wira masuk ke ruangannya. “Harus berhasil. Kalau tidak, kita harus bagaimana? Maka semua akan berakhir menjadi sia-sia. Kita akan bangkrut,” kata Wira tak kalah cemas.Dia terlalu menuruti seseorang sehingga kini semuanya dia pertaruhkan.Keduanya berangkat menuju bandara dengan sejuta harap. Misi mereka menyelamatkan diri dari kebangkrutan akan semakin berat. Banyak perusahaan menutup pintu kerja sama, terlebih setelah pengumuman Prana Jiwo atas potensi kebangkrutan mereka.Anton masih berkutat dengan pengambilan data di pertanahan. Sementara layar lain menampilkan data yang kemarin diserang oleh Frasa. Belum ada pergerakan sama sekali dari Frasa hari ini. “Gotcha!” teriak Anton mem