“Le, jangan menangis, semuanya terjadi karena ada sebabnya. Aku ingin bertemu Laut dan Glagah,” kata Ratih melihat semuanya menangis.
Diara segera meraih ponselnya dan menghubungi Laut. Glagah kembali bersama dokter dan memeriksa Ratih. Glagah tak melepaskan lagi tangannya dari tangan Ratih.
“Mas Laut, Nenek ingin bertemu,” kata Diara setelah teleponnya tersambung.
“Baik Mas, kita tunggu.” Diara menutup sambungan dan bergabung di dekat ranjang.
“Kondisinya sudah stabil, tetapi kita masih harus mengawasinya. Perdarahan sudah terhenti, tetapi karena lukanya dalam, jadi kemungkinan komplikasi dari operasi juga masih ada,” jelas dokter membuat mereka lega sekaligus waspada.
“Terima kasih Dokter,” kata Darma membuat dokter mengangguk dan berlalu.
“Nenek, Glagah di sini, harus bertahan ya,” kata Glagah seraya menciumi tangan Ratih.
“Kamu ini,” kata Ratih sambil tersenyum melihat tingkah cucunya itu.
Ketukan pintu membuat mereka menoleh. Laut datang bersama Karya, ayahnya.
“Bu, Laut sudah di sini,” bisik Sari lembut di telinga Ratih.
Ratih mengulas senyumnya saat melihat Karya, mantan menantunya itu.
“Apa kabarmu?” tanya Ratih.
“Saya baik Bu, jangan banyak pikiran biar lekas sembuh,” kata Karya seraya mendekat.
“Laut dan Glagah, Nenek ingin bicara. Dengarkan baik-baik, urip iki sak dermo mampir, ojok dumeh¹. Semuanya akan berakhir bila kematian menjemput. Siapa yang melakukan ini, dia hanya membisikkan kata 'arumdalu’. Siapa pun dia, dia tahu tentang Wita. Apa maksud dan tujuannya, kita tak tahu. Aku tak sempat melihat dia perempuan atau laki-laki.” Ratih menghela napasnya berat, beban berat seolah mengimpit dadanya.
“Sudahlah Nek. Jangan dipikirkan, kita masih punya banyak waktu sampai dia tertangkap,” kata Laut.
Sementara Glagah menepis prasangka bahwa Ratih akan meninggalkannya.
“Waktuku sudah di ujung, apa pun yang terjadi, Prana Jiwo berada di tangan kalian. Lanjutkan apa yang sudah menjadi pedoman keluarga kita,” kata Ratih dengan sedikit tersengal-sengal.
Diara menyusup keluar dan memanggil dokter, karena perasaannya tak enak.
“Aku meminta maaf, atas semua yang kulakukan dan tak berkenan bagi kalian, aku ingin kalian terus sehat untuk melanjutkan hidup.” Mata Ratih mulai memejam, napasnya mulai melambat.
Tangan kanannya yang dipegang Glagah sedari tadi mulai melemas. Glagah tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya menggenggam erat tangan Neneknya itu.
Dokter memasuki ruangan tepat di saat mata Ratih terpejam sempurna. Semuanya tak bisa lagi berkata, larut dalam duka.
Dokter memeriksa keadaan Ratih dan menghela napasnya berat.
“Maaf, Nyonya Ratih sudah berpulang. Maafkan kami tak bisa menyelamatkannya,” kata dokter itu seraya menundukkan kepalanya hormat di hadapan Darma dan Sari.
Glagah tak bisa lagi membendung rasa kehilangannya, dia memeluk tubuh Ratih dan enggan melepasnya. Dia masih tak percaya Neneknya sudah meninggalkannya.
Diara, merangkul Glagah untuk menguatkan. Sari berdiri di sebelah kiri Ratih dan masih mencoba percaya bahwa mertuanya itu sudah meninggalkan mereka. Darma berusaha tegar, sosok yang selalu menjadi panutannya itu sudah pergi, melepas bebannya, meninggalkan tanggung jawab Prana Jiwo kepadanya. Laut dan Karya mematung, menyaksikan kepergian orang yang mereka hormati.
Tanpa perlu waktu lama untuk meratapi kematian, yang sekali lagi mendatangi mereka dalam waktu yang belum terlalu lama, mereka harus segera melakukan penghormatan terakhir.
“Bin, Nenek sudah pergi,” Laut menelepon Bintang untuk mengabari.
Setelah masing-masing meredakan perasaan mereka, maka segera berbenah untuk pemakaman.
Laut sibuk menghubungi beberapa orang untuk menyiapkan rumah.
Berita kematian Ratih Prana Jiwo menarik banyak orang. Sosok wanita tangguh di balik anonim Prana Jiwo itu menarik untuk disimak. Beberapa media bahkan sudah mendapatkan kabar kematiannya dengan cepat. High light mereka saat ini adalah kehilangan terbesar bagi dunia audit di negara ini
Hardjo Sriwedari, pemilik Hardjo Company, bahkan meluangkan waktu untuk memberikan penghormatannya langsung ke rumah sakit, yang kebetulan adalah salah satu anak perusahaan Hardjo Company. Ratih, memiliki banyak kontribusi menyelamatkan Hardjo Company beberapa waktu yang lalu, walau itu dengan cara kehilangan anak perempuannya, Wita.
“Aku turut berduka cita. Saya bahkan belum bisa membalas kebaikan kalian terhadap keluargaku,” kata Hardjo, diikuti oleh Bintang.
“Kami yang berterima kasih, segalanya dipermudah, bahkan soal biaya rumah sakit. Kami sungkan untuk menerimanya,” kata Darma.
“Terimalah, anggap aku membalas budi kepada Prana Jiwo karena menyelamatkan Hardjo di saat kritis.” Hardjo menganggukkan kepalanya takzim.
“Aku sudah mengatur persiapan kepulangan jenazah,” kata Bintang memecah jengah antara mereka.
“Terima kasih Bin,” ucap Laut seraya menepuk pundak Bintang, sahabatnya itu.
“Tak ada yang perlu diterima kasihi. We care each other, right?” Bintang balas menepuk pundak Laut.
Di rumah duka, karangan bunga tanda bela sungkawa mulai berdatangan. Orang-orang Laut sudah menata rumah untuk menyambut kedatangan jenazah Ratih. Pemakaman akan dilakukan esok hari, di pemakaman keluarga, di mana Suryo Sudiro, suami Ratih dimakamkan.
Sebuah karangan bunga datang, dengan Anggrek hitam, dengan tulisan dari bunga mawar merah yang tercetak jelas dalam aksara jawa.
ꦲꦸꦫꦶꦥ꧀ꦩꦸꦠꦼꦏꦤ꧀ꦱꦼꦩꦼꦤꦼ꧈ꦏꦸꦮꦶꦮꦭꦼꦱꦤ꧀ꦠꦼꦏꦲꦤꦏ꧀ꦱꦶꦁꦩ꧀ꦧꦏ꧀ꦭꦫꦤꦶ1
Anak buah Laut yang bisa membaca aksara jawa terkesiap melihat karangan bunga itu.
Karena tak ingin menimbulkan banyak spekulasi dan asumsi, maka karangan bunga itu disendirikan.
“Mas Laut, saya ingin menunjukkan sesuatu,” kata Dani, salah satu orang kepercayaan Laut.
Dani mengajak Laut ke gudang sebelah rumah dan menunjukkan karangan bunga yang ganjil itu.
Seketika Laut menegang.
“Biarkan ini di sini. Jangan katakan pada orang lain.” Laut berpesan seraya berpikir, siapa orang ini.
Kemungkinan besar, pengirim karangan bunga itu adalah orang yang sama dengan yang melakukan penusukan terhadap Ratih.
“Ada apa?” tanya Glagah saat melihat Laut kembali dengan raut muka yang tak bisa dijelaskan.
“Tidak apa-apa.” Laut menyembunyikan dulu tentang karangan bunga itu, agar Glagah tak lepas kendali.
Tamu mulai berdatangan. Karena Laut tak ingin lagi kecolongan, dia memperketat protokol untuk semua tamu.
“Kematian Ratih Prana Jiwo, membuat kita menyadari bahwa hidup manusia itu terbatas. Kematian yang mendadak ini, sama sekali tidak ada informasi kenapa. Pihak keluarga, bahkan rumah sakit sepakat menutup rapat mulut mereka. Jawaban yang kami dapatkan hanya, usia Prana Jiwo generasi ini, sudah waktunya kembali.” Pembawa acara di televisi menarasikan kematian Ratih yang terkesan mendadak itu.
Seseorang memandang televisi dengan senyum tipis.
“Bukan karena sudah waktunya, tapi karena kupaksakan untuk berakhir.” Dia tertawa keras, ruangan yang gelap itu membuat gaung suaranya memantul dan memenuhi ruangan sempit itu.
Dia menyesap kopinya pelan, seraya memikirkan apa yang harus dilakukannya setelah ini. Dia tak boleh tergesa, kalau perlu dia harus merunduk dan masuk ke dalam tanpa diketahui. Dia masih mengingat pesan untuk membalaskan kematian seseorang, dan itu perlu direncanakan dengan matang. Kegagalan demi mendapatkan tujuan utama mereka, harus tercapai kali ini.
Pemakaman Ratih Prana Jiwo berlangsung khidmat, tak banyak undangan, karena Laut sangat mengantisipasi keadaan.Semua anggota keluarga bahkan belum tahu tentang karangan bunga ganjil itu.Mereka kini berkumpul di ruang tengah, membicarakan langkah selanjutnya, karena kasus ini masih dalam penyelidikan.“Paman, Bibi, sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini sekarang. Akan tetapi, aku rasa, semua harus tahu akan hal ini.” Kata Laut membuka percakapan.“Apa maksudmu?” tanya Glagah.“Ayo ikut aku.” Laut beranjak menuju gudang di sebelah rumah.Karangan bunga anggrek hitam dan mawar merah itu mulai terlihat layu, tapi tulisan jawa itu masih terbaca.Sari menutup mulutnya. Glagah tampak geram. Darma menghela napasnya berat. Sementara Diara, kebingungan dengan reaksi semua orang, dia tak bisa membaca aksara jawa itu. Tapi, melihat semua orang tampak tak suka, membuat Diara berpikir, pasti tulisan itu mengan
Glagah terbangun saat matahari menyusup dari balik tirai. Dia melihat Diara masih terlelap. Dengan pelan, dia beranjak bangun dan segera mengambil laptopnya. Semalam ada notifikasi email masuk dengan prioritas tinggi.Selamat malam,Ini file dari hasil audit PT. Daya Cipta, ada beberapa catatan merah yang perlu digaris bawahi. Tolong di kroscek.Hormat saya,SastraSebuah file disertakan dan Glagah harus membukanya.Sastra adalah salah satu tim auditor anonim Prana Jiwo, dan keakuratannya tidak perlu lagi diragukan.Glagah mengetahuinya dari Laut yang selalu mengandalkan Sastra untuk audit perusahaan besar. Glagah mengikuti instingnya sebagai Prana Jiwo yang selalu berpikir kritis, penuh perhitungan dan jangka panjang.“Apakah ada hal penting? Sehingga kamu tak membangunkanku?” tanya Diara seraya memeluk Glagah dari belakang.“Hm .... Ada lapor
Bintang memasuki ruangan di mana Laut, Glagah dan Diara menunggu.“Maaf, lama menunggu. Ada klien yang insist, dan menyebalkan,” keluh Bintang seraya duduk di kursi.“Mas Bintang bisa kesal juga?” tanya Diara menggoda.“Menurutmu?” Bintang melayangkan pandang sinis, membuat Diara terkekeh.“Besok, aku akan memberimu banyak pekerjaan,” ancam Bintang membuat Glagah tertawa, Diara mati kutu kini.“Belum ada perkembangan apa pun tentang kasus Nenek,” desah Laut membuat ketiga orang itu menoleh padanya.“CCTV pasar tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bibi bahkan tak melihat pelakunya karena ramainya orang di pasar saat itu,” lanjut Laut membuat Glagah mendesah.“Sepertinya, orang ini mempunyai dendam tersendiri kepada kalian, apalagi dengan karangan bunga yang kamu perlihatkan kemarin,” kata Bintang.“Benar, dia bahkan membisikkan kata &lsqu
Selang berapa lama setelah Bintang dan Diara pergi, seseorang mengunjungi Gita. Sepertinya mereka berselisih waktu hingga tak saling bertemu.“Nona Gita, masih betahkah dirimu di sini?” tanyanya, membuat Gita mengerutkan dahinya. Dia tak mengenal orang ini.“Siapa Anda?” tanya Gita mencoba bersopan santun.“Tak perlu kamu tahu siapa aku, di sini kutawarkan sesuatu untukmu. Aku, bisa mengeluarkanmu dari sini, tanpa syarat.” Orang itu tersenyum pada Gita yang kebingungan.“Tanpa syarat? Untuk kepentingan apa?” selidik Gita tak percaya.“Bagus. Ternyata sedikit darah Prana Jiwomu masih aktif.” Orang itu terkekeh, semakin membuat Gita penasaran.“Aku akan mengeluarkanmu, tanpa syarat. Aku menjamin itu. Aku hanya tak ingin melihatmu menderita sendirian dalam kegelapan. Pikirkan. Aku akan kembali untuk beberapa hari lagi,” kata orang itu, kemudian berpamitan pada Gita yang mas
Seseorang sedang menyesap kopinya dalam-dalam. Pertemuannya dengan Gita hari ini sedikit menemui masalah. Gita sedikit sulit untuk diyakinkan.“Apa aku harus terang-terangan mengatakan, bahwa aku adalah adiknya?” Dia menatap lekat pemandangan di depan kafe itu.“Tapi bila aku mengatakannya sekarang, dia mungkin tak menyukaiku,” gumamnya.Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan gelisah. Kepercayaan dirinya sirna. Menguap. Dunia tak semulus yang dibayangkannya.Kemudian dia menghubungi seseorang.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanyanya begitu sambungan telepon direspons seseorang.“Kita harus merunduk. Jangan tergesa. Lakukan sesuai dengan rencana.” Kata-kata orang di seberang sana membuatnya bertambah gundah.Dia semakin tak tahu harus bagaimana, dendamnya yang membara ingin segera dituntaskan, tapi seseorang malah membuatnya harus menahan diri.Dia bukan orang yang
Diara menerima pesan Glagah untuk langsung ke rumah aman.“Ada apa Di?” tanya Bintang melihat Diara mengernyitkan dahinya.“Ehm ... ini kata Glagah kita mau pindah ke rumah aman lagi.” Diara menunjukkan layar ponselnya.“Itu pasti ulah Laut. Aku juga mau ke sana saja, biar rame.” Bintang kemudian mengingat saat mereka sama-sama menghuni rumah aman.“Mas Bintang kan harus nemenin Pak Hardjo,” sergah Diara.“Papa tidak butuh temen, dia sudah banyak temen di rumah,” kata Bintang.“Kita pulang bareng, besok kita langsung ke lembaga pemasyarakatan,” kata Bintang membuat Diara mengangguk lesu.“Kamu gak suka pulang bareng aku?” goda Bintang.“Ih Mas Bintang, bukan gitu. Memangnya Mas Laut kenapa sih menyuruhku dan Glagah untuk tinggal di rumah aman lagi? Kan kasihan Ayah sama Ibu di rumah sendirian,” omel Diara seraya mengikuti langkah pan
Diara terbangun dan mendapati Glagah tak ada di sampingnya, tapi bau harum makanan yang menguar membuat Diara sadar kalau Glagah sedang memasak. Membuatnya menghela nafas lega. Pikiran buruknya kadang membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Mengingat hari ini dia harus menemani Bintang ke lembaga pemasyarakatan, membuatnya bangkit dan ke kamar mandi dengan segera.Sementara Glagah sibuk menyiapkan sarapan. Anton membantunya, walau lebih banyak merepotkan sebenarnya.Nasi goreng ikan jambal tersedia pagi itu untuk sarapan. Laut dan Bintang yang sudah rapi berjajar di meja makan.“Diara mana?” tanya Bintang saat tak melihat Diara.“Mungkin sedang bersiap, Mas,” jawab Glagah seraya membagikan nasi ke goreng ke piring masing-masing.“Aku di sini,” kata Diara dengan tergesa menduduki kursinya.“Cepat di makan, Mas Bintang sepertinya sedang terburu-buru,” bisik Glagah membuat Diara menatap Bintang.
Begitu sampai di rumah, Laut bahkan meninggalkannya dan masuk.Glagah dengan tergesa menutup pintu dan mengikuti Laut.“Ada apa Le?” tanya Darma melihat Laut begitu tak sabar.“Apakah, Paman tahu lingkaran pertemanan atau sosialisasi dari Wi--, eh Ibu,” kata Laut tak jadi menyebut Wita karena tatapan tajam Sari.“Kenapa?” tanya Darma penasaran.“Ada seorang perempuan, lebih muda dari Gita, memiliki mata khas bulat, dan dia menjamin kebebasan Gita tanpa penjelasan apa-apa. Aku curiga dia ada hubungannya dengan penusukan Nenek,” papar Laut.“Aku tak pernah lagi berhubungan dengan Wita setelah kejadian dia meninggalkan ayahmu. Dia seolah menghilang ditelan bumi. Apalagi waktu itu Ayah dan Ibu sepakat untuk mengumumkan kematiannya,” kata Darma.“Dia tak mempunyai banyak teman. Bahkan bisa di bilang, Nawang adalah satu-satunya teman dekatnya,” lanjut Darma.&ldq
Diara, Bintang, Laut berkumpul di apartemen Anton. Menunggu Glagah kembali dari kantor polisi.Sementara di televisi, media sudah memberitahukan soal penangkapan Randu sebagai pembunuh Ratih Prana Jiwo. Keberadaan Glagah di kantor polisi bahkan tersorot kamera dan memperkuat opini publik tentang hal itu.“Pelaku penusukan Ratih Prana Jiwo ditengarai sudah ditangkap. Seorang wanita muda yang belum diketahui secara detail identitasnya. Beberapa orang juga ikut ditangkap, dan sepertinya hanya sebagai saksi. Bahkan Glagah sendiri yang menangani kasus ini.” Penjelasan pembawa berita itu membuat mereka bertiga saling pandang lalu tersenyum bersamaan.“Suamiku terlihat tampan di televisi.” Diara membanggakan wajah Glagah yang terlihat di sana.Bintang dan Laut seketika mencibir ke arahnya lalu tertawa. “Besok, Ayah dan Ibu ingin berziarah ke makam Nenek. Mas Laut mau ikut?” tanya Diara.“Aku masih harus mengurusi bebe
Gita terkejut dengan keakraban Rana dan Laut.“Paman dalam keadaan sehat saja aku sudah tenang. Aku kira Paman sudah pulang ke kampung, karena tak pernah memberiku kabar.” Laut menepuk pundak Rana.“Aku harus menjaga agar rumah itu tak jatuh ke tangan yang salah,” jawab Rana membuat Laut menganggukkan kepalanya.“Ini, bukti dari kejahatan Randu. Aku memungutnya saat dia membuangnya ke tempat sampah di rumah setelah kejadian itu,” kata Rana.“Dia tidak begitu pintar.” Gita menambahkan informasi yang membuat Laut paham.“Maafkan aku telah membiarkan dia sampai sejauh ini. Kedatangan Non Gita sudah memberiku kekuatan untuk menemuimu,” kata Rana lirih.Selama ini dia berusaha untuk mengekang Randu, terlebih setelah wanita itu pulang ke rumah. Tapi, semua perkataannya tak pernah didengar. Laut menerima pisau yang berada di dalam kantong plastik itu. Bersih.“Dia sudah membersihkanny
[Besok datang dan bawa buktinya ke Heritage]Rana membaca pesan dari nomor asing. Tapi dia menyimpulkan ini Laut, karena Gita sudah menghubungi Laut tadi.Dengan langkah mengendap, Rana menuju kamar Gita. Memastikan Randu tak melihatnya. Dia mengetuk pintu kamar Gita perlahan. Saat Gita membuka sedikit celahnya, Rana mengulurkan ponsel dan menutup pintu. Kembali ke kamarnya.Gita membaca pesan itu, dan mengerti apa yang harus dilakukan. Dia menatap jendela dan langit malam tertangkap oleh matanya. Menatap bulan yang mengantung di sana. Ingatannya melayang kepada Bulan, adik yang dia bunuh dengan tangannya sendiri. Hanya sebuah ambisi. Menuruti keinginan orang yang bahkan tak peduli tentang orang lain.Randu masih tak bisa memejamkan matanya. Dia duduk di tepi ranjangnya. Rencananya tak mengarah ke mana pun, yang menandakan ini akan berhasil. Satu per satu orang yang dia harap bisa menjembatani keinginannya sudah pergi.Keinginannya untuk membantu Daya Cipta
Laut menatap tajam Frasa yang menunduk di depannya. Tak percaya wanita itu sudah membuatnya kelimpungan. Tidak terlihat kalau dia mempunyai kemampuan yang mumpuni. Kecil, tak terawat, walau jelas terlihat gurat kecantikan di sana. Seperti gelandangan yang tak punya rumah.“Siapa yang menyuruhmu?’ Tanpa basa-basi Laut langsung menanyakan hal itu.Frasa terlihat gelisah, jika dia menyebut nama Randu, dia tak tahu apakah Laut akan mengenal wanita itu atau tidak.“Randu, dia yang menyuruhku, karena aku mempunyai hutang budi dengan Ibu angkat dari wanita itu,” kata Frasa pada akhirnya.“Randu?” Laut langsung teringat dengan rumah masa kecilnya yang sudah beralih tangan atas nama Randu.“Bagaimana rupa orang itu?” selidik Laut.“Dia tak lebih tinggi dari aku, berwajah lonjong dan mempunyai mata bulat yang khas,” papar Frasa mencoba mengingat rupa Randu yang hanya ditemuinya sesekali.Kriterianya
“Jebak dia,” kata Laut di ponselnya setelah Glagah membuat harinya bertambah pusing.“Bagaimana? Anton harus menemuinya dan mengonfrontasinya?” tanya Glagah di seberang sana.“Ya, lakukan saja dan buat dia mengaku. Kita harus tahu intensi dia yang sebenarnya,” papar Laut Glagah mengerti, dia mematikan ponsel dan menatap Anton yang masih kebingungan di depan layar.“Temui dia, kita akan mengonfrontasinya,” kata Glagah.Anton menghela napasnya berat dan mengangguk mengerti.Temui aku di kafe dekat kampus.Anton membalas email Frasa singkat. Kemudian dia berdiri, bersiap untuk pergi.“Aku akan mengantarmu, tenang saja, aku tidak akan memperlihatkan diri sebelum waktunya,” kata Glagah.Anton sebenarnya enggan, karena ini akan membuatnya dalam kesulitan. Tapi jika dia tak menuruti keinginan Laut, maka dia melakukan wanprestasi akan kontrak kerja mereka.Glagah mematikan laptopny
Anton sedang mengunyah ayam kare yang Glagah masak saat layar monitornya memberikan tanda ada penyusup. Tangannya secepat kilat meletakkan piring di meja dan menyambar keyboard komputernya untuk membentuk firewall agar penyusup itu tak bisa masuk ke sistemnya.“Ada apa?” tanya Glagah melihat Anton membiarkan makanannya tergelatak di meja.“Sepertinya Frasa mulai beraksi,” desis Anton tanpa mengalihkan wajahnya dari monitor.Glagah pusing melihat kecepatan tangan Anton bermain di keyboard dan menggerakkan tetikus itu.“Sepagi ini sudah melancarkan serangan,” gumam Glagah membuka laptopnya dan melihat email yang masuk untuk Prana Jiwo.Diara keluar dari kamar dan menghampiri Glagah dan mencium kening suaminya itu. “Aku berangkat dulu. Mas Bintang sedang sensitif. Suka mengomel,” kata Diara sambil tersenyum usil.“Anton, selamat pagi,” sapa Diara sambil berlalu.“Ya, Di,” ba
Wira berjalan mondar-mandir, sementara Sangka duduk dengan enggan di kursinya. Kekuatan mereka seperti meluruh.Ponsel Sangka berbunyi, membuyarkan keheningan mereka. Gama. Nama laki-laki itu membuat Sangka mendesah.“Di mana?” tanya Gama tanpa berbasa-basi.“Aku sedang di Jakarta, di Heritage,” jawab Sangka lesu. Sedang tak ingin berbicara panjang lebar.“Tunggu aku sepuluh menit lagi,” jawab Gama membuat Sangka tersentak.“Mau apa?” tanya Sangka seraya menegakkan badannya.“Menyelesaikan masalahmu,” kata Gama menutup saluran. Tinggal Sangka masih bingung memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Gama.“Siapa?” tanya Wira.“Gama,” jawab Sangka.“Ada masalah yang lebih besar daripada pacarmu itu!” geram Wira.Kepalanya sudah pusing dengan kenyataan bahwa mereka berada di ambang kebangkrutan.“Dia bilang akan membantu kita,&r
Suara ketukan pintu membuat Diara beranjak dari balik meja. Setelah membuka pintu kayu berat itu, sepasang laki-laki dan wanita berdiri di depannya, dengan tatapan mengintimidasi.“Saya Sangka dari PT. Daya Cipta, ini Wira, Paman saya.” Wanita itu mengenalkan dirinya. Diara paham dan mempersilakan keduanya masuk. Mata Wira menyapu ruangan dan tak menemukan baik Laut maupun Bintang. Hanya dua wanita, Diara dan Amira.“Silakan duduk. Perkenalkan, saya Diara, sekretaris Bintang Sriwedari, dia Amira, sekretaris Laut Prawirahardja. Mereka berdua akan datang sebentar lagi,” kata Diara memahami raut wajah sangsi dari Wira.Sangka menghela napasnya berat. Melirik jam tangannya, memang mereka berdua datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. “Apa yang akan kita lakukan dengan mereka?” tanya Bintang menatap Laut yang menyetir dengan tenang.“Kita lihat saja dahulu, apa yang mereka tawarkan dan inginkan. Aku tidak ta
Sangka sedang berada di kantor. Persiapan untuk berangkat ke Jakarta sudah siap. Mereka harus segera melobi Prawirahardja untuk mendapatkan dana segar. Wira sudah memaksa.“Paman, apakah ini akan berhasil?” tanya Sangka saat Wira masuk ke ruangannya. “Harus berhasil. Kalau tidak, kita harus bagaimana? Maka semua akan berakhir menjadi sia-sia. Kita akan bangkrut,” kata Wira tak kalah cemas.Dia terlalu menuruti seseorang sehingga kini semuanya dia pertaruhkan.Keduanya berangkat menuju bandara dengan sejuta harap. Misi mereka menyelamatkan diri dari kebangkrutan akan semakin berat. Banyak perusahaan menutup pintu kerja sama, terlebih setelah pengumuman Prana Jiwo atas potensi kebangkrutan mereka.Anton masih berkutat dengan pengambilan data di pertanahan. Sementara layar lain menampilkan data yang kemarin diserang oleh Frasa. Belum ada pergerakan sama sekali dari Frasa hari ini. “Gotcha!” teriak Anton mem